Mag-log inHera menatap cermin besar di ruangan persiapan. Wajahnya nyaris tak dikenali, riasan tebal, gaun tipis berkilau, mata yang biasanya berbinar lembut kini menyimpan bara keputusasaan. Seorang wanita berambut pirang dan memakai perhiasan berkilauan mendekat padanya lalu perempuan itu tersenyum palsu.“Relax Beb. After tonight, you won't remember anything. They'll give you something to forget everything.""Maaf aku gak ngerti" sahut Hera, dirinya merasa malas untuk merespons kata-kata itu, karena mendadak ia teringat pada Alexa, yang tertinggal di dalam gedung pesta pertaman kali mereka dipersembahkan pada tamu-tamu sultan dengan naluri binatang."Kau beruntung sudah dibawa ke tempat ini girl. Kau mungkin akan tewas mengenaskan jika masih di istana itu, you know what I mean,mereka memberitahuku kau berasal dari sana." "Siapa?""Hahaha... disini segala gosip beredar dengan cepat beb, come on, be prepared" sahut wanita itu samil berlalu, meninggalkan aroma parfum mahal yang menyeruak.Hera
Udara di ruangan itu beraroma mawar dan kemenyan. Hera terlihat berkilau dan indah di bawah cahaya lampu kristal yang memantul dari gelas-gelas kaca dan juga dinding-dinding berlapis emas. Kain sutra berwarna gading menutupi sebagian tubuhnya. Semua para gadis telah di dandani sepanjang hari, setelah mereka sampai ke gedung pencakar langit, seorang perempuan yang Hera perkirakan berusia 40-an dan berkulit zaitun, mengenakan abaya hitam dengan belahan dada rendah, menuntun mereka untuk membersihkan diri, dan pakaian yang tidak bisa disebut pakaian.Hera sendiri mendapatkan pakaian terbuka yang sungguh tidak nyaman, meskipun latar belakangnya adalah seorang kupu-kupu malam, tapi baju seperti ini sama sekali bukanlah baju, melainkan kain penutup dada sampai bokong. Dari kejauhan, suara dentingan gelas berpadu dengan gendang dan alat musik yang mengundang kesenangan.Hera merasakan dinging di telapak tangannya, dan denyut nadi yang berkejaran cepat di pelipisnya. Udara di ruangan itu ber
Kegelapan yang mutlak, dingin, dan berbau besi.Ketika Hera sadar, hal pertama yang ia rasakan adalah sakit yang berdenyut di belakang kepalanya, bekas pukulan yang dilayangkan para penculiknya kemarin. Ia mencoba menyentuh area yang terasa basah dan lengket itu tapi kedua tangannya diikat erat ke belakang dengan kabel zip tie tebal, menusuk pergelangan tangannya.Ia berada di dalam kontainer baja. Udara di dalamnya pengap, bercampur bau keringat, ketakutan, dan aroma laut yang lembap. Telinganya berdengung, tetapi perlahan, ia mulai mendengar suara lain. Isak tangis. Suara-suara lirih wanita lain yang terikat, dikumpulkan dalam kegelapan yang pekat."Kau sudah sadar?" bisik suara serak yang berasal dari dekatnya. "Mereka membius mu setelah memukul kepalamu kemarin malam." Alexa berusaha menjelaskan. Hera menatap Alexa sebentar.Keadaan temannya itu tidak jauh lebih baik dari dirinya, hanya saja tangan Alexa diikat ke depan bukan di belakang.Hera mendengus pelan, menahan rasa sakit.
Ruben mengepalkan tangan, darahnya menetes ke lantai baja dermaga. “Dimitri... kau baru saja menyentuh milikku,” Bisiknya.Semua perasaan tidak enak dan terasa salah ini bukanlah sebuah ketakutan, melainkan dendam yang belum selesai ia laksanakan. Setiap kali Dimitri muncul, sesuatu yang buruk pasti akan menimpanya, Dimitri ini terasa seperti kutu yang sangat ingin ia musnahkan, tapi ketakutan lain muncul bersamaan setiap kali ia melihat pria itu, beberapa hal tidak bisa hilang dari ingatannya. Meskipun itu sudah 20 Tahun yang lalu.Saat Ruben kecil dipaksa ibunya untuk tinggal bersama ayahnya, ia tidak pernah tau alasannya, yang pasti dia menyadari satu hal yaitu kenyataan bahwa Ibunya adalah kekasih gelap ayahnya.Keluarga mereka menyebutnya "Bastardo" meskipun saat itu ia masih berusia 7 tahun.Udara di lapangan pelatihan menembak belakang kediaman utama Don Valentino terasa tajam dan dingin, tetapi tidak sedingin tatapan yang selalu ia terima dari sudut matanya. Di usia dua belas
Ruben memberikan Hera waktu untuk tetap mematung selama beberapa waktu, ia tidak berniat merusak apapun yang Hera rasakan saat ini, di tangan kanannya kotak komputasi masih menggantung aman, Ruben menghela nafas panjang, matanya memandang tangan kirinya yang masih belum dilepaskan Hera dari genggamannya. Ia ingin menggaruk kepalanya yang tidak gatal, entah sudah berapa lama mereka berdua berdiri mematung di sana.Akhirnya Ruben melihat air mata Hera jatuh tanpa suara, ia tetap menunggu dan memandangi gadis itu."Aku tidak salah" Hera bergumam"Hah?" Ruben mencoba memastikan pendengarannya"Bukan aku yang meninggalkan dia kan?" tanya Hera, ia menatap mata Ruben dengan kedua matanya yang berkaca-kacaRuben ingin sekali menghapus air mata gadis itu, tapi ia tidak berdaya"Dia yang mengkhianati aku terlebih dulu kan?" Hera bertanya pelan, lebih tepatnya ia ingin meyakinkan dirinya sendiri.Ruben yang mendengar itu menghela nafas dan berus
Momen Aktivasi PertamaHera dan Ruben sudah membuka kotak kemarin dengan mulus dan tanpa adanya gangguan berarti, Kedua tangan Ruben sudah memegang benda bersinar itu. Ia mengulurkan benda itu ke arah Hera. “Coba masukkan liontin itu di sini.” Ruben menunjukkan lubang kosong yang sesuai dengan ukuran liontin Hera. “Dan kalau ini jebakan? Kalau benda ini meledak tiba-tiba?” “Maka kita berdua sudah terlalu jauh untuk mundur.” Hera menyentuh permukaan benda itu lalu memasukkan liontin itu. Semuanya terasa pas dan sempurna. Detik berikutnya, cahaya biru memancar lebih kuat — menembus udara, menyalakan ukiran di dinding sekeliling mereka. Seluruh ruangan bergetar pelan, dan gema suara lembut terdengar, samar-samar seperti bisikan. “Cosa Nostra ” Hera mundur selangkah, menatap Ruben dengan mata melebar. kotak log







