Share

8. Mencari Kevin

“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar.

“Mental pengecut!”

Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja. 

Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan.

“Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, tetap saja rasa kecewa terlalu dalam, sulit untuk dilupakan dalam waktu hitungan hari.

Jelita hanya ingin penjelasan, ia ingin alasan atas satu kata dari pesan Kevin, yang membuat dadanya sesak hingga kini. Namun, tak ada balasan. Kevin meninggalkannya seolah tak pernah ada alasan untuk rasa di hati itu yang mungkin berubah. Lelaki itu seolah lupa pada kenangan yang selama ini mewarnai hubungan mereka. Semua ia simpulkan hanya dalam sekejap, hanya dalam satu kata. Putus.

Berulang kali Jelita coba bertanya.

“Kenapa?”

“Apa salahku?”

“Kenapa mendadak?”

“Kamu becanda, kan?” Jelita mengirimkan pesan suara pada nomor Kevin. Saat itu ia berharap Kevin datang tepat waktu. Atau Kevin datang saat Arjuna belum menyambut tangan penghulu untuk ijab kabul. Namun ternyata lelaki itu benar-benar tak hadir, bahkan ketika saksi mengatakan kalimat sah.

“Ini terlampau sakit. Kenapa terlalu lambat memberitahuku bahwa kau pengecut. Kenapa tak dari dulu?”

Voice note. Pesan. Tak ada balasan untuk sekadar menjelaskan. Pesan-pesan yang tak kunjung centang biru meskipun berulang kali Jelita memeriksanya, hingga esok harinya, hingga kemarin setelah ia dan Arjuna telah sah menjadi suami istri. Kevin tak ada. Ia seperti hilang ditelan bumi. Bahkan nomor ponsel dan seluruh sosial medianya tak lagi aktif.

Jelita masih menangis di bangku taman. Sesekali ia menatap langit yang terlihat cerah, mencoba mendamaikan hati dengan alam yang indah. Mencoba percaya bahwa tak selamanya langit akan mendung. Nyatanya di bawah langit cerah pun ia masih menangis.

Gadis yang memakai celana kulot itu menoleh saat sebuah tangan menyodorkan tisu untuknya. Jelita tersenyum miring, lalu menatap Sarah dengan mata yang kembali berkaca-kaca.

“Mau nangis berapa lama?” tanya Sarah yang langsung duduk di samping Jelita.

“Mungkin hingga aku bisa mendengar alasannya, atau hingga aku bisa mematahkan rahangnya.” Jelita menjawab. Mencoba memperlihatkan sisi kuatnya. Namun, sayangnya Sarah tak bisa melihat itu. Yang terlihat hanya pendar luka dari mata itu.

Keduanya terdiam. Sarah mencoba memberi jeda agar Jelita puas menangis dan merasa tenang setelahnya. Sedangkan Jelita masih terisak meski berkali-kali menghapus air di pipi itu dengan tisu yang diberikan Sarah.

“Apa yang terjadi?” tanya Sarah saat dirasa Jelita mulai tenang. Ia tak ingin membuka luka yang mungkin tengah menganga di hati Jelita, tapi sebagai seorang teman ia merasa harus tahu agar bisa memberikan solusi atas kesedihannya. Mereka sudah terbiasa untuk itu, saling berbagi cerita dan bahagia.

“Kamu lagi marahan sama Kevin?” Kembali Sarah bertanya karena tak mendapat jawaban dari Jelita.

Saat Jelita berlari beberapa menit yang lalu, Sarah menebak bahwa Jelita dan Kevin sedang bertengkar. Namun, Sarah tak yakin karena mereka baru saja menikah. Seharusnya bukan bertengkar, tapi menyatukan rasa dalam bulan-bulan awal pernikahan.

Jelita menghela napas berat. Ia mulai menceritakan segalanya. “Aku gak jadi nikah sama Kevin.”

Sarah membelalakkan mata mendengar pengakuan Jelita. Ia sama sekali tak menyangka akhir dari cinta dua temannya. Ya, Jelita dan Kevin layak disebut sebagai pasangan serasi dan baik dengan semua orang. Bahkan mereka sering membuat iri jomlo-jomlo di kantor karena kedekatannya.

“Pengecut itu kabur pas hari akad.” Jelita menatap Sarah yang tampak terkejut di sampingnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali hampir tumpah.

“Bagaimana bisa?” tanya Sarah tak percaya.

Jelita mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ia membuka aplikasi hijau itu dan menunjukkan pesan terakhir dari Kevin. Pesan dari nomor yang kini telah tak terlihat profilnya. Beberapa hari setelah menikah, Jelita kembali memeriksa ponselnya, dan semua akses Kevin diblokir.

Saat itu, untuk kedua kali Jelita membanting ponselnya. Ia tahu, Kevin harusnya tak lagi bertakhta di hatinya. Namun, tahu rasanya ditinggalkan saat hari pernikahan? Itu rasanya seperti menyerahkan harga diri, lalu diinjak dengan sengaja. Rasanya seperti dibawa ke angkasa, tapi nyatanya ditenggelamkan ke dasar samudera, ditolak tak ada harganya.

