Inara Jelita, gadis cantik berusia dua puluh lima tahun yang menjalin asmara dengan seorang pria tampan bermana Kevin. Keduanya saling mencintai hingga sepakat untuk mengikat cinta dalam sebuah hubungan pernikahan. Namun, tepat di hari pernikahan, Kevin tiba-tiba memutuskan sebelah pihak. Lelaki pengecut itu hanya mengirimkan pesan putus pada Jelita. Hal itu membuat Jelita syok, dan patah hati. Ia merasa seperti mimpi buruk, ia merasa itu tak nyata. Sebab itu Jelita mencoba mengubungi Kevin melalui ponselnya. Sayangnya, nomor Kevin sudah tidak aktif. Jelita menatap nanar pada cermin yang memantulkan wajah dengan riasan pengantin. Perlahan riasan itu memudar bersamaan dengan air matanya. Di sisi lain, Arjuna yang merupakan tetangga, sekaligus sahabat Jelita dari kecil, menawarkan diri untuk menikahi gadis itu. Awalnya Jelita menolak, karena ia sangat membenci Arjuna atas masa lalu yang pernah terjadi diantara mereka Namun, untuk menutup aib keluarga, akhirnya Jelita setuju untuk menikah. Menikahi lelaki yang ia tahu, ia tak bisa memberikan hati Arjuna. Menikah tanpa cinta dengan orang yang dibenci, bagaimana nasib pernikahan Jelita dan Arjuna? Ke mana Kevin sang pecundang yang menghancurkan hati Jelita?
Lihat lebih banyakTetanggaku Suamiku
Part 1*
Seorang gadis membuka mata, demi melihat bayangan diri sendiri dari cermin besar yang memantul wajahnya. Wajah tirus yang semakin jelita seperti namanya, saat ditambah beberapa polesan make up khas pengantin.
“Kau tampak seperti ratu hari ini, Lita.” Seorang make up artist memuji gadis yang masih duduk di bangku meja rias.
Jelita memandang wajah itu dengan senyum yang merekah. Ia melihat seluruh sudut wajah yang terlihat berbeda dari biasanya.
“Kerja bagus, Nana.” Jelita memuji keahlian make up artist yang ia sewa untuk hari pernikahannya. Keahliannya dalam memoles bukan hanya angin semata, tapi benar-benar nyata.
Pernikahan. Momen yang begitu diimpikan oleh setiap gadis, di mana akan ada seorang lelaki yang akan mengambil alih tanggung jawab dari pundak sang ayah, dibawa ke pundaknya. Salah. Bukan ke pundak, karena itu menunjukkan keberatan, tapi ke pelukannya, karena di situ tempat paling nyaman untuk memadu kasih sayang. Momen paling sakral saat lelaki yang tulus mencintai akan mengucap ijab kabul, yang disaksikan oleh ribuan para malaikat.
Seperti yang kini dirasakan Inara Jelita.
Gadis itu merasakan degup jantung yang berdetak lebih kencang, padahal ia sudah sering bertemu dengan calon suaminya. Namun, perasaan gugup itubtetap menyerang, seolah ini pertama kali akan bertemu lelaki pujaan.
“Aku ingin memangkas jarak denganmu,” ucap lelaki itu saat Jelita sedang duduk di bangku taman dekat kampus. Sementara lelaki itu duduk di sebelahnya dengan jarak beberapa jengkal dari Jelita.
“Aku ingin meminangmu.” Kembali lelaki itu berkata.
Jelita menatap lelaki di depannya dengan lekat. Mencoba menyelam pekatnya iris mata miliknya, mencari kesungguhan atas kalimat-kalimat yang diucapkannya.
“Kau sedang becanda, Kevin?” Jelita mencoba menanyakan keseriusan lelaki yang kini juga menatapnya lekat. Lelaki yang beberapa tahun terakhir menaruh hati padanya.
“Jika ada banyak hal untuk dicandai, kenapa harus menikah? Aku serius!” Kevin meraih tangan Jelita. Gadis yang selama ini mampu membuat debar berbeda dalam hatinya. Dalam banyak waktu, lelaki itu mempertanyakan perasaannya sendiri. Kini ia temukan jawabannya, bahwa debar itu memang cinta.
