Tetanggaku Suamiku
Part 1*
Seorang gadis membuka mata, demi melihat bayangan diri sendiri dari cermin besar yang memantul wajahnya. Wajah tirus yang semakin jelita seperti namanya, saat ditambah beberapa polesan make up khas pengantin.
“Kau tampak seperti ratu hari ini, Lita.” Seorang make up artist memuji gadis yang masih duduk di bangku meja rias.
Jelita memandang wajah itu dengan senyum yang merekah. Ia melihat seluruh sudut wajah yang terlihat berbeda dari biasanya.
“Kerja bagus, Nana.” Jelita memuji keahlian make up artist yang ia sewa untuk hari pernikahannya. Keahliannya dalam memoles bukan hanya angin semata, tapi benar-benar nyata.
Pernikahan. Momen yang begitu diimpikan oleh setiap gadis, di mana akan ada seorang lelaki yang akan mengambil alih tanggung jawab dari pundak sang ayah, dibawa ke pundaknya. Salah. Bukan ke pundak, karena itu menunjukkan keberatan, tapi ke pelukannya, karena di situ tempat paling nyaman untuk memadu kasih sayang. Momen paling sakral saat lelaki yang tulus mencintai akan mengucap ijab kabul, yang disaksikan oleh ribuan para malaikat.
Seperti yang kini dirasakan Inara Jelita.
Gadis itu merasakan degup jantung yang berdetak lebih kencang, padahal ia sudah sering bertemu dengan calon suaminya. Namun, perasaan gugup itubtetap menyerang, seolah ini pertama kali akan bertemu lelaki pujaan.
“Aku ingin memangkas jarak denganmu,” ucap lelaki itu saat Jelita sedang duduk di bangku taman dekat kampus. Sementara lelaki itu duduk di sebelahnya dengan jarak beberapa jengkal dari Jelita.
“Aku ingin meminangmu.” Kembali lelaki itu berkata.
Jelita menatap lelaki di depannya dengan lekat. Mencoba menyelam pekatnya iris mata miliknya, mencari kesungguhan atas kalimat-kalimat yang diucapkannya.
“Kau sedang becanda, Kevin?” Jelita mencoba menanyakan keseriusan lelaki yang kini juga menatapnya lekat. Lelaki yang beberapa tahun terakhir menaruh hati padanya.
“Jika ada banyak hal untuk dicandai, kenapa harus menikah? Aku serius!” Kevin meraih tangan Jelita. Gadis yang selama ini mampu membuat debar berbeda dalam hatinya. Dalam banyak waktu, lelaki itu mempertanyakan perasaannya sendiri. Kini ia temukan jawabannya, bahwa debar itu memang cinta.
Jelita dan Kevin bertemu dalam salah satu seminar kampus, saat masih mengenyam pendidikan di salah satu Universitas di ibu kota. Kevin menemukan banyak hal yang disukai dalam diri Jelita, itu yang membuatnya semakin hari semakin jatuh dalam perangkap rasa yang ia sebut cinta.
Sejak saat itu mereka dekat. Awalnya hanya sekadar menyapa di chat, lalu berlanjut pada tahap yang lebih serius. Meskipun Kevin tak pernah mengikat Jelita sebagai pacar, tapi lelaki itu tampak sungguh dengan kalimatnya. Pun, Jelita merasa nyaman saat berada di dekat lelaki itu.
Agar cinta tak salah arah, Kevin ingin menjadikan Jelita sebagai tempat pelabuhan terakhir dalam hidupnya. Di mana ia akan menemukan tempat pulang paling nyaman.
*
Garden Wedding. Tema pernikahan yang telah dirancang Jelita jauh-jauh hari. Sejak usianya memasuki remaja, Jelita telah memimpikan tema yang sederhana untuk pernikahannya, tapi tetap elegan dan indah dipandang. Ia menginginkan suasana yang segar di hari bahagianya.
Resepsi pernikahan diadakan di rumah Jelita, karena ia ingin suasana bahagia itu berlangsung di tempat ia lahir dan dibesarkan. Akan terasa lebih sakral bagi gadis itu.
