FAZER LOGINAlexia, as the perfect Luna to her pack, was married to her husband alpha Damian for love, they were not meant and mate for each other. Alexia had never thought one day she could have the rebirth of her. Alexia was murdered by her evil husband Damian and his later-found mistress Hayley, who also became his mate after her death. One fortunate day, Alexia opened her eyes only to find out that she was back from the dead. “Oh my Wolf, I am back from the dead. I can’t feel myself before anymore… I feel some kinda new powers inside of me” Alexia said to herself. In order to protect what she had worked for, Alexia is determined to fix all of her problems. By living again as a Powerful Luna, who cannot be oppressed by her foes but will be the OPPRESSION of them herself. By drafting a whole new plan, she begins with the people who planned for the death of her previous life. One night, when Alexia was running in her favourite woods, she met a huge wolf with silver eyes. This was the first time she has ever set her eyes on that kind of breed. . . Who was this wolf? How would she be the oppression... to her foes? How would things go differently from the previous life Alexia experienced? . . . ……
Ver maisTubuh Bella telentang di atas ranjang, bersinar keemasan diterpa lampu tidur. Kulitnya halus, lembap, dada naik-turun, titik kecil di tengah dadanya mengeras oleh udara dingin dan hasrat yang belum tersalurkan. Rambut panjangnya menjuntai di bantal seperti aliran tinta di kanvas. Kaki terbuka lebar, mengundang.
Indra ada di atasnya, telanjang, berkeringat. Tapi tidak panas karena gairah. Justru… karena panik. Ia menekan pinggulnya perlahan. Tubuhnya ingin bergerak. Bella menggigit bibir, bersiap menyambut. Tapi… Miliknya lemas. Sekali lagi. Bella membuka mata. Tatapannya turun ke bawah tubuh Indra, lalu kembali ke wajahnya. “Astaga… lagi?” Indra menunduk. “Maaf…” Kata itu begitu sering keluar, sampai rasanya hambar. Ia berguling ke samping, membelakangi istrinya, mencoba menyembunyikan wajah. Bella menarik napas panjang. “Indra… Aku udah panas banget barusan.” Ia tak menjawab. Tubuhnya tegang, bukan karena syahwat, tapi karena malu. Bella mendengus. “Ck! Pantas aja bukumu nggak laku.” Indra menahan napas. Ucapan itu menusuk lebih dari sekadar ejekan. “Isinya cuma omong kosong soal pria jantan yang bisa bikin wanita jerit tiap malam. Nyatanya, penulisnya sendiri nggak bisa bikin istrinya basah.” Ia tahu Bella tidak asal bicara. Indra dulunya penulis buku erotis. Judul-judulnya laris di toko daring, isinya dipenuhi pria perkasa, tahan lama, jago membaca tubuh perempuan. Tapi itu dulu. Sekarang? Tak satu pun dari fiksi itu tercermin di dirinya. Ia bahkan tak sanggup bertahan dua menit. Ironisnya, makin parah performanya, makin turun pula angka penjualan. Seolah pasar tahu: semua kejantanan itu cuma khayalan. Ia sudah coba semuanya—obat kuat, ramuan herbal, sampai video panas—tapi tetap saja, saat Bella membuka kaki, tubuhnya malah layu. Dan Bella? Semakin hari semakin tak sabar. Semakin tajam. Semakin kehilangan respek. “Penulis cerita seks,” gumam Bella, berdiri dari ranjang. “Tapi kalah sama mainan plastik.” Bella melangkah ke arah laci, dada bergoyang pelan. Ia membuka laci, mengambil alat ungu berkilau yang kini lebih sering menyentuhnya daripada tangan suaminya sendiri. “Kalau kau nggak bisa menyelesaikan, biar dia saja yang ambil alih,” ucap Bella datar. Ia kembali ke ranjang. Tanpa malu. Tanpa basa-basi. Tubuhnya menyandarkan diri ke dinding, kakinya terbuka, dan getaran halus dari vibrator mulai mengisi kamar. Bzzzt. Tangannya lihai. Jari telunjuknya meluncur ke antara pahanya, mengarahkan alat itu tepat ke pusat gelombang hasrat. Nafasnya mulai memburu. Dada naik turun. Pinggulnya bergerak perlahan. “Ahh…” Indra tidak bisa tidak menatap. Tapi semakin dia lihat, semakin ia merasa seperti sampah. Tak ada yang lebih menghina harga diri pria daripada melihat istrimu mendesah puas oleh benda elektronik—sementara dia hanya bisa terbaring, gagal, seperti boneka rusak. Bella menegang. Tubuhnya melengkung. Rahangnya terbuka sedikit, suara tertahan. Lalu hening. Satu menit. Dua. Ia selesai. Ia meletakkan alat itu di meja samping, bangkit pelan dan mengambil tisu. Tanpa memandang Indra, ia berkata, “Aku bisa gila kalau ini terus berlanjut. Setidaknya satu dari dua harus kau penuhi: uang atau kepuasan.” Indra menggenggam selimut. Telinganya panas. “Aku… akan cari cara lagi.” Bella menoleh. “Kau sudah coba semuanya. Jus entah apa, film biru, bahkan hipnoterapi. Gagal semua. Aku bosan lihat kau ngotot pakai cara aneh. Sekarang dengar aku—ke dokter.” Indra memejamkan mata. Membayangkan dirinya menceritakan masalah ini ke orang asing, membuka celana, diperiksa seperti pasien impotensi tanpa harapan. “Harga dirimu udah jatuh, Ndra. Kau cuma belum sadar,” lanjut Bella, tajam. Ia mengambil baju tidur dan masuk ke kamar mandi. Bunyi air menyala. Indra berguling ke samping, menatap alat getar itu di meja. Alat kecil itu… sudah tiga kali lebih memuaskan Bella dalam seminggu terakhir. Sementara dirinya? Tak satu pun. Malam itu, Indra tidak tidur. Ia menyalakan ponsel dan membuka halaman demi halaman pencarian. Sampai akhirnya ia melihat satu link mencolok: KLINIK VITALITAS LELAKI – Terapi Langsung, Bukan Obat, Hasil Terbukti. Dokter Wanita Berpengalaman. Testimoni di bawahnya seperti ditulis oleh pria-pria yang hampir bunuh diri, lalu kembali jadi alfa. Semua menyebut satu hal: Dokter Salsa. Namanya misterius. Ulasannya konsisten. Indra tak tahu kenapa, tapi tangannya mengklik. *** Keesokan harinya… Indra berdiri ragu di depan bangunan tua di pinggiran kota. Catnya kusam, jendelanya buram, dan di halaman hanya tumbuh semak liar serta pohon besar yang menaungi nyaris seluruh fasad. Klinik? Dari luar, tempat ini lebih mirip rumah terbengkalai yang cocok jadi lokasi syuting film horor dibanding pusat pengobatan. Papan namanya kecil, nyaris tak terlihat: “Klinik Vitalitas Lelaki – dr. Salsa” “Kenapa sepi sekali?” gumam Indra, melirik ke sekeliling. “Kemana pasiennya yang katanya ribuan itu?” Ia menarik napas. Tangannya menyentuh gagang pintu kaca. Kriet. Deritnya nyaring, mengiris udara pagi yang sunyi. Saat pintu terbuka, aroma kayu tua dan bunga kering langsung menyeruak. Tidak ada suara. Tidak ada langkah. Tidak ada antrean. Dan tiba-tiba… “Selamat datang.” Suara serak terdengar dari balik meja tinggi. Indra nyaris tersentak mundur. Bukan perawat muda dengan seragam ketat seperti di bayangannya—melainkan seorang wanita tua, rambutnya putih disanggul, wajahnya seperti guru matematika dari neraka. Indra menelan ludah. “Tempat ini benar-benar horror…” Matanya menangkap bagaimana tatapan si nenek langsung turun ke arah bawah perutnya—terang-terangan, tanpa sopan santun. Tatapan itu seperti menilai potensi… atau kerusakan. “Saya antar langsung ke ruang dokter.” Tanpa konfirmasi data. Tanpa tanya nama. Ia langsung berbalik. Indra mengikuti, seolah terhipnotis. Langkah mereka menyusuri lorong sempit yang pencahayaannya remang. Jantungnya berdebar tak karuan, antara takut dan penasaran. “Dokter, ada pasien baru...” Tirai terbuka. Sosok wanita itu muncul dari balik ruangan. Rambutnya panjang, hitam, dan bergelombang jatuh di bahu. Kulit wajahnya bersih, riasannya tipis, hanya mempertegas bentuk alis dan bibirnya yang penuh. Bibirnya merah alami, basah, dan tampak lembap. Tatapannya langsung menusuk—dingin tapi intens. Jas dokter putih melayang terbuka, memperlihatkan tubuh yang sangat tak biasa untuk profesinya. Di baliknya, kemeja putih ketat menempel rapat pada dua bukit dada besar yang hampir tumpah keluar. Dua kancing teratas terbuka, membiarkan belahan dadanya terlihat jelas. Bukan sekadar mengintip—tapi menyambut mata siapa pun yang berani menatap. Rok span abu-abu tinggi menyatu dengan pinggulnya yang ramping dan padat. Kakinya jenjang, mulus, dan ditopang oleh heels hitam berkilau yang membuat setiap langkahnya terdengar mantap di lantai. Indra terdiam. Jantungnya memompa keras. Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ada gerakan nyata di bawah perutnya. Spontan. “Selamat pagi,” ucap wanita itu dengan nada rendah dan tenang. “Saya dr. Salsa.” Indra berdiri kaku. “I… Indra.” “Santai saja,” katanya sambil tersenyum singkat. “Silakan duduk.” Indra menuruti. Tangannya terasa dingin. Nafasnya pendek-pendek. Salsa berjalan pelan menghampirinya. Tumitnya mengetuk lantai tiap langkah. Tatapannya mengarah ke wajah Indra… lalu turun. Matanya menelusuri bagian dada, lalu perut, lalu berhenti di pangkal paha. Ia tidak berpaling. “Masalah ereksi?” tanyanya tenang. Indra mengangguk cepat. “Iya. Belakangan… gak bisa keras, bahkan kalau sudah coba macam-macam.” Salsa tetap diam, hanya menatapnya. Lalu ia mendekat. Sangat dekat. Tangannya terulur. Ia menelusuri bagian jasnya, lalu menyentuh kerah Indra, merapikannya sedikit—kontak ringan yang tak berarti apa pun secara medis, tapi membuat tubuh Indra menegang. Napas Salsa terasa di wajahnya. Aroma parfumnya hangat dan tajam, seperti vanila bercampur kulit panas. “Kalau kau ingin hasil cepat,” bisiknya, “aku perlu lihat langsung kondisi dasarnya.” Ia melangkah ke arah pintu. Tanpa bicara. Klik. Pintu dikunci dari dalam. Salsa menoleh lagi. Tatapannya tak berubah. “Bukalah celanamu. Kita mulai sekarang.”Mark was standing at the door of their big house. He was torn between flying off to the werewolf's territory or not. She had promised to come back, but she was not there yet and he could no longer bear it. The torment was too much, he wanted to hold her in his arms again and watch her beautiful face. He was sad. He was still standing there when he saw her, Kiara. His heart leapt up with joy. He looked closer, she was flying. He was dumbstruck, she was a werewolf, how was she able to fly? She got to where he stood and she stood in front of him. Mark could see her golden eyes. He gasped. "Louisa." "Mark." She pulled him closer to her and locked their lips together in a kiss. His eyes widened in shock and he broke the kiss quickly. "What are you doing Louisa?" He asked immediately he broke the kiss. "I love you so much, Mark." The woman spoke. "Let her come back!" Mark commanded. A tear dropped on her face and Kiara fell to the floor. Mark bent down and took her up, bridal styl
"What is it?" Kiara asked. She knew what Alexia was looking for. "He did not mark you, did he?" Alexia asked. "He did," Kiara answered. Alexia gasped. Kiara was happy to see the look in her mother's eyes. Shock, disappointment. "Who is this person, Kiara?" Alexia asked. "An Angel," Kiara responded again. Alexia went silent. She could not believe that an Angel had captured her daughter and marked her. "I need my rulership back," Kiara stated. "You can not have it, Kiara. I thought I was going to become a lycan after mating with Lucian and that is the only reason I gave you rulership over the packs." Alexia explained. She hoped the girl will not be too hurt. But she had to maintain rulership, her status and her respect she still had to be Alexia, the Alpha female, ruler of the four werewolf packs and Queen of the lycan clan. She looked into Kiara's eyes to see any emotions but the girl had a straight face, emotionless. "You will also be going to the gammas soon to continue wi
"I do not think it is worth it." The woman responded. Kiara did not speak. "Go child, I will be waiting for you when you need me." The woman said. ****** ***** Her eyes flicked open. She saw her again. She did not feel the heavy weight on her body like always and she turned around, he was there. He was still sleeping beside her, she looked at his handsome features. She would never get tired of looking at him, he was too handsome. She stood up and went to the window, it was dark already. Tomorrow she would have to go back to the werewolf territory, she did not want to go but she had to. She had been away for too long, all she trained for, all her hard work, all her fighting with gammas would not go in vain. She would go back and claim back her territory from Alexia. She was tired of sitting, so she went back to bed and slept on it. Mark could feel her presence again and he wrapped his hands around her body once she lay on the bed. She felt safe, secure and untouchable in his a
His lips left her neck and she could feel the warmth of them on her right nipple. She moaned and arced her back, curling her toes. He sucked on her breast for a while, his tongue rolling on it and his teeth biting her nipple tip gently. Her hands wrapped around his head, pressing him deeper to her breast as pleasure ran through her body. It was overwhelming. He left her breast after a long while and started trailing kisses down to her stomach and to her abdomen and then he reached her vagina. She remembered the last time his face was there and how pleasurable it made her feel and she parted her legs willingly this time. She could feel the warmth and wetness of his tongue on her vagina opening and she gasped. It was way better than the last time. His tongue went into her vagina and she could feel the warmth thrusting in and out of her slowly. He then took his tongue to her clitoris. "Ahhh... yesssss." The feeling was so much better than the last time and her toes curled up in ple


















Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
avaliações