Share

Celengan THR

"Mau kemana kita, Bunda?" tanya Vita, si sulungku. 

"Cuci muka lalu ganti pakaian, bangunin Kia juga ya Nak, kita ke pajak central, sekarang. Beli baju lebaran. 

Vita yang tadi bertanya dengan iris yang sedikit memicing karena sedang tidur siang, kini iris jernih gadis sepuluh tahun itu membulat dengan sempurna, seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, karena tadi subuh ia mendengar sendiri kalau ayahnya tidak berniat membelikan mereka baju lebarang.

"Betul ya Bunda? Kita mau beli baju lebaran?" tanyanya lagi meyakinkan seolah tidak percaya dengan apa yang ia dengar, sepertinya keinginannya untuk membeli baju lebarang sudah ia kubur dalam-dalam saat subuh itu dan kini harapan itu muncul sehingga bibir-bibir mungil gadis kecilku melengkung membentuk sebuah senyuman yang bahagia, bagaimana tidak bahagia aku melihatnya. 

Sembari menunggu Vita dan Kia cuci muka dan berganti pakaian, gegas aku mengambil kotak celengen yang selama ini tempat Bang Rahmat menabung untuk THR Mamaknya, ada perasaan takut dan was-was saat aku ingin mengambilnya, bayang-bayang kemurkaan Bang Rahmat terlintas di pelupuk mata, tapi segera aku tepis karena membayangkan wajah bahagia putriku. 

Lembaran uang merah seratus ribuan dan lima puluh ribuan berserakan di lantai setelah aku berhasil membuka dan mengeluarkan isinya, segera tangan ini meraihnya, dengan gerakan cepat aku merapikan uang tersebut dan memasukkan ke dalam tas, 

Vita dan Kia sudah selesai berganti pakaian, setelah memastikan pintu dan jendela terkunci semua, kami bertiga berjalan ke ujung gang untuk mencari becak, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk mendapatkan becak mesin yang akan membawa kami ke pajak central, salah satu pusat grosir yang cukup besar di kota Medan. 

Sinar bahagia terpancar di wajah Vita dan Kia, ibu mana yang tidak bahagia melihat kebahagiaan buah hatinya, tapi sayangnya Bang Rahmat seperti acuh dan tidak peduli, bukankah bagi seorang Bapak, kebahagiaan seorang anak yang utama? Beda cerita jika Bang Rahmat bapaknya, aku sebagai istrinya juga kadang tidak habis pikir, awalnya aku sangat bangga padanya karena begitu memperlakukan ibunya dengan istimewa, tapi makin kesini, rasa bangga itu berubah jadi rasa kekecewaan, mungkin jika aku dinomorduakan, dapat ku pendam rasa kecewanya, tapi kalau sudah soal anak, rasanya sulit diri ini untuk mentolerir. 

Menempuh jarak sekitar empat puluh menit, akhirnya kami sampai di pusat grosir, setelah membayar ongkos becak, akupun menggandeng tangan Kia dan Vita, aku cukup berhati-hati karena saat ini sepuluh hari menjelang lebaran jadi padat pengunjung dan sudah pasti tingkat kejahatan juga tinggi. 

Vita dan Kia aku belikan baju gamis masing-masing dua stel beserta jilbabnya, aku memilih gamis untuk pakaian lebaran anakku agar bisa dipakai saat mengaji atau acara sekolah, dan itu juga permintaan mereka, karena mereka berdua  ingin menutup aurat sejak dini, mungkin karena mereka sekolah di madrasah jadi sedikit banyak mengerti tentang agama. 

Semua belanjaan anakku tidak sampai totalnya satu juta, masih sisa uang sebanyak lima juta dua ratus, setelah melihat status adik ipar yang dibelikan baju oleh ibu mertua dan status ibu mertua yang sedang berbelanja di sebuah Mall, rasanya hati ini tidak ikhlas mengembalikan uang ini ke celengan Bang Rahmat lagi, ide bisnisku pun muncul seketika, selama ini aku membantu berjualan dagangan baju teman-temanku, kini ... apa salahnya uang yang masih tersisa aku jadikan modal agar berdagang barangku sendiri, senyum ini mengembang karena membayangkan pundi-pundi keuntungan yang akan aku raih. 

Aku kembali mengajak Vita dan Kia untuk berkeliling mencari model baju apa yang dapat aku jual di sekitar lingkungan rumah kami,  untungnya kedua anakku tidak merasa lemas karena hati mereka sudah bahagia setelah dibelikan baju lebaran 

Aku memutuskan untuk berdagang baju daster batik, karena dari segi modal tidak terlalu banyak dan tidak musiman, baju daster pakaian sehari-hari ibu-ibu, walaupun saat ini gamis lebaran yang laris manis tanjung kimpul tapi dipakai paling lama hanya tiga jam saja, pasti unjung-ujungnya berganti dengan daster yang nyaman, nah ... disini aku memilih daster tapi dengan model yang terkini, ada yang model kaftan tapi terbuat dari bahan katun batik, ada model midi dress, dengan modal lima juta saja, aku sudah bisa belanja banyak karena baju daster harganya lebih terjangkau. 

Sudah pukul tiga sore, dan kami bertiga juga sudah cukup lelah, akhirnya memutuskan untuk pulang, sebelum pulang aku beli ikan masak dan beberapa takjil pilihan Vita dan Kia, dengan maksud sampai rumah aku tidak perlu lagi memasak karena badan ini sudah lelah dan tidak sanggup untuk berjibaku di dapur.

****

"Nah, ini baru betul, ada soto, ayam goreng sama sambelnya, ga makan mie instan terus atau sarden," ucap Bang Rahmat saat berbuka, aku hanya diam, begitu juga Vita dan Kia, karena makanan yang tersaji beda dari menu biasanya, kami pun makan dengan lahap, terlihat sekali Bang Rahmat sampai mengkokop mangkuk soto untuk menghabiskan kuahnya tanpa sisa.

"Besok masak gini lagi ya Salma, selera kali Abang makan kalau menunya begini, ga makanan muntahan kucing lagi yang kau suguhkan," ucap Bang Rahmat sambil melap mulutnya dengan serbet yang dari sisa kuah soto yang ia kokop tadi dari mangkuknya lalu ia bersendawa dengan kerasnya.

"Mau rendang juga bisa Salma suguhkan, Bang."

"Nah, makin pintar kau, Salma."

"Tapi kasi uang belanja enam juta sebulan, ini ngasih dua juta lima ratus untuk semua, mau minta makan enak, mimpilah Bang, kecuali kalau aku ada usaha sendiri, bisalah sesekali makan enak dan mewah."

"Heleh! Mulai lah kau ga bersyukur, ujung-ujungnya aku sakit kepala mendengar tuntutanmu."

"Seharusnya aku yang sakit kepala, Bang."

"Teros! Teros lau kau mengoceh, ujung-ujungnya minta THR buat baju lebaran."

"Enggak  Bang, ga akan aku minta lagi, kayak pengemis aku lama-lama."

"Nah, baguslah kau sadar diri. Oiya, ini bisanya kau mengatur keuangan sampai kita bisa berbuka dengan menu enak begini? Masih aman kan duit belanja yang Abang kasi?" 

"Duit yang Abang kasi sudab hampir sakratul maut, Bang."

"Lah! Terus kau belanja bahan makanan ini, darimana duitnya?"

"Adalah Bang," ucapku masih merahasiakan pada Bang Rahmat perihal aku mengambil uang tabungan THR untuk ibunya. 

"Selingkuh kau ya? Atau jangan-jangan open BO kau?"

"Astahfirullah! Ga sehina itu aku ya, Bang! Bagus-bagus mulut abang tu kalau berucap." Aku emosi dengan tuduhan Bang Rahmat, bisa-bisanya dia menuduhku serendah itu. 

"Jadi kau dapat uang dari mana, Salma? Sok misterius pula kau, bikin darah tinggi saja."

"Dari uang celengan di atas lemari itu," jawabku kalem, apapun nanti yang terjadi, ya sudahlah, aku hadapi, sebelumnya Vita dan Kia sudah aku suruh berangkat terawih di musholla dekat rumah, agar kalau aku dan Bang Rahmat perang dunia ke sepuluh, mereka tidak perlu melihat. 

"Ma … maksudnya, ce … celengan? THR Mamakku?"

"Iya Bang."

"Apa! Sudah gila kau, Salmaaa!" 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Suami egois mau makan enak kasih uang belanja pelit
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status