Rumah dengan halaman yang luas itu telah disulap layaknya taman bunga yang dipenuhi dekorasi indah. Di satu sudut, ada singgasana untuk raja dan ratu sehari. Pelaminan berwarna putih dipadu dengan aneka hiasan tanaman berwarna hijau, juga lampu-lampu yang memantulkan cahaya berwarna lilac semakin menambah kesan ceria. Sementara di depan pelaminan, terdapat kursi-kursi tamu yang masih kosong, karena acara belum di mulai.
“Kevin sudah sampai mana, Lita?” Seorang perempuan paruh baya dengan kebaya dan hijab senada bertanya. Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang selama ini merawat Jelita dengan cinta yang besar. Cinta yang tak mampu ditukar dengan apapun. Ayah.
“Semalam katanya sudah di hotel, Ma.” Jelita kembali mengecek ponsel yang ia letakkan di nakas.
Tak ada balasan dari chat terakhir yang ia kirimkan. Hanya beberapa obrolan semalam yang menyatakan tentang keberadaan Kevin saat itu.
Dari Jakarta ke Makassar membutuhkan waktu yang lama untuk sampai. Sebab itu, Kevin dan orang tuanya memilih tiba lebih awal dan menginap di villa keluarga. Paginya baru akan bertolak ke tempat calon pengantin wanitanya.
“Tamunya udah ada yang datang, kayaknya udah bisa dimulai acaranya.” Sang paman ikut masuk ke kamar Jelita. Ia hanya memberitahu suasana di luar sudah mulai terlihat ramai. Berharap acara segera dimulai, agar tamu tak lama menunggu.
Jelita sejenak bergeming, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan gundah itu muncul berkali lipat, mengalahkan perasaan bahagia yang baru saja hinggap.
Gadis dengan gaun putih pengantin itu mencoba menghubungi nomor Kevin. Beberapa kali ia mencoba, tapi tak menemukan jawaban yang menenangkan. Jelita tak bisa mendengar suara Kevin di seberang sana, padahal nomor itu dalam keadaan aktif.
Jelita menatap ibu, ayah, dan paman secara bergantian. Sementara tiga orang tua itu, menunggu jawaban dari Jelita.
“Mungkin masih nyetir, Ma.” Ada keraguan dalam hati Jelita saat mengatakan itu. “Masih dalam perjalanan, makanya gak diangkat.” Jelita melanjutkan, sementara cemas dalam dadanya makin tak terkendali.
Setelah mendengar jawaban itu, paman dan orangtua Jelita keluar. Mereka menyapa beberapa kerabat dan tamu yang sudah memenuhi meja undangan.
Tamu-tamu yang hadir dari kolega bisnis Raihan, sang ayah. Juga teman-teman arisan dari Ratna, ibu Jelita.
*
Sementara itu, beberapa langkah dari rumah Jelita, terlihat seorang lelaki berdiri di dekat balkon kamarnya, di lantai dua. Kamar yang berhadapan langsung dengan balkon kamar Jelita. Mungkin jika mereka meymilik jembatan antara jendela ke jendela, jarak dua kamar itu hanya lima langkah saja.
Berkali-kali lelaki itu menghirup udara segar. Mencoba meyakinkan diri bahwa bahagia Jelita adalah kebahagiaannya, meski ia tak pernah bisa memiliki.
“Juna, udah siap? Yuk bareng!” Perempuan paruh baya yang telah melahirkan Kevin itu berkata.
“Duluan, Ma. Arjuna nyusul!” Lelaki itu memutuskan untuk datang sendirian tanpa Melisa, sang mama.
Melisa meninggalkan Kevin seorang diri. Ia melihat penampilan rapi dari anak lelakinya, itu menandakah bahwa lelaki itu tak akan kabur dari rasa patahnya. Itu artinya, Kevin pasti datang ke acara Jelita.
Tahu, apa yang paling menyakitkan saat menyaksikan langsung pernikahan gadis yang kita cintai? Bukan saat tatapan keduanya menyatu dalam cinta, tapi saat menyadari diri sendiri tak bisa lepas dari dia yang dicintai.
