Share

Melecehkan

"Lepaskan, Bang!"

"Mau jadi istri durhaka? Sudah kewajibanmu melayani suami!"

Semakin aku memberontak, Bang Rahmat semakin keras memaksa, aku tau ini memang sudah kewajiban seorang istri melayani suami, tapi tidak seperti ini caranya dengan cara memaksa apalagi Bang Rahmat tidak memakai alat kontrasepsi saat ini dan aku pun baru lepas KB, sudah setahun ini aku lepas dan memakai alat kontrasepsi saja saat pencampuran kami, tapi saat ini Bang Rahmat melakukan itu semua tanpa pelindung sama sekali. 

"Mampus kau, Salma!" pekiknya saat ia telah selesai menuntaskan semuanya, rasanya sakit sekali hati ini, ya Allah, kenapa Bang Rahmat semakin hari semakin dzolim terhadapku, ku dorong dengan kasar tubuhnya, ia pun melempar senyum sinisnya, kegiatan ini sudah sering kami lakukan, tapi bukan dengan cara seperti ini.

Tergopoh diri ini menuju kamar mandi, aku membersihkan diri yang terasa kotor dengan isakan tangis. 

"Jangan sok anak perawan kau, Salma. Gitu aja pake nangis, padahal sudah longgar setumpuk mu itu, los dol ga ada sensasi menjepitnya," ejeknya dibalik pintu, rasanya darah ini mendidih mendengarnya, semakin lama mulutnya perlu disobek, aku harus menguatkan diriku sendiri, cepat aku keluar kamar mandi dengan hanya memakai handuk yang melilit di tubuh ini dan segera memakai pakaian. 

"Makin lama barangmu mengecil, Bang, bukan punyaku yang longgar tapi belut mini mu itu udah menciut letoy, sok garang tapi melehoy," ejekku dengan geram, Bang Rahmat sepertinya tersinggung, dia sendiri yang mulai melecehkan aku, tidak tahan rasanya jika aku terus menerus diam, semakin aku diam, semakin tajam lisannya. 

"Memang durhaka kau, Salma, ga ada sopan santunmu sekarang," ucapnya dengan emosi, rasanya pengen ketawa saja diri ini, semua sikapku yang katanya durhaka dan lain sebagainya yang berkonotasi negatif, semua gara-gara tingkah laku, pola pikir dan lisannya selama ini. 

Sepertinya Bang Rahmat ini amnesia saja, segala caci maki selalu ia lontarkan padaku, tapi saat diserang balik malah seolah playing victim. 

Setelah berkata seperti itu Bang Rahmat beranjak tidur, rasanya aku enggan tidur di sampingnya, lebih baik aku tidur bersama Vita dan Kia, sekalian aku hendak mengamankan barang dagangan yang tadi sempat terlihat oleh Bang Rahmat, dengan cepat aku memasukkan ke dalam plastik besar dan menyimpan ke dalam kardus TV yang sudah tidak terpakai yang berada di samping dapur, setelahnya aku masuk ke kamar putriku dan tidur bersama mereka. 

Makan sahur itu,  tidak banyak kata yang keluar dari mulut Bang Rahmat, biasanya dia selalu komplain ini dan itu dengan tidak manusiawi, tapi sekarang, setelah santap sahur, dia merokok di teras, setelahnya Bang Rahmat menunaikan sholat subuh dan lanjut tidur, mungkin perasaannya terluka karena ucapanku yang menyinggungnya masalah ranjang, ah–biarkan saja, itu belum seberapa dengan lisannya yang terus menerus melukai hati ini. 

Setelah Bang Rahmat berangkat kerja, kedua anakku juga sudah berangkat sekolah, aku segera membereskan rumah, tepat jam sembilan pagi dan semua pekerjaan rumah selesai, aku membawa barang daganganku berkeliling ke rumah-rumah tetangga untuk menawarkan daster yang aku jual, aku mempergunakan sistem jemput bola. Walaupun dalam keadaan puasa tidak menyurutkan langkah ini untuk berdagang, ini semua kulakukan untuk kedua anakku, jika ayah mereka tidak seberapa peduli dengan kebutuhan  mereka, maka aku sebagai ibunya tidak bisa hanya diam pasrah hanya bisa menengadahkan tangan seperti pengemis pada suamiku sendiri, percuma aku teriak hak-haknya sebagai seorang ayah, karena mata dan hatinya mungkin sudah tertutup, yang ia kejar hanya ridho dan restu ibunya tapi mengesampingkan kewajibannya. 

