Ceklek.
Gibran membuka pintu kamar pengantinnya bersama Gaby di salah satu kamar VIP sebuah hotel berbintang lima.
Sebuah pemandangan menakjubkan terpampang jelas dihadapan mereka.
Kedua bola mata Gibran sontak melebar melihat kondisi kamar pengantin yang telah didekor sedemikian rupa. Di mana begitu banyak kelopak bunga mawar berwarna putih dan merah berserakan di sepanjang lantai kamar. Balon-balon berbentuk hati yang bergelantungan bebas di udara. Menempel pada setiap sudut ruangan. Lilin-lilin kecil yang terkunci rapat di dalam sebuah lampion yang ditebar acak di segala penjuru ruangan serta ranjang tempat tidur yang juga dihiasi bunga-bunga mawar, tumpukan kado, serta beberapa foto-foto pra wedding mereka berdua yang dipajang di atas sandaran ranjang tempat tidur.
Ditambah keadaan lampu dan pencahayaan yang redup temaram, membuat kondisi kamar terkesan sangat romantis.
Tanpa sadar, sudut bibir Gibran tertarik ke atas. Semua hal ini bahkan terlihat lucu baginya. Tak sama sekali istimewa. Percuma!
"Eh, bantuin gue jalan dong! Kok ditinggal sih?" panggil Gaby saat dilihatnya Gibran berjalan dengan santainya ke dalam kamar tanpa memperdulikan dirinya yang kesusahan.
Bergerak menggunakan high heels yang begitu tinggi serta gaun pengantin yang berat dan panjang, membuat Gaby begitu kewalahan untuk melangkah. Jelas dia membutuhkan pertolongan.
"Nggak peka banget sih lo jadi cowok!" makinya lagi, bahkan saat Gibran sudah menuntun dirinya.
Gibran mencibir.
Seandainya dia tak memiliki hati nurani, ingin rasanya dia berpura-pura untuk tidak mendengar teriakan Gaby tadi.
"Gue mau mandi duluan! Bantuin lepasin gaun pengantin gue! Cepet! Gatel nih!" perintah Gaby lagi seolah-olah Gibran adalah babunya. Wanita cantik itu berdiri memunggungi Gibran yang baru saja melepas jas dan dasi kupu-kupunya.
"Serius nih, lo mau gue telanjangin?" tanya Gibran penuh antusias. Sekedar meledek Gaby yang seenak jidat memberikan perintah ini-itu pada Gibran sejak tadi. Bahkan disepanjang acara resepsi pernikahan mereka, Gaby terus saja merengek pada Gibran meminta tolong ini-itu dengan wajah sok polosnya. Gaby benar-benar artu akting. Dia sangat pintar mengelabui orang lain dengan sikap sok manjanya pada Gibran dihadapan orang banyak yang seolah-olah memberi kesan bahwa hubungan mereka sangat-sangat romantis dan patut membuat banyak hati iri.
Gaby terdiam sesaat. Bulu kuduknya meremang saat jari jemari Gibran terasa merayap dibalik punggungnya.
Gawat, sepertinya dia sudah salah bicara!
"Eh! Ja-jangan! Biar gue aja yang buka sendiri di kamar mandi!" larang Gaby setelahnya, dia berubah pikiran. Sadar dari kekeliruannya yang justru telah memancing hal-hal yang seharusnya dia hindari.
"Nanggung kali! Sekalian aja sih!"
Sreeett!
Gibran yang jahil malah menarik retsleting itu secara paksa hingga ke bawah dan menampakkan punggung mulus Gaby dengan sempurna dihadapannya.
"Eh, Lo gila ya?" bentak Gaby panik saat Gibran benar-benar menarik habis retsleting gaun pengantinnya hingga gaun itu kini hampir melorot seandainya Gaby tidak sigap menahan dengan ke dua tangannya. Sebab gaun yang Gaby kenakan saat itu bermodel kemben. Bisa gaswat jadinya kalau gaun ini benar-benar melorot di depan Gibran! Pekik Gaby dalam hati.
Gibran tertawa geli dibalik punggung Gaby. Dia senang sekali menggoda Gaby dan mendapati wanita itu sewot sendirian sambil memasuki kamar mandi.
Sambil menunggu Gaby mandi, Gibran kembali melepas pakaiannya satu persatu. Hingga menyisakan sepotong celana boxer hitam yang melekat ditubuhnya atletisnya.
Dia berjalan ke arah kamar mandi.