Arjuna mondar-mandir dari sudut kamar ke balkon, masih mengamati sibuknya orang-orang di bawah sana. Ada yang menata makanan, panggung, juga kursi-kursi yang mulai ditempati.
Lelaki itu masih menatap jendela kamar Jelita. Dari gorden yang terbuka, dapat dilihatnya gadis itu duduk di tepi ranjang sembari memegang ponsel di tangan. Sejurus kemudian, satu teriakan terdengar hingga ke kamar Arjuna, bersamaan dengan ponsel yang dilempar Jelita ke dinding. Teriakan yang membuat lelaki itu merasakan khawatir, karena detik selanjutnya Ratna dan Raihan masuk ke kamar itu.
*
Arjuna berlari ke rumah Jelita, hampir saja lelaki itu terjatuh karena menapaki anak tangga secara tergesa-gesa. Ia langsung masuk ke rumah itu, mengabaikan beberapa tamu yang memanggilnya karena kenal.
Di depan kamar, terdengar desas desus yang membuat hati Arjuna terasa panas.
“Mungkin udah hamil duluan.” Seorang perempuan dengan sanggul yang rapi menyimpulkan dari apa yang ia dengar. Tangisan Jelita, terdengar menyayat di dalam sana.
“Yakali ya, terus lakinya gak mau tanggung jawab.” Seorang perempuan lagi menimpali.
Lelaki dengan rambut sedikit gondrong itu mengepalkan tangan. Jika saja yang berbicara itu adalah seorang lelaki, mungkin sudah ia layangkan satu pukulan untuknya. Pukulan karena terlalu suka mengomentari hal yang belum pasti benar.
Lelaki itu menyibak beberapa orang yang berdiri di depan kamar Jelita seolah tengah menguping pembicaraan di dalam sana. Arjuna mengusirnya dengan tatapan tajam, membuat beberapa orang itu pergi dengan mulut mendumel entah apa. Arjuna membuka pintu kamar Jelita. Terlihat di sana ayah dan ibu Jelita sedang menangis entah karena apa.
Sejenak Arjuna bergeming, mengamati seisi kamar Jelita yang terlihat berantakan.
“Arjuna.” Raihan memanggil dengan suara seraknya. Membuat lelaki itu mendekat ke ranjang, di mana Jelita dan orangtuanya duduk dengan lesu.
Jelita memalingkan wajahnya saat Arjuna mendekat. Selain karena malu make up-nya yang sudah berantakan oleh air mata, juga karena lelaki berusia dua puluh lima tahun yang kini berdiri di depannya merupakan musuh bebuyutan. Jelita amat membencinya.
“Apa yang terjadi, Om?” tanya Arjuna yang tampak masih bingung dengan suasana itu. Yang terlihat hanya air mata dari sudut mata Jelita, juga orangtuanya. Padahal hari ini harusnya mereka berbahagia.
“Kevin sialan!” umpat Jelita dengan mata yang melotot tajam ke arah dinding kamar. Seolah di sana ia bisa melihat wajah yang beberapa detik lalu menghancurkan imajinasinya.
“Apa yang harus kulakukan, Arjuna?” Raihan mengiba. Ia tak sanggup menanggung malu atas perbuatan Kevin.
“Kevin tak akan datang hari ini.” Ratna tampak menyeka sudut matanya. Ia juga memeluk jelita untuk memberi kekuatan.
“Mereka akan pulang, dan kita akan menanggung malu seumur hidup.” Kembali Raihan berkata lirih.
“Pa, maafkan Jelita.” Gadis itu nelangsa. Ia tak pernah memperkirakan bahwa hari pernikahannya akan serumit itu.
Kevin Leonard. Lelaki pengecut yang bersembunyi dibalik ketulusan.
Beberapa menit lalu, Jelita mati-matian mencoba menghubungi. Panik, resah, takut Jelita akan kabarnya. Lalu, dengan pesan singkatnya berhasil membuat dunia Jelita terbalik.
