“Masih kerja di sana?” Arjuna bertanya di sela menyantap sarapannya.
Pagi ini, Jelita memasak nasi goreng telur ceplok, sarapan simpel yang bisa dengan mudah ia masak. Sepasang suami istri itu makan bersama, di meja yang sama. Namun, beberapa menit berlalu, hanya denting suara sendok yang beradu dengan piring yang terdengar. Tak ada yang berbicara. Jelita masih tetap dengan sikap dinginnya. Sikap yang masih tak menerima Arjuna dalam hidupnya.
Meskipun Jelita tak menerima Arjuna sepenuhnya, tapi gadis itu melakukan tanggung jawabnya sebagai seorang istri, kecuali menyerahkan hati dan dirinya untuk suami dadakan yang menikahinya beberapa waktu lalu. Itu komitmen Jelita dengan dirinya sendiri.
“Aku resign.” Singkat. Sejak menikah dengan Arjuna, Jelita seolah banyak kehilangan kata. Gadis itu sangat irit bicara, atau memang hanya malas bicara dengan Arjuna.
Arjuna mengangguk mengerti. Ada sedikit kelegaan dalam hatinya, karena dengan resign, itu artinya Jelita tak lagi bertemu dengan Kevin. Itu bukan hanya menyakiti hati Arjuna, tapi juga hari-hari Jelita selanjutnya. Bayangkan setiap hari melihat wajah yang melukis luka di hati, itu manyakitkan.
“Biar aku yang kerja, kamu di rumah aja.” Arjuna mencoba berkata dengan hati-hati. Ia meletakkan piringnya ke samping, tanda ia telah selesai sarapan.
Arjuna berkata seperti itu bukan hanya sekadar imajinasi atau omong kosong. Lelaki itu bisa menjamin hidup Jelita bahkan jika mereka mempunyai anak. Gaji Arjuna cukup untuk membiayai keluarga kecil mereka. Jadi, apa salahnya jika Arjuna meminta Jelita untuk tinggal di rumah saja?
Mendengar kalimat yang seolah perintah itu, Jelita mencebik tak suka.
“Aku akan tetap bekerja.” Jelita menatap tajam ke arah suaminya. Tak ingin Arjuna mengatur hidupnya. Mengatur pilihan yang akan ia ambil untuk masa depannya.
“Kau hadir kembali di hidupku saja membuatku ingin gila. Jadi, jangan menambah beban dengan mengatur hidupku.” Jelita bangkit dari duduknya. Ia mengangkat piring kotor sekaligus dengan milik Arjuna, lalu dibawanya ke dapur.
Arjuna terdiam sesaat, mencoba menikmati sakit yang perlahan mengalir di hatinya. Mengapa hati Jelita terlalu keras untuk menerimanya. Lelaki itu menengadah ke atas karena ada yang terasa hangat di matanya. Dalam hatinya yang terluka, Arjuna menghajatkan pinta agar pemilik segala hati melembutkan hati sang istri.
Dari awal, Arjuna telah salah di mata Jelita. Ia akan bertambah salah setiap kali berbicara dan sedikit memberi aturan untuknya. Mungkin dunia sedang menertawakannya sekarang, menertawakan lelaki lemah yang tak bisa menaklukkan perempuan.
Arjuna merasa hatinya teriris berkali-kali. Sialnya itu di tempat yang sama, tempat yang menyimpan nama Jelita, tapi gadis itu malah membuangnya.
Setelah menghela napas kasar, Arjuna mengambil tas dan jas dokter yang tersampir di kursi meja makan. Lelaki itu melangkahkan kakinya ke luar, lalu pergi ke rumah sakit. Di sana ia bisa sedikit menghibur diri sendiri. Kadang dengan senyuman para pesakit yang merasa tubuhnya lebih sehat, kadang dari anak-anak kecil yang kembali tertawa riang saat kondisinya berangsur membaik.
