Seo-Yu memandangi ketiga anaknya. Mereka terhimpit ujung pedang putih tajam itu, mereka dihimpit oleh dewa kematian. Air matanya jatuh semakin deras. Ia tidak punya pilihan lain. Ia hanya bisa membiarkan kewanitaannya diinjak-injak di sini, sekarang.
“Hentikan!!!”
Semua menoleh ke asal seruan itu, termasuk pula Ming Shi.
Yan Xu-lah yang berseru. Dengan marah, ia memelototi suaminya, yang sangat tidak menyangka ia akan berani berseru di saat seperti ini. Karena kaget, Ming Shi tanpa sadar melonggarkan pelukannya. Yan Xu segera mengambil kesempatan ini. Ia mendorong Ming Shi dengan kasar, dan selanjutnya berjalan menjauh, meninggalkan aula dalam diam.
Ming Shi terpana cukup lama dengan perlakuan isterinya, sampai ketika akhirnya ia mampu bicara kembali. Ia menarik pedangnya dan memasukkannya lagi ke sarung di pinggangnya. “Pakai kembali baju kalian!
“Saya telah mengandung.” Yan Xu berkata singkat kepada Ming Shi yang tidak langsung menjawab karena tengah sibuk membaca laporan mengenai He Xian dan kawan-kawannya. Dan bahkan sebelum Ming Shi mengucapkan kata “Selamat, bagus sekali”, Yan Xu keburu telah menghilang dari ruangan. Meninggalkan Ming Shi yang hanya bisa bertopang dagu. Ia memandang ke luar jendela. Sejauh mata memandang, dari permukaan tanah sampai ujung langit tertinggi, semua itu adalah miliknya. Hanya tinggal Qi yang masih berdiri sendiri, tetapi selain itu, seluruh dunia berada di bawah kakinya. Ialah penguasa langit dan bumi, pengendali hidup dan matinya seluruh manusia. Namun, masih ada satu yang sampai sekarang belum bisa dimilikinya. Yaitu kasih sayang tulus orang lain terhadap dirinya. Semua orang tidak akan pernah menyukainya, fakta tersebut telah ia ketahui sejak dulu. Bahkan setelah ia berhasil menj
Ramalan tersebut meninggalkan kesan yang amat dalam bagi siapapun yang mendengarnya, dan tentunya bagi seluruh keluarga kekaisaran. Sejak saat itu, mereka semua memperlakukan Ming Shi dengan amat berbeda dan khusus. Namun perlakuan macam ini amat tidak disukai oleh Ming Shi. Ming Shi tumbuh menjadi seorang anak yang sangat tampan dan manis, ramah dan murah senyum, lincah dan sigap, dan juga sangat pandai. Semua kelebihannya ini seharusnya membuat orang menyukainya, kalau saja tidak terjadi keanehan-keanehan di sekitarnya. Semua orang yang baik padanya akan secara gaib mendapatkan kemujuran, sementara yang menyakiti hatinya bahkan sedikit saja akan langsung dihampiri nasib naas. Misalnya saja, para dayang yang merawatnya dengan penuh kasih sayang tanpa berusaha mempedulikan ramalan tentang dirinya, berturut-turut mendapatkan kebahagiaan baik dalam keluarga ataupun mendapat harta. Sementara saudara-saudara sedarah biru maupun anak-an
Tetapi walaupun Ming Shi telah tinggal di Pu Tuo San, bukan berarti hal aneh tersebut dapat menghilang begitu saja. Tetap saja ada orang-orang yang dihampiri nasib mujur dan naas secara janggal. Walaupun para biksu tidak lantas menjauhi Ming Shi, melainkan mendidiknya lebih keras. Mereka menyuruhnya bermeditasi lebih lama dan membaca paritta lebih banyak dibandingkan yang lainnya. “Jangan-jangan anak itu keturunan siluman!” Suatu hari, salah seorang biksu yang paling senior berbisik. “Hush! Hati-hati bicaramu, bagaimanapun dia adalah pangeran!” “Tidak ada yang lebih tinggi dan rendah di Pu Tuo San ini. Tingkatan semua orang sama di sini.” “Yaaa tetapi tidak lucu bila kau dihukum penggal, kan?” “Oh... kalau begitu bagus! Aku bisa ke Nirwana secepatnya.” Keesokan harinya, sang biksu senior meninggal dengan
Saat sedang memikirkan pertanyaan tersebut, sekonyong-konyong Ming Shi merasakan tubuhnya berguncang-guncang dengan hebatnya. Cepat-cepat ia berdiri, dan segera berlari ke arah lain karena selanjutnya batu-batu mulai berjatuhan dari langit-langit, semakin lama semakin banyak. Iapun membuka mulut siap berseru minta tolong, namun ia teringat Ruangan Yi Nuo Qi berada sangat jauh di ujung, sekeras apapun ia berteriak tidak akan ada orang yang mampu mendengarnya. Ming Shi menggigit bibir. Ia harus melindungi dirinya sendiri. Bola matanya berputar cepat mencari tempat berlindung, dan pandangannya terarah ke patung Buddha raksasa di sisi ruangan. Patung itu pula cukup besar untuk melindungi tubuhnya yang berukuran jauh lebih kecil. Betapa terkejutnya Ming Shi ketika melihat patung raksasa itu bergeser miring, dan kemudian jatuh dengan bunyi debum yang sangat memekakkan telinga. Ming Shi ternganga menyaksikan pelindung terakhirnya kini telah h
“Sebelumnya, aku ingin mengetahui beberapa hal tentang pribadimu.” Ia menunjuk batu meja lainnya di mana di atasnya tertatah kristal besar berwarna jingga keemasan. “Pandanglah kristal itu, dan beritahukan pendapatmu mengenai apa yang kaulihat padaku.” Menuruti perintah sang biksu, Ming Shi menghampiri kristal tersebut dan melihat ke dalamnya. Cahaya jingga keemasan berpendar lembut, memandangnya saja Ming Shi merasa sangat bahagia. Ia melihat kehangatan keluarga, kasih sayang antarmanusia, tolong menolong dan kesetiaan... begitu indah. Kalau saja ia bisa memilikinya... “Beritahu apa yang kaupikirkan tentangnya... dan katakanlah dengan jujur, walaupun yang terlintas dalam pikiranmu bukanlah hal yang baik.” Ming Shi menelan ludah. “Itu... sangat indah. Kasih sayang antar anggota keluarga, persahabatan, saling tolong menolong terhadap sesama... benar-benar sangat menyentuh. Aku ingin seka
Ming Shi memandang lautan luas yang terhampar di depannya. Di sinilah ia sekarang, di perbatasan antara negerinya dengan Shui. Ia tidak mungkin berkelana di Han, ada cukup banyak orang yang dikenalnya di sana. Salah bertindak sedikit, bisa-bisa ayahnya kembali menyeretnya dan mengurungnya lagi. Karena itu, ia harus menyeberang ke Shui dan merantau di sana. Pintu keluarnya dari Kuil Pu To San adalah pantai sunyi senyap yang ia yakini pastilah belum terjamah oleh manusia selain dirinya, jadi ia harus pergi ke tempat lain. Perlahan-lahan ia melangkah menyusuri pesisir pantai. Tidak lama kemudian ia sampai ke area pantai yang lebih ramai. Ada beberapa perahu di sana, besar dan kecil. Kapal besar dapat mengangkut banyak orang sekaligus, biayanya lebih murah dari yang kecil, jadi ia menaiki yang besar. Setelah menunggu cukup lama, nahkoda kapal memerintahkan kapal bergerak maju. Berangkatlah mereka menuju Shui. &n
Semua orang berhamburan turun dari kapal, bergegas pergi melakoni rencana mereka masing-masing. Namun, walaupun tujuan mereka berbeda-beda, mereka tetap harus melewati jalur yang sama untuk sampai ke area trans-penghubung, He Shan Lu. Karena tidak tahu jalan di Shui, Ming Shi mengikuti saja arus perjalanan orang-orang yang satu kapal dengannya. Termasuk pula ibu dan anak yang telah menolongnya itu. Kira-kira setengah jam kemudian, rombongan pun tiba di He Shan Lu. Tempat yang dituju merupakan sebuah area yang sangat besar, dan ramai. Ialah pusat kesibukan Xin kai, dan juga salah satu area terpenting di Shui. Jadi kira-kira bisa dibayangkan kesibukan dan keramaian situasi di sana. Orang-orang berjalan hilir mudik melintasi kota, dan seringkali harus berlari menyingkir ketika kereta-kereta kuda menderu memecah jalan. Mendadak si anak perempuan berseru, “Itu Tante Su!” dan tanpa menghiraukan apa-apa lagi ia seg
Betapa terkejutnya ia mendapati wanita itu sudah menghilang. Orang-orang yang mengerumuni Ming Shi akhirnya pergi juga. Kesempatan itu ia pergunakan untuk mencari wanita itu. Seseorang menepuk pundaknya. “Kau jangan cemas. Dia ada di tempat yang aman.” Ming Shi memandangi pemanggilnya, yang merupakan seorang gadis kecil yang umurnya tidak tersangkut jauh darinya. Ia tidak bisa mengatakan gadis itu cantik dengan wajah bundarnya yang kemerahan dan rambut pendeknya yang tidak begitu rapi, namun gadis itu juga tidak jelek. Mungkin boleh dibilang manis karena wajahnya nampak polos dan ramah, terlebih kelihatannya ia amat suka tersenyum. Ia melambaikan tangannya, “Ayo, kuantar kau menemuinya.” “Kau tadi berani sekali! Memprotes bangsawan tinggi itu, apa kau tidak takut mati?” Dalam perjalanan, si gadis bertanya penasaran. “Karena d