Share

THR 6 Juta Untuk Mertua
THR 6 Juta Untuk Mertua
Penulis: Henny_Hutabarat

Baju Lebaran

"Bang, boleh Salma ambil satu juta saja dari tabungan itu, untuk beli baju lebaran Kia dan Vita, kasihan anak kita Bang, belum punya baju lebaran," ucapku pelan dan sangat hati-hati takut jika Bang Rahmat marah dan tersinggung, tampak Bang Rahmat menoleh sebentar lalu menggeleng. 

"Jaman susah begini sempat-sempatnya kau memikirkan baju lebaran, bisa makan saja sudah syukur alhamdulillah, perbanyak rasa syukur di hatimu biar tidak kesenangan dunia saja yang kau pikirkan, Salma."

"Ini untuk anak kita, bukan untuk Salma, kasihan mereka Bang, lagian sudah tau susah, Abang tetap memaksakan diri ngasih THR 6 juta untuk Mamak, padahal Mamak bukanlah orang yang susah, kita ini yang susah, Bang."

"Astaghfirullah al azim, istri macam apakah yang aku nikahi ini, suami ingin menunjukkan baktinya pada ibunya malah kau halang-halangi, ingat Salma! Aku ini anak lelaki Mamakku, anak lelaki itu selamanya akan tetap menjadi milik ibunya, ngasih THR 6 juta itu sudah kewajibanku sebagai seorang anak laki-laki. Masalah baju lebaran Kia dan Vita, besok aku coba cari tambahan, kau berdoa saja yang kencang, agar suamimu ini banyak rezeki."

"Tapi Bang–"

"Sudah, jangan membantah, lebih baik kita tidur sekarang agar nanti tidak kesiangan saat sahur."

Aku tidak mengerti jalan pikiran Bang Rahmat–suamiku, bukannya aku melarang dia untuk berbakti pada ibunya, tapi lihat kondisi terlebih dahulu. Gara-gara memaksakan memberi THR saat lebaran nanti sebanyak 6 juta rupiah, kami harus berhemat, yang mana setiap gajian, Bang Rahmat menyisihkan uang 5 ratus ribu untuk ditabung, dan itu terus berlangsung selama dua belas bulan hingga saat menjelang lebaran, uang yang terkumpul berjumlah 6 juta dan diberikan untuk ibunya. 

Karena keinginannya untuk menabung, kami harus berhemat, setelah gajian ia terlebih dahulu menyisihkan uang lima ratus ribu itu, sedangkan sisa uang dua juta lima ratus, harus aku cukup-cukupkan untuk sebulan dengan kondisi memiliki dua anak yang masih sekolah, Kia yang duduk di bangku kelas 2 SD dan Vita kelas 4 SD. 

"Kok banyak kali kuah sarden ini, jadi ga ada rasanya, makin lama kinerjamu sebagai seorang istri makin menurun ya, makananan kayak muntahan kucing begini kau suguhkan sama kami!" cecar Bang Rahmat saat makan sahur itu.

"Sengaja  Bang, biar satu kaleng kecil cukup buat kita semua, aku pengen hemat, biar bisa membelikan baju lebaran buat anakku," sindirku agar ia mengerti.

"Haiss ... sibuk kali kau bahas baju lebaran, dah kayak mamak-mamak F* saja kau, inti dari lebaran itu mensucikan hati agar kembali fitrah, Allah tidak melihat baju baru atau tidak, yang Dia lihat hanya amal dan perbuatan kita."

"Betul yang Abang katakan itu, kalau gitu, duit THR yang sudah terkumpul itu bagi dua ya Bang, tiga juta buat kami, dan tiga juta buat Mamak, kan Mamak ga perlu pakai baju lebaran baru, ini anakmu yang masih kecil ini, bajunya udah pada kekecilan semua, mereka lebih membutuhkan, sedangkan kehidupan Mamak Abang, berkecukupan di sana."

"Hilang selera makanku, itu terus yang kau bahas, udahlah makanan yang kau sajikan kayak muntahan kucing, ditambah tuntunanmu yang terlalu banyak, sadar kau Salma, suamimu ini hanya satpam, bukan pejabat."

"Entahlah Bang, ga ngerti aku sama jalan pikiranmu, aku tidak melarangmu untuk berbakti, tapi apa kau tidak kasihan sama anakmu ini? Abang lebih mementingkan memberi uang THR untuk Mamak hanya untuk dihamburkan begitu saja dari pada membeli gamis untuk anakmu."

"Betul itu Kia! Vita! Kalian mau baju lebaran?" tanya Bang Rahmat dengan emosi. Dua gadis kecil itu mengangguk dengan takut. 

