LOGINChapter 4
Seorang Diktator Ketika remaja Aneesa pernah berpikir jika dalam hal materi tidak ada pria yang setara dengannya di seluruh Spanyol, kesombongan itu berdasarkan fakta jika ia adalah putri dari seorang ibu yang berlatar belakang keluarga militer sekaligus pengusaha dan ayah kandungnya juga tak kalah kaya raya. Tidak hanya sampai di sana, saat usianya lima tahun pamannya meninggal karena hepatitis alkoholik dan seluruh kekayaan pamannya diwariskan untuknya. Kekayaan pamannya bukan hanya berupa saham di beberapa perusahaan, tetapi pamannya meninggalkan kebun agave dan pabrik tequila di Tijuana yang resmi menjadi milik Aneesa saat memasuki usia legal. Sayangnya Aneesa tidak tertarik dengan dunia bisnis, satu-satunya yang menarik adalah bernyanyi dan menari di atas panggung yang megah. Jika suatu saat nanti harus mengurus bisnis yang diwarisinya, mungkin setelah panggung tidak lagi menarik di matanya atau setelah merasa jenuh dengan gemerlapnya dunianya sekarang sehingga kekayaan miliknya hingga kini masih dikelola ayahnya. Annesa keluar dari mobil, wanita berperwakan tidak terlalu kurus seperti kebanyakan wanita yang berkecimpung di dunia hiburan itu menatap mansion ultra-modern yang berdiri kokoh dan megah di kawasan Malibu. Di depannya kini berdiri Barron Smith, di samping memiliki paras rupawan dengan rambut berwarna cokelat dan mata hazel, pria berusia dua puluh tujuh tahun dengan tinggi 190 cm yang merupakan putra pertama orang terkaya di dunia. Kekayaan ayah Barron bahkan ditaksir dapat menghidupi seluruh penduduk bumi untuk beberapa tahun, sementara beberapa sumber yang tidak pernah dikonfirmasi oleh Barron maupun keluarga menyebut kekayaan pria itu kini mencapai 10% dari kekayaan ayahnya. Perkenalannya dengan Barron dimulai enam bulan yang lalu di sebuah acara amal seni, saat itu Aneesa melelang beberapa karya lukisnya dan hasilnya akan didonasikan untuk lembaga amal. Barron juga berada di sana dan pria itu membeli seluruh lukisan Aneesa kemudian mereka berkenalan lalu mereka pun mulai berkomunikasi dan cukup intens. “Bagaimana kakimu?” tanya Barron pada Aneesa, senyum lebar terlihat jelas di bibirnya. Pandangan Aneesa sekilas tertuju pada kakinya yang terlindung gaun dan mengenakan sepatu tanpa hak berwarna putih gading dengan tali silang di punggung kaki. “Sudah jauh lebih baik,” jawabnya sembari tersenyum lembut. Barron sepertinya tidak begitu percaya, terlihat dari tatapan matanya yang diliputi kekhawatiran “Kau yakin?” Aneesa merindukan sepatu tingginya yang cantik, tetapi cedera kakinya membuatnya harus berpuas hati dengan sepatu tanpa hak agar tidak mengancam keseimbangannya yang setiap langkahnya kini harus belajar berdamai dengan luka di kakinya yang tidak tampak dari luar. “Sudah empat bulan pasca cedera, aku sudah bisa melangkah tanpa tertatih-tatih lagi,” jawab Aneesa dengan lembut, tetapi meyakinkan. “Aku sudah menyiapkan tim medis untuk berjaga-jaga, tetapi kuharap mereka tidak perlu bekerja malam ini,” kata Barron. Aneesa memang dalam masa pemulihan pasca cedera, tetapi tidak nyaris lumpuh sehingga Barron harus menyiapkan tim medis untuk berjaga-jaga untuknya sehingga apa yang dilakukan Barron dinilai Aneesa berlebihan dan sedikit menyinggungnya. Namun, alih-alih menampakkan rasa tersinggungnya, Aneesa memilih tersenyum manis. “Terima kasih karena telah