Share

Part 6

Kuseduhkan jahe hangat untuk Dinda dan Mas Bima. Setelah Dinda selesai mandi dan pakai piyama, dia duduk di sampingku. Mas Bima pun sudah keluar dari kamar mandi dengan rambut yang basah lagi. 

Hujan masih deras mengguyur tapi anehnya Mas Bima keramas lagi. Dinda juga, tapi dia memang kehujanan dan kuperintahkan untuk mandi sekalian keramas biar nggak masuk angin.

 

"Kamu nggak kehujanan kan, Mas? Kok ikutan keramas?" tanyaku santai. Kulihat gerak-gerik mereka dari ujung mataku. Saling salah tingkah. 

 

"Iya, Dek. Gerah," jawabnya singkat. Lagi-lagi dengan alasan gerah Mas Bima  seolah bisa aman dari kecurigaan. 

 

Aku pura-pura tak melihat saat mereka saling lempar senyuman. Aku semakin yakin kalau mereka memang ada hubungan spesial selain ipar. Sakit sekali rasanya jika itu benar-benar terjadi. 

 

15 tahun aku hidup bersama Adinda. Usiaku dan Dinda berjarak 7 tahun. Dia yang sebatang kara, dengan penuh cinta dirawat oleh ibuku. Aku pun sangat menyayanginya bahkan dulu sering mengalah demi dia. Saat ibu tak memiliki uang cukup untuk membeli sepatu atau baju, kubiarkan Dinda memilikinya terlebih dahulu sedangkan aku rela beli belakangan asalkan tak melihat dia menangis tergugu. 

 

Saat makan dengan lauk yang dia suka, kubiarkan Dinda mengambil porsi lebih, aku bisa makan dengan lauk lain yang tak disukainya. Aku menyayangi Dinda dan bersyukur memiliki dia dalam keluargaku. Bahkan saat aku sudah bekerja, kubelikan apa pun yang dia minta asalkan tak melewati batas jatah yang kuberikan padanya. 

 

Aku rela sekolah sambil kerja sejak SMA untuk membantu perekonomian ibu juga membiayai sekolah Dinda. Kuliah pun aku sambil bekerja karena tak ingin merepotkan ibu. 

 

Dan kini aku menguliahkan Dinda, berharap setelah sukses nanti dia bisa lebih mandiri. Sengaja tak kubiarkan dia kuliah sambil kerja seperti aku dulu, aku ingin dia bisa lebih fokus dengan perkuliahan. Semua kebutuhannya aku yang mencukupi.  

 

Tapi jika memang dia justru bermain hati dengan Mas Bima di belakangku, entah bagaimana perasaanku nanti. Hancur berantakan itu pasti. Sakit hati. Dan entahlah, aku begitu takut membayangkan itu terjadi. 

 

Astaghfirullah ... kucoba istighfar berkali-kali. Berharap itu hanya sekedar ketakutan dan kekhawatiran yang tak akan pernah menjadi kenyataan. 

 

Kuseruput jahe hangat di cangkir hingga tandas. Rasa gemuruh dalam dada seolah tak bisa kubendung lagi saat kulihat Mas Bima kembali menatap Dinda tanpa kedip. Apalagi jejak merah di leher Dinda itu jelas bukan digigit semut. Aroma parfum yang sering kucium di baju kotor Mas Bima tak asing di hidungku. Benar saja, aku baru ingat jika itu memang parfum Dinda dan sekarang dia memakainya. 

 

Astaghfirullah ... kututup wajah dengan telapak tangan. Rasanya tak ingin percaya namun beberapa bukti menguat pada hubungan mereka. Hubungan tak wajar jika hanya sebatas ipar. 

 

Sudut mataku basah seketika. Kudorong kursi ke belakang dan beranjak ke wastafel. Aku yakin dua manusia itu tak sadar jika aku mulai menitikkan air mata melihat keintiman mereka. Mereka terlalu sibuk saling pandang dan melempar senyum menjijikkan. 

 

"Loh, Dek. Kamu mau ke mana?" tanya Mas Bima tiba-tiba saat aku beranjak ke kamar. Mataku sudah memerah karena luka dan geram bercampur menjadi satu. 