"Bagus! Sekarang anakku kau cuci otaknya agar menuntut baju lebaran dan aku jadi tidak berbakti sama Mamakku, istri macam apa kau, Salma! "

"Lah, kok gitu bahasamu, Bang? Abang sendiri yang bertanya, mereka mengatakan 'iya', malah aku dibilang mencuci otak anakku, mereka masih kecil, anak tetangga semua udah beli baju, mereka cuma bisa diam saat ditanya kawan-kawannya sudah beli baju lebaran atau belum?"

"Ucapan tetangga kok didengarkan, ajari anak kita untuk hidup sederhana dan mensyukuri apa yang ada, kalau tetangga beli mobil? Kau menuntut minta belikan mobil, gitu? Bisa mati berdiri aku lama-lama sama tuntunan mu itu, bikin pecah kepalaku."

Ya Allah, geram sekali mendengar ucapan Bang Rahmat ini, entah ajaran mana yang ia anut, dia berkata kepalanya mau pecah, aku malah sudah lama rasanya kepala ini mau meledak karena sikapnya yang demi untuk menabung untuk THR ibunya, kami harus super irit, jika aku mengeluh, Bang Rahmat selalu berkata kalau aku istri yang tidak pandai bersyukur dan lain sebagainya. 

***

Siang itu udara begitu terik, Kia dan Vita lebih memilih tidur siang setelah pulang mengaji di mushola dekat rumah, sedangkan aku sedari tadi tangan ini sibuk memainkan ponsel, bukan bermain sosmed atau game, tapi sedang memposting jualan baju temanku, ya, aku ikut memasarkan jualan pakaian seorang teman, jika ada yang laku, aku mendapatkan fee sepuluh ribu rupiah per 1 pcs pakaian, lumayan buat tambah-tambahan, saat sedang asik promosi, tanpa sengaja mata ini menangkap status adik iparku yang bernama Yuni, statusnya berhasil membuat hati ini panas dingin. 

(Alhamdulillah, dua stel baju lebaran dibelikan Mamak, untuk cucu kesayangannya, total baju Ayumi sudah lima pasang, semangat terus puasanya Ayumi, gadis sholehanya Mamah.) 

Hah? Mertua membelikan anaknya Yuni baju lebaran? Sedangkan anakku harus berlapang dada memakai baju yang lama karena ayah mereka lebih mementingkan ibunya daripada anak dan istrinya, segera aku screenshoot status Yuni dan aku kirim ke Bang Rahmat yang sedang bekerja di sebuah Bank sebagai satuan keamanan, setelah terkirim dan dibaca, gegas tangan ini memencet tombol panggil. 

"Hhmm, apa?" jawab suamiku malas-malasan di ujung telepon. 

"Waalaikum salam, ucapkan salam, Bang," protesku

"Assalamualaikum, apa Salma? Abang lagi sibuk ini!"

"Abang sudah lihat kan? Mamak membelikan baju lebaran untuk anaknya Yuni."

"Trus? Masalahnya apa?" 

"Ya masalah buat ku Bang! Anaknya Yuni dibelikan, tapi anakku enggak, padahal sama-sama cucunya dan kau malah lebih mementingkan ngasi THR 6 juta daripada membelikan anakmu baju, bisa kan Bang uangnya bagi dua, aku rasa 3 juta cukup untuk THR mamak, dan tiga juta lagi buat Vita dan Kia."

"Ga dirumah, ga di kantor, itu terus yang kau bahas, muak aku Salma! Hilangkan rasa iri di hatimu itu, mentang-mentang Mamakku membelikan baju untuk anaknya si Yuni, langsung iri lah kau, mumpung puasa banyak-banyak kau istighfar biar sembuh penyakit hatimu itu, aku ga mau dengar lagi kau  bahas uang THR yang mau aku kasi buat Mamakku, surgaku ada di telapak kakinya, mau aku kasi  seluruh hartaku pun, ga akan bisa membalas semua jasa Mamakku kepadaku yang telah melahirkan dan membesarkan aku."

"Bukan begitu, Bang, cuma sebagai suami, adillah sedikit."

"Sudahlah Salma, jangan bahas lagi, aku lagi kerja," ucap Bang Rahmat lalu sambungan telepon dimatikan olehnya. Jengkel? Sudah pasti.

Kembali aku bermain sosial media untuk menghilangkan rasa kesal di hati ini, dan tanpa sengaja aku melihat Story ibu mertua yang sedang berbelanja di sebuah Mall, jujur hati ini panas melihatnya, tanpa pikir panjang, segera aku membuka celengan ayam di atas lemari dan membangunkan Vita dan Kia agar segera bersiap karena aku ingin membawa mereka berbelanja  baju lebaran. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Hallo author ijin baca ceritanya baru awal sudah nyesek
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status