Share

Tukar Tambah

"Kenapa kau? Bunting kau sampe mual begitu?" tanya Bang Rahmat saat melihat wajahku yang seperti orang ingin muntah. 

"Nggak Bang, aku mual karena perkataan Abang itu, ya udahlah, lanjut saja makannya Bang."

"Besok-besok kalau mau jualan, jangan di lingkungan ini ya, agak jauh sedikit, biar ga malu aku," ucap Bang Rahmat sambil menyomot tempe goreng.

 

"Di lingkungan terdekat dulu Bang, baru nanti melebar ke tempat lain."

"Dikasih tau suami, membangkang terus kau Salma. Kalau ku bilang agak jauh, ya agak jauh."

"Makan dulu Bang, ga baik berdebat saat makan."

"Kau yang ngajak berdebat, aku mana ada."

Hening. 

Lebih baik tidak perlu aku tanggapi ucapan Bang Rahmat ini,  diam dan fokus pada makanan yang terhidang di meja makan, setelah ini aku ingin ikut tarawih bersama Vita dan Kia. Ramadhan akan segera berakhir, aku tidak tau, masih dikasih umur atau tidak bertemu di ramadhan berikutnya, maka dari itu aku ingin memanfaatkan di hari-hari terakhir ramadhan ini sembari memohon dan berdoa agar diberi rezeki dan badan yang sehat untuk membesarkan kedua buah hatiku. 

"Nanti banyak-banyak kau istighfar Salma, udah banyak dosamu sama suami."

"Sebaiknya Abang juga ikut tarawih sama kami, sama-sama istighfar kita Bang, sama-sama intropeksi diri."

"Dosaku ada karena kau,Salma. Semenjak ijab kabul, dosamu itu aku yang nanggung, makanya kubilang tadi banyak-banyak kau istighfar biar ga berat kali nanti pertanggung jawabkan di akhirat sana."

"Terserah Abanglah," ucapku sambil melangkah keluar. 

Tepat jam setengah sembilan, sudah selesai melaksanakan sholat tarawih, aku gegas pulang ke rumah sedangkan kedua putriku masih di masjid untuk melakukan tadarus bersama teman-temannya. 

"Aku ambil dua ya Bang, nanti bayarnya setelah lebaran." Aku mempertajamkan indra pendengaran. 

"Iya Tina, terserah kau sajalah, ini si Salma jualan hanya sekedar iseng nya itu, untuk mencari kesibukan, kapanpun Dek Tina bayar, ga masalah bagi si Salma, karena dia pun ga pala kekurangan."

Makin ga betul Bang Rahmat ini, segera aku ingin masuk ke dalam rumah tapi suara Tina terdengar lagi, aku pun menghentikan langkah dan penasaran apa yang hendak wanita itu katakan jika tidak ada aku di rumah.

"Ishh ... beruntung kalilah Kak Salma itu dapat suami kayak Abang ini, udah ganteng, manjain istri, setia lagi sama istri, padahal dari kapan hari aku godain, ga tergoda juga Abang ini, makin penasaran Tina."

"Assalamualaikum." 

"Walaikum salam," ucap Tina dan Bang Rahmat secara bersamaan, mata ini membulat secara sempurna karena melihat daganganku sudah berserakan di lantai, cepat Tina menyembunyikan sesuatu di balik badannya. 

"Tina pulang dulu Bang," bisiknya pelan pada Bang Rahmat. 

"Semoga cocok buat Dek Tina ya, daster batiknya," ucap Bang Rahmat tak kalah pelannya. 

"Apa itu, Tina?"

"Enggak ada apa-apa Kak," ujarnya sambil berjalan mepet tembok menuju pintu keluar. 

"Oh, itu kan daganganku, sini, enak aja main ambil tanpa bilang sama yang punya, mana uangnya?" Aku meraih daster gamis yang ia pegang dengan paksa. 

"Aku sudah bilang tadi sama Bang Rahmat kalau aku ngutang Kak, nanti habis lebaran baru aku bayar."

"Iya, dia sudah bilang Sal, udahlah kasi saja, gitu aja sensi kau, kalau berdagang itu harus profesional, jangan pake perasaan cemburu, lagian si Tina datang kesini untuk membeli dagangan mu, walaupun dia ngutang tapi kan tidak masalah, apa ruginya samamu."

"Jelas rugilah aku, ngambil daganganku tapi ga bayar, sistemku berjualan, ada uang ada barang, aku ga mau ngutangi Tina, soalnya untungnya mau aku putarkan lagi, males aku drama menagih hutang."

"Jangan serakah kali napa, Kak."

"Kasi saja Sal, ambil aja Tina, baru cepat kau pulang, si Salma ini kadang cemburunya kelewatan, sama ibuku pun dia cemburu."

"Bang! Aku ini jualan untuk membalikkan uangmu yang aku pake, biar keuangan keluarga kita cukup, mana ada aku cemburu, hadeh."

"Mulai … Mulai … dramanya, seolah-olah ga ku kasi makan kau," ucap Bang Rahmat dengan wajah yang menyebalkan, kok ada ya laki model Bang Rahmat ini, cukup aku aja yang merasakan ya, jangan kalian, bisa mati berdiri melihat tingkahnya. 

"Bang Rahmat udah ngasih loh Kak, sini  bajunya, jangan pelit-pelit kali Kak, nanti kuburannya sempit, udah banyak pun uang Kakak, kasihanlah sama janda ini." Tina mencoba meraih baju dalam genggaman, aku tidak bisa diam begitu saja, kutarik lagi baju daster itu dengan emosi. 

"Keluar kau Tina, keluar!" Aku memekik. 

"Wi seram kali kau Kak, betah pulak Bang Rahmat punya istri kasar begini ya," ucap Tina sambil bergidik melihatku. 

"Udah nasibku, Tin," ucap Bang Rahmat dengan entengnya.

Oh–ya Allah, pengen rasanya aku lempar mulut Bang Rahmat pake sendal, udah nasib katanya? Trus apa kabar nya nasibku? Trus si Tina ini, apa udah pengen kali dia jadi istri Bang Rahmat?

"Ya udah aku pulang saja Bang, ngeri aku lihat kelakuan Kak Salma ini, kalau mau tukar tambah istri, aku siap Bang."

Makin ga tau malu dia.

"Maafkan istri Abang ya Tina, sabar-sabar kau ya Dek, Abang doakan kau dapat suami kayak Abang ini," tukas Bang Rahmat dengan wajah sok terdzolimi.

"Aminnnnnnnnn!" ucapku dengan kencang sambil menutup pintu lalu membereskan daganganku yang berserakan di lantai. 

"Lancang kali kau Bang, besok lain kali kalau aku ga ada dirumah, jangan main bongkar daganganku."

"Ngaca kau Salma, siapa di antara kita yang lancang, kau yang mengambil celengan untuk Mamakku tanpa sepengetahuanku, apa nggak lancang itu, namanya?"

"Sudahlah Bang, malas aku berdebat sama Abang, untuk seri aja susah, apalagi menang, selalu saja Abang memutar balikan fakta. "

"Ga kebalik itu? Hadeh, pulang tarawih bukannya otaknya makin waras, malah makin miring."

"Tukar tambah saja Bang istrinya!" Terdengar suara wanita dari balik pintu. 

Hadeh! Masih disitu ternyata si Tina itu, aku pun gegas keluar rumah dan disusul oleh Bang Rahmat. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Tina janda gatel mau jadi pelakor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status