*
Sejak hari itu, seluruh kantor heboh dengan berita Jelita yang gagal menikah dengan Kevin. Namun, mereka tak memperkeruh suasana hati Jelita yang sedang sedih dan kecewa. Mereka yang awalnya dekat dengan Kevin, sangat menyayangkan sikap pengecut lelaki itu.
“Kalau tau gini, biar aku aja dulu yang ngelamar kamu, Lita.” Salah satu dari rekan kantor mencoba mencairkan suasana dengan candaan receh itu.
“Istrinya mau dibawa ke mana?” sahut yang lain. Mereka duduk di meja kerja masing-masing. Saling melempar candaan untuk menghibur Jelita yang saat itu sedang membereskan beberapa barangnya.
“Masih satu. Sisa tiga lagi.”
“Aish, rakus amat. Aku aja satu pun belum punya. Jangan diembat semua, entar aku gak kebagian.”
Jelita sedikit tersenyum mendengar ocehan teman-temannya.
Setelah puas menangis ditemani Sarah di taman dekat perkantoran, Jelita kembali masuk ke gedung perkantoran. Meskipun sebenarnya ia terlalu malu untuk masuk ke gedung bertingkat itu. Malu karena mungkin akan menjadi bahan tertawaan rekan-rekannya. Nyatanya tidak, mereka lebih suka memperlihatkan empati ketimbang menambah tekanan Jelita yang sedang berjuang dengan patah hati.
Jelita mengambil surat pengunduran diri dari dalam tasnya, ia akan memberikan untuk atasan. Gadis itu sudah sangat yakin untuk resign dari tempat kerjanya.
“Kamu yakin?” Sarah kembali bertanya. Pasalnya mencari pekerjaan di zaman sekarang sangat susah, dan Jelita pasti tahu itu.
Jelita mengangguk pasti. “Sudah tak ada yang tersisa di sini. Setiap sudutnya hanya akan menambah luka. Bayangan Kevin ada di mana-mana, dan itu mengganggu.”
Jelita benci bahkan jika harus berhadapan dengan bayang Kevin, lelaki yang telah menginjak harga dirinya. Keadaan tak lagi sama. Dulu, Jelita membayangi wajah itu dalam rasa cinta yang penuh. Sekarang telah berbeda, yang ada hanya benci dan ingin menangis saja saat bayangan itu kembali memenuhi memorinya.
*
“Selama kamu gak masuk kerja, Kevin juga gak masuk. Gak ada yang bertanya sih, karena kalian emang ambil cuti untuk menikah.” Sarah bercerita saat kemarin duduk di taman bersama Jelita.
“Tolong kasih tau aku kalau Kevin masuk ya,” pinta Jelita sebelum ia dan Sarah kembali ke gedung perkantoran.
Sarah mengangguk. Namun, hingga hari ini Jelita tak mendapat kabar apa pun tentang Kevin. Lelaki itu benar-benar hilang ditelan bumi entah di belahan mana. Saat itu, Jelita bahkan menyuruh Sarah untuk memeriksa akun sosial media Kevin, karena Jelita mengira mungkin hanya dirinya yang diblokir. Ternyata Kevin sudah menghapus semua akunnya.
Kevin seolah pergi dan menghilangkan jejak dari kehidupan Jelita, dan semua hal yang berkaitan dengan kantor. Tak ada yang tahu keberadaan Kevin. Menurut teman-teman kantor, terakhir mereka berkomunikasi saat Kevin mengundang ke acara pernikahannya.
Sialan!
Jelita turun dari taksi yang ditumpanginya. Kevin tak ada kabar di kantor, sebab itu Jelita mencoba mencari tahu di rumahnya. Rumah yang pernah Jelita datangi sekali, saat Kevin mengenalkannya pada sang ibu.
Kembali teringat wajah tak bersahabat ibu Kevin. Sikap tak acuh saat Jelita datang dan duduk diam sambil menunggu ibu Kevin bertanya atau berbasa-basi.