Jelita dan Kevin bertemu dalam salah satu seminar kampus, saat masih mengenyam pendidikan di salah satu Universitas di ibu kota. Kevin menemukan banyak hal yang disukai dalam diri Jelita, itu yang membuatnya semakin hari semakin jatuh dalam perangkap rasa yang ia sebut cinta.
Sejak saat itu mereka dekat. Awalnya hanya sekadar menyapa di chat, lalu berlanjut pada tahap yang lebih serius. Meskipun Kevin tak pernah mengikat Jelita sebagai pacar, tapi lelaki itu tampak sungguh dengan kalimatnya. Pun, Jelita merasa nyaman saat berada di dekat lelaki itu.
Agar cinta tak salah arah, Kevin ingin menjadikan Jelita sebagai tempat pelabuhan terakhir dalam hidupnya. Di mana ia akan menemukan tempat pulang paling nyaman.
*
Garden Wedding. Tema pernikahan yang telah dirancang Jelita jauh-jauh hari. Sejak usianya memasuki remaja, Jelita telah memimpikan tema yang sederhana untuk pernikahannya, tapi tetap elegan dan indah dipandang. Ia menginginkan suasana yang segar di hari bahagianya.
Resepsi pernikahan diadakan di rumah Jelita, karena ia ingin suasana bahagia itu berlangsung di tempat ia lahir dan dibesarkan. Akan terasa lebih sakral bagi gadis itu.
Rumah dengan halaman yang luas itu telah disulap layaknya taman bunga yang dipenuhi dekorasi indah. Di satu sudut, ada singgasana untuk raja dan ratu sehari. Pelaminan berwarna putih dipadu dengan aneka hiasan tanaman berwarna hijau, juga lampu-lampu yang memantulkan cahaya berwarna lilac semakin menambah kesan ceria. Sementara di depan pelaminan, terdapat kursi-kursi tamu yang masih kosong, karena acara belum di mulai.
“Kevin sudah sampai mana, Lita?” Seorang perempuan paruh baya dengan kebaya dan hijab senada bertanya. Di sampingnya berdiri seorang lelaki yang selama ini merawat Jelita dengan cinta yang besar. Cinta yang tak mampu ditukar dengan apapun. Ayah.
“Semalam katanya sudah di hotel, Ma.” Jelita kembali mengecek ponsel yang ia letakkan di nakas.
Tak ada balasan dari chat terakhir yang ia kirimkan. Hanya beberapa obrolan semalam yang menyatakan tentang keberadaan Kevin saat itu.
Dari Jakarta ke Makassar membutuhkan waktu yang lama untuk sampai. Sebab itu, Kevin dan orang tuanya memilih tiba lebih awal dan menginap di villa keluarga. Paginya baru akan bertolak ke tempat calon pengantin wanitanya.
“Tamunya udah ada yang datang, kayaknya udah bisa dimulai acaranya.” Sang paman ikut masuk ke kamar Jelita. Ia hanya memberitahu suasana di luar sudah mulai terlihat ramai. Berharap acara segera dimulai, agar tamu tak lama menunggu.
Jelita sejenak bergeming, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Perasaan gundah itu muncul berkali lipat, mengalahkan perasaan bahagia yang baru saja hinggap.
Gadis dengan gaun putih pengantin itu mencoba menghubungi nomor Kevin. Beberapa kali ia mencoba, tapi tak menemukan jawaban yang menenangkan. Jelita tak bisa mendengar suara Kevin di seberang sana, padahal nomor itu dalam keadaan aktif.
Jelita menatap ibu, ayah, dan paman secara bergantian. Sementara tiga orang tua itu, menunggu jawaban dari Jelita.
“Mungkin masih nyetir, Ma.” Ada keraguan dalam hati Jelita saat mengatakan itu. “Masih dalam perjalanan, makanya gak diangkat.” Jelita melanjutkan, sementara cemas dalam dadanya makin tak terkendali.
Setelah mendengar jawaban itu, paman dan orangtua Jelita keluar. Mereka menyapa beberapa kerabat dan tamu yang sudah memenuhi meja undangan.
Tamu-tamu yang hadir dari kolega bisnis Raihan, sang ayah. Juga teman-teman arisan dari Ratna, ibu Jelita.