mengkhawatirkan aku,” ucap Aneesa. “Aku hanya berusaha bertanggung jawab karena aku yang mengundangmu,” kata Barron seraya menatap Aneesa dengan lembut. “Acara akan segera dimulai, bagaimana jika kita masuk?” Aneesa mengangguk kemudian mengikuti langkah Barron yang berjalan dengan tidak terburu-buru hingga mereka tiba di pinggir kolam renang yang menghadap kota Los Angeles yang berkelap-kelip di malam hari dengan teras luas dan lampu gantung yang artistik memberikan kesan modern, halus, rapi, dan elegan. Ketika memasuki area pesta, empat itu dipenuhi dengan pria-pria berpakaian formal dan hanya ada beberapa wanita yang berpenampilan elegan. Tidak satu pun orang-orang itu Aneesa kenal membuatnya seolah telah memasuki dunia lain, tetapi seluruh pandangan orang-orang di sana kini tertuju ke arah mereka meskipun Aneesa tidak yakin kepada siapa pandangan mereka ditujukan. Untuknya atau Barron? Mungkinkah karena Barron datang bersamanya sehingga begitu menarik perhatian atau sebaliknya. “Barron...! Kau tidak bilang kalau kau mengajak Aneesa ke sini!” Seorang wanita mengenakan gaun biru tanpa lengan yang sedang memegangi gelas sampanye di tangannya tiba-tiba mendekat dengan langkah terburu-buru lalu memberikan gelasnya pada pelayan yang memegangi nampan, bibirnya yang berwarna merah menyala menyunggingkan senyum lebar dan tatapan matanya berseri-seri. “Dia adalah putri dari adik perempuan ayahku, Narnia Mendez,” kata Barron menjelaskan kepada Aneesa siapa wanita dengan gaun indah rancangan desainer terkenal yang sedang mendekat ke arah mereka. “Hai,” sapa Narnia Mendez seraya mengulurkan tangannya pada Aneesa. “Aku selalu mengagumimu, aku bahkan beberapa kali menonton konsermu. Dan... ya Tuhan, sekarang kau tepat di depanku!" Aneesa tersenyum ramah seraya menjabat tangan Narnia. “Aku sungguh tersanjung mendengarnya.” “Aku menyukai gaya rambutmu saat kau konser di Las Vegas tahun lalu, aku bahkan beberapa kali menirunya,” ujar Narnia dengan mata yang masih berkilat-kilat dan menggengam erat tangan Aneesa. Aneesa tersenyum semringah mendengarnya. Gaya rambutnya maupun gaya berpakaiannya selalu menjadi trend setter, ia tidak terkejut mendengar penggemar meniru penampilannya. “Aku yakin penata rambutmu membuatnya lebih baik dari penata rambutku,” kata Aneesa. Narnia menggeleng seraya menarik tangannya. “Sayang sekali rambutku tidak sepanjang rambutmu, juga tidak setebal rambutmu.” Aneesa tersenyum tanpa menampakkan giginya. “Kau memiliki rambut yang indah," katanya seraya sekilas menatap rambut Narnia yang serupa dengan warna rambut Barrron. Barron berdehem. “Kau belum mengenalkan dirimu,” katanya pada Narnia. Narnia menyeringai. “Namaku Narnia Mendez, kau bisa memanggilku Narnia.” “Senang berkenalan denganmu, Narnia,” kata Aneesa. Narnia mengalihkan pandangannya pada Barron lalu kembali menatap Aneesa. “Aku tidak tahu bagaimana sepupuku yang sombong ini membujukmu sehingga kau mau datang ke pesta macam ini. Maksudku, kau jarang terlihat menghadiri pesta sosial, kau hanya muncul di acara-acara penghargaan.” Aneesa hanya tersenyum, baginya acara-acara pesta sosial kurang menarik meskipun bagi sebagian orang mungkin menarik karena pesta sosial bukan hanya untuk bergaul, tetapi dapat juga digunakan untuk menambah relasi. Sementara Barron menanggapi ucapan Narnia dengan melotot, seolah memperingatkan