“Kevin sialan!” umpat Jelita sambil menyeka air matanya dengan gerakan kasar.
“Mental pengecut!”
Gadis itu berlari menuju pintu lift, lalu memasukinya ketika pintu terbuka. Jelita menekan tombol satu untuk menuju ke lantai bawah. Ia ingin menghindari kejaran Sarah, ia ingin pulang atau ke mana saja.
Sampai di lantai lobi, Jelita segera keluar dan menuju taman yang terletak di samping gedung perkantoran. Ia duduk di bangku besi panjang di taman itu. Tak ada orang di sana, hanya Jelita yang mulai menangis sendirian. Di sana ia tumpahkan semua rasa sakitnya. Ia menangisi rasa kecewa yang belum sembuh, dan itu semua karena ulah Kevin. Gadis itu tak menyangka Kevin yang selalu bersikap baik, tega meninggalkannya di hari pernikahan.
“Dia lelaki pengecut, Lita. Kamu harus bersyukur Allah menunjukkan dia yang sebenarnya sebelum kalian menikah. Seandainya nanti sudah menikah baru ketahuan, itu akan lebih sulit.” Ibu Jelita mengungkapkan kalimat yang menenangkan putrinya saat itu. Namun, tetap saja rasa kecewa terlalu dalam, sulit untuk dilupakan dalam waktu hitungan hari.
Jelita hanya ingin penjelasan, ia ingin alasan atas satu kata dari pesan Kevin, yang membuat dadanya sesak hingga kini. Namun, tak ada balasan. Kevin meninggalkannya seolah tak pernah ada alasan untuk rasa di hati itu yang mungkin berubah. Lelaki itu seolah lupa pada kenangan yang selama ini mewarnai hubungan mereka. Semua ia simpulkan hanya dalam sekejap, hanya dalam satu kata. Putus.
Berulang kali Jelita coba bertanya.
“Kenapa?”
“Apa salahku?”
“Kenapa mendadak?”
“Kamu becanda, kan?” Jelita mengirimkan pesan suara pada nomor Kevin. Saat itu ia berharap Kevin datang tepat waktu. Atau Kevin datang saat Arjuna belum menyambut tangan penghulu untuk ijab kabul. Namun ternyata lelaki itu benar-benar tak hadir, bahkan ketika saksi mengatakan kalimat sah.
“Ini terlampau sakit. Kenapa terlalu lambat memberitahuku bahwa kau pengecut. Kenapa tak dari dulu?”
Voice note. Pesan. Tak ada balasan untuk sekadar menjelaskan. Pesan-pesan yang tak kunjung centang biru meskipun berulang kali Jelita memeriksanya, hingga esok harinya, hingga kemarin setelah ia dan Arjuna telah sah menjadi suami istri. Kevin tak ada. Ia seperti hilang ditelan bumi. Bahkan nomor ponsel dan seluruh sosial medianya tak lagi aktif.
Jelita masih menangis di bangku taman. Sesekali ia menatap langit yang terlihat cerah, mencoba mendamaikan hati dengan alam yang indah. Mencoba percaya bahwa tak selamanya langit akan mendung. Nyatanya di bawah langit cerah pun ia masih menangis.
Gadis yang memakai celana kulot itu menoleh saat sebuah tangan menyodorkan tisu untuknya. Jelita tersenyum miring, lalu menatap Sarah dengan mata yang kembali berkaca-kaca.
“Mau nangis berapa lama?” tanya Sarah yang langsung duduk di samping Jelita.
“Mungkin hingga aku bisa mendengar alasannya, atau hingga aku bisa mematahkan rahangnya.” Jelita menjawab. Mencoba memperlihatkan sisi kuatnya. Namun, sayangnya Sarah tak bisa melihat itu. Yang terlihat hanya pendar luka dari mata itu.
Keduanya terdiam. Sarah mencoba memberi jeda agar Jelita puas menangis dan merasa tenang setelahnya. Sedangkan Jelita masih terisak meski berkali-kali menghapus air di pipi itu dengan tisu yang diberikan Sarah.
“Apa yang terjadi?” tanya Sarah saat dirasa Jelita mulai tenang. Ia tak ingin membuka luka yang mungkin tengah menganga di hati Jelita, tapi sebagai seorang teman ia merasa harus tahu agar bisa memberikan solusi atas kesedihannya. Mereka sudah terbiasa untuk itu, saling berbagi cerita dan bahagia.
“Kamu lagi marahan sama Kevin?” Kembali Sarah bertanya karena tak mendapat jawaban dari Jelita.