Jelita menatap rumah mewah di depannya. Rumah yang terletak di salah satu perumahan elit Pondok Indah. Gadis itu mendekat, kini ia berdiri tepat di depan rumah Kevin. Di depan pagar tinggi berwarna hitam, yang memperlihatkan keadaan di sekeliling rumah itu.
Jelita melihat tak ada penjaga di pos satpam, tak seperti biasanya selalu ada satu orang penjaga yang siap membuka gerbang dan bertanya saat ada yang datang. Rumah dua tingkat yang dulunya tampak mewah itu kini terlihat tak terawat. Daun-daun berguguran berserakan bahkan hingga teras. Pintu rumah tertutup, tirai dan gorden di dalamnya juga. Tak ada tanda-tanda ada penghuni di sana. Padahal saat Jelita bertamu, rumah itu ramai dengan asisten, juga baby sitter keponakan Kevin yang memilih tinggal di Indonesia, ada ibu Kevin yang masih teringat jelas tatapannya untuk Jelita.
Kini rumah tampak kosong. Tak ada siapa pun di sana untuk Jelita bertanya mereka ke mana.
Kevin tak ada.
Di depan rumah itu, Jelita berpikir keras tentang ke mana perginya Kevin dan sekeluarga. Mereka bahkan tak meninggalkan jejak agar Jelita bisa mencarinya. Ya, rencana yang mungkin sudah diatur dengan sempurna. Kevin meninggalkannya di hari akad, lalu pergi entah ke mana. Kevin yang mengikuti kehendak keluarga, atau Kevin dalang dibalik semua kekacauan hati Jelita.
Jelita menggenggam besi pagar di hadapannya. Ia merasa dipecundangi Kevin berkali-kali. Tak lagi tinggal di rumah itu, tak lagi bekerja di kantor tanpa kabar. Kebencian dalam hati Jelita bertambah berkali lipat untuknya.
Ah, Jelita baru ingat bahwa Kevin punya keluarga di Singapura, mungkin ia telah menetap di sana. Meninggalkan Jelita dengan seribu tanda tanya.
Kenapa tidak jujur dari awal?
Kenapa harus menyiksanya dengan kekecewaan paling dalam?
Ke mana ia harus melampiaskan rasa kecewanya?
Jelita membuka pintu taksi yang ia tumpangi. Hari ini entah kantor ke berapa yang ia datangi untuk memohon sebuah posisi pekerjaan. Sejak memutuskan resign dari kantor lama, Jelita pergi dari satu perusahaan ke perusahaan lain untuk menyambung nasib karirnya. Ah, jika Jelita mau, ia bisa menempati posisi yang tinggi di perusahaan ayahnya bekerja. Sebagai pemegang saham di salah satu perusahaan besar, tentu mudah untuk menjembatani Jelita menjadi bagian dari perusahaan itu. Namun, Jelita tak ingin seperti itu. Gadis itu lebih suka menikmati proses ia membangun karir, daripada harus bergantung di bawah ketiak orang tuanya. “Papa bisa memberikan posisi penting untuk kamu di sana, Lita.” Saat itu Jelita baru selesai wisuda. Raihan menawarkan untuk bekerja di kantornya. Namun, Jelita menolak. Ia sudah punya kantor tujuan tempat ia bekerja. Ya, satu kantor dengan Kevin, agar keduanya bisa saling bertemu setiap saat. Matahari terlihat menantang di bawah langit ibu kota, Jelita ingin pulang
Arjuna menutup pintu ruangan kerjanya. Setelah menunaikan isya di ruang kerja, ia bergegas ingin pulang. Meskipun Jelita tak menunggunya di rumah, tapi Arjuna takut meninggalkan gadis itu seorang diri. Arjuna selalu pulang untuk gadis yang tak pernah menunggunya. Lelaki dengan setelan jas putih itu memakai ransel di punggungnya, ia berjalan dari koridor rumah sakit, melewati ruang demi ruang untuk sampai di pintu keluar. Baru saja Arjuna berjalan beberapa langkah, ia mendengar sirine ambulans yang terdengar di luar sana. Arjuna mengambil ponselnya kembali dari saku jas, setelah mengirimkan pesan untuk Jelita. Pesan bahwa ia akan segera pulang. Ya, hanya untuk memberitahu, meski yang diberitahu tak pernah mengharapkannya. Lalu, kembali mengetikkan sebuah pesan bahwa ada keadaan mendadak di rumah sakit. Arjuna mengerti sinyal darurat saat tiba-tiba sebuah ranjang pasien didorong dengan cepat. Beberapa tetes darah mengotori lantai putih yang ia pijak. Arjuna berpikir bahwa itu adalah k
Part 12 * Pagi. Jelita terbangun dengan aktivitas yang sama. Menyiapkan sarapan, makan dalam keheningan, membersihkan rumah, dan kembali ke kamar jika bosan menonton. Tak ada yang spesial dalam hidupnya, bahkan pernikahan yang bagi orang lain terasa indah, baginya adalah masalah. Ya, semua berawal dari masalah, berlanjut berlarut dalam suasana yang tak diinginkan. Satu-satunya orang yang menyebabkan penderitaan panjang itu adalah Kevin. Lusanya, setelah hari itu Jelita mendatangi rumah Kevin, gadis itu datang lagi untuk memastikan. Hingga beberapa kali ia berdiri di depan pagar kokoh itu, kenyataannya tetap sama. Tak ada tanda-tanda orang muncul di dalam sana. Kevin pergi, menghilang dari luka dan masalah yang ia tinggalkan. Untuk sebagian orang, mencari alasan kenapa seseorang pergi, tidaklah penting. Berbeda dengan Jelita, ia harus tahu kenapa, ia harus mencari tahu alasannya. Jelita menghela napas pelan. Terlalu bosan menjalani hidup yang sama sekali tak punya warna, hanya ada
Bab 13*Jelita berdiri di depan pintu rumah. Ia bahkan terlalu malas melangkahkan kaki untuk masuk ke sana, terlalu malas untuk melihat wajah yang sama sekali tak ingin dilihatnya. Gadis itu selalu sibuk berperang dengan perasaan sendiri, perasaan enggan menerima, tapi nyatanya takdir memaksa. Memaksa tinggal dalam satu atap, memaksa bersama dalam tak bersamaan. Jelita membuka pintu, ia disambut dengan suasana gelap dari dalam rumah. Gadis itu pulang saat senja sedang merah-merahnya, terjebak macet hampir satu jam, hingga saat ia menghidupkan ponselnya, angka tujuh terpampang jelas di sana. Ia merasa lega, karena Arjuna mungkin saja belum pulang, dan ia bisa langsung tidur tanpa melihat wajah itu. Atau ia bisa mengurung diri di kamar sampai mata ia bisa terpejam. Jelita menekan sakelar di dinding untuk menghidupkan penerangan rumah. Lalu, gadis itu sedikit berjingkat terkejut saat melihat Arjuna muncul dari balik tirai dapur, perlahan ia berjalan mendekat di mana Jelita kini masih
Bab 14 *Arjuna masih duduk di balik pintu kamar Jelita. Ia masih mendengar Isak tangis di dalam sana. Malam ini ia harus mengatakan semuanya, didengarkan atau tidak, ia harus akhiri kesimpulan salah dari Jelita. “Maaf untuk semua kekecewaan yang pernah kulakukan. Salahku karena menuruti keinginan Aldi, bukan yang memulai mengajaknya balapan. Dia yang punya ide gila itu.” Arjuna berkata pelan, ia tahu di dalam sana Jelita pasti bisa mendengarnya. Kembali ingatan itu hadir di memori Arjuna. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar ulang. Seandainya ia tahu Aldi pergi dengan cara seperti itu, ia tak akan bersikap egois dan kekanakan, bahkan berniat pun tak akan. “Kamu suka sama Jelita, kan?” Pertanyaan Aldi sukses membuat Arjuna terdiam. Pertanyaan yang ingin ia sembunyikan jawabannya, tapi kadang ada sisi hati ingin memiliki gadis itu seutuhnya. Ada saat di mana hatinya ingin berteriak dan mengatakan bahwa benar ia menyukai Jelita. Sejak dulu, dari dulu. Lalu,
