Share

Ketahuan

Karena situasi yang mendesak, barang dagangan tadi aku masukan ke bawah kursi untuk sementara, karena gerakan itulah cara yang tercepat agar tidak terlihat oleh Bang Rahmat. 

"Loh, katanya mau pulang larut?"

"Ga tenang pikiranku di warung kopi itu, penasaran aku, apa aja yang kau beli tadi sampe THR untuk Mamaku langsung habis? Paling masih ada sisa kan? Sini, mana uangnya?"

"Udah abis, Bang," ucapku beralasan, aku tidak ingin dia tau kalau aku hendak berdagang, bisa-bisa modal dan keuntungannya, diminta sama Bang Rahmat. 

"Jangan bohong kau Salma, kau itu terlahir dari keluarga miskin, bukan hobimu belanja, paling kau belikan baju lebaran Kia dan Vita saja, pasti masih ada sisa, sekarang aku minta baik-baik sama mu, mana sisanya?" tanya Bang Rahmat dengan wajah mulai tegang, ini sudah pukul sepuluh malam, jika aku terus berbohong, pasti terjadi keributan dan kedua anakku yang mungkin sudah tidur di kamarnya, pasti kaget saat mendengar pertengkaran kami. Jujur aku tidak suka karena bisa mengganggu psikologi mereka. Walaupun aku lahir dari keluarga miskin dan hanya tamatan SMA. Tetapi aku sering membaca ilmu parenting di internet, bahwa pertengkaran kedua orang tuanya dapat mengganggu psikologi seorang anak, aku berpikir dengan sangat keras bagaimana agar Bang Rahmat tidak marah untuk malam ini saja. 

"Maafkan aku Bang, aku kecopetan," ucapku pelan dengan memasang wajah sedih, berharap Bang Rahmat percaya. 

"Apa? Kecopetan?" tanya Bang Rahmat dengan raut wajah semakin murka dan aku hanya mengangguk lemah, semoga saja Bang Rahmat percaya. 

"Dilaknat Allah kau, Salma! Dilaknat! Ga main-main dosa yang kau tanggung, Allah menunjukkan angkara murkanya langsung dengan cara kecopetan, baru tau rasa kau, kan? Asal kau tau ya, dicopet atau enggak, uang itu harus kau kembalikan, aku ga mau tau, seperti yang aku bilang tadi, aku kasih waktu enam hari."

"Kalau aku ga mau kembalikan, kenapa, Bang?" tanyaku dengan pelan namun dengan nada yang sedikit tegas. 

"Nantang kau?"

"Ga nantang, Bang. Cuma dari mana aku dapat uang enam juta dalam jangka waktu enam hari."

"Itu kau sendirilah yang berfikir, kau berani berbuat dan harus berani bertanggung jawab."

" Misalkan seandainya aku tetap tidak bisa mengembalikannya bagaimana, Bang?" Aku mencoba bertanya terus, pengen tau jawabannya. 

"Yah, pintar-pintar kau lah nyarinya macam mana."

"Aku tidak janji, aku ikhlas Bang, apapun nanti yang bakal terjadi, aku ikhlas."

"Maksudmu, ikhlas?"

"Yah Abang pikir sendiri lah Bang, dari mana aku nyari duit enam juta dalam jangka waktu enam hari?"

"Ya kau sendiri yang salah, sudah tau susah cari uang, tega-teganya kau mengambil uang THR untuk Mamakku, seharusnya apapun yang kau lakukan, semua atas persetujuanku, kompromikan terlebih dahulu padaku."

"Bang, kemarin-kemarin itu, berbusa mulutku sudah minta uang itu buat beli baju Kia dan Vita, dari cara kompromi, negosiasi sampai jadi pengemis pun sudah aku lakukan, tapi apa jawabanmu Bang? Kau tetap keukeh tidak ngasi, padahal Mamak sibuk membelikan baju lebaran buat anaknya si Yuni dan bahkan Mamak belanja di Mall, anakku hanya menelan pil pahit saja karena ayahnya tak kunjung membelikan baju lebaran malah berusaha mati-matian untuk ngasi THR untuk Mamak yang notabene bukan orang yang kekurangan."

