Home / Young Adult / TO GET HER / 4. Seorang Diktator

Share

4. Seorang Diktator

last update Last Updated: 2025-08-06 20:15:54

Chapter 4

Seorang Diktator

Ketika remaja Aneesa pernah berpikir jika dalam hal materi tidak ada pria yang setara dengannya di seluruh Spanyol, kesombongan itu berdasarkan fakta jika ia adalah putri dari seorang ibu yang berlatar belakang keluarga militer sekaligus pengusaha dan ayah kandungnya juga tak kalah kaya raya. Tidak hanya sampai di sana, saat usianya lima tahun pamannya meninggal karena hepatitis alkoholik dan seluruh kekayaan pamannya diwariskan untuknya. Kekayaan pamannya bukan hanya berupa saham di beberapa perusahaan, tetapi pamannya meninggalkan kebun agave dan pabrik tequila di Tijuana yang resmi menjadi milik Aneesa saat memasuki usia legal.

Sayangnya Aneesa tidak tertarik dengan dunia bisnis, satu-satunya yang menarik adalah bernyanyi dan menari di atas panggung yang megah. Jika suatu saat nanti harus mengurus bisnis yang diwarisinya, mungkin setelah panggung tidak lagi menarik di matanya atau setelah merasa jenuh dengan gemerlapnya dunianya sekarang sehingga kekayaan miliknya hingga kini masih dikelola ayahnya.

Annesa keluar dari mobil, wanita berperwakan tidak terlalu kurus seperti kebanyakan wanita yang berkecimpung di dunia hiburan itu menatap mansion ultra-modern yang berdiri kokoh dan megah di kawasan Malibu. Di depannya kini berdiri Barron Smith, di samping memiliki paras rupawan dengan rambut berwarna cokelat dan mata hazel, pria berusia dua puluh tujuh tahun dengan tinggi 190 cm yang merupakan putra pertama orang terkaya di dunia. Kekayaan ayah Barron bahkan ditaksir dapat menghidupi seluruh penduduk bumi untuk beberapa tahun, sementara beberapa sumber yang tidak pernah dikonfirmasi oleh Barron maupun keluarga menyebut kekayaan pria itu kini mencapai 10% dari kekayaan ayahnya.

Perkenalannya dengan Barron dimulai enam bulan yang lalu di sebuah acara amal seni, saat itu Aneesa melelang beberapa karya lukisnya dan hasilnya akan didonasikan untuk lembaga amal. Barron juga berada di sana dan pria itu membeli seluruh lukisan Aneesa kemudian mereka berkenalan lalu mereka pun mulai berkomunikasi dan cukup intens.

“Bagaimana kakimu?” tanya Barron pada Aneesa, senyum lebar terlihat jelas di bibirnya.

Pandangan Aneesa sekilas tertuju pada kakinya yang terlindung gaun dan mengenakan sepatu tanpa hak berwarna putih gading dengan tali silang di punggung kaki. “Sudah jauh lebih baik,” jawabnya sembari tersenyum lembut.

Barron sepertinya tidak begitu percaya, terlihat dari tatapan matanya yang diliputi kekhawatiran “Kau yakin?”

Aneesa merindukan sepatu tingginya yang cantik, tetapi cedera kakinya membuatnya harus berpuas hati dengan sepatu tanpa hak agar tidak mengancam keseimbangannya yang setiap langkahnya kini harus belajar berdamai dengan luka di kakinya yang tidak tampak dari luar.

“Sudah empat bulan pasca cedera, aku sudah bisa melangkah tanpa tertatih-tatih lagi,” jawab Aneesa dengan lembut, tetapi meyakinkan.

“Aku sudah menyiapkan tim medis untuk berjaga-jaga, tetapi kuharap mereka tidak perlu bekerja malam ini,” kata Barron.

Aneesa memang dalam masa pemulihan pasca cedera, tetapi tidak nyaris lumpuh sehingga Barron harus menyiapkan tim medis untuk berjaga-jaga untuknya sehingga apa yang dilakukan Barron dinilai Aneesa berlebihan dan sedikit menyinggungnya. Namun, alih-alih menampakkan rasa tersinggungnya, Aneesa memilih tersenyum manis.