Narnia agar menjaga ucapannya. Narnia menyeringai lebar menanggapi peringatan Barron. “Kau harus berhati-hati dengannya, sepupuku adalah seseorang yang diktator,” katanya kepada Aneesa dengan seringai menggoda. Namun, kemudian pandangan Narnia tertuju pada jalanan masuk. “Kita bicara lagi nanti, oke?” ujarnya lalu buru-buru meninggalkan Aneesa dan Barron. "Dia selalu penuh semangat," ucap Barron seraya tersenyum dan menatap Narnia yang menjauh. Aneesa mengikuti pandangan Barron dan justru mendapati Marcello yang melangkah dengan santai—bahkan terlihat acuh dengan penampilan tidak formalnya yang membuatnya sangat mencolok di tengah orang-orang yang berpenampilan formal.Chapter 49 Kebetulan yang Mustahil “Aku tidak mengerti maksudmu,” ucap Aneesa dengan tenang. Narnia memelintir rambut di samping telinganya menggunakan jari telunjuknya sembari menatap sinis Aneesa, juga senyum malasnya. “Aku banyak menaruh kecurigaan. Marcello sering diam-diam mencuri pandang padamu dan kau sering menghindari tatapan Marcello, tetapi kau juga sering diam-diam mencuri pandang pada Marcello.” “Kecurigaanmu tidak berdasar, kau menuduhku karena cemburu padaku,” ucap Aneesa dengan malas. “Tidak berdasar?” Narnia tersenyum mengejek. "Lalu, apa penjelasanmu? Kenapa kau kembali ke tempat ini?" Sebelah alis Narnia terangkat. "Kau tidak bisa menjelaskannya, kan? Dan mug stitch ini....” Ia menunjukkan layar ponselnya pada Aneesa dan tatapannya tajam penuh kebencian. “Kebetulan yang tidak mungkin!" “Aku tidak memiliki kewajiban memberi penjelasan padamu,” kata Aneesa lalu melangkah. Namun, Narnia menyentuh siku Aneesa dengan lembut. Gerakannya elegan. “Berpura-pura ba
Chapter 48 Kau atau Aku? Setelah tamu-tamunya meninggalkan tempat tinggalnya, Marcello memasukkan semua gelas ke dalam mesin pencuci peralatan dapur otomatis lalu membereskan semua bungkus makanan, membuangnya ke tempat sampah, dan mengembalikan botol alkohol ke tempat semula kemudian membersihkan meja dengan kain setengah basah. Memastikan kebersihannya seperti semula lalu menekan tombol perintah robot pembersih lantai di ponselnya barulah ia pergi ke kamarnya. Kamar Marcello berada di lantai atas, menghadap langsung ke pemandangan kota Los Angeles. Dinding kaca membentang dari lantai ke langit-langit menampilkan panorama lampu kota yang berkilau di malam hari dan cahaya keemasan di pagi hari yang dapat ia saksikan dengan menggeser tirai otomatis berwarna abu-abu gelap yang bisa menutup semua jendela hanya dengan satu sentuhan. Lantainya dari kayu berwarna gelap dipoles sempurna tanpa karpet, hanya permadani datar di area tengah cukup untuk memberi kesan hangat, tetapi tetap mi
Chapter 47 Menaruh Kecurigaan Marcello mengambil botol champgne di rak mini bar lalu meletakannya di atas meja. Ketika hendak mengambil botol Bacardi Reserv Ocho, Narnia mendekatnya sembari tersenyum. “Perlu bantuanku?” tanya Narnia. Marcello mengambil botol Bacardi dan memeganginya. “Jika tidak merepotkanmu.” Narnia mengangguk Lalu mendekati kepada Marcello. “Sudah kuduga kau memiliki selera yang sangat baik, kau memilih furnitur dengan sangat teliti dan cermat. Hanya saja penataan ruangan ini....” Narnia berpikir jika penataan ruangan tidak mencerminkan Marcello seutuhnya, tetapi seperti terdapat sentuhan wanita di sana. Namun, Narnia tidak ingin mengungkapkan kecurigaannya demi menghindari ketidaknyamanan dengan Marcello. “Kurasa hanya kurang beberapa sentuhan, mungkin kau perlu menambahkan sebuah lukisan besar di dinding sebelah sana. Lalu agar ruangan ini terlihat bernapas, kau bisa menambahkan beberapa tanaman hijau kecil, dan rak buku,” ujar Narnia. Marcello melet