"Loh, loh, kok malah aku pulak yang jadinya seperti terdakwa, disini kau yang salah, kau yang mencuri. Pintar sekarang kau memutar balikkan fakta, kau bilang berbusa mulutmu, aku lebih berbusa mulutku berulang kali menjelaskan padamu kalau anak lelaki itu selamanya milik ibunya, surgaku ada di bawah telapak kaki mamakku, kalau ga ada Mamakku, ga ada aku di dunia ini, ridhonya sangat berarti dalam hidupku ini, jadi seharusnya kau tahu itu, Salma, dan kau camkan di dalam hatimu biar ga gagal paham lagi kau."

"Gagal paham? Aku yang gagal paham? kau yang gagal paham Bang, setelah ijab kabul kebutuhan sandang, pangan dan papan keluarga ini sudah menjadi tanggung jawabmu."

"Udah amnesia kau, Salma, setiap bulan kau ku kasi dua juta lima ratus, kurang apa lagi?"

Rasanya sia-sia berdebat dengan Bang Rahmat ini, yang ada semakin emosi jiwa, malam juga semakin larut, aku memutuskan untuk istirahat saja dan tidak memperdulikan ucapan Bang Rahmat, karena aku saja sudah ikhlas apapun yang terjadi nanti, ya sudahlah. Jika dia terus meminta ganti rugi tidak akan aku kasih sebelum daganganku terjual semuanya, itupun aku lihat situasi kalau memang kelakuannya semakin di luar nalar, tidak akan aku kembalikan sama sekali, karena selama ini dia juga sudah termasuk dzolim kepadaku dan kedua anakku. Aku memutuskan untuk masuk ke dalam kamar dan beristirahat. 

"Ini apa, Salma!" Aku menoleh saat diri ini hendak masuk ke dalam kamar, ternyata Bang Rahmat melihat tumpukan baju daganganku yang nyempil sedikit di bawah kolong kursi, mungkin tadi ketutupan karena aku duduk di lantai, matilah aku, ketahuan.

"Jangan kau sentuh itu, Bang, itu punya Irma," ucapku beralasan kalau itu dagangan baju milik Irma–temanku.

"Oooo, jadi duit THR yang enam juta itu, kau habiskan buat belanja ini, mampus kau Salma, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, sepandai-pandai kau menutup kebohongan, pasti ketahuan juga. Lihatlah, Allah saja murka sama mu karena durhaka sama suami."

"Iya! Itu barang daganganku, Abang tidak perlu takut, nanti kalau dagangan itu habis terjual, aku ganti uang yang telah aku pakai untuk THR Mamak Abang, tidak perlu khawatir, akan aku kembalikan, cuma aku pakai modal sebentar saja." Akhirnya terpaksa aku berkata jujur karena Bang Rahmat sudah melihat barang dagangan itu. 

"Lantam kali mulutmu itu bilang kalau untuk modal, ga akan berkah usahamu tanpa ridho seorang suami, belum sukses saja sudah sombong naudzubillah, cuihh!" 

Rasanya kepalaku sudah mau pecah menghadapi Bang  Rahmat, mendadak pusing, aku butuh berbaring sebentar saja, dengan langkah kaki gamang aku menuju kamar 

"Suami masih ngomong malah masuk kau ke kamar, memang perlu dikasih pelajaran kau Salma, bodoh!" ucap Bang Rahmat sambil ikut masuk ke dalam kamar dan menutup pintu, lalu Bang Rahmat mendorong tubuh ini ke atas kasur.

"Mau apa kau Bang?" tanyaku ketakutan. 

"Mau kuhajar setumpukmu itu biar ga banyak tingkah, mau kubuat hamil kau biar ga bisa keliling jualan, aku pengen lihat, sampai mana kesombonganmu itu, jangan-jangan setelah kau sukses nanti, kau minta cerai, kau tinggalkan aku,  sebelum itu terjadi, lebih baik kau aku buat bunting duluan, biar terus bergantung padaku dan terus ikhlas apapun yang terjadi dalam rumah tangga kita, Karena itulah bentuk dari  sikap istri yang solehah. Mengerti kau, Salma! "

Setelahnya Bang Rahmat memaksaku untuk melakukan itu, aku berusaha menolak. 

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Picik banget suaminya
goodnovel comment avatar
Anisa Bahmid
ntah pusing baca asik uang untuk baju lebaran....bukanya ada thr menjelang mau raya dari tempat kerja dari situ kan bisa ambil uag beli baju anak ...lagian ya belanja baju di online jauh lebih murah ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status