*
Sementara itu, beberapa langkah dari rumah Jelita, terlihat seorang lelaki berdiri di dekat balkon kamarnya, di lantai dua. Kamar yang berhadapan langsung dengan balkon kamar Jelita. Mungkin jika mereka meymilik jembatan antara jendela ke jendela, jarak dua kamar itu hanya lima langkah saja.
Berkali-kali lelaki itu menghirup udara segar. Mencoba meyakinkan diri bahwa bahagia Jelita adalah kebahagiaannya, meski ia tak pernah bisa memiliki.
“Juna, udah siap? Yuk bareng!” Perempuan paruh baya yang telah melahirkan Kevin itu berkata.
“Duluan, Ma. Arjuna nyusul!” Lelaki itu memutuskan untuk datang sendirian tanpa Melisa, sang mama.
Melisa meninggalkan Kevin seorang diri. Ia melihat penampilan rapi dari anak lelakinya, itu menandakah bahwa lelaki itu tak akan kabur dari rasa patahnya. Itu artinya, Kevin pasti datang ke acara Jelita.
Tahu, apa yang paling menyakitkan saat menyaksikan langsung pernikahan gadis yang kita cintai? Bukan saat tatapan keduanya menyatu dalam cinta, tapi saat menyadari diri sendiri tak bisa lepas dari dia yang dicintai.
Arjuna mondar-mandir dari sudut kamar ke balkon, masih mengamati sibuknya orang-orang di bawah sana. Ada yang menata makanan, panggung, juga kursi-kursi yang mulai ditempati.
Lelaki itu masih menatap jendela kamar Jelita. Dari gorden yang terbuka, dapat dilihatnya gadis itu duduk di tepi ranjang sembari memegang ponsel di tangan. Sejurus kemudian, satu teriakan terdengar hingga ke kamar Arjuna, bersamaan dengan ponsel yang dilempar Jelita ke dinding. Teriakan yang membuat lelaki itu merasakan khawatir, karena detik selanjutnya Ratna dan Raihan masuk ke kamar itu.
*
Arjuna berlari ke rumah Jelita, hampir saja lelaki itu terjatuh karena menapaki anak tangga secara tergesa-gesa. Ia langsung masuk ke rumah itu, mengabaikan beberapa tamu yang memanggilnya karena kenal.
Di depan kamar, terdengar desas desus yang membuat hati Arjuna terasa panas.
“Mungkin udah hamil duluan.” Seorang perempuan dengan sanggul yang rapi menyimpulkan dari apa yang ia dengar. Tangisan Jelita, terdengar menyayat di dalam sana.
“Yakali ya, terus lakinya gak mau tanggung jawab.” Seorang perempuan lagi menimpali.
Lelaki dengan rambut sedikit gondrong itu mengepalkan tangan. Jika saja yang berbicara itu adalah seorang lelaki, mungkin sudah ia layangkan satu pukulan untuknya. Pukulan karena terlalu suka mengomentari hal yang belum pasti benar.
Lelaki itu menyibak beberapa orang yang berdiri di depan kamar Jelita seolah tengah menguping pembicaraan di dalam sana. Arjuna mengusirnya dengan tatapan tajam, membuat beberapa orang itu pergi dengan mulut mendumel entah apa. Arjuna membuka pintu kamar Jelita. Terlihat di sana ayah dan ibu Jelita sedang menangis entah karena apa.
Sejenak Arjuna bergeming, mengamati seisi kamar Jelita yang terlihat berantakan.
“Arjuna.” Raihan memanggil dengan suara seraknya. Membuat lelaki itu mendekat ke ranjang, di mana Jelita dan orangtuanya duduk dengan lesu.
Jelita memalingkan wajahnya saat Arjuna mendekat. Selain karena malu make up-nya yang sudah berantakan oleh air mata, juga karena lelaki berusia dua puluh lima tahun yang kini berdiri di depannya merupakan musuh bebuyutan. Jelita amat membencinya.
“Apa yang terjadi, Om?” tanya Arjuna yang tampak masih bingung dengan suasana itu. Yang terlihat hanya air mata dari sudut mata Jelita, juga orangtuanya. Padahal hari ini harusnya mereka berbahagia.
“Kevin sialan!” umpat Jelita dengan mata yang melotot tajam ke arah dinding kamar. Seolah di sana ia bisa melihat wajah yang beberapa detik lalu menghancurkan imajinasinya.