Saat Jelita berlari beberapa menit yang lalu, Sarah menebak bahwa Jelita dan Kevin sedang bertengkar. Namun, Sarah tak yakin karena mereka baru saja menikah. Seharusnya bukan bertengkar, tapi menyatukan rasa dalam bulan-bulan awal pernikahan.
Jelita menghela napas berat. Ia mulai menceritakan segalanya. “Aku gak jadi nikah sama Kevin.”
Sarah membelalakkan mata mendengar pengakuan Jelita. Ia sama sekali tak menyangka akhir dari cinta dua temannya. Ya, Jelita dan Kevin layak disebut sebagai pasangan serasi dan baik dengan semua orang. Bahkan mereka sering membuat iri jomlo-jomlo di kantor karena kedekatannya.
“Pengecut itu kabur pas hari akad.” Jelita menatap Sarah yang tampak terkejut di sampingnya. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan air mata yang kembali hampir tumpah.
“Bagaimana bisa?” tanya Sarah tak percaya.
Jelita mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya. Ia membuka aplikasi hijau itu dan menunjukkan pesan terakhir dari Kevin. Pesan dari nomor yang kini telah tak terlihat profilnya. Beberapa hari setelah menikah, Jelita kembali memeriksa ponselnya, dan semua akses Kevin diblokir.
Saat itu, untuk kedua kali Jelita membanting ponselnya. Ia tahu, Kevin harusnya tak lagi bertakhta di hatinya. Namun, tahu rasanya ditinggalkan saat hari pernikahan? Itu rasanya seperti menyerahkan harga diri, lalu diinjak dengan sengaja. Rasanya seperti dibawa ke angkasa, tapi nyatanya ditenggelamkan ke dasar samudera, ditolak tak ada harganya.
Kembali Sarah membelalakkan mata membaca isi pesan singkat yang terlalu menyakitkan untuk Jelita. Gadis seusia Jelita itu menggelengkan kepala sambil meringis, tak menyangka Kevin yang berwajah manis ternyata punya jiwa pengecut seperti itu.
Sarah memejamkan mata, bisa ia rasakan bagaimana sakit dan kecewa Jelita atas perbuatan lelaki itu. Mungkin lelaki itu pikir pernikahan hal gampang yang bisa diputuskan dan memberi keputusan dalam waktu singkat. Kevin, damn you!
“Tamunya gimana? Papa mama kamu gimana? Gak kebayang malunya mereka dengan para tamu.”
Sarah bangun dari duduknya. Ia berdiri menghadap Jelita sambil tangan itu dikepalkan. Mungkin jika Kevin di sana, bisa dipastikan wajah tampannya akan hancur. Perempuan memang tak sekuat lelaki, tapi mereka bisa diluar kendali ketika berhubungan dengan hati.
“Aku nikah sama Arjuna.”
Sarah masih fokus mendengar Jelita, ia merasa sedikit lega, karena setidaknya Jelita selamat dari tuduhan dan rasa malu yang dititipkan Kevin.
“Syukurlah ...,” ucap Sarah tampak lega.
“Tapi aku tak mencintainya, Sarah.” Jelita menatap wajah Sarah dengan air mata yang kembali mengalir di pipi. Ia merasa sesak setiap kali melihat Arjuna. Entah Arjuna atau Kevin, dua lelaki itu sama-sama menyisakan luka di hati Jelita.
Sarah menatap Jelita dengan raut wajah bingung. “Hei, bukankah cinta perlu untuk terbiasa?”
Jelita menggeleng. Itu tak semudah yang Sarah pikirkan.
“Mungkin sampai kapan pun aku tak bisa mencintainya.” Jelita menunduk. Raut wajahnya terlalu hancur untuk kembali menatap Sarah.
Orang bilang, tak ada mantan teman dalam hidup. Namun, dalam kehidupan Jelita, ada, Arjuna orangnya. Mereka pernah dekat sebagai teman masa kecil hingga SMA, lalu sekarang seolah tak ada kenangan indah yang tersisa. Hanya ada luka dan kecewa yang kerap datang mengunjungi Jelita. Kadang saat mengingat Aldi, kadang saat mengingat Arjuna sendiri. Kenapa lelaki itu tega menyisakan kecewa terdalam di hatinya?
“Dia pembunuh, bagiku Arjuna pembunuh.” Jelita terisak.
Sementara Sarah menarik kepala Jelita, lalu disandarkan di bahunya. Berharap ia bisa mentransfer sedikit kekuatan untuk temannya.
Sejenak keduanya terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kadang hanya isakan Jelita yang menengahi. Atau suara bising kendaraan yang sedikit meriuhkan suasana. Sarah membelai kepala Jelita yang ditutupi jilbab itu.
