Share

9. Resign

“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya.

Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya.

Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri.

“Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna.

Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan Kevin. Itu bukan hanya menyakiti hati Arjuna, tapi juga hari-hari Jelita selanjutnya. Bayangkan setiap hari melihat wajah yang melukis luka di hati, itu manyakitkan.

“Biar aku yang kerja, kamu di rumah aja.” Arjuna mencoba berkata dengan hati-hati. Ia meletakkan piringnya ke samping, tanda ia telah selesai sarapan.

Arjuna berkata seperti itu bukan hanya sekadar imajinasi atau omong kosong. Lelaki itu bisa menjamin hidup Jelita bahkan jika mereka mempunyai anak. Gaji Arjuna cukup untuk membiayai keluarga kecil mereka. Jadi, apa salahnya jika Arjuna meminta Jelita untuk tinggal di rumah saja?

Mendengar kalimat yang seolah perintah itu, Jelita mencebik tak suka.

“Aku akan tetap bekerja.” Jelita menatap tajam ke arah suaminya. Tak ingin Arjuna mengatur hidupnya. Mengatur pilihan yang akan ia ambil untuk masa depannya.

“Kau hadir kembali di hidupku saja membuatku ingin gila. Jadi, jangan menambah beban dengan mengatur hidupku.” Jelita bangkit dari duduknya. Ia mengangkat piring kotor sekaligus dengan milik Arjuna, lalu dibawanya ke dapur.

Arjuna terdiam sesaat, mencoba menikmati sakit yang perlahan mengalir di hatinya. Mengapa hati Jelita terlalu keras untuk menerimanya. Lelaki itu menengadah ke atas karena ada yang terasa hangat di matanya. Dalam hatinya yang terluka, Arjuna menghajatkan pinta agar pemilik segala hati melembutkan hati sang istri.

Dari awal, Arjuna telah salah di mata Jelita. Ia akan bertambah salah setiap kali berbicara dan sedikit memberi aturan untuknya. Mungkin dunia sedang menertawakannya sekarang, menertawakan lelaki lemah yang tak bisa menaklukkan perempuan. 

Arjuna merasa hatinya teriris berkali-kali. Sialnya itu di tempat yang sama, tempat yang menyimpan nama Jelita, tapi gadis itu malah membuangnya.

Setelah menghela napas kasar, Arjuna mengambil tas dan jas dokter yang tersampir di kursi meja makan. Lelaki itu melangkahkan kakinya ke luar, lalu pergi ke rumah sakit. Di sana ia bisa sedikit menghibur diri sendiri. Kadang dengan senyuman para pesakit yang merasa tubuhnya lebih sehat, kadang dari anak-anak kecil yang kembali tertawa riang saat kondisinya berangsur membaik.

*

Sejak hari itu, seluruh kantor heboh dengan berita Jelita yang gagal menikah dengan Kevin. Namun, mereka tak memperkeruh suasana hati Jelita yang sedang sedih dan kecewa. Mereka yang awalnya dekat dengan Kevin, sangat menyayangkan sikap pengecut lelaki itu.

“Kalau tau gini, biar aku aja dulu yang ngelamar kamu, Lita.” Salah satu dari rekan kantor mencoba mencairkan suasana dengan candaan receh itu.

“Istrinya mau dibawa ke mana?” sahut yang lain. Mereka duduk di meja kerja masing-masing. Saling melempar candaan untuk menghibur Jelita yang saat itu sedang membereskan beberapa barangnya.

“Masih satu. Sisa tiga lagi.” 

“Aish, rakus amat. Aku aja satu pun belum punya. Jangan diembat semua, entar aku gak kebagian.”

Jelita sedikit tersenyum mendengar ocehan teman-temannya.

Setelah puas menangis ditemani Sarah di taman dekat perkantoran, Jelita kembali masuk ke gedung perkantoran. Meskipun sebenarnya ia terlalu malu untuk masuk ke gedung bertingkat itu. Malu karena mungkin akan menjadi bahan tertawaan rekan-rekannya. Nyatanya tidak, mereka lebih suka memperlihatkan empati ketimbang menambah tekanan Jelita yang sedang berjuang dengan patah hati.

Jelita mengambil surat pengunduran diri dari dalam tasnya, ia akan memberikan untuk atasan. Gadis itu sudah sangat yakin untuk resign dari tempat kerjanya.

“Kamu yakin?” Sarah kembali bertanya. Pasalnya mencari pekerjaan di zaman sekarang sangat susah, dan Jelita pasti tahu itu. 