“Terima kasih karena telah mengkhawatirkan aku,” ucap Aneesa.

“Aku hanya berusaha bertanggung jawab karena aku yang mengundangmu,” kata Barron seraya menatap Aneesa dengan lembut. “Acara akan segera dimulai, bagaimana jika kita masuk?”

Aneesa mengangguk kemudian mengikuti langkah Barron yang berjalan dengan tidak terburu-buru hingga mereka tiba di pinggir kolam renang yang menghadap kota Los Angeles yang berkelap-kelip di malam hari dengan teras luas dan lampu gantung yang artistik memberikan kesan modern, halus, rapi, dan elegan.

Ketika memasuki area pesta, empat itu dipenuhi dengan pria-pria berpakaian formal dan hanya ada beberapa wanita yang berpenampilan elegan. Tidak satu pun orang-orang itu Aneesa kenal membuatnya seolah telah memasuki dunia lain, tetapi seluruh pandangan orang-orang di sana kini tertuju ke arah mereka meskipun Aneesa tidak yakin kepada siapa pandangan mereka ditujukan. Untuknya atau Barron? Mungkinkah karena Barron datang bersamanya sehingga begitu menarik perhatian atau sebaliknya.

“Barron...! Kau tidak bilang kalau kau mengajak Aneesa ke sini!”

Seorang wanita mengenakan gaun biru tanpa lengan yang sedang memegangi gelas sampanye di tangannya tiba-tiba mendekat dengan langkah terburu-buru lalu memberikan gelasnya pada pelayan yang memegangi nampan, bibirnya yang berwarna merah menyala menyunggingkan senyum lebar dan tatapan matanya berseri-seri.

“Dia adalah putri dari adik perempuan ayahku, Narnia Mendez,” kata Barron menjelaskan kepada Aneesa siapa wanita dengan gaun indah rancangan desainer terkenal yang sedang mendekat ke arah mereka.

“Hai,” sapa Narnia Mendez seraya mengulurkan tangannya pada Aneesa. “Aku selalu mengagumimu, aku bahkan beberapa kali menonton konsermu. Dan... ya Tuhan, sekarang kau tepat di depanku!"

Aneesa tersenyum ramah seraya menjabat tangan Narnia. “Aku sungguh tersanjung mendengarnya.”

“Aku menyukai gaya rambutmu saat kau konser di Las Vegas tahun lalu, aku bahkan beberapa kali menirunya,” ujar Narnia dengan mata yang masih berkilat-kilat dan menggengam erat tangan Aneesa.

Aneesa tersenyum semringah mendengarnya. Gaya rambutnya maupun gaya berpakaiannya selalu menjadi trend setter, ia tidak terkejut mendengar penggemar meniru penampilannya.

“Aku yakin penata rambutmu membuatnya lebih baik dari penata rambutku,” kata Aneesa.

Narnia menggeleng seraya menarik tangannya. “Sayang sekali rambutku tidak sepanjang rambutmu, juga tidak setebal rambutmu.”

Aneesa tersenyum tanpa menampakkan giginya. “Kau memiliki rambut yang indah," katanya seraya sekilas menatap rambut Narnia yang serupa dengan warna rambut Barrron.

Barron berdehem. “Kau belum mengenalkan dirimu,” katanya pada Narnia.

Narnia menyeringai. “Namaku Narnia Mendez, kau bisa memanggilku Narnia.”

“Senang berkenalan denganmu, Narnia,” kata Aneesa.

Narnia mengalihkan pandangannya pada Barron lalu kembali menatap Aneesa. “Aku tidak tahu bagaimana sepupuku yang sombong ini membujukmu sehingga kau mau datang ke pesta macam ini. Maksudku, kau jarang terlihat menghadiri pesta sosial, kau hanya muncul di acara-acara penghargaan.”

Aneesa hanya tersenyum, baginya acara-acara pesta sosial kurang menarik meskipun bagi sebagian orang mungkin menarik karena pesta sosial bukan hanya untuk bergaul, tetapi dapat juga digunakan untuk menambah relasi. Sementara Barron menanggapi ucapan Narnia dengan melotot, seolah memperingatkan Narnia agar menjaga ucapannya.

Narnia menyeringai lebar menanggapi peringatan Barron. “Kau harus berhati-hati dengannya, sepupuku adalah seseorang yang diktator,” katanya kepada Aneesa dengan seringai menggoda. Namun, kemudian pandangan Narnia tertuju pada jalanan masuk. “Kita bicara lagi nanti, oke?” ujarnya lalu buru-buru meninggalkan Aneesa dan Barron.

"Dia selalu penuh semangat," ucap Barron seraya tersenyum dan menatap Narnia yang menjauh.

Aneesa mengikuti pandangan Barron dan justru mendapati Marcello yang melangkah dengan santai—bahkan terlihat acuh dengan penampilan tidak formalnya yang membuatnya sangat mencolok di tengah orang-orang yang berpenampilan formal.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TO GET HER   85. Tekad Aneesa

    Chapter 85Tekad AneesaAneesa baru saja meninggalkan mobilnya dan memasuki rumahnya melalui pintu penghubung garasi dan ruang belakang, ia mendapati Lyndi berdiri di ambang pintu ruang keluarga membuat Aneesa tidak mampu menahan rasa bahagia dan ia pun berlari ke arah Lyndi.“Aku tidak sedang bermimpi, kan?” tanya Aneesa seraya menatap Lyndi seolah tidak percaya dengan penglihatannya. Lyndi tersenyum. “Kebetulan aku menghubungi Jessie dan dia bilang kau sudah kembali ke sini. Kenapa tidak memberitahuku?” Faktanya Marcello-lah yang memberitahunya—sekaligus memintanya menyusul Aneesa ke Los Angeles. Tetapi, bukan Marcello namanya jika tidak membuat sandiwara dengan sangat halus.“Aku tidak ingin mengganggu waktu liburmu,” ucap Aneesa. Sebenarnya Lyndi masih ingin berada di Madrid bersama keponakan-keponakannya yang menggemaskan dan menikmati hari-hari yang santai bersama orang tuanya di rumah mereka, tetapi imbalan dari Marcello jumlahnya terlalu besar untuk diabaikan. “Aku khawati

  • TO GET HER   84. Hubungan Tiga Bulan

    Chapter 84Hubungan Tiga BulanAneesa duduk di sofa ruang keluarga di rumah Dayana dengan ekspresi masam, Marcello mengabaikannya. Beberapa pesan singkat yang Aneesa kirim tidak dibalas, hanya dibaca sementara panggilannya tidak dijawab. Ketakutan melanda benaknya, diabaikan oleh Marcello untuk kedua kali sementara dirinya kini jatuh cinta pada Marcello. Benar-benar mengerikan!“Kau datang ke rumahku hanya untuk menunjukkan wajah murungmu itu?” tanya Dayana seraya meletakkan stoples kaca berisi camilan ke atas meja dan dua botol minuman kaleng. Aneesa menatap Dayana dengan linglung. “Dayana, menurutmu jika aku putus dengan Barron....” “Putus?” tanya Dayana memotong ucapan Aneesa, alis wanita itu berkerut tidak bisa menyembunyikan keheranannya.Aneesa mengangguk. “Ya. Putus.” Dayana mengambil bantal sofa lalu duduk di sebelah sofa yang diduduki Aneesa, ia menaikkan kakinya dan bersila sembari memeluk bantal yang dipegangnya. Dayana adalah orang yang mengetahui perasaan Marcello pad

  • TO GET HER   83. Disukai Banyak Wanita

    Chapter 83Disukai Banyak Wanita Di dalam hanggar bandara Aerodromo, bandara di pinggiran Barcelona yang biasa digunakan oleh kalangan kelas atas untuk mendaratkan dan memarkirkan pesawat jet pribadi atau pesawat kecil mereka, Marcello berdiri menunggu. Ia mengenakan kaus berwarna hitam yang lumayan ketat menonjolkan lengannya yang berotot dan kacamata hitam bertengger di wajahnya. Cuaca cerah tetapi dingin menusuk, suhu sekitar delapan derajad Celcius. Namun, Marcello seolah tidak memedulikan hawa dingin itu, ia berdiri di luar mobil yang mesinnya menyala dan kaca jendela terbuka, membiarkan udara hangatnya menguap keluar.Pintu kokpit pesawat kecil terbuka, Max muncul dari sana dan melemparkan senyum pada Marcello sembari mengangkat tangannya menyapa Marcello lalu menuruni tangga kemudian segera menghampiri Marcello. “Benar-benar seorang Pangeran,” ucap Marcello sembari membuka kacamata ketika Max berada tepat di depannya, senyum lembut tergambar di bibirnya. “Ini pertama kali a

  • TO GET HER   82. Bukan yang Terpilih

    Chapter 82Bukan yang Terpilih Hidangan di atas meja disajikan oleh juru masak pribadi keluarga Barron, seorang koki yang pernah bekerja di restoran fine dining berbintang Michelin dan biasa menyajikan menu degustation kelas atas. Namun, kemewahan itu tidak memberikan kesan spesial bagi Aneesa. Ia lebih menyukai makan malam keluarga kerajaan; suasananya hangat dan benar-benar terasa seperti berada di tengah-tengah keluarga, jauh lebih nyaman dibandingkan makan malam keluarga yang serba fine dining. Apalagi ia baru saja melalui penerbangan sebelas jam, lelah dan kelaparan karena menu makanan di pesawat pribadi kurang membuatnya berselera. Ia butuh makanan yang benar-benar bisa mengenyangkan perutnya dan masakan Marcello terlintas di pikirannya, tetapi kemudian Aneesa segera kembali ke realitas di depannya. Di ruangan megah itu ayah Barron hanya berbicara beberapa patah kata sejak Aneesa duduk di sana, sekedar percakapan perkenalan yang sangat sopan dan formal. Ibu Barron yang terlih

  • TO GET HER   81. Bukan Tamu Spesial

    Chapter 81Bukan Tamu Spesial Begitu mobil berhenti di depan rumah orang tua Barron, Aneesa langsung merasakan banyak keraguan di benaknya. Ketika berjalan di samping Barron yang menggandengnya dengan percaya diri, langkahnya terasa sangat berat dan kepercayaan diri Aneesa sepertinya berkurang lebih dari separuh karena gaun yang dikenakannya—gaun pilihan Barron yang menurutnya bukan seperti akan menghadiri pesta sosialita ketimbang makan malam keluarga. Bahkan wanita-wanita bangsawan keluarga kerajaan saja tidak mengenakan gaun seperti yang sedang dikenakannya sekarang jika hanya menghadiri acara makan malam keluarga. Ditambah lagi di perjalanan menuju tempat tinggal orang tuanya, Barron memberikan daftar hal-hal yang tidak boleh Aneesa lakukan. “Jangan menyilangkan kaki di bawah meja.” “Jangan sentuh gelas dulu sebelum ayah melakukannya.” “Pegang garpu yang kanan, bukan yang kiri.” “Jangan tertawa terlalu keras, Mama sangat sensitif.” Semua membuat Aneesa pening, bukan karena

  • TO GET HER   80. Aturan Khusus Keluarga Barron

    Chapter 80 Aturan Khusus Keluarga Barron Aneesa menghela napas seraya memandangi wajahnya di pantulan cermin, ia terlihat lelah dengan cekungan mata cukup dalam. Semalam ia tidak bisa tidur karena merasakan dilema, bahkan untuk pertama kalinya ia merasakan tidak ingin kembali ke Los Angeles. Noel berulang tahun, ia juga telah berjanji pada adiknya untuk merayakan tahun baru di Barcelona bersama keluarganya. Nyatanya sekarang ia berada di Los Angeles, sendirian karena orang tua Barron mengundangnya untuk makan malam. Aneesa telah dengan halus berusaha menolak undangan Barron, mengatakan jika hari ini di rumahnya juga ada acara makan malam untuk merayakan ulang tahun Noel.“Aku sudah menyiapkan pesawat pribadi untukmu besok, jadwalnya pukul satu dari Madrid,” kata Barron di telepon. Penolakan secara halusnya tidak digubris Barron dan ia terlalu enggan mengeluarkan energi untuk membantah Barron karena saat itu pikirannya sangat kacau. Ia tidak ingin mengecewakan Noel dan ingin berada

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status