Chapter 46 Misi yang Tertunda Barron merasakan bimbang di dalam benaknya, ibunya adalah seorang yang memegang prinsip kuat kesempurnaan dalam setiap aspek kehidupannya. Bahkan demi kesempurnaan yang menjadi standarnya dalam segala hal, tidak jarang ibunya melakukan tindakan memonopoli sesuatu agar berjalan sesuai standarnya. Seperti saat wanita yang menjadi selingkuhan ayahnya dan anak-anak di luar nikah ayahnya muncul di berbagai portal berita online, ibunya mencoba membungkam media dengan uang. Sayangnya pengguna media sosial tidak bisa dibungkam dan terus menyoroti keberadaan anak-anak haram ayahnya beserta kehidupan wanita-wanita yang dipanggil pelacur oleh ibunya setiap pertengkaran terjadi di rumah mereka. Kata-kata ibunya membuat Barron merasakan hebat di benaknya, antara ingin segera menyatakan cinta pada Aneesa atau Aneesa menunggu momen yang tepat—menunggu ibunya berubah pandangannya terhadap Aneesa. Selama ini Barron beranggapan jika Aneesa cukup layak untuk dirinya
Chapter 45 Standar Keluarga Marcello menggeser posisinya lalu mencondongkan kepalanya ke arah Narnia. “Bagaimana kabarmu?” tanyanya tanpa menoleh. Narnia sesaat terkejut karena Marcello mengajaknya bicara, tetapi kemudian tersenyum untuk menutupi keterkejutannya. “Selamat atas rumah barumu.” Marcello diam-diam melirik Aneesa dan mengangguk pelan. “Sebenarnya aku butuh saranmu—sebagai seorang desainer interior.” Narnia tersenyum senang dan menoleh menatap Marcello yang menghadap ke depan. “Kau serius?” Marcello dengan sangat santai menyadarkan punggungnya ke sandaran bangku dan tersenyum sambil menoleh pada Narnia dan mencuri pandang pada Aneesa. “Tentu saja.” “Kau bisa mengirimkan foto tempat tinggal barumu dan....” “Kurasa, aku perlu merayakannya. Bagaimana jika setelah acara ini berakhir aku mengundang kalian semua untuk merayakannya?” potong Marcello. Narnia menjilat bibirnya, sedikit bingung karena Marcello bukan pribadi yang terbuka selama ini. Bahkan berkali-kal
Chapter 44 Mengacaukan Rencana Barron Tamu-tamu berdatangan dalam suasana balutan gaun dan jas formal, saling bertukar senyum sopan di antara dentingan gelas dan musik jazz yang dimainkan di atas panggung kecil. Aneesa melangkah dengan anggun bersama Narnia yang menggamit lengannya dan semua mata tertuju ke arah mereka, siapa pun pasti tidak menyangka jika seorang penyanyi pop menghadiri acara yang digelar oleh sosialita paling elite di Los Angeles. Di sana Aneesa membalas senyum sopan orang-orang yang menatapnya. Namun, hatinya dipenuhi kebingungan. Seorang gadis berambut hitam berkilau mengenakan gaun putih berpotongan minimalis memegangi gelas berisi champagne melangkah mendekati mereka dengan langkah sangat anggun, juga gerakan tubuh yang elegan, dan senyum yang merekah di bibirnya. “Kau tidak bilang kalau kau datang ke acara ini,” sapa gadis itu dan tatapannya tertuju pada Narnia. Narnia juga tidak menyangka jika Agnes menjadi salah satu tamu undangan di sana, tetapi ia cu
![Memantai [Tamat]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)