"Dagang apa tuh, Salma?" tanya Kak Miah, tetangga kami yang membuka warung kopi dan biasanya tempat nongkrong bapak-bapak saat malam hari. 

"Ini Kak, dagang baju daster, cantik-cantik loh kak, belilah cocok kali lah Kak Miah pake baju daster ini," ucapku merayu, yah, beginilah bahasa pedagang. 

"Mana, lihatlah sini," ucapnya, akupun segera mampir dan kebetulan ada beberapa tetangga yang ngumpul di warung itu. 

"Aku ambil dua ya, Salma, enak kali bahannya, lembut di kulit, modelnya juga bagus," ucap Bu Anik, salah satu tetangga kami, Alhamdulillah sudah lima daster yang laku hari ini, tidak hentinya aku berucap kata syukur Alhamdulillah atas rezeki hari ini, ternyata cara jemput bola dengan datang ke rumah-rumah tetangga cukup ampuh juga. 

"Salut kali lah sama Salma ini, padahal hidupnya sudah serba berkecukupan, tapi mau berdagang daster keliling dari rumah ke rumah, ini sih bukan demi segenggam beras,tapi segenggam berlian" ucap Kak Miah sambil mencoba daster daganganku. 

"Oh, sudah hidup berkecukupan rupanya, kalau gitu, aku beli daster di tempat si Atik saja, sekalian membantu ekonominya, maaf ya Salma, aku tidak jadi ambil, kirain kau dagang karena menopang ekonomi, tapi rupanya demi sebongkah berlian," ucap Bu Anik mengembalikan kembali daster yang tadi ia pilih. 

"Loh, Buk, ya saya jualan karena menopang ekonomi, Buk, kalau berkecukupan mana lah mungkin saya dagang keliling panas-panas seperti ini. Mending di rumah luluran sambil nonton drama korea,  lagian Kak Miah ini ada-ada saja. Siapa bilang hidupku serba berkecukupan, ku aminkan saja semoga suatu saat nanti hidupku serba berkecukupan. Tapi untuk saat ini jauh dari kata cukup Kak Miah, "jelasku kepada Bu Ani dan Kak Miah. 

" Loh, bukannya kata si Rahmat dia selalu memanjakanmu dengan uang, gajinya yang sebanyak lima juta dikasi semua samamu, bahkan dia ada bisnis kecil-kecilan juga, kadang bisa delapan juta sebulan dia ngasi duit sama kau Salma, sampe si Tina–janda yang rumahnya di Batang 3 pengen jadi istri keduanya si Rahmat," seloroh Kak Miah. 

"Hah? Lima juta? Bahkan bisa delapan juta? Wii, jauh di bawahnya itulah Kak."

"Jadi, berapa kau dikasih lakimu?" tanya Kak Miah dengan raut wajah penasaran. 

"Ga perlulah aku cerita Kak, takut mengumbar masalah rumah tangga, intinya aku jualan karena ingin menopang ekonomi yang semrawut ini," jelasku pada Kak Miah. 

Heran juga dengan Bang Rahmat, apa maksudnya dia berkata seperti itu, apakah hanya sekedar pencitraan? Ah sudahlah, yang penting sekarang aku fokus mencari rezeki saja. 

"Kalau gitu, aku jadi beli dasternya ya, ini aku bayar kontan," ucap Bu Anik, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dari dompet kecilnya yang ia apit di lengannya. 

"Alhamdulillah, terima-kasih banyak ya Buk Anik, lancar terus rezeki Ibuk," ucapku, setelahnya aku pun segera pergi dari tempat itu karena jika berlama-lama akan membuang waktu saja, karena biasanya ibu-ibu pada siang hari berkumpul di warung kopi itu, hanya untuk bergosip dan malamnya berganti tempat untuk lapak bapak-bapak untuk ngopi sambil mengobrol dari masalah politik sampai masalah ranjang.

"Eh, Kak Salma, masih kurang rupanya uang bulanan Bang Rahmat sampe jualan keliling begini? Padahal baru saja aku mau daftar jadi istri kedua Bang Rahmat."

Tina, janda muda yang baru beberapa bulan ditinggal suaminya sudah berdiri di sampingku saat aku menjajakan dagangan di salah satu rumah tetangga.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Mulutnya comel juga Rahmat
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status