[Putus.] Pesan terakhir Kevin yang membuat Jelita melempar ponselnya ke dinding. Menyisakan sakit paling dalam atas apa yang pernah coba ia genggam.
Jelita mencoba kembali menghubungi, meminta kejelasan atas satu kata yang membuat hatinya merintih perih. Namun, sayang, panggilan itu tetap tak mendapat jawaban, bahkan nomor ponsel Kevin tak aktif lagi dalam sekejap.
Sial memang!
Tetanggaku Suamiku Part 2 * [Putus!] Pesan singkat, tapi begitu menyayat hati Jelita. Gadis itu kehilangan tumpuannya hingga terjatuh ke lantai yang ia pijak, tapi masih berusaha sadar atas apa yang baru saja terjadi. Ponsel di tangan itu ikut terjatuh, sejenak gadis itu seolah kehilangan kewarasan atas pesan tiba-tiba dari Kevin. Jelita menatap nanar pada lantai yang sedikit basah karena beberapa tetes air mata jatuh di sana. Gadis itu kembali memungut ponselnya, ia mencoba mengurut dada yang terasa begitu sesak. Jelita mencoba meyakinkan diri bahwa tadi hanyalah mimpi buruk karena kecemasan yang mendera. Pesan itu hanya hayalan atas ketakutan yang menggelayut tiba-tiba. [Putus!] Kembali Jelita membaca pesan itu. Pesan yang tak berubah meski berkali-kali ia baca dan pahami. Gadis itu menyeka sudut mata yang mengabur karena air mara berserakan di sana. Pesan itu tetap sama. Jelita berteriak frustasi. Ia melempar ponsel itu ke dinding, lalu mengacak beberapa dekorasi kamar penga
Tetanggaku Suamiku Part 3 . Pintu terbuka, saat Jelita sedang menyisir rambutnya di depan cermin. Ia melihat Arjuna muncul setelah pintu kembali ditutup. Spontan gadis itu mengambil handuk wajah yang baru saja diletakkan di meja rias. Gadis itu menutup kepalanya, sementara sebagian rambutnya terlihat dari bagian belakang. Sejak memutuskan untuk berhijab, Jelita sudah tak biasa membuka auratnya di depan lelaki yang bukan mahram. Arjuna melihat gadis itu semakin cantik di matanya, meski kini rambutnya hanya tinggal sebahu. Berbeda dengan dulu, gadis itu memiliki rambut paling panjang di kelasnya. Arjuna yang melangkah mendekat ke arah Jelita tersenyum. “Aku bahkan tau berapa panjang rambutmu dulu.” “Itu dulu!” ketus Jelita. “Tapi, aku suamimu sekarang.” Ucapan Arjuna seolah menghempaskan Jelita ke dunia yang kini dihadapinya. Kehidupan pernikahan yang bahkan tak ada kemungkinan bahagia di dalamnya, menurut Jelita. Jelita seolah lupa pada status yang baru disandangnya. Ia lupa ba
Tetanggaku Suamiku Part 4 . “Pilih aja, terserah mau berapa.” Melisa berkata pada Jelita. Seorang karyawan tersenyum sembari merekomendasikan beberapa produk yang baru launching dari butik mereka. Jelita hanya tersenyum pada wanita yang kini dipanggilnya mama. Malam mertua. Melisa mengajak Jelita untuk membeli beberapa pakaian dan kebutuhan lainnya, karena pernikahan yang mendadak itu tak sempat membeli hantaran. Jadi, wanita berusia empat puluhan itu ingin membelikan Jelita banyak hal, sebagai ganti barang hantaran. “Sebenarnya gak perlu, Ma.” Jelita merasa sungkan dengan kebaikan ibu mertuanya. Bukan sungkan sebenarnya, tapi merasa bersalah diperlakukan terlalu baik, sementara ia tak memperlakukan Arjuna sebaik itu. “Ini kayaknya bagus, Lita.” Melisa menarik satu gaun dari jejerannya, lalu mencocokkan di tubuh Jelita. “Coba pakai.” Melisa menyuruh Jelita untuk mencobanya. Tanpa membantah lagi, Jelita mulai masuk ke ruang ganti. Lalu, keluar setelah gaun itu terpasang rapi d
