Share

Chapter 12

     Kemudian, ia tersenyum.

     “Karena kita punya nasib yang sama, sama-sama sebagai kaum terjajah, bagaimana jika kalian membantu kami?” tanyanya santai.

     “Tentu, jika Anda ingin turut bergabung melawan Han, kami akan dengan senang hati siap membantu Anda.”

     “Oh, bukan untuk itu. Aku tetap setia pada Han.”

     Seluruh pemberontak menggerung keras. He Xian tersenyum semakin lebar.

     “Jika kalian tidak bersedia, aku juga tidak akan memaksa. Karena itu, izinkan aku tetap menjalankan kewajibanku sebagai wakil Han.” He Xian berpaling ke arah Sersan Zhen, “Kira-kira, apakah mereka sudah selesai?”

     “Kurang lebih, Tuan.”

     “Bagus,” Ia kembali menoleh ke arah Tuan Li dan lainnya. “Silakan kalian pergi keluar dan lihat, apa yang sedang terjadi.”

     Para pemberontak kelihatan benar sangat enggan menuruti perintah He Xian, namun melihat roman muka He Xian yang nampak seolah mengejek, mau tak mau mereka merasa was-was, pun segera melangkah keluar.

     Dan apa yang mereka saksikan di luar benar-benar mengejutkan mereka, begitu mengejutkan sampai-sampai membuat jantung mereka nyaris copot.

     Ada sekitar 1.000 pasukan Han yang tengah mengepung kegubernuran Chang. Tapi poin pentingnya bukan di situ, melainkan pada benda yang dibawa pasukan Han, yang merupakan patung Dewi Yu-Wang raksasa setinggi kira-kira 100 m. Patung itu sungguh-sungguh indah, seluruhnya terbuat dari batu giok berstandar paling tinggi, dan cahaya kehijauannya kini memantulkan warna jingga terang dari pancaran api obor yang dibawa para pasukan Han. 

     “Mereka semua siap menghanguskan patung peninggalan satu-satunya Dewi Yu-Wang kalian. Sebetulnya aku sendiri menyayangkannya, patung itu teramat indah, namun tak ada pilihan lain...” He Xian berujar santai. “Dan perlu kuberitahu satu hal lagi, pasukan kami juga telah mengepung Kuil Yu-wang Tian-tang kalian yang tersohor itu. Mereka tinggal menunggu perintahku, jadi jika kalian menyatakan siap melawan, aku akan...” 

     He Xian siap mengangkat tangan kanannya, namun seruan mendadak Tuan Li membuyarkan rencananya.

     “Hentikan!...” Ia tampak putus asa. “Kami menyerah!”

     Dengan frustrasi, Tuan Li membanting pedang kebesarannya ke tanah. Melihat sang pemimpin telah mengibarkan bendera putih tanda kalah perang, para petinggi Chang lainnya juga menyerukan hal yang sama. He Xian dapat melihat kegetiran tergambar jelas dalam raut wajah mereka. Pemuda itu kemudian meraih selembar gulungan kuning emas berisi titah kaisar, kemudian membacakannya keras-keras, dekrit yang menitahkan mereka semua diganjar hukuman mati.

     Setelah usai menjalankan tugas, mereka segera pulang ke Han. Di tengah perjalanan, Letnan Xiang berkata dengan kagum, “Jadi begitu rupanya, Tuan Sun, mengapa Anda menaruh pasukan kita di Hesheng-lu, Anshan-lu serta Kunlun-lu. Karena tujuan utama Anda adalah menyerang Kuil Yu-wang Tian-tang?”

     “Bangsa Chang amat menjunjung tinggi adat istiadat dan kepercayaan mereka. Maka pula, mereka berhasil mempertahankan kepercayaan itu hingga ribuan tahun. Sayang,  kepercayaan yang seharusnya membawa kebaikan itu kini malah mengundang bencana...”

     Namun demikian, ada sesuatu dalam kata-kata para petinggi Chang tadi yang mengusik pikirannya begitu rupa. Sesuatu mengenai Han Ming Shi, yang amat mengusiknya hingga ia memutuskan untuk segera memastikannya begitu ia telah sampai di Han.

***

     “Selamat, Tuan Sun. Aku sangat bangga padamu. Kau membuktikan pada dunia bahwa keputusanku memilihmu tidaklah salah,” Ming Shi berujar, bola matanya menatap He Xian dengan berbinar.

     “Terima kasih atas pujian Yang Mulia...” He Xian menelan ludah. Ia masih kurang berani menanyakan pertanyaan yang sebetulnya sudah ada di ujung lidah itu.

     Ming Shi tanggap akan gelagat He Xian itu. “Bila Tuan Sun memiliki pertanyaan, jangan ragu, silakan tanyakan saja.”

     He Xian menarik nafas. “Yang Mulia, saya dengar Anda melarang bangsa Chang menunaikan adat istiadat dan kepercayaan mereka. Mengapa?”

     “Ah, soal itu,” Ming Shi tampak jengkel. Sepertinya telah banyak orang yang menanyakan pertanyaan yang serupa dengan He Xian padanya. “Bangsa Chang sebetulnya berpotensi untuk maju, namun terlalu terikat kepercayaan kuno yang  selanjutnya menghambat kemajuan mereka.”

     “Tapi itu budaya yang sudah berumur ribuan tahun!” Sadar akan keberaniannya yang kelewatan dengan memutus kata-kata kaisar, He Xian cepat-cepat membungkuku meminta maaf, “Maafkan kelancangan saya, Yang Mulia, Saya tidak bermaksud...”

     “Tidak apa. Teruskan!”

     “Maksud saya sebaiknya Anda jangan memaksakan kehendak Anda pada mereka. Bangsa Chang amat mempercayai agama mereka, biarkan saja mereka begitu. Karena Anda tidak akan pernah bisa membuat dunia khayalan Anda seluruhnya menjadi kenyataan.”

     Mungkin bagi He Xian kata-kata itu hanyalah merupakan usulan belaka, tetapi bagi Ming Shi, kata-kata itu bagaikan pelecehan besar. Ia seolah dapat mendengar ulang kata-kata Sekretaris Li bergema dalam pikirannya, “Anda tidak bisa membuat dunia serupa alam khayal imajinasi Anda...”. “Jadi maksudmu kau mengerti tentang apa yang sempurna dan tidak sempurna? Apa yang harus, dan tidak harus, kulakukan?...”

     He Xian dapat menangkap kilat kemarahan dalam bola mata Ming Shi. Tetapi ia merasa kata-katanya tidak melanggar jalan kebenaran, karenanya dengan berani ia membalas, “Sama sekali bukan maksud saya untuk mendikte Anda, Yang Mulia. Saya hanya tidak menginginkan terjadi kembali perang dan pemberontakan, yang pada selanjutnya harus mengorbankan nyawa-nyawa tak bersalah. Sebab bila Anda menginginkan perubahan suatu bangsa secara instan, ya beginilah hasilnya. Pemberontakan. Dan sebetulnya, kepercayaan bangsa Chang itu sangat unik dan akan sangat baik bila kita membiarkannya mengisi khazanah keanekaragaman bangsa dunia, dan bukan menghilangkannya...”

     “Dan apakah layak dipertahankan bila kepercayaan itu malah menghilangkan nyawa manusia? Tampaknya masih banyak hal yang harus kaupelajari, Sun He Xian. Hanya demi kepercayaan kolot mereka, bangsa Chang bahkan tega mengorbankan anak-anak dan bayi-bayi kepada dewa-dewi yang belum tentu nyata! Makanya seperti yang kau lihat sendiri, mereka bahkan bersedia mati hanya demi sebuah patung yang tak bernyawa!”

     He Xian terdiam. Ia memang tak menyangka bangsa Chang memang sebegitu kelewatannya menyembah agama mereka. Tapi bukankah kau sendiri tega membasmi tawanan kalah perangmu dengan kejam, sama saja kau dengan kekolotan orang-orang Chang! “Tapi yang Mulia, walau demikian Anda tetap tidak boleh mengadakan perbaharuan demikian ekstrim? Toh, Anda bisa melakukan perbaharuan secara perlahan-lahan?”

     “Yang namanya mengadakan perbaharuan, tentunya harus menggunakan perlakuan keras seperti ini, kalau tidak, sampai kapanpun mereka tidak akan bisa diubah! Sun He Xian, bila kau tidak mengerti apa-apa tentang sistem ketatanegaraan, sebaiknya tutup mulut dan jangan membantah lagi, lakukan saja seperti yang kuperintahkan!” ujar Ming Shi keras kepala.

     He Xian terhenyak. “Jadi misalnya bila negeri kami, Ming, memiliki kepercayaan yang Anda anggap sama kolotnya dengan Chang, Anda juga akan menumpasnya tanpa ampun?”

     “Tentu saja!” Ming Shi menatap He Xian, dengan sangat tajam. “Kau punya keluhan?”

     He Xian menunduk. “Saya tidak berani” 

     “Bagus. Sekarang pergilah!”

     Kalimat itu bernada pengusiran. Tak punya pilihan lain, He Xian membungkuk memberi hormat, kemudian segera melangkah keluar ruangan.

     Kejadian ini membuat He Xian semakin mengetahui sifat asli junjungannya, dan itu amat tidak menyenangkan hatinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status