“Lalu, kenapa kamu menerima Arjuna?” tanya Sarah.
Jelita mengangkat kepalanya dari bahu nyaman temannya. Tatapannya kosong menatap gadis di depannya. Ia juga sering mempertanyakan pada diri sendiri, kenapa ia menerima Arjuna.
Bukan! Tapi, tepatnya kenapa hanya Arjuna yang bersedia menikahinya.
“Karena hanya Arjuna yang bersedia. Kenapa harus dia, Sarah? Kenapa bukan satu saja,” Jelita membentuk satu Jari untuk menegaskan pada Sarah. Menegaskan satu orang saja yang mau menikahinya selain Arjuna. “Orang baik yang tak kukenali sebelumnya. Kenapa?” Jelita terus mencerca dengan pertanyaan. Pertanyaan yang seharusnya hanya bisa ditanyakan pada pemilik takdir, bukan Sarah.
“Kenapa, Sarah? Kenapa dari sekian banyak lelaki di dunia ini, hanya Arjuna yang menawarkan pertolongan. Segitu tak layakkah aku dinikahi? Hingga Kevin tiba-tiba pergi, dan Arjuna mengambil alih semuanya.” Suara Jelita timbul tenggelam, karena isak tangisnya lebih banyak terdengar. Gadis itu bahkan berkali-kali menunduk, manatap rumput hijau di kakinya berpijak. Ia coba kendalikan diri, tapi amarah dalam hatinya tak terkendali.
“Atau ini memang rencana Arjuna dari awal? Katakan padaku, Sarah.”
Kadang terbesit dugaan seperti itu untuk Arjuna. Ya, kepercayaan yang telah retak kerap kali menimbulkan keraguan di lain kali.
“Kamu terlalu lelah, Lita.” Sarah kembali membelai kepala Jelita, menyandarkan di bahunya. Membiarkan gadis itu menumpahkan tangisnya entah berapa lama.
Bab 32*Matahari pagi di kota Makassar terlihat begitu cerah. Jelita memicingkan mata saat ia terjaga karena sinar mentari yang menembus melalui kaca jendela. Ia berpikir, pasti Arjuna yang menyibak gordennya. Namun, saat Jelita membalikkan badan, gadis itu tak menemukan sang suami di sampingnya Setelah disidang oleh kedua orangtuanya, mereka tidur di rumah Jelita. “Kami diam, bukan berarti nggak tau apa yang terjadi dalam pernikahan kalian. Dingin bahkan mungkin beku dalam hatimu, Jelita. Papa harap, esok lusa jika badai itu datang lagi, tak ada yang diam, Arjuna. Juga tak ada yang berlari dari masalah. Papa harap kalian bisa saling menyelesaikan, bukan saling menghindar.” Raihan menatap Jelita dan Arjuna bergantian. Bukan hanya setelah menikah dengan Jelita, tapi sebelumnya Arjuna bahkan sudah menganggap Raihan seperti ayah kandungnya. Tepatnya setelah lelaki itu kehilangan seorang figur ayah dalam hidupnya. Keduanya hanya mengangguk. Lalu, mereka sama-sama mengusap air mata di
Bab 31*Hari yang cerah setelah semalaman diguyur hujan. Makassar terlihat elegan dengan segala bangunan mewah. Perpaduan pantai, sunrise dan udara segar menjadi hal yang paling menyegarkan mata.Malam itu Arjuna dan Jelita beristirahat dengan tenang. Meskipun Arjuna sendiri tak tahu apa yang akan dibicarakan ibunya dan orangtua Jelita esok. Ia hanya merasa hubungan keduanya mulai membaik, tapi tetap saja ia tak sanggup membayangkan wajah terluka kedua orangtuanya.“Mama pasti kecewa banget ya.” Jelita berucap lirih. Wajahnya tertunduk tak sanggup menatap Arjuna saat ia mengatakan hari ini akan ke rumah ibunya.“Kita jelaskan semua, Lita. Kita hadapi sama-sama.” Arjuna menggenggam tangan sang istri, membelainya lembut lalu sejenak mengecupnya. Lelaki itu tersenyum saat melihat Jelita tak menolak seperti biasanya. Tak juga memperlihatkan raut wajah tak suka saat ia melakukan itu.Ah, Arjuna bahkan mendengar kemarin ia mengucapkan tentang cinta di telinganya. Arjuna sudah bangun dari l
Bab 30*“Mama?” Arjuna dan Jelita saling menatap saat melihat ibunya duduk di sofa menghadap jendela. Duduk seolah memang telah menunggu keduanya sejak tadi.“Mama kenapa di sini?” tanya Arjuna pada sang ibu yang masih duduk dengan wajah dinginnya.“Mama yang harusnya tanya, Juna. Kalian pulang nggak bilang-bilang? Terus ngapain hujan-hujanan kayak gini.”Melisa bangkit dari duduknya, meninggalkan pemandangan gerimis yang masih terlihat di luar sana. Perempuan itu berdiri menghadap anak dan menantunya. Perempuan paruh baya yang terlihat masih cantik itu menunjuk keadaan dua anaknya itu. Keadaan yang menyadarkan mereka bahwa saat ini mereka tak bisa berbohong. Tak bisa mengelak atas apa yang selama ini telah terjadi.Semua pekerja di hotel, Melisa tak bisa menjamin kepercayaannya. Namun, selama mereka bekerja, mereka tak pernah curang dana selalu mengikuti perintah dari perempuan itu.“Bu, saya mendengar dari resepsionis kalau Arjuna sedang di hotel. Mereka bilang, istrinya juga di s
Bab 29*Jam di ponsel telah menunjukkan pukul sembilan malam. Arjuna menatap bubur yang telah dingin itu terletak di atas nakas. Bubur yang sama sekali tak ingin disentuhnya. Setelah Jelita pergi, Arjuna hanya duduk di pinggir ranjang, tepatnya setelah menunaikan shalat isya. Lelaki itu bangkit, mengitari seluruh ruangan, lalu duduk lagi di sisi ranjang. Ia merasa sedang tak baik-baik saja.Pikirannya terlalu kalut saat ini. Entah, ia pun tak menyangka melakukan itu pada Jelita. Dan, setelah gadis itu tak lagi di hadapannya, bukan kelegaan yang ia dapatkan, melainkan resah dan perasaan galau memenuhi hatinya.Arjuna mengusap wajahnya dengan kasar. Di luar hujan turun begitu lebatnya. Semesta yang tadi baik-baik saja dengan cerahnya senja, tiba-tiba menurunkan hujan yang membasahi bumi, mendung secara tiba-tiba menggelayut di atas langit.Arjuna menyerah pada egonya, pada kemarahannya. Ia tak bisa memperkirakan ke mana Jelita akan pergi setelah diusirnya. Lelaki itu coba menghubungi
Bab 28*Sambil menunggu Arjuna siuman. Jelita membereskan apa saja yang berantakan di kamar itu. Perjalanan jauh sebenarnya membuat tubuh itu lelah dan ingin terbaring sebentar saja. Namun, ia tak ingin jika saat ia bangun nanti Arjuna pergi lagi darinya. Ia tak ingin lelaki itu menghindarinya lagi. Jelita harus menuntaskan semua kesalahannya sekarang.Jam telah menunjukkan pukul lima sore. Jelita melangkahkan kakinya menuju sisi jendela. Ia menyibak gorden jendela kaca besar itu agar bisa menikmati keindahan dan seni alam yang dipuja setiap orang. Gadis itu duduk di sofa kecil di dekat jendela itu. Ia tersenyum perih melihat warna merah jingga yang menyilaukan matanya. Indah. Namun, keindahan apa pun tak menghibur hatinya jika ia belum mendapatkan maaf dari Arjuna.Jelita tersenyum sinis seorang diri, mengingat kenangan yang pernah ia lalu bersama Arjuna dan Aldi di pantai itu. Terlalu banyak kenangan manis yang memaksanya untuk mengingat hal itu. Namun, apa pun itu, ia tetap tak bi
Bab 27*Pukul delapan pagi, Jelita sudah tiba di Bandara Soekarno Hatta. Ia tak ingin ketinggalan pesawat yang akan mengudara ke Makassar. Sesuai dengan jadwal keberangkatan yang tertera, Jelita akan terbang pukul sembilan pagi. Satu jam sebelum itu, Jelita sudah ada di Bandara. Gadis itu benar-benar tak ingin ketinggalan. Andai saja semalam masih tersisa tiket yang akan berangkat ke sana, mungkin pagi ini Jelita sudah bertemu dengan Arjuna.Jelita memang tak tahu pasti di mana Arjuna sekarang. Namun, Jelita yakin Arjuna kemungkinan besar berada di Makassar. Tempat di mana ia selalu berlari jika pikirannya sedang kacau. Tempat lelaki itu menginap berhari-hari jika ia sedang tak suka pulang ke rumah karena ada ayahnya.Malam di mana Arjuna pergi dan tak menemani tidurnya, Jelita meringkuk sendirian dalam gelap. Meneguk rasa sakit dalam pekatnya malam tanpa cahaya, karena cahaya itu sendiri sebenarnya adalah Arjuna. Lelaki itu yang membuatnya nyaman dan tak merasa takut saat di samping