 

"Ngantuk. Mau tidur," jawabku singkat. Aku tak peduli lagi apa yang akan mereka lakukan di rumah ini. Muak! 

 

"Mbak, besok sore aku mau main ke rumah temen, ya?" Dinda minta ijin padaku. 

 

"Kenapa nggak ijin besok, tumben ijin sekarang," jawabku asal tanpa menoleh sedikit pun ke arahnya. 

 

"Takutnya besok kesiangan atau mbak mau pergi," jawabnya lagi. Mendadak teringat pesan yang dikirimkan Bella kemarin.  

 

[Maaf Mel, bukannya mau ikut campur masalah rumah tangga kamu, tapi kayaknya ada sesuatu yang disembunyikan suamimu deh. Tadi aku nggak sengaja denger dia telepon sama seseorang, dia bilang akan antar ke dokter kandungan besok sore. Pakai panggilan sayang-sayang segala. Padahal kamu nggak sedang hamil kan?]

 

Oke, besok aku ikuti Dinda ke mana pun dia pergi. Aku harus memiliki banyak bukti hubungan gelap mereka. 

 

"Oh gitu, Din. Oke lah. Besok mbak nggak ke mana-mana, iya, kan, Mas?" tanyaku pada Mas Bima yang masih melirik Dinda di sampingnya. 

 

"Eh em iya, Dek. Atau kalau kamu mau main ke rumah Bella, aku bisa antar," jawab Mas Bima gugup. 

 

Bella? Ngapain Mas Bima tiba-tiba nawarin aku ke rumah Bella? Apa dia sengaja mau anter aku di sana, setelah itu dia bisa bebas antar jemput Dinda? Licik banget akalnya. 

 

"Kalau ke rumah Bella emangnya boleh, Mas?" tanyaku sedikit memancing kelicikannya.

 

"Boleh, dong, Dek. Nanti aku balik ke rumah. Biar kamu bebas main di sana, kalau sudah capek aku jemput lagi," ucap Mas Bima sambil mengangkat-angkat alisnya. 

 

Dugaanku tepat. Dia memang sengaja merencanakan ini semua agar bisa bebas bersama Dinda. Baguslah, aku ikuti permainannya. 

 

Dia mengantarku ke rumah Bella. Sampai sana aku akan pinjam motor Bella untuk mengikutinya. Yuki dan Yuka justru aman kalau kutinggal sebentar di rumahnya. Ada ibu, Fenny dan Sarena di rumah yang bisa kutitipi sebentar untuk menjaga si kembar.

 

Lagipula biasanya mereka sangat betah bermain bersama. Selain Sarena seumuran Yuki dan Yuka, mereka juga teman satu sekolah. 

 

"Gimana, Dek? Katanya kamu mau me time?" tanya Mas Bima tak sabar.

 

"Me time apa kan masih jagain anak-anak juga," tukasku cepat.

 

"Iya, sih. Tapi setidaknya kan aku bebaskan kamu main, Dek. Temu kangen sama Bella. Bisa ngerumpi banyak hal sama dia, kan?" Mas Bima terus membujuk. 

 

Mungkin dia pikir aku masih saja polos seperti dulu, nggak pernah berpikir macam-macam soal mereka. Tanpa dia tahu aku sedikit demi sedikit sudah mengumpulkan bukti perselingkuhannya. 

 

"Oke deh, Mas. Aku setuju. Lagipula aku juga mau ngobrol sesuatu yang penting sama Bella," ucapku kemudian. Kulirik Mas Bima dan Dinda tersenyum tipis sembari menghembuskan napas lega. 

"Nah gitu dong, Dek. Biar kamu nggak suntuk di rumah terus. Pergi paling cuma antar jemput si kembar saja ke sekolah. Iya, kan?" 

Aku hanya mengangguk pelan, kembali melangkah menuju kamar. Entah apa yang akan mereka rencanakan, yang pasti aku punya rencana sendiri untuk mengumpulkan banyak bukti. 

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Dasar suami laknat dan durjana
goodnovel comment avatar
Nunyelis
sudahkh sertifikat rumah diamankan dari bima.....!!!???
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status