Arjuna menapaki langkahnya di tangga. Sejenak, ia berdiri di depan pintu kamar. Di mana di dalam sana telah menunggu seorang gadis yang ia tahu belum bisa menerima takdir sepenuhnya. Ah, Jelita tak menunggunya. Gadis itu mungkin hanya menunggu esok hari ajar bisa segera pulang ke rumahnya. “Bagaimana, Juna?” tanya Melisa saat Arjuna sedang duduk di depan televisi. “Apanya, Ma?” Arjuna balik bertanya. Sebenarnya ia mengerti arah pembicaraan sang mama. “Pernikahanmu.” Sejenak Arjuna terdiam mendengar pertanyaan sang ibu. Matanya memandangi wanita yang telah melahirkannya sedikit lama, ada sorot harapan juga khawatir di manik mata itu. Arjuna berpikir jawaban yang tepat untuk melegakan hati ibunya. Ia tak bisa melihat wanita itu terus-menerus merasa khawatir akan pernikahannya. “Baru beberapa hari, Ma. Jelita butuh pembiasaan dari semua yang terjadi.” Arjuna menjawab akhirnya. Memberi pengertian pada ibunya tentang sebuah kekhawatiran yang mungkin saja dirasakan semua ibu di dunia.
Setelah seminggu di Makassar, kini Arjuna dan Jelita kembali ke Jakarta. Salah satu alasan Jelita menerima pernikahan mendadak dengan Arjuna, agar gadis itu bisa kembali lagi ke Jakarta, karena Arjuna pasti akan kembali bekerja dan tentu membawanya ikut serta. Mungkin jika Jelita tak jadi menikah saat itu, orangtuanya tak lagi mengizinkan gadis itu untuk kembali ke ibu kota. Jelita pasti akan berakhir di kantor papanya bekerja. Membosankan, karena gadis itu ingin memulai karirnya dari nol. Jelita dan Arjuna baru turun dari taksi yang ditumpanginya. Udara terasa dingin ketika tubuh itu diterpa angin malam. Keduanya memasuki pagar rumah yang kini akan ditinggali. Rumah yang sejak beberapa hari ditinggalkan Arjuna, demi kembali ke Makassar dan memenuhi undangan orangtua Jelita. Namun, yang terjadi malah Arjuna yang menikahinya. Gadis yang memakai kulot denim dipadu blues dan jilbab senada itu memandangi rumah di depannya. Rumah dua tingkat dengan halaman yang tak luas, hanya ada beberap
“Ke mana?” Arjuna bertanya pada Jelita. Ia melihat gadis itu telah rapi dengan celana kulot dan kemeja putih serta jilbab warna senada. “Kerja.” Jelita menjawab singkat. Arjuna mengerutkan keningnya. Selama ini, ia tahu Jelita bekerja di perusahaan yang sama dengan Kevin. Arjuna sempat beberapa kali melihat mereka jalan berdua, di sebuah mall terbesar di Jakarta. Saat itu Arjuna sedang membeli suatu keperluan, seketika merasa ada yang mengiris di dalam sana, di hatinya. Arjuna merasa sakit setiap kali melihat Jelita dengan lelaki lain. Lelaki yang telah memakai jas berwarna putih khas dokter itu masih bingung dengan sikap Jelita. Kevin jelas sudah mempermainkan dirinya, tapi masih saja ingin bertahan di perusahaan itu. Setelah menjawab singkat, Jelita melangkah keluar dari rumah. Ia telah memesan taksi online untuk sampai di perusahaan ia bekerja. Gadis itu bahkan sengaja tak peduli pada panggilan Arjuna yang menawarkan untuk mengantar. Kembali Arjuna menarik napas kasar menghadap
“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar. “Mental pengecut!” Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja. Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan. “Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, te
“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya. Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya. Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri. “Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna. Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan K