Share

Part 5

[Mbak, tiga hari ini aku mau menginap di rumah Mbak, ya? Mau ambil beberapa baju sekalian mengerjakan skripsi di sana biar lebih tenang soalnya kalau liburan di kost terlalu berisik jadi nggak bisa konsen] 

Pesan dari Dinda, adik angkatku masuk ke ponsel. Tumben dia mau menginap, biasanya dia segan dengan Mas Bima kalau dia di rumah. Apalagi tiga hari besok tanggal merah dan weekend.

 

[Oke, Din. Main saja. Pintu rumah terbuka lebar untukmu] Balasku kemudian. 

 

Dinda memang adik angkatku. Masih teringat jelas dalam ingatan 15 tahun lalu ibu memintanya untuk tinggal bersama kami. Saat berziarah ke makam bapak, aku dan ibu melihat Dinda meringkuk di pemakaman ibunya yang masih basah.  

 

Tak tega, akhirnya ibu mengajak dia untuk tinggal bersamaku. Ibu merawatnya sepenuh hati hingga tutup usia enam tahun yang lalu. Sebelumnya, ibu sudah berpesan agar Mas Bima mau menerima Dinda untuk tinggal bersamaku di rumah ini. Lagi-lagi ibu tak tega jika meninggalkan Dinda sendirian di rumah sederhana kami.

 

Mas Bima setuju saja. Akhirnya kuajak Dinda untuk tinggal denganku sedangkan rumah sederhana ibu, sengaja kusewakan bulanan untuk kuliah Dinda. Meski masih kurang tapi tak terlalu banyak, aku masih bisa menutupinya memakai uang belanja.

 

Baru beberapa bulan terkahir Dinda pamit untuk kost tak jauh dari kampus karena sudah semester akhir. Lagipula dia ingin belajar mandiri, katanya. Aku pun mengiyakan saja permintaannya. 

 

[Mbak aku sampai rumah sebelum isya', ya. Mbak nggak ke mana-mana kan hari ini? Takutnya Mbak pergi, aku kan nggak punya kunci cadangan] 

 

Pesan dari Dinda kembali masuk ke aplikasi hijauku.

 

[Nggak ke mana-mana, Din. Mbak di rumah aja. Mas Bima sebentar lagi juga pulang] 

 

Kubalas pesannya barusan untuk memastikan aku tak akan kemana-mana setelah ini. 

 

[Oke, Mbak]

 

Hanya itu balasan darinya. Aku juga tak membalasnya lagi. 

 

Kupejamkan mata sebentar untuk melepas penat. Jarum jam menunjuk angka sembilan. Satu jam lagi menjemput si kembar dari sekolah.

*** 

Hujan deras mengguyur bumi. Yuka dan Yuki masih asyik mewarnai di kamarnya. Sedangkan Bik Marni sudah terlelap di kamar karena memang sudah jam sepuluh malam.

 

Mas Bima belum juga pulang padahal Bella bilang nggak ada lembur. Dinda juga sama saja, bilang habis isya' sampai rumah tapi sudah selarut ini belum juga nongol batang hidungnya. 

 

Berulang kali kutelepon, tak ada yang menyahut. Ponsel mereka sama-sama mati. Entah kenapa bisa bersamaan begitu. Ponsel pun kencan. 

 

[Dek, aku agak telat sampai rumah, ya? Tadi makan dulu sebelum pulang. Sekarang macet mana ban mobil bocor] 

 

Pesan dari Mas Bima muncul di layar ponsel. Kuhembuskan napas lega, setidaknya ada kabar darinya. 

 

[Terus gimana, Mas? Sudah dapet bengkel mobilnya belum? Hujan deras begini] 

 

Kubalas pesan yang dikirimkannya barusan. Semoga saja masih ada bengkel yang buka, hingga Mas Bima tak perlu berlama-lama di luar rumah saat hujan deras seperti ini. 

 

[Sudah, kok. Tunggu saja di rumah, misal ngantuk kamu tidur duluan aja, Dek. Nggak perlu nunggu, oke] 

 

[Iya, Mas] 

 

Balasan singkat kukirim padanya untuk mengakhiri obrolan kami. Meski kujawab iya tapi tetap saja aku ingin menunggunya sampai pulang. Aku nggak mungkin bisa memejamkan mata sementara adik angkat dan suamiku belum sampai rumah selarut ini.

 

Kulangkahkan kaki menuju kamar anak-anak. Mereka sudah menguap, minta untuk di nina bobokan sambil menceritakan kisah Nabi. Kali ini kuceritakan kisah Nabi Nuh dengan kapal besarnya dan adzab banjir untuk orang-orang yang menyekutukanNya.

 

Tak membutuhkan waktu terlalu lama, kedua anak kembarku sudah terlelap. Kutarik selimut untuk menutup tubuhnya hingga ke dada. Mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu kecil sebagai penggantinya. 

 

Bergegas ke luar kamar dan melangkah ke dapur. Menggoreng frozen food sekalian membuat jahe panas untuk menghangatkan badan sembari menunggu Mas Bima dan Dinda datang. 

 

Dua puluh menit kemudian terdengar ketukan di pintu. Kubuka perlahan, Dinda tersenyum menatapku. Badannya basah kuyub. Kuminta dia segera mandi, akan kubuatkan jahe hangat untuknya biar nggak masuk angin. 

 

Dinda hanya mengangguk pelan. Namun entah mengapa kulihat dia sedikit salah tingkah. Ada bercak merah-merah di lehernya. Nggak mungkin itu bekas gigitan nyamuk atau serangga. 

 

Hatiku mulai tak tenang. Ingin sekali kutanyakan soal itu padanya namun urung kulakukan. Aku takut Dinda tersinggung mendengar pertanyaanku. 

 

Aku hanya melihatnya membuka jaket sebelum masuk ke kamar mandi. Dia terlihat agak gemuk sekarang. Badannya lumayan berisi. 

 

"Kamu gemukan, Din," ucapku sambil menyeruput jahe dari ruang makan.

 

Sedikit terlonjak, Dinda menoleh ke arahku. Dia hanya meringis kecil.

 

"Iya, Mbak. Agak gemuk sekarang mungkin karena sering di kost jadi ngemil terus," ucapnya sedikit gugup. 

 

Aku yakin ada yang dia sembunyikan dariku. Biasanya dia tak pernah salah tingkah begini saat mengobrol denganku. Ah, atau ini hanya perasaanku saja karena sudah hampir tiga bulan tak bertemu dengannya? 

"Ya sudah, Din. Buruan mandi, Mbak sudah buatkan jahe anget untukmu," ucapku lagi. 

Dinda kembali menganggukkan kepalanya pelan. Perutnya terlihat sedikit buncit, apa benar itu karena dia sekarang lebih gemuk? Bukan karena dia sedang hamil muda? 

Astaghfirullah. Pikiranku makin kacau. 

Suara mobil Mas Bima mulai masuk ke garasi. Hanya kebetulan kah jika Dinda dan Mas Bima pulang hampir bersamaan?  

 

Ah cukup. Meski aku curiga dengan mereka, namun aku harus berpura-pura untuk biasa saja. Kita lihat saja nanti, siapa yang menjadi pemenang atas sandiwara ini.  

***

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dinda manusia gak tau terimakasih
goodnovel comment avatar
Hersa Hersa
contoh manusia gak tau terimakasih !!!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status