Kembali Sarah membelalakkan mata membaca isi pesan singkat yang terlalu menyakitkan untuk Jelita. Gadis seusia Jelita itu menggelengkan kepala sambil meringis, tak menyangka Kevin yang berwajah manis ternyata punya jiwa pengecut seperti itu.

Sarah memejamkan mata, bisa ia rasakan bagaimana sakit dan kecewa Jelita atas perbuatan lelaki itu. Mungkin lelaki itu pikir pernikahan hal gampang yang bisa diputuskan dan memberi keputusan dalam waktu singkat. Kevin, damn you!

“Tamunya gimana? Papa mama kamu gimana? Gak kebayang malunya mereka dengan para tamu.”

Sarah bangun dari duduknya. Ia berdiri menghadap Jelita sambil tangan itu dikepalkan. Mungkin jika Kevin di sana, bisa dipastikan wajah tampannya akan hancur. Perempuan memang tak sekuat lelaki, tapi mereka bisa diluar kendali ketika berhubungan dengan hati.

“Aku nikah sama Arjuna.”

Sarah masih fokus mendengar Jelita, ia merasa sedikit lega, karena setidaknya Jelita selamat dari tuduhan dan rasa malu yang dititipkan Kevin.

“Syukurlah ...,” ucap Sarah tampak lega.

“Tapi aku tak mencintainya, Sarah.” Jelita menatap wajah Sarah dengan air mata yang kembali mengalir di pipi. Ia merasa sesak setiap kali melihat Arjuna. Entah Arjuna atau Kevin, dua lelaki itu sama-sama menyisakan luka di hati Jelita.

Sarah menatap Jelita dengan raut wajah bingung. “Hei, bukankah cinta perlu untuk terbiasa?”

Jelita menggeleng. Itu tak semudah yang Sarah pikirkan. 

“Mungkin sampai kapan pun aku tak bisa mencintainya.” Jelita menunduk. Raut wajahnya terlalu hancur untuk kembali menatap Sarah.

Orang bilang, tak ada mantan teman dalam hidup. Namun, dalam kehidupan Jelita, ada, Arjuna orangnya. Mereka pernah dekat sebagai teman masa kecil hingga SMA, lalu sekarang seolah tak ada kenangan indah yang tersisa. Hanya ada luka dan kecewa yang kerap datang mengunjungi Jelita. Kadang saat mengingat Aldi, kadang saat mengingat Arjuna sendiri. Kenapa lelaki itu tega menyisakan kecewa terdalam di hatinya?

“Dia pembunuh, bagiku Arjuna pembunuh.” Jelita terisak. 

Sementara Sarah menarik kepala Jelita, lalu disandarkan di bahunya. Berharap ia bisa mentransfer sedikit kekuatan untuk temannya.

Sejenak keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kadang hanya isakan Jelita yang menengahi. Atau suara bising kendaraan yang sedikit meriuhkan suasana. Sarah membelai kepala Jelita yang ditutupi jilbab itu. 

“Lalu, kenapa kamu menerima Arjuna?” tanya Sarah.

Jelita mengangkat kepalanya dari bahu nyaman temannya. Tatapannya kosong menatap gadis di depannya. Ia juga sering mempertanyakan pada diri sendiri, kenapa ia menerima Arjuna. 

Bukan! Tapi, tepatnya kenapa hanya Arjuna yang bersedia menikahinya.

“Karena hanya Arjuna yang bersedia. Kenapa harus dia, Sarah? Kenapa bukan satu saja,” Jelita membentuk satu Jari untuk menegaskan pada Sarah. Menegaskan satu orang saja yang mau menikahinya selain Arjuna. “Orang baik yang tak kukenali sebelumnya. Kenapa?” Jelita terus mencerca dengan pertanyaan. Pertanyaan yang seharusnya hanya bisa ditanyakan pada pemilik takdir, bukan Sarah.

“Kenapa, Sarah? Kenapa dari sekian banyak lelaki di dunia ini, hanya Arjuna yang menawarkan pertolongan. Segitu tak layakkah aku dinikahi? Hingga Kevin tiba-tiba pergi, dan Arjuna mengambil alih semuanya.” Suara Jelita timbul tenggelam, karena isak tangisnya lebih banyak terdengar. Gadis itu bahkan berkali-kali menunduk, manatap rumput hijau di kakinya berpijak. Ia coba kendalikan diri, tapi amarah dalam hatinya tak terkendali.

“Atau ini memang rencana Arjuna dari awal? Katakan padaku, Sarah.”

Kadang terbesit dugaan seperti itu untuk Arjuna. Ya, kepercayaan yang telah retak kerap kali menimbulkan keraguan di lain kali.

“Kamu terlalu lelah, Lita.” Sarah kembali membelai kepala Jelita, menyandarkan di bahunya. Membiarkan gadis itu menumpahkan tangisnya entah berapa lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status