“Apa yang harus kulakukan, Arjuna?” Raihan mengiba. Ia tak sanggup menanggung malu atas perbuatan Kevin.
“Kevin tak akan datang hari ini.” Ratna tampak menyeka sudut matanya. Ia juga memeluk jelita untuk memberi kekuatan.
“Mereka akan pulang, dan kita akan menanggung malu seumur hidup.” Kembali Raihan berkata lirih.
“Pa, maafkan Jelita.” Gadis itu nelangsa. Ia tak pernah memperkirakan bahwa hari pernikahannya akan serumit itu.
Kevin Leonard. Lelaki pengecut yang bersembunyi dibalik ketulusan.
Beberapa menit lalu, Jelita mati-matian mencoba menghubungi. Panik, resah, takut Jelita akan kabarnya. Lalu, dengan pesan singkatnya berhasil membuat dunia Jelita terbalik.
[Putus.] Pesan terakhir Kevin yang membuat Jelita melempar ponselnya ke dinding. Menyisakan sakit paling dalam atas apa yang pernah coba ia genggam.
Jelita mencoba kembali menghubungi, meminta kejelasan atas satu kata yang membuat hatinya merintih perih. Namun, sayang, panggilan itu tetap tak mendapat jawaban, bahkan nomor ponsel Kevin tak aktif lagi dalam sekejap.
Sial memang!
Bab 32*Matahari pagi di kota Makassar terlihat begitu cerah. Jelita memicingkan mata saat ia terjaga karena sinar mentari yang menembus melalui kaca jendela. Ia berpikir, pasti Arjuna yang menyibak gordennya. Namun, saat Jelita membalikkan badan, gadis itu tak menemukan sang suami di sampingnya Setelah disidang oleh kedua orangtuanya, mereka tidur di rumah Jelita. “Kami diam, bukan berarti nggak tau apa yang terjadi dalam pernikahan kalian. Dingin bahkan mungkin beku dalam hatimu, Jelita. Papa harap, esok lusa jika badai itu datang lagi, tak ada yang diam, Arjuna. Juga tak ada yang berlari dari masalah. Papa harap kalian bisa saling menyelesaikan, bukan saling menghindar.” Raihan menatap Jelita dan Arjuna bergantian. Bukan hanya setelah menikah dengan Jelita, tapi sebelumnya Arjuna bahkan sudah menganggap Raihan seperti ayah kandungnya. Tepatnya setelah lelaki itu kehilangan seorang figur ayah dalam hidupnya. Keduanya hanya mengangguk. Lalu, mereka sama-sama mengusap air mata di
Bab 31*Hari yang cerah setelah semalaman diguyur hujan. Makassar terlihat elegan dengan segala bangunan mewah. Perpaduan pantai, sunrise dan udara segar menjadi hal yang paling menyegarkan mata.Malam itu Arjuna dan Jelita beristirahat dengan tenang. Meskipun Arjuna sendiri tak tahu apa yang akan dibicarakan ibunya dan orangtua Jelita esok. Ia hanya merasa hubungan keduanya mulai membaik, tapi tetap saja ia tak sanggup membayangkan wajah terluka kedua orangtuanya.“Mama pasti kecewa banget ya.” Jelita berucap lirih. Wajahnya tertunduk tak sanggup menatap Arjuna saat ia mengatakan hari ini akan ke rumah ibunya.“Kita jelaskan semua, Lita. Kita hadapi sama-sama.” Arjuna menggenggam tangan sang istri, membelainya lembut lalu sejenak mengecupnya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Jelita tak menolak seperti biasanya. Tak juga memperlihatkan raut wajah tak suka saat ia melakukan itu.Ah, Arjuna bahkan mendengar kemarin ia mengucapkan tentang cinta di telinganya. Arjuna sudah bangun dari l
Bab 30*“Mama?” Arjuna dan Jelita saling menatap saat melihat ibunya duduk di sofa menghadap jendela. Duduk seolah memang telah menunggu keduanya sejak tadi.“Mama kenapa di sini?” tanya Arjuna pada sang ibu yang masih duduk dengan wajah dinginnya.“Mama yang harusnya tanya, Juna. Kalian pulang nggak bilang-bilang? Terus ngapain hujan-hujanan kayak gini.”Melisa bangkit dari duduknya, meninggalkan pemandangan gerimis yang masih terlihat di luar sana. Perempuan itu berdiri menghadap anak dan menantunya. Perempuan paruh baya yang terlihat masih cantik itu menunjuk keadaan dua anaknya itu. Keadaan yang menyadarkan mereka bahwa saat ini mereka tak bisa berbohong. Tak bisa mengelak atas apa yang selama ini telah terjadi.Semua pekerja di hotel, Melisa tak bisa menjamin kepercayaannya. Namun, selama mereka bekerja, mereka tak pernah curang dana selalu mengikuti perintah dari perempuan itu.“Bu, saya mendengar dari resepsionis kalau Arjuna sedang di hotel. Mereka bilang, istrinya juga di s
