Aku dan Bella kembali ke rumah. Bukti-bukti yang ada di ponsel Bella sudah dikirim ke ponselku semuanya. "Bel, punya kenalan notaris nggak? Aku mau urus sertifikat rumah itu. Mau aku bikin status dihibahkan saja biar Mas Bima nggak bisa otak-atik lagi," ucapku pada Bella yang masih sibuk dengan ponselnya. "Foto sama video sudah aku kirim semua kan, Mel?" tanyanya. Rupanya dia tak mendengarkan pertanyaanku justru masih saja sibuk dengan video Mas Bima dan Dinda tadi. "Sudah semua nih. Cuma dua biji kan videonya?" "Iya, sih. Foto-fotonya juga udah?" tanyanya lagi."Udah semua Bella cantik," jawabku gemas. Dia hanya meringis kecil. "Mau aku hapus videonya. Fotonya sengaja aku simpan satu. Pengen banget aku viralin di kantor tapi nggak tega," ucapnya sembari menghembuskan napas pelan. "Besok antar ke notaris dong, Bel.""Eh iya. Tadi kamu nanya soal itu, ya? Lupa mau jawab. Ada tuh teman dekatnya si Ubay. Dia notaris juga," ucap Bella serius. Ubay adalah adik bungsu Bella yang kini
Pagi mulai menjelang. Aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya secara spesial. Meski begitu tak bisa dipungkiri kalau hatiku berdetak lebih kencang. Aku benar-benar takut kalau Mas Bima tahu apa yang kurencanakan.Sesuai rencanaku dengan Bella kemarin, pagi ini aku harus selesaikan urusan pertanