He Xian berderap cepat menuju An Chang, Min-Hwa mengikutinya di belakang. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan pehuh sehingga tidak sampai sehari mereka sudah tiba di An Chang.
Terburu-buru mereka melaju ke Istana. Sesampainya di sana, He Xian berseru lantang, “Saya adalah Sun He Xian! Mohon perkenankan saya menghadap Paduka sekarang juga!”
Gerbang Istana berderit terbuka, dan keluarlah Jenderal Wei disertai Letnan Xiang. “Pengkhianat negara Sun He Xian! Ternyata kau masih memiliki sedikit nyali patriotis untuk kembali ke sini.”
“Tuan, saya bersedia menyerahkan diri saya. Jadi karena itu, mohon pertemukan saya dengan Paduka! Agar Beliau membebaskan keluarga saya! Mereka tidak ada kaitannya dengan semua ini, mohon ampuni mereka!”
“Yang Mulia tidak ingin bertemu denganmu,” Jenderal Wei berkata dingin. “Dan mengenai keluargamu. sayang sekali. Mereka baru saja menjalani hukuma
Sebuah perahu kecil mendekat, perlahan-lahan berhenti di hadapan mereka. Dua orang turun dari atasnya. He Xian dan Min-Hwa tercegang bukan buatan saat mengenali kedua sosok tersebut. “Ratu Seo-Yu dan Perdana Menteri Ryu-Na!” “Sssttt!” Seo-Yu lekas-lekas berbisik memperingatkan. “Jangan keras-keras seperti itu! Kalau tidak, kita semua bakal celaka!” Ia memandang sekelilingnya, kemudian tersenyum. “Tapi bagus sekali, kalian semua masih hidup. Rupanya aku belum terlambat.” Min-Hwa menghaturkan hormat, “Kami juga merasa senang kedua junjungan dalam kondisi sehat wal’afiat. Saya tadinya sudah teramat cemas” “Terima kasih banyak, Min-Hwa, kami baik-baik saja. Kalau tidak, kami tidak mungkin bisa berada di sini untuk menolong kalian.” “Yang Mulia Ratu, maksud Anda, Anda berencana membawa kami ke Yeong-Shan?” Tuan Kurava tidak dapat menahan rasa penasarannya.
Para pembesar Yeong-Shan menyatakan keengganan mereka ikut serta dalam perjuangannya, tetapi setidaknya He Xian masih bersyukur karena pihak Tukhestan masih berkeinginan melawan Han. Begitu pula Min-Hwa, yang menyatakan setia mengikutinya ke manapun ia pergi. “Kalau begitu, Min-Hwa, kau bersedia mengikutiku ke Wu?” He Xian bertanya serius. Saat itu mereka baru saja berhasil melewati perbatasan Han. Waktu kira-kira menunjukkan pukul empat subuh. Sinar mentari sudah mulai merekah sedikit di ujung timur, menembus pepohonan yang berderet di kiri kanan jalan yang mereka lalui. Min-Hwa balas bertanya heran, “Mengapa kau ingin pergi ke sana?” “Aku mendengar di Wu ada seorang Guru yang sangat hebat. Namun walaupun kehebatannya termasyur ke seluruh penjuru, sang Guru malah memilih mengasingkan diri. Beliau seorang yang sangat setia. Beliau t
“Tapi rumput ini panjang dan lebat! Bisa membuat gatal-gatal!” Min-Hwa mengernyit. Ia mengambil pedang kecilnya, lantas menggunakannya untuk menyabit rerumputan. He Xian melakukan hal yang sama. Hal yang sama mereka lakukan saat menjelang tidur, setiap hari. Ketidakberhasilan mereka menemukan Lembah Kedamaian lama-kelamaan membuat mereka frustrasi, terutama karena ketiadaan pemandangan lain yang dapat mereka lihat selain rumput menambah perasaan tertekan mereka. Di suatu malam, Min-Hwa memangkas rumput lebih banyak dari biasanya. Tingkahnya serta merta mengundang keheranan He Xian. “Hei, itu terlalu banyak!” “Biar. Aku benci tiap hari melihat rumput melulu,” Min-Hwa memangkas semakin keras, dan sebaris rumput kembali terbang terpangkas. He Xian hanya dapat geleng-geleng kepala melihatnya. “Kau hanya membuang-buang waktu dan tenagamu saja.” “Toh, tidak ada
“Apa yang salah dengan kata-kataku?” ia bertanya setengah berbisik. Min-Hwa tercenung. “Ya sudahlah, kita pergi saja dari sini.” “Orang pintar memang biasanya aneh. Jangan langsung menyerah begitu saja. Kita teliti saja dulu keadaannya, dan cari celah untuk mengambil hatinya,” Min-Hwa berujar optimis. He Xian mengangguk-angguk setuju. Iapun kembali mencoba keesokan harinya. Dan keesokan harinya. Dan esoknya lagi. Dan seminggu pun terlewati, namun hasilnya selalu sama. Berbagai taktik dan bujuk rayu telah dilancarkan He Xian, namun hasilnya selalu pemuda itu menutup pintu dengan ekspresi hampa. Kesabaran He Xian akhirnya mencapai batasnya. Setelah si pemuda menutup pintu di hari ketujuh, He Xian mengentakkan kakinya dengan kesal, mulai merutuk. “Setidaknya ia bisa berbicara dan menjelaskan keengganannya menerima permintaanku, dan bukannya menutup pintu tanpa eks
Hanya ada satu hal yang ingin ia lakukan kini. Mempelajari ilmu pengendalian-chi dengan sungguh-sungguh. Karena ia menemukan, setelah ia menguasai kemampuan tersebut tubuhnya menjadi lebih peka terhadap hal-hal lain yang dulu tidak dirasakannya. Kedamaian, ketenteraman hati, perasaan nyaman dan teduh, gejolak kekuatan yang memuncak dalam ketenangan... semuanya berpusaran membentuk sensasi energi yang pada puncaknya memberikan suatu aura yang tak terdefinisikan, yang sementara ini hanya bisa ia sebut dengan istilah “puncak energi positif”. Entah berapa lama He Xian berlatih ilmu “pengendalian-chi” di bawah bimbingan Xing Long. Mungkin setahun, mungkin dua tahun. Min-Hwa dengan setia menemaninya. Hanya gadis itu yang masih mantap dengan tujuannya balas menyerang negeri Han, mungkin karena ia tidak ikut serta dalam latihan “pengendalian-chi”. Ia pula yang berulang kali mengingatkan He Xian setiap pemuda itu nyaris “terhisap” dan melup
Sore itu, ketika penyambutan telah selesai dilakukan dan mereka kini dapat bersantai, Raja Amanet dan Tuan Fomenko mengajak He Xian, Min-Hwa dan Xing Long beristirahat di salah satu paviliun kecil dalam istana. Raja Amanet memperlakukan mereka bak tamu amat istimewa. Para dayang berseliweran membawa hidangan-hidangan lezat nan menggiurkan, pula menyuguhkan mereka hiburan yang dibawakan seniman-seniman kesohor Tukhestan. Dan sembari memanjakan tamu-tamunya, Amanet mengajak mereka mengobrol santai. “Tuan Sun dan Nona Park, bagaimana keadaan Anda berdua selama ini?” He Xian menjawab, “Lapor Baginda. Kami sangat bersyukur karena berhasil mendapatkan Guru Xing Long sebagai mentor kami. Ini benar-benar merupakan suatu karunia, sebab untuk mencapainya kami harus melewati banyak sekali rintangan...” Iapun menceritakan petualangannya, dimulai dari kisah propagandanya ke Ming dan Tse-Kuan yang gagal, dilanjutkan dengan kedatangannya ke
Selang beberapa waktu kemudian, Permaisuri Yan Xu melahirkan anak keduanya, seorang putri. Pihak Istana merayakan pesta yang sangat meriah selama tiga hari tiga malam lamanya. Mereka juga mengundang para pembesar dan orang-orang penting dari tiap-tiap negeri bagian untuk menghadiri pesta tersebut. “Inilah kesempatan yang sangat baik, Tuan Sun. Anda beserta Yang Mulia Xing Long dapat ikut bersama-sama kami ke Istana Han,” Amanet berujar dengan bersemangat. Tuan Fomenko ikut berujar, “Jadi begini rencana kami, Tuan Sun. Kita masuk ke Istana Han, dan dengan suatu cara kita pancing agar Kaisar Han keluar dari wilayah amannya dan perlindungan para pengawalnya, seorang diri. Sampai di suatu tempat di mana kita telah menyiapkan pasukan dalam jumlah besar yang mampu menghabisinya dalam sekejap. He Xian mengangguk-angguk. “Tapi kurasa akan jauh lebih baik bila kita menyamar sebagai pembesar dari negeri lain.
Xing Long terdiam sebentar. “Dia... orang yang sangat sulit. Sejujurnya, aku sangat heran ada orang yang bisa bertahan hidup dengan menyimpan chi seperti itu.” Alis He Xian berkerut. “Maaf Guru, murid tak mengerti...” Xing Long hanya menggeleng sepintas dan mengalihkan pandangan dari He Xian yang hanya bisa melongo. Di saat bersamaan, ia lekas memasukkan kepalan tangannya yang kini basah oleh keringat dingin ke dalam saku, juga berusaha mati-matian menjaga keseimbangan kedua kakinya yang mulai goyah karena bergetar hebat. Ya, ia tak akan bisa menjelaskan pada siapapun, seberapa mengerikannya chi yang terpancar dari Ming Shi. Chi tersebut pula sangat aneh - tidak sepenuhnya hitam, tapi juga tidak putih. Abu-abu. Chi yang kotor - serta berkekuatan dashyat pula ganas. Dan tiada seorangpun di ruangan ini yang mem