"Sabtu depan? Memangnya kita mau ke mana Bunda?" tanya Edward, penasaran."Temani Bunda, arisan." "Apa? Arisan? Ketemu ibu-ibu dong? Yang bener aja deh, Bund. Aku kan anak lajang. Bukan ibu-ibu, seperti Bunda. Nggak mau, ah! Bunda pasti tahu kan, jika hari Sabtu jadwalku untuk bermain golf." Edward mencoba untuk mengelak.Karena dia tahu betul maksud sang ibu. Yang ingin menjodohkannya dengan anak, dari ibu-ibu arisan itu."Ayolah, Ed. Kali ini saja. Setelah itu. Kita ziarah ke makam Ayah. Sudah lama kita tidak mengunjungi Beliau." ucap sang ibu, penuh harap.Mendengar jika mereka akan berziarah ke makam ayahnya. Hati Edward sedikit teriris sakit. Dia ingat betul disaat-saat terakhir ayahnya hidup. Edward tidak ada di samping Beliau. Sepertinya, dia harus mengalah kali ini kepada sang ibunda.Lalu dengan bijak Edward pun berkata,"Baiklah, Bund. Sabtu depan aku akan mengosongkan jadwalku. Aku akan temani Bunda ke mana pun Bunda perginya. Hanya saja, Bunda juga perlu tahu. Sampai kap
"Gile, para buaya darat pada ngumpul!" geram Arlyn."Ngapain sih, mereka ke sini? Kurang kerjaan banget, deh! Apa belum puas nyakitin hati kita!" Agnes juga ikut, menggerutu."Kalian tenang saja. Gue sudah bilangin Pak sekuriti untuk tidak mengizinkan mereka masuk ke area dalam kost." Zemi mencoba menjelaskan, kepada kedua sahabatnya."Kayaknya, sudah tidak aman lagi kita tinggal di sini. Tapi ... cari kost-kostan dengan harga terjangkau dan letaknya strategis di Jakarta, ini. Sangat susah." keluh, Arlyn, dan dibalas anggukan oleh Agnes."Terus kita harus bagaimana, dong?" sela, Arlyn panik."Bagaimana kalau setiap hari mereka nyamperin kita ke sini? Nggak asyik banget kan?""Iya sih, Lyn. Tapi kita mau pindah ke mana coba?" tukas Agnes, masih saja memikirkan isi dompetnya yang kosong.Setelah lama berdiam diri dan mendengarkan keluh kesah kedua sahabatnya. Zemi pun mulai angkat bicara kembali,"Kalian mau dengar kabar baiknya, nggak?""Mau dong, Zem! Bagaimana sih, Lo!" Ketus, Arlyn.
"Idih ... galak Lo, Lyn!" sela, Zemi."Biarin! Galak-galak juga milik sendiri!" sahut, Arlyn."Nyolot Lo, Arlyn!" Zemi tak mau kalah."Nyolot-nyolot juga milik sendiri!" Arlyn kembali menyahut. Perdebatan pun mulai terjadi diantara keduanya. Kepala Agnes tiba-tiba pusing mendengar ocehan kedua temannya itu."Zemi, Arlyn, stop! Hari sudah malam! Mending kita tidur. Besok kita pasti akan sibuk banget." nasehat Agnes, kepada keduanya."Gue belum ngantuk." tukas Zemi."Sama, gue juga. Makanya kami nge-rap. Ya kan, Zem? Dari pada suntuk." celutuk Arlyn."Ih, ogah! Mending gue tidur!" tutur Zemi, lagi."Ya udah, yuk. Kita tidur!" Arlyn juga menyahut."Nah, gitu dong. Kita pada tidur. Besok deh kalian lanjutkan lagi nge-rap-nya." saran Agnes."Idih, ogah nge-rap mulu! Yang ada pala gue makin pusing." tukas Arlyn.Ternyata keduanya sengaja berdebat hal tak penting. Untuk menghalau kegundahan hatinya. Apalagi hari ini mereka sama-sama apes diputusin oleh orang tersayang.Lalu ketiganya pun mu
"Thanks banget, guys. Gue gak bisa berkata apa pun kepada kalian saat ini. Gue janji, nanti kalau gue sudah dapat duit. Gue akan ganti ke kalian masing-masing," ucap Agnes, kepada kedua sahabatnya."Yaelah, Nes. Kita tulus bantuin Lo. Lo nggak usah mikirin apa-apa dulu," tukas Zemi."Ya, Nes. Satu orang kesusahan diantara kita, yang lain pasti akan membantu," Arlyn juga ikut menimpali.Dengan spontan, Agnes lalu merangkul kedua sahabatnya, dan menangis dalam pelukan mereka.Arlyn yang tidak biasa dipeluk-peluk begitu, segera berkata,"Ih ... ngapain Lo, Nes! Risih, tahu! Ngapain sih peluk-peluk? Gue masih normal, ya!" seru Arlyn lalu segera melepas pelukan Agnes dari tubuhnya."Memang deh, Lo! Aneh saja pikirannya. Ini pelukan persahabatan, tahu! Bukan karena hal lain," sergah Zemi sambil mengeleng-gelengkan kepalanya. "Aku sangat bahagia saat ini. Makanya aku memeluk kalian," ucap Agnes sambil tersipu."Ya udah, yuk. Kita tidur lagi. Besok kan kita mau pindahan. Ya, Zem?" tanya Arly
Ketiga gadis cantik itu, mulai merapikan apartemen tersebut. Mulai dari ruang tamu, ruang tv, dapur dengan mini bar dan juga satu kamar yang cukup luas yang dapat ditempati oleh tiga orang.Mereka mulai menyusun dan merapikan barang-barang pribadi mereka di dalam kamar. Ternyata sebelumnya Zemi telah membeli ranjang untuknya dan untuk kedua temannya. Masing-masing berukuran tiga kaki. Cukup untuk ditiduri satu orang dalam satu ranjang.Tak tanggung-tanggung Zemi membeli spring bed nomor satu. Sehingga sungguh sangat enak tempat tidur itu, untuk ditiduri."Zem, baiknya dirimu kepada kita!" celutuk Arlyn lalu mencoba membaringkan tubuhnya di atas kasur empuk itu."Iya, dong. Zemi Rania, gitu lho!" pujinya kepada dirinya sendiri."Zem, lo tinggal hitung dengan benar ya, berapa utang kita berdua, ke Lo." tukas Agnes yang masih saja khawatir dengan isi dompetnya."Yaelah, kalian ini! Semua fasilitas gratis untuk kalian, guys!" ucap Zemi kepada keduanya."Apa?" kaget keduanya."Iya, semua f
"Tapi menurut gue, ya. Jago memasak bukan jaminan menjadi calon menantu idaman. Banyak aspek lainnya yang harus dilihat. Terus, gue mau nanya ke Lo berdua. Memangnya menantu idaman itu yang bagaimana sih, ciri khasnya?" tanya Agnes, kepada kedua sahabatnya."Kalau gue, sih. Jawabnya, i don't know!" tukas Zemi."Sama kita, Zem." Arlyn juga ikut berucap."Nah ... itu kan kalian saja nggak tahu kriteria menantu idaman yang seperti apa. Karena menurut gue hubungan menantu dan ibu mertua akan baik-baik saja, jika ada rasa saling." ucap Agnes kepada mereka."Rasa saling?" ujar keduanya bingung."Iya, rasa saling. Saling menghargai, saling menghormati, dan saling-saling lainnya!" seru Agnes."Prok-prok-prok." Arlyn dan Zemi tiba-tiba bertepuk tangan mendengar penjelasan Agnes yang menurut mereka sangat logis."Apaan sih, kalian? Malah bertepuk tangan!" cibirnya."Yaiyalah, Nes. Lo menyamai Mamah Dedeh yang sedang ceramah. Penuh logika dan sungguh menginspirasi." celutuk Zemi."Mamah Agnes, d
Pagi pun tiba, ketiganya telah bersiap-siap untuk mengikuti wawancara pagi ini.Setelah selesai sarapan, mereka pun ke luar dari unit apartemen, lalu melangkah menuju lift yang akan membawa ketiganya menuju ke parkiran, yang berada di basement gedung bertingkat itu.Hari ini, Zemi yang menyetir. Setelah mengetahui jika kedua sahabatnya telah masuk ke dalam mobil. Dia pun mulai melajukan mobilnya. Beruntungnya tujuan mereka sama yaitu ke Kawasan Epicentrum Rasuna Said, di Jakarta Selatan. Apartemen yang mereka tempat juga tidak terlalu jauh dengan kawasan perkantoran itu."Wah nggak nyangka banget kita melamar pekerjaan di satu kawasan perkantoran." tutur Arlyn kepada kedua sahabatnya. Sesaat setelah mereka ke luar semua dari dalam mobil."Iya, Lyn. Beruntung banget. Jadi kita bisa nebeng terus pakai mobil Zemi." celutuk Agnes."Iya, kalian bisa nebeng terus kok. Hanya saja gantian ya nyetirnya, tiap hari. Biar giliran gitu semuanya," seru Zemi."Beres, Zem!" jawab keduanya serentak.
Arlyn segera melepas tubuhnya dari rangkulan pemuda itu. Dengan muka cemberut."Halo, Nona cantik. Ternyata kita bertemu kembali." ucap pria tampan itu kepadanya. Sambil menunjukkan senyum terbaiknya."Dasar bule kesasar! Kok kita bisa ketemu terus, sih? Lo ngikutin gue, ya!" tukas Arlyn sambil menatap penuh selidik ke arah pria itu."No. Saya tidak mengikuti Anda, Nona. Saya ..." Belum sempat pria itu menjelaskan. Arlyn malah berkata,"Stop! Gue tidak mau mendengar apa pun! Permisi!" serunya lalu meninggalkan sang pria yang terus saja memandang ke arahnya.Tian, nama pria itu merasa tertarik dengan wanita tadi. Dia pun berjanji di dalam hatinya untuk menjadikan gadis itu, satu-satunya miliknya. "Don!" panggilnya kepada sang asisten yang tidak jauh berdiri dengannya."Siap, Tuan Muda." sahut, Don."Cari tahu semua tentang gadis tadi. Secepatnya.""Baik, Tuan. Ta ... tapi untuk apa Tuan?" Don menjadi penasaran."Ya, mau gue jadiin istrilah! Memangnya gue apain lagi?""Ta-pi, bukannya