Bab 29*Jam di ponsel telah menunjukkan pukul sembilan malam. Arjuna menatap bubur yang telah dingin itu terletak di atas nakas. Bubur yang sama sekali tak ingin disentuhnya. Setelah Jelita pergi, Arjuna hanya duduk di pinggir ranjang, tepatnya setelah menunaikan shalat isya. Lelaki itu bangkit, mengitari seluruh ruangan, lalu duduk lagi di sisi ranjang. Ia merasa sedang tak baik-baik saja.Pikirannya terlalu kalut saat ini. Entah, ia pun tak menyangka melakukan itu pada Jelita. Dan, setelah gadis itu tak lagi di hadapannya, bukan kelegaan yang ia dapatkan, melainkan resah dan perasaan galau memenuhi hatinya.Arjuna mengusap wajahnya dengan kasar. Di luar hujan turun begitu lebatnya. Semesta yang tadi baik-baik saja dengan cerahnya senja, tiba-tiba menurunkan hujan yang membasahi bumi, mendung secara tiba-tiba menggelayut di atas langit.Arjuna menyerah pada egonya, pada kemarahannya. Ia tak bisa memperkirakan ke mana Jelita akan pergi setelah diusirnya. Lelaki itu coba menghubungi
Bab 28*Sambil menunggu Arjuna siuman. Jelita membereskan apa saja yang berantakan di kamar itu. Perjalanan jauh sebenarnya membuat tubuh itu lelah dan ingin terbaring sebentar saja. Namun, ia tak ingin jika saat ia bangun nanti Arjuna pergi lagi darinya. Ia tak ingin lelaki itu menghindarinya lagi. Jelita harus menuntaskan semua kesalahannya sekarang.Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Jelita melangkahkan kakinya menuju sisi jendela. Ia menyibak gorden jendela kaca besar itu agar bisa menikmati keindahan dan seni alam yang dipuja setiap orang. Gadis itu duduk di sofa kecil di dekat jendela itu. Ia tersenyum perih melihat warna merah jingga yang menyilaukan matanya. Indah. Namun, keindahan apa pun tak menghibur hatinya jika ia belum mendapatkan maaf dari Arjuna.Jelita tersenyum sinis seorang diri, mengingat kenangan yang pernah ia lalu bersama Arjuna dan Aldi di pantai itu. Terlalu banyak kenangan manis yang memaksanya untuk mengingat hal itu. Namun, apa pun itu, ia tetap tak bi
Bab 27*Pukul delapan pagi, Jelita sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ia tak ingin ketinggalan pesawat yang akan mengudara ke Makassar. Sesuai dengan jadwal keberangkatan yang tertera, Jelita akan terbang pukul sembilan pagi. Satu jam sebelum itu, Jelita sudah ada di Bandara. Gadis itu benar-benar tak ingin ketinggalan. Andai saja semalam masih tersisa tiket yang akan berangkat ke sana, mungkin pagi ini Jelita sudah bertemu dengan Arjuna.Jelita memang tak tahu pasti di mana Arjuna sekarang. Namun, Jelita yakin Arjuna kemungkinan besar berada di Makassar. Tempat di mana ia selalu berlari jika pikirannya sedang kacau. Tempat lelaki itu menginap berhari-hari jika ia sedang tak suka pulang ke rumah karena ada ayahnya.Malam di mana Arjuna pergi dan tak menemani tidurnya, Jelita meringkuk sendirian dalam gelap. Meneguk rasa sakit dalam pekatnya malam tanpa cahaya, karena cahaya itu sendiri sebenarnya adalah Arjuna. Lelaki itu yang membuatnya nyaman dan tak merasa takut saat di samping
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen