Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba.
Di mana Gibran dan Gaby melangsungkan pernikahan mereka.
Hari yang seharusnya menjadi sebuah hari sakral dan paling membahagiakan bagi semua orang. Terlebih bagi sepasang mempelai, kini justru menjadi hari terburuk bagi seorang Gaby Aulia Fahrani.
Gaby yang masih tidak percaya jika kenyataannya mempermainkan hidupnya dengan sangat kejam. Bahkan di saat Gaby yang awalnya sudah memiliki angan-angan indah akan kebersamaan dan kebahagiaan yang akan dia rasakan dalam membina biduk rumah tangganya bersama Gibran kini justru berbanding terbalik menjadi kubangan neraka yang bisa saja menelan Gaby masuk kapan saja. Gaby benar-benar harus waspada dan tidak boleh lengah sedikitpun apalagi menyerah pada hatinya.
Tidak, tidak boleh!
Acara resepsi hari itu dihadiri oleh berbagai macam tamu yang berasal dari kalangan atas.
Tak hanya keluarga dekat, kerabat, rekan bisnis serta jajaran para pejabat elit yang berkecimpung di dunia politik bersama Ayah Gibran. Tapi juga seluruh masyarakat Indonesia ikut menyaksikan siaran langsung pernikahan mewah dan megah itu. Seolah mereka semua ikut merasakan kebahagiaan sang kedua calon mempelai yang terlihat begitu sempurna di atas altar megah bertahtakan emas dan perak.
Usai acara Ijab dan Kabul, Gibran dan Gaby langsung berganti kostum untuk disandingkan di atas pelaminan.
Gibran terlihat menunggu Gaby di depan pintu masuk menuju pelaminan mereka.
Laki-laki berumur 27 tahun itu terlihat begitu mempesona dengan setelan jas hitam berdasi kupu-kupu.
Setelan jas adalah setelan yang telah menjadi pakaian hari-hari Gibran yang kini menjabat sebagai seorang CEO di Company Grup, salah satu perusahaan milik sang Ayah. Dengan setelan jas model apapun yang melekat di tubuhnya, Gibran terlihat jauh lebih macho dan maskulin. Kakinya tampak jenjang dengan bahu dan dadanya yang semakin terlihat bidang dan seksi. Belum lagi kesan mapan dan elegan yang begitu melekat di dirinya karena menyandang nama "Sastro Sudiro" di belakang namanya, sungguh membuatnya begitu sempurna di depan khalayak umum.
Wajahnya yang tegas dengan rahang yang begitu kokoh dan di tumbuhi janggut-janggut halus yang selalu tertata rapi, membuat dirinya semakin di gilai lawan jenis. Meski, dalam hal cinta, Gibran termasuk dalam kategori awam dan belum memiliki banyak pengalaman dengan wanita.
Dia memang pernah menjalin hubungan dengan beberapa wanita sebelumnya, tapi hubungan itu selalu berakhir tragis, saat wanita-wanita itu mengetahui kondisi fisik Gibran yang sebenarnya.
Ya, tak jauh beda dengan apa yang dilakukan Gaby.
Gaby yang pada awalnya begitu antusias menyambut rencana perjodohannya dengan Gibran. Gaby yang pada awalnya mengatakan dia tulus mencintai Gibran dan berjanji akan menjadi seorang istri yang baik untuk Gibran.
Hebatnya Gaby, dia mengatakan semua janji palsunya itu dihadapan seluruh keluarga besar Gibran.
Perfect!
Sampai akhirnya, Gibran pun memutuskan untuk mengatakan perihal penyakit yang telah dideritanya sejak kecil pada Gaby.
Gaby pun meradang.
Bahkan dia terkesan jijik jika harus berdekatan dengan Gibran.
Faktanya, semua hal indah yang selama ini selalu diimpi-impikan oleh seorang Gibran Adhitama Sastro Sudiro, menikah dengan seorang wanita yang dia cintai dan juga mencintainya, mampu menerima keadaannya tanpa memandang rendah dirinya hanya karena sebuah penyakit yang dideritanya, semua itu sepertinya hanya menjadi mimpi bagi Gibran.
Bisa hidup dalam sebuah biduk rumah tangga yang sempurna bersama orang terkasih dan berbahagia hingga hari tua, semua itu hanya ada di dalam cerita dongeng yang dulu seringkali di ceritakan oleh Almarhumah Mamanya.
Entah apakah kisah dongeng Gibran akan menjelma menjadi kenyataan?
Semua itu masih menjadi misteri baginya.
Gibran tidak butuh wanita yang sempurna, tapi cukup dengan wanita yang mampu membuat hatinya tergetar karena kebaikan dan ketulusannya. Pun seorang wanita yang tak hanya melihat dia dari sisi kelebihannya saja, tapi juga mampu menerima kekurangannya.
Seperti Mimi.
Lagi dan lagi, Gibran teringat pada sosok itu. Gibran mendesah lemah, setiap kali dirinya mengingat Mimi. Perasaan bersalahnya kian menjadi-jadi.
Sebab, apa yang terjadi menimpa Mimi, semua itu adalah salahnya.
Kedatangan Gaby membuat Gibran tersadar dari lamunannya. Untuk beberapa detik, Gibran terpana.
Gaby begitu cantik dalam balutan gaun putih pengantinnya. Dia mirip seperti seorang putri di cerita-cerita dongeng.
"Nggak usah baper deh!" bisik Gaby saat Gibran terus menatapnya, bahkan sepertinya laki-laki itu sampai tidak berkedip.
Dasar! Laki-laki! Gerutu Gaby dalam hati.
Lagi dan lagi Gaby terus berusaha sekuat tenaga membohongi perasaannya sendiri. Bahkan saat degup jantungnya kian berdentum-dentum hebat seperti ledakan kembang api, tepat saat ke dua bola matanya menatap lekat sosok Gibran yang menunggunya di pintu masuk gedung resepsi.
Gibran memang tampan.
Sangat tampan, bahkan!
Belum lagi aroma tubuh laki-laki itu. Nyaris membuat Gaby jatuh lebih dalam pada ketidakberdayaannya menghadapi kecanggungan serta debaran-debaran tak biasa yang memang selalu dia rasakan setiap kali dirinya berada di dekat Gibran. Sayangnya sampai detik ini, Gaby masih belum bisa menerima kenyataan bahwa laki-laki bernama Gibran yang kini tengah resmi menjadi suaminya itu adalah seorang laki-laki lemah yang menderita sebuah penyakit kronis sejak kecil.
So' logikanya, siapa sih cewek yang mau melewati sisa hidupnya dengan seorang cowok yang bahkan menjaga dirinya sendiri saja dia tidak becus?
Dan Gaby benci pada semua lelaki lemah.
Kini, Gibran dan Gaby berjalan menuju pelaminan sambil terus menebar senyum palsu mereka. Sebelah tangan Gaby melingkar di lengan Gibran. Mereka berjalan dengan penuh keanggunan.
Beribu pasang mata di dalam gedung resepsi megah itu berlomba menatap ke arah mereka. Tatapan sarat kekaguman dengan rona bahagia yang sukses membuat hati siapapun iri karena melihat keserasian dan keromantisan ke dua pasangan sempurna itu.
Pernikahan yang di adakan live di beberapa stasiun TV swasta itu berhasil menjadi trending topik dan sorotan utama dalam satu hari penuh.
Saking mewahnya. Saking megahnya. Dan saking serasinya mereka berdua.
Dan itulah pendapat publik.
Tanpa mereka tahu, bahwa semua yang nampak indah di luar, tidak menjamin semuanya memang benar-benar indah seperti yang mereka pikirkan di dalam benak mereka.
Bukankah, buah kedondong yang terlihat mulus diluar, nyatanya dipenuhi dengan duri di dalam buahnya.
Sama halnya seperti pernikahan Gibran dan Gaby.
*****
Gedung resepsi tempat pernikahan Gibran dan Gaby letaknya berdampingan dengan sebuah hotel bintang lima tempat dimana sang pengantin baru akan melewati malam pertama mereka.
Acara sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Aula resepsi terlihat mulai sepi setelah satu persatu tamu undangan bertolak untuk pulang. Menyisakan keluarga inti yang masih setia berkumpul di sana.
Mereka asik mengobrol sambil sesekali menikmati hidangan yang tersedia.
"Rencananya, sehabis menikah nanti, Gibran akan tetap tinggal di Bandung atau bagaimana?" tanya seorang wanita tua berambut pirang yang kini berdiri berdampingan dengan Gaby. Dia adalah Tessa, Tante Gaby. Tatapan Tessa tertuju pada sepasang suami istri dihadapannya, yang tak lain dan tak bukan adalah orang tua Gibran.
"Semuanya saya serahkan pada Gibran, dia mau tinggal dimana saja, itu terserah dia, karena dia sudah menjadi kepala rumah tangga sekarang," jawab Hardin, Papah Gibran.
"Asal jangan tinggal di hutan aja ya, Pah... Kasian tar Kak Gaby, lumutan! Hahahaha," sambung Dinzia, salah satu adik Gibran.
Hardin tertawa hambar dan sempat memelototi Dinzia. "Dinzia ini kalau bicara memang suka sembarangan, di maklumi saja, ya Gab,"
Gibran tertawa kecil. Dia mengedipkan sebelah matanya ke arah Dinzia yang langsung memasang senyum congkak.
Lain halnya dengan Gaby yang jadi cemberut dengan tatapan sinis ke arah Dinzia. Dasar Abg labil! Biang kerok! Masih sempet-sempetnya dia ngeledek gue! Maki Gaby dalam hati. Meski setelahnya dia harus kembali tersenyum kepada sang Ayah mertua.
Sudah sejak perkenalan pertama antara Gaby dengan Dinzia, bibit-bibit permusuhan sudah terpupuk dalam benak ke dua wanita itu. Yang satunya paling tidak suka jika ada orang lain yang merendahkan dirinya, sementara yang satu paling hobi ngatain plus ngeledek orang yang tidak dia suka. Jadilah, Gaby dan Dinzia seperti kucing dan anjing jika mereka hanya berdua, atau berada di depan Gibran. Tapi jika dihadapan keluarga seperti ini, Gaby yang merasa lebih dewasa harus terpaksa mengalah pada Dinzia. Bocah tengil itu pintar memutar balikan fakta hingga menjadikan Gaby pada posisi yang selalu dianggap bersalah.
Nggak apa-apa Gab, orang waras emang udah seharusnya mengalah? Pikir Gaby lagi. Dia sungguh kesal melihat cara Dinzia menatapnya. Rasanya ingin sekali dia menjitak kepala bocah ingusan itu sampe benjol! Biar dia tau rasa!
"Gibran sih rencananya mau tinggal di Jakarta, Tante, Om. Kebetulan Company Grup di Jakarta sedang mengalami masalah akhir-akhir ini, mungkin dengan keberadaan Gibran di sana akan lebih membantu. Gibran akan tinggal di rumah peninggalan Omah dan Opah, di Rafless," jawab Gibran kemudian. Dia tersenyum penuh kharismatik. Sebelah tangannya melingkar di balik punggung Gaby. Padahal dia tahu, Gaby terus berusaha menghindari sentuhannya sepanjang resepsi tadi. Namun bagi Gibran, Gaby itu memang perlu dikerjai sekali-sekali biar dia tahu rasa!
Om dan Tante Gaby mengangguk setuju. Mereka pun melanjutkan percakapan dengan membahas hal lain.
Sampai akhirnya, waktu pun merangkak naik dan semakin larut.
Setelah puas berfoto dan berkumpul dengan keluarga besar. Akhirnya tibalah saatnya para keluarga inti mohon pamit untuk kembali pulang menuju kediaman masing-masing.
Dan memberi waktu pada pengantin baru untuk menikmati malam pertama mereka.
Hari ini adalah hari ulang tahun Jasmine yang ke enam.Dan seperti janjinya pada Jasmine sebelumnya, bahwa Gaby akan memberikan Jasmine seorang adik laki-laki.Itulah sebabnya, usai acara perayaan ulang tahun Jasmine yang diadakan dikediaman pribadi Gibran dan Gaby di Jakarta, malam harinya keluarga kecil nan berbahagia itu berangkat menuju sebuah panti asuhan yang lokasinya berada di pusat kota.Sebuah panti asuhan yang memang cukup terkenal bernama Panti Asuhan Pelangi. Anak-anak yatim piatu di panti asuhan pelangi yang tidak beruntung karena tak mendapatkan kesempatan di adopsi oleh sebuah keluarga akan dibina dan dididik hingga anak tersebut memiliki keahlian dan mampu hidup serba mandiri. Nanti, jika mereka sudah besar, pihak panti akan membebaskan mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka masing-masing.Total anak yatim piatu ples anak jalanan yang berada di bawah naungan panti asuhan pelangi menc
"Indah banget ya, Gib," ujar Gaby dengan tangannya yang terus dia lipat dan semakin rapat mendekap tubuhnya sendiri. Matanya tertuju pada charles bridge, deretan jembatan romantis yang sangat terkenal di Praha.Saat itu mereka sedang berada di balkon kamar hotel mereka sambil menikmati waktu senja berakhir.Langit yang tampak gelap temaram menjadi latar prague castle dan Sungai Vlatava yang tampak seperti lukisan di dalam dongeng. Keindahan yang menghipnotis banyak pasang mata yang tampak puas memanjakan mata mereka. Charles Bridge memang indah dan layak dikunjungi saat sepi atau ramai terlebih lagi di malam hari. Pasti akan sangat romantis dan menyenangkan. Pikir Gaby membatin.Romantisme perjalanan honeymoonnya kali bersama Gibran pasca mereka kembali resmi menjadi sepasang suami istri terasa begitu berbeda dengan apa yang mereka alami saat honeymoon di Seoul waktu itu.Gaby dan Gibran puas berkeliling Eropa menikmati hari-hari bulan madu mereka yang ma
Sebuah mobil sport hitam tampak melaju kencang, meliuk-liuk di sepanjang jalanan ibukota yang ramai lancar.Gibran mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan penuh ketika dia meyakini bahwa suara yang didengarnya di telepon tadi adalah suara Gaby, mantan istrinya.Itu artinya, model cantik bernama Gabriella itu kemungkinan adalah Gaby.Detik itu juga Gibran langsung meminta Edward untuk menggantikannya pergi keluar kota. Hal itu jelas membuat Edwar mencak-mencak.Sesampainya di kantor, Gibran melangkah panjang menuju ruangannya, lelaki itu tertegun sesaat ketika sepasang netranya kini beradu dengan sepasang netra boneka milik seorang wanita cantik yang sangat-sangat cantik di dalam ruangan itu.Wanita itu mengenakan pakaian sopan berupa dress hitam sebatas lutut yang dipadupadankan dengan blazzer merah menyala."Mamah, mana Papah? Katanya kita mau ketemu Papah?" Tanya seor
Tiga Tahun Kemudian...Hari ini, Gibran dan Edward baru saja mengadakan rapat penting dengan klien asal luar negeri. Rapat ditutup setelah keduanya sepakat untuk menjalin hubungan kerjasama dalam kurun waktu lima tahun ke depan.Gibran baru saja keluar dari ruangan rapat hendak memasuki ruang kerjanya ketika seseorang tiba-tiba menghadang langkahnya di kantor."Pak, ini nama-nama model yang masuk daftar kriteria untuk iklan produk terbaru kita, salah satu di antara mereka adalah model asal luar negeri,"Gibran menerima berkas itu dari sekretarisnya dan masuk ke dalam ruangannya setelah mengucapkan terima kasih.Dia melempar berkas di tangannya ke atas meja kerjanya, mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya dan menjatuhkan tubuh di sofa panjang yang terletak di pojok ruangan. Lelaki itu tampak memejamkan mata."Jiah
Setelah mengganti pakaian dan merapikan penampilannya di salah satu pom bensin yang dia lewati dalam perjalanan kembali menuju rumah sakit, Gibran tidak bisa fokus menyetir.Tangan lelaki itu terus gemetaran.Pikirannya bercabang dan penuh.Tatapannya berkabut akibat air mata yang membendung di kelopak matanya.Bayangan terakhir saat dirinya berhasil melenyapkan nyawa seseorang kian membuatnya frustasi. Di satu sisi dia merasa bersalah, namun di sisi lain dia juga tak akan membiarkan Mirella terus menerus mengganggu ketentraman hidup rumah tangganya bersama Gaby.Lantas, apakah yang dilakukannya ini benar?Apakah ini adil untuk Mirella?Apakah ini adil untuk Gaby?Mungkinkah dirinya mampu melewati hari-harinya di depan setelah apa yang dia lakukan malam tadi di atas bukit itu?Setelah dirinya membunuh Mirella...
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kendaraan Gibran pun berhenti di sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk manusia.Sebuah tempat yang sepi, gelap dan dingin.Dulu sekali, Gibran pernah menyambangi lokasi ini bersama kawan-kawan satu kantornya untuk sekedar refreshing di tengah nuansa alam liar dengan berkemah dan mendaki.Jika dulu dirinya mendaki dengan peralatan lengkap, bedanya, kini dia mendaki tanpa membawa apapun selain senter di tangan dan pakaian yang melekat di tubuhnya.Lelaki itu terus menggenggam tangan Mirella di sepanjang jalan setapak nan licin yang mereka lalui."Mau apa kita ke sini, Ib? Aku takut," ucap Mirella di tengah perjalanan saat Medan yang harus mereka daki kian curam."Aku sudah bilangkan, kamu harus bersembunyi. Aku tidak mau polisi-polisi itu menangkapmu," ujar Gibran yang susah payah melangkah.Rintik gerimis yang masih setia mengguyur membuat tubuh keduanya sama-sama lepek."