Part 15 * Aldi mengangguk pada Arjuna, menandakan mereka akan memulai balapan di jalanan hitam yang tak berujung. Arjuna membalas anggukan, lalu menutup kaca helmnya sebelum menancap gas menyusul Aldi yang telah lebih dulu menarik gas. Dua anak lelaki berseragam putih abu-abu itu melintasi jalan raya, saling beradu kecepatan hingga beberapa kali mendapat cacian dari para pengguna jalan. Keduanya sama keras kepala, sama tak peduli pada umpatan yang dilontarkan mereka yang merasa terganggu. Untung saja, Aldi tak memilih jalan utama, karena tahu mungkin satu menit saja mereka akan berakhir di kantor polisi. Dua motor itu saling mengejar, kadang Aldi di depan, kadang Arjuna berhasil mengalahkan jarak. Kini, Aldi yang tertinggal di belakang, membuatnya kembali manancap gas secara brutal hingga bisa menyeimbangi posisi Arjuna. “Aku yang lebih dulu sampai di finish.” Aldi berkata setengah berteriak, saat ia bisa menyajarkan posisinya di samping Arjuna. Sementara Arjuna menoleh, ia bisa
Bab 16*Pagi. Jelita membuka mata karena terdengar adzan subuh berkumandang dari ponselnya. Gadis itu membalikkan badan dan melihat Arjuna di sampingnya. Suami yang masih dengan setengah hati bisa ia terima dalam kehidupannya. Entah. Dari sudut mana pun Jelita melihat, Arjuna hanya terlihat seperti temannya. Teman masa kecil yang kebaikannya tak ada yang bisa menggantikan. Hanya saja waktu pernah mencekat mereka pada kesalahpahaman, hingga yang tersisa hanya benci dan kerenggangan.Gadis itu memejamkan mata, terlalu sesak memikirkan kondisi hati dan perasaannya. Lalu, mata itu kembali terbuka bersamaan dengan helaan napas lelahnya. Kembali ingatan itu hadir di memorinya. Melintasi slide demi slide seperti sebuah drama yang diputar.Jelita membuka pintu kamar, setelah duduk di bawahnya beberapa menit tenggelam dalam tangisan. Tempat yang beberapa saat lalu menjadi sandaran untuknya dan Arjuna. Tempat yang beberapa saat lalu ia tumpahkan tangisnya atas masa lalu yang ia rasa tak adil
Bab 17*Jelita pulang saat hari mulai gelap. Ia membuka pintu yang ternyata tidak dikunci, itu berarti Arjuna sudah berada di rumah. Gadis itu masuk ke dalam rumah dengan kondisi terang, karena lampu telah dihidupkan. Ia melangkah ke kamar, ingin mengganti pakaian dan membersihkan diri, juga menunaikan kewajiban shalat magrib yang hanya tersisa beberapa menit saja.Usai melakukan itu, Jelita melangkah ke kamar Arjuna. Ia ingin mengajak suaminya untuk makan malam. Karena Jelita tak memasak, ia telah memesan go food untuk santapan malam ini.“Lita, ayo pindah kamar,” pinta Arjuna saat itu.Sejenak Jelita bergeming, rasa aneh itu kembali hadir dalam hati gadis itu. Ia masih hanya bisa melihat Arjuna sebagai teman. Jelita seolah terjebak di masa remaja mereka, di mana ia dan Arjuna memiliki hubungan yang sangat dekat sebagai teman.Jelita menghela napas, mencoba membuang semua pikiran tak jelas itu. Ia telah berjanji pada diri sendiri untuk melawan arus. Melawan semua perasaan tak bisa