Jelita mengangguk pasti. “Sudah tak ada yang tersisa di sini. Setiap sudutnya hanya akan menambah luka. Bayangan Kevin ada di mana-mana, dan itu mengganggu.”

Jelita benci bahkan jika harus berhadapan dengan bayang Kevin, lelaki yang telah menginjak harga dirinya. Keadaan tak lagi sama. Dulu, Jelita membayangi wajah itu dalam rasa cinta yang penuh. Sekarang telah berbeda, yang ada hanya benci dan ingin menangis saja saat bayangan itu kembali memenuhi memorinya.

*

“Selama kamu gak masuk kerja, Kevin juga gak masuk. Gak ada yang bertanya sih, karena kalian emang ambil cuti untuk menikah.” Sarah bercerita saat kemarin duduk di taman bersama Jelita.

“Tolong kasih tau aku kalau Kevin masuk ya,” pinta Jelita sebelum ia dan Sarah kembali ke gedung perkantoran.

Sarah mengangguk. Namun, hingga hari ini Jelita tak mendapat kabar apa pun tentang Kevin. Lelaki itu benar-benar hilang ditelan bumi entah di belahan mana. Saat itu, Jelita bahkan menyuruh Sarah untuk memeriksa akun sosial media Kevin, karena Jelita mengira mungkin hanya dirinya yang diblokir. Ternyata Kevin sudah menghapus semua akunnya.

Kevin seolah pergi dan menghilangkan jejak dari kehidupan Jelita, dan semua hal yang berkaitan dengan kantor. Tak ada yang tahu keberadaan Kevin. Menurut teman-teman kantor, terakhir mereka berkomunikasi saat Kevin mengundang ke acara pernikahannya.

Sialan!

Jelita turun dari taksi yang ditumpanginya. Kevin tak ada kabar di kantor, sebab itu Jelita mencoba mencari tahu di rumahnya. Rumah yang pernah Jelita datangi sekali, saat Kevin mengenalkannya pada sang ibu.

Kembali teringat wajah tak bersahabat ibu Kevin. Sikap tak acuh saat Jelita datang dan duduk diam sambil menunggu ibu Kevin bertanya atau berbasa-basi. 

Jelita menatap rumah mewah di depannya. Rumah yang terletak di salah satu perumahan elit Pondok Indah. Gadis itu mendekat, kini ia berdiri tepat di depan rumah Kevin. Di depan pagar tinggi berwarna hitam, yang memperlihatkan keadaan di sekeliling rumah itu.

Jelita melihat tak ada penjaga di pos satpam, tak seperti biasanya selalu ada satu orang penjaga yang siap membuka gerbang dan bertanya saat ada yang datang. Rumah dua tingkat yang dulunya tampak mewah itu kini terlihat tak terawat. Daun-daun berguguran berserakan bahkan hingga teras. Pintu rumah tertutup, tirai dan gorden di dalamnya juga. Tak ada tanda-tanda ada penghuni di sana. Padahal saat Jelita bertamu, rumah itu ramai dengan asisten, juga baby sitter keponakan Kevin yang memilih tinggal di Indonesia, ada ibu Kevin yang masih teringat jelas tatapannya untuk Jelita.

Kini rumah tampak kosong. Tak ada siapa pun di sana untuk Jelita bertanya mereka ke mana. 

Kevin tak ada.

Di depan rumah itu, Jelita berpikir keras tentang ke mana perginya Kevin dan sekeluarga. Mereka bahkan tak meninggalkan jejak agar Jelita bisa mencarinya. Ya, rencana yang mungkin sudah diatur dengan sempurna. Kevin meninggalkannya di hari akad, lalu pergi entah ke mana. Kevin yang mengikuti kehendak keluarga, atau Kevin dalang dibalik semua kekacauan hati Jelita.

Jelita menggenggam besi pagar di hadapannya. Ia merasa dipecundangi Kevin berkali-kali. Tak lagi tinggal di rumah itu, tak lagi bekerja di kantor tanpa kabar. Kebencian dalam hati Jelita bertambah berkali lipat untuknya. 

Ah, Jelita baru ingat bahwa Kevin punya keluarga di Singapura, mungkin ia telah menetap di sana. Meninggalkan Jelita dengan seribu tanda tanya.

Kenapa tidak jujur dari awal?

Kenapa harus menyiksanya dengan kekecewaan paling dalam?

Ke mana ia harus melampiaskan rasa kecewanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status