LOGINChapter 3
Dikenalkan dengan Aneesa "Tidak, Marcello," kata Lyndi dengan alis berkerut dalam seraya menatap Marcello dibarengi sorot mata ragu, "Bagiamana jika besok ia menyadari?" "Aku tidak mungkin melakukannya, Jessie dan papaku pasti membuhku," ucap Marcello dengan tegas dan tatapannya sangat meyakinkan Lyndi. Jessie adalah ibu tiri Aneesa dan merupakan adik perempuan ayah Marcello, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, tetapi mereka terikat hubungan keluarga sehingga alasan tersebut mampu membuat Lyndi tidak lagi mengeluarkan protesnya lalu membiarkan Marcello mengurus Aneesa-mendinginkan suhu tubuh Aneesa di bathub yang berisi air dingin. Marcello menghela napasnya mengingat malam yang baru saja dilaluinya, bagaimana ia melanggar kata-kata yang diucapkan dengan sangat meyakinkan pada Lyndi. Sudah lebih dari lima menit pria itu masih berdiri di depan jendela kaca kamar hotelnya sementara amarah masih membara di dalam benaknya, ingin sekali lagi menghajar Justin yang berani-beraninya berniat menyentuh Aneesa. Marcello mengusap wajahnya, kantuk menggelayuti matanya. Tetapi, ketika melirik jam tangannya, ia menyadari jika tidak memungkinkan lagi untuk naik ke atas tempat tidur karena lima belas menit lagi harus muncul di konferensi pers. Setelah kemenangan keduanya, banyak pihak yang ingin merayakannya. Termasuk putra orang terkaya di dunia, Barron Smith yang sangat menggandrungi dunia F1 hingga bersedia mengeluarkan uang yang tidak sedikit untuk mendukung tim Haas. Ketika Marcello memutuskan untuk bergabung dengan Haas kontroversi tentu saja terjadi, orang-orang mengejek Marcello. Mencibir jika Marcello terlalu bodoh dan terburu-buru mengambil keputusan, juga dinilai terlalu serakah karena bayaran yang ditawarkan CEO Haas bernilai tiga kali lipat dibandingkan dengan tawaran tim lain. Tidak dipungkiri jika Marcello memang mengincar uang itu, tetapi Marcello bukan tipe orang yang tidak bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil. Menerima uang dengan jumlah fantastis tentu saja memiliki beban moral yang tidak sedikit sehingga pria dengan perawakan tinggi mencapai 192 cm dan rambut sedikit bergelombang yang selalu dibiarkan hingga menyentuh bawah telinganya itu berjuang mati-matian agar tidak mengecewakan tim Haas yang berani membayar mahal dirinya. Bukan mudah untuk berada di titik sekarang dan pencapaiannya tentu tidak hanya mengandalkan kemampuannya saja, ada pembalap lain yang menjadi bagian penting di arena balap untuk menghalau pembalap lain dan ada orang di Race Engineer yang selalu memberikan informasi penting di arena balap, ada orang di bagian strategist yang menentukan kapan seorang pembalap harus masuk pit dan mengganti bannya, dan tim lain yang tentu andilnya saja sama pentingnya di semua bagian sehingga jika orang-orang menyebutnya sebagai pembawa keberuntungan untuk tim Haas, Marcello selalu merasa tidak pantas menerima sebutan itu karena pencapaiannya bukan hasil usahanya sendiri. Sekarang untuk kedua kalinya Marcello bisa membawa tim Haas mendapatkan juara dunia membuat publik sangat haus akan apa pun berita yang bersangkutan dengannya sehingga jika tidak menunjukkan batang hidungnya di konferensi pers sepertinya akan membuat publik bertanya-tanya meskipun lebam di sudut bibirnya tidak mungkin disembunyikan. Marcello beringsut dari tempatnya lalu melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan wajahnya kemudian mengganti pakaiannya, kaus oblong putih dipadukan dengan celana jeans biru tua dan jaket kulit hitam menjadi pilihannya. Tidak lupa sepatu running-nya yang berwarna putih kemudian mengikat rambutnya di belakang kepala lalu melenggang santai menuju ruangan yang menjadi tempat konferensi. "Terlambat seperti biasa," bisik Elio Federico, rekan pembalap satu timnya ketika Marcello baru saja duduk di samping pria berkebangsaan Argentina itu. "Aku ketiduran," jawab Marcello sembari tatapan matanya tertuju pada seseorang yang duduk di jajaran orang-orang penting di Haas. "Ketiduran? Apa kau tidak punya alasan lain selain ketiduran?" bisik Elio disertai senyum mengejek. Sudut bibir Marcello berkedut sementara ekor matanya melirik Barron, pria yang sedari tadi menatap penuh curiga ke arahnya seraya berpikir bagaimana jika Barron tahu wanita incarannya hampir dilecehkan oleh Justin. Sementara manajernya menatapnya dengan tatapan memperingatkan, pasti Sebastian Wyle sudah melihat sudut bibirnya yang memar dan sedikit robek, setelah konferensi pers berakhir pria itu akan berkhotbah panjang lebar, pikir Marcello malas seraya meletakkan kedua tangannya ke atas meja dan menyapukan pandangannya pada para pemburu berita yang telah berjejer rapi di depannya terhalang oleh garis yang dijaga oleh petugas keamanan, mereka pasti sama gatalnya dengan manajernya ingin tahu dari mana asal memarnya. "Dengan siapa kau berkelahi?" tanya Barron seraya mengimbangi langkah Marcello setelah konferensi pers berakhir. Salah satu wartawan sudah menanyakan dari mana Marcello mendapatkan luka itu dan Marcello hanya tersenyum malas seperti biasanya setiap kali ada yang bertanya di luar konteks pekerjaannya. Memberikan alasan tidak sengaja tersikut Elio saat berlatih fisik sepertinya tidak memuaskan meskipun Elio pasti akan segera menutupi kebohongannya, tetapi tulang metakarpalnya juga mengeluarkan semburat biru akibat beberapa kali meninju wajah Justin sehingga sulit sekali untuk meyakinkan semua orang jika dirinya tidak berkelahi. "Aku tidak berkelahi," jawab Marcello dengan santai meskipun telah memperhitungkan jawabannya tidak akan diterima Barron. "Kau kira ada orang yang percaya dengan bualanmu?" tanya Barron dengan nada mengejek. Marcello tersenyum seraya mengepalkan tangannya dan mengamati memarnya, ia sudah sering tidak mendapatkan kepercayaan. Seperti ketika tiba-tiba ia masuk ke dalam tim F1 di tahun kedua bergabung dengan F3 tanpa repot-repot menapaki F2 hingga orang-orang mencemoohnya dengan sebutan hanya pembalap amatir yang didukung orang tuanya yang menginvestasikan uang mereka di Formula One Group untuk menyokong karier Marcello, nyatanya orang tua Marcello sama sekali tidak ikut campur dalam kariernya. Dukungan mereka hanya sebatas dukungan moral dan itu sudah lebih dari cukup. Marcello tidak menghiraukan ucapan Barron, pria dengan rahang tegas dan alis tebal itu berbelok ke arah coffe shop untuk mendapatkan sarapan dan tentunya kopi yang sangat dibutuhkan untuk mengusir kantuknya meskipun mungkin kopi tidak akan banyak menolongnya. "Malam ini jika kau berani tidak datang, aku bersumpah akan bicara dengan Juan agar menahan uang bonusmu," ucap Barron ketika kopi Marcello telah dihidangkan. Pertama kali mendapatkan kemenangannya di Haas, Juan Manuel, bos Haas mengadakan pesta besar-besaran di Los Angeles khusus untuknya. Musim ini bos Haas yang merupakan pemilik saham tunggal juga merayakannya di Los Angeles, tetapi tahun lalu Marcello justru tidak mencul di perayaan tersebut dan memilih merayap di atas gunung yang diselimuti salju abadi di Nojin Kangsang, Tibet. Marcello mengernyit seraya mengangkat cangkir kopinya mendengar ancaman Barron. "Aku akan datang," ucapnya sangat serius. Di sirkuit balap Marcello dikenal sebagai pembalap yang arogan dan nekat, namun sebenarnya semua tindakan Marcello bukan hanya karena menginginkan kemenangan. Ia berada di dunia F1 bukan melulu karena hobi, jika hanya ingin menyalurkan hobi saja Marcello bisa balapan liar di jalanan. Tetapi, karena tujuannya adalah ketenaran dan uang, maka jika bonusnya ditahan oleh bos Haas maka terpaksa Marcello menghadiri perayaan yang digelar oleh bosnya. "Dan... malam ini aku ingin mengenalkanmu pada Aneesa," ucap Barron dan membuat cangkir kopi yang sedang diangkat Marcello nyaris terjatuh.Chapter 49 Kebetulan yang Mustahil “Aku tidak mengerti maksudmu,” ucap Aneesa dengan tenang. Narnia memelintir rambut di samping telinganya menggunakan jari telunjuknya sembari menatap sinis Aneesa, juga senyum malasnya. “Aku banyak menaruh kecurigaan. Marcello sering diam-diam mencuri pandang padamu dan kau sering menghindari tatapan Marcello, tetapi kau juga sering diam-diam mencuri pandang pada Marcello.” “Kecurigaanmu tidak berdasar, kau menuduhku karena cemburu padaku,” ucap Aneesa dengan malas. “Tidak berdasar?” Narnia tersenyum mengejek. "Lalu, apa penjelasanmu? Kenapa kau kembali ke tempat ini?" Sebelah alis Narnia terangkat. "Kau tidak bisa menjelaskannya, kan? Dan mug stitch ini....” Ia menunjukkan layar ponselnya pada Aneesa dan tatapannya tajam penuh kebencian. “Kebetulan yang tidak mungkin!" “Aku tidak memiliki kewajiban memberi penjelasan padamu,” kata Aneesa lalu melangkah. Namun, Narnia menyentuh siku Aneesa dengan lembut. Gerakannya elegan. “Berpura-pura ba
Chapter 48 Kau atau Aku? Setelah tamu-tamunya meninggalkan tempat tinggalnya, Marcello memasukkan semua gelas ke dalam mesin pencuci peralatan dapur otomatis lalu membereskan semua bungkus makanan, membuangnya ke tempat sampah, dan mengembalikan botol alkohol ke tempat semula kemudian membersihkan meja dengan kain setengah basah. Memastikan kebersihannya seperti semula lalu menekan tombol perintah robot pembersih lantai di ponselnya barulah ia pergi ke kamarnya. Kamar Marcello berada di lantai atas, menghadap langsung ke pemandangan kota Los Angeles. Dinding kaca membentang dari lantai ke langit-langit menampilkan panorama lampu kota yang berkilau di malam hari dan cahaya keemasan di pagi hari yang dapat ia saksikan dengan menggeser tirai otomatis berwarna abu-abu gelap yang bisa menutup semua jendela hanya dengan satu sentuhan. Lantainya dari kayu berwarna gelap dipoles sempurna tanpa karpet, hanya permadani datar di area tengah cukup untuk memberi kesan hangat, tetapi tetap mi
Chapter 47 Menaruh Kecurigaan Marcello mengambil botol champgne di rak mini bar lalu meletakannya di atas meja. Ketika hendak mengambil botol Bacardi Reserv Ocho, Narnia mendekatnya sembari tersenyum. “Perlu bantuanku?” tanya Narnia. Marcello mengambil botol Bacardi dan memeganginya. “Jika tidak merepotkanmu.” Narnia mengangguk Lalu mendekati kepada Marcello. “Sudah kuduga kau memiliki selera yang sangat baik, kau memilih furnitur dengan sangat teliti dan cermat. Hanya saja penataan ruangan ini....” Narnia berpikir jika penataan ruangan tidak mencerminkan Marcello seutuhnya, tetapi seperti terdapat sentuhan wanita di sana. Namun, Narnia tidak ingin mengungkapkan kecurigaannya demi menghindari ketidaknyamanan dengan Marcello. “Kurasa hanya kurang beberapa sentuhan, mungkin kau perlu menambahkan sebuah lukisan besar di dinding sebelah sana. Lalu agar ruangan ini terlihat bernapas, kau bisa menambahkan beberapa tanaman hijau kecil, dan rak buku,” ujar Narnia. Marcello melet
Chapter 46 Misi yang Tertunda Barron merasakan bimbang di dalam benaknya, ibunya adalah seorang yang memegang prinsip kuat kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupannya. Bahkan demi kesempurnaan yang menjadi standarnya dalam segala hal, tidak jarang ibunya melakukan tindakan memonopoli sesuatu agar berjalan sesuai standarnya. Seperti saat wanita yang menjadi selingkuhan ayahnya dan anak-anak di luar nikah ayahnya muncul di berbagai portal berita online, ibunya mencoba membungkam media dengan uang. Sayangnya pengguna media sosial tidak bisa dibungkam dan terus menyoroti keberadaan anak-anak haram ayahnya beserta kehidupan wanita-wanita yang dipanggil pelacur oleh ibunya setiap pertengkaran terjadi di rumah mereka. Kata-kata ibunya membuat Barron merasakan hebat di benaknya, antara ingin segera menyatakan cinta pada Aneesa atau Aneesa menunggu momen yang tepat—menunggu ibunya berubah pandangannya terhadap Aneesa. Selama ini Barron beranggapan jika Aneesa cukup layak untuk dirinya
Chapter 45 Standar Keluarga Marcello menggeser posisinya lalu mencondongkan kepalanya ke arah Narnia. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya tanpa menoleh. Narnia sesaat terkejut karena Marcello mengajaknya bicara, tetapi kemudian tersenyum untuk menutupi keterkejutannya. “Selamat atas rumah barumu.” Marcello diam-diam melirik Aneesa dan mengangguk pelan. “Sebenarnya aku butuh saranmu—sebagai seorang desainer interior.” Narnia tersenyum senang dan menoleh menatap Marcello yang menghadap ke depan. “Kau serius?” Marcello dengan sangat santai menyadarkan punggungnya ke sandaran bangku dan tersenyum sambil menoleh pada Narnia dan mencuri pandang pada Aneesa. “Tentu saja.” “Kau bisa mengirimkan foto tempat tinggal barumu dan....” “Kurasa, aku perlu merayakannya. Bagaimana jika setelah acara ini berakhir aku mengundang kalian semua untuk merayakannya?” potong Marcello. Narnia menjilat bibirnya, sedikit bingung karena Marcello bukan pribadi yang terbuka selama ini. Bahkan berkali-kal
Chapter 44 Mengacaukan Rencana Barron Tamu-tamu berdatangan dalam suasana balutan gaun dan jas formal, saling bertukar senyum sopan di antara dentingan gelas dan musik jazz yang dimainkan di atas panggung kecil. Aneesa melangkah dengan anggun bersama Narnia yang menggamit lengannya dan semua mata tertuju ke arah mereka, siapa pun pasti tidak menyangka jika seorang penyanyi pop menghadiri acara yang digelar oleh sosialita paling elite di Los Angeles. Di sana Aneesa membalas senyum sopan orang-orang yang menatapnya. Namun, hatinya dipenuhi kebingungan. Seorang gadis berambut hitam berkilau mengenakan gaun putih berpotongan minimalis memegangi gelas berisi champagne melangkah mendekati mereka dengan langkah sangat anggun, juga gerakan tubuh yang elegan, dan senyum yang merekah di bibirnya. “Kau tidak bilang kalau kau datang ke acara ini,” sapa gadis itu dan tatapannya tertuju pada Narnia. Narnia juga tidak menyangka jika Agnes menjadi salah satu tamu undangan di sana, tetapi ia cu