Tok! Tok! Tok!
"Jangan lama-lama mandinya, gue juga pengen mandi!" teriak Gibran sambil mengetuk pintu kamar mandi.
"Bawel deh! Baru juga gue berendem!" sahut suara dari dalam sana yang terdengar kesal.
"Bath tubnya gede nggak?" tanya Gibran lagi.
"Liat aja sendiri nanti," sahut Gaby semakin sewot.
"Ya, kali gitu muat buat berdua!" Gibran kembali tertawa. Pasti mukanya Gaby sekarang udah kayak kepiting rebus. Pikirnya membatin.
"Enak aja lo ngomong! Mimpi lo mandi berdua sama gue!" sahut Gaby lagi masih dengan nada super judes.
Gibran kembali mencibir hingga bibir bawahnya maju ke depan.
"Yaelahhhh... Udah tau kali gue punya lo! Sama aja kok kayak punya cewek-cewek laen! Nothing special!"
"Lo ngomong sekali lagi, gue jahit mulut lo ya, Gibran!" ancam Gaby dengan emosinya yang semakin memuncak.
Gibran tertawa lebar tapi dengan suaranya yang sengaja dia pelankan.
"Malem ini, gue mau pergi. Lo tidur sendiri di sini nggak apa-apakan?" tanya Gibran menyampaikan maksudnya. Dia hanya mencoba untuk menghindar. Gibran takut dirinya tak bisa menguasai diri malam ini, jadi ada baiknya jika dia tidur di tempat lain.
"Pergi kemana?" tanya Gaby masih di dalam kamar mandi. Perasaannya tiba-tiba merana. Ya kali, malam pertama gue di suruh tidur sendirian? Pikirnya membatin.
"Kenapa tanya? Emang penting lo tau gue pergi kemana?"
Gaby mencebik. Gibran resek banget sih!
"Nggak juga sih! Terserah lo aja! Tapi lo harus tanda tanganin perjanjian pernikahan kita yang udah gue buat, baru lo bisa pergi,"
"Oke," jawab Gibran apa adanya. Dia berjalan dan duduk di sisi ranjang tempat tidur.
Dia membuka layar ponselnya. Dan mendapati satu pesan masuk dari orang yang dia tunggu-tunggu seharian ini.
Pesan masuk
Edward
Bos, gue udah dapet info tentang cewek yang lo sebut Mimi itu, Bos.
Bisa ketemu kapan?
Gibran pun membalasnya dengan cepat.
Pesan dikirim
Gibran
Malam ini, di tempat biasa.
Hari ini adalah hari ulang tahun Jasmine yang ke enam.Dan seperti janjinya pada Jasmine sebelumnya, bahwa Gaby akan memberikan Jasmine seorang adik laki-laki.Itulah sebabnya, usai acara perayaan ulang tahun Jasmine yang diadakan dikediaman pribadi Gibran dan Gaby di Jakarta, malam harinya keluarga kecil nan berbahagia itu berangkat menuju sebuah panti asuhan yang lokasinya berada di pusat kota.Sebuah panti asuhan yang memang cukup terkenal bernama Panti Asuhan Pelangi. Anak-anak yatim piatu di panti asuhan pelangi yang tidak beruntung karena tak mendapatkan kesempatan di adopsi oleh sebuah keluarga akan dibina dan dididik hingga anak tersebut memiliki keahlian dan mampu hidup serba mandiri. Nanti, jika mereka sudah besar, pihak panti akan membebaskan mereka untuk menentukan pilihan hidup mereka masing-masing.Total anak yatim piatu ples anak jalanan yang berada di bawah naungan panti asuhan pelangi menc
"Indah banget ya, Gib," ujar Gaby dengan tangannya yang terus dia lipat dan semakin rapat mendekap tubuhnya sendiri. Matanya tertuju pada charles bridge, deretan jembatan romantis yang sangat terkenal di Praha.Saat itu mereka sedang berada di balkon kamar hotel mereka sambil menikmati waktu senja berakhir.Langit yang tampak gelap temaram menjadi latar prague castle dan Sungai Vlatava yang tampak seperti lukisan di dalam dongeng. Keindahan yang menghipnotis banyak pasang mata yang tampak puas memanjakan mata mereka. Charles Bridge memang indah dan layak dikunjungi saat sepi atau ramai terlebih lagi di malam hari. Pasti akan sangat romantis dan menyenangkan. Pikir Gaby membatin.Romantisme perjalanan honeymoonnya kali bersama Gibran pasca mereka kembali resmi menjadi sepasang suami istri terasa begitu berbeda dengan apa yang mereka alami saat honeymoon di Seoul waktu itu.Gaby dan Gibran puas berkeliling Eropa menikmati hari-hari bulan madu mereka yang ma
Sebuah mobil sport hitam tampak melaju kencang, meliuk-liuk di sepanjang jalanan ibukota yang ramai lancar.Gibran mengemudikan kendaraannya dengan kecepatan penuh ketika dia meyakini bahwa suara yang didengarnya di telepon tadi adalah suara Gaby, mantan istrinya.Itu artinya, model cantik bernama Gabriella itu kemungkinan adalah Gaby.Detik itu juga Gibran langsung meminta Edward untuk menggantikannya pergi keluar kota. Hal itu jelas membuat Edwar mencak-mencak.Sesampainya di kantor, Gibran melangkah panjang menuju ruangannya, lelaki itu tertegun sesaat ketika sepasang netranya kini beradu dengan sepasang netra boneka milik seorang wanita cantik yang sangat-sangat cantik di dalam ruangan itu.Wanita itu mengenakan pakaian sopan berupa dress hitam sebatas lutut yang dipadupadankan dengan blazzer merah menyala."Mamah, mana Papah? Katanya kita mau ketemu Papah?" Tanya seor
Tiga Tahun Kemudian...Hari ini, Gibran dan Edward baru saja mengadakan rapat penting dengan klien asal luar negeri. Rapat ditutup setelah keduanya sepakat untuk menjalin hubungan kerjasama dalam kurun waktu lima tahun ke depan.Gibran baru saja keluar dari ruangan rapat hendak memasuki ruang kerjanya ketika seseorang tiba-tiba menghadang langkahnya di kantor."Pak, ini nama-nama model yang masuk daftar kriteria untuk iklan produk terbaru kita, salah satu di antara mereka adalah model asal luar negeri,"Gibran menerima berkas itu dari sekretarisnya dan masuk ke dalam ruangannya setelah mengucapkan terima kasih.Dia melempar berkas di tangannya ke atas meja kerjanya, mengendurkan dasi yang terasa mencekik lehernya dan menjatuhkan tubuh di sofa panjang yang terletak di pojok ruangan. Lelaki itu tampak memejamkan mata."Jiah
Setelah mengganti pakaian dan merapikan penampilannya di salah satu pom bensin yang dia lewati dalam perjalanan kembali menuju rumah sakit, Gibran tidak bisa fokus menyetir.Tangan lelaki itu terus gemetaran.Pikirannya bercabang dan penuh.Tatapannya berkabut akibat air mata yang membendung di kelopak matanya.Bayangan terakhir saat dirinya berhasil melenyapkan nyawa seseorang kian membuatnya frustasi. Di satu sisi dia merasa bersalah, namun di sisi lain dia juga tak akan membiarkan Mirella terus menerus mengganggu ketentraman hidup rumah tangganya bersama Gaby.Lantas, apakah yang dilakukannya ini benar?Apakah ini adil untuk Mirella?Apakah ini adil untuk Gaby?Mungkinkah dirinya mampu melewati hari-harinya di depan setelah apa yang dia lakukan malam tadi di atas bukit itu?Setelah dirinya membunuh Mirella...
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kendaraan Gibran pun berhenti di sebuah tempat yang jauh dari hiruk pikuk manusia.Sebuah tempat yang sepi, gelap dan dingin.Dulu sekali, Gibran pernah menyambangi lokasi ini bersama kawan-kawan satu kantornya untuk sekedar refreshing di tengah nuansa alam liar dengan berkemah dan mendaki.Jika dulu dirinya mendaki dengan peralatan lengkap, bedanya, kini dia mendaki tanpa membawa apapun selain senter di tangan dan pakaian yang melekat di tubuhnya.Lelaki itu terus menggenggam tangan Mirella di sepanjang jalan setapak nan licin yang mereka lalui."Mau apa kita ke sini, Ib? Aku takut," ucap Mirella di tengah perjalanan saat Medan yang harus mereka daki kian curam."Aku sudah bilangkan, kamu harus bersembunyi. Aku tidak mau polisi-polisi itu menangkapmu," ujar Gibran yang susah payah melangkah.Rintik gerimis yang masih setia mengguyur membuat tubuh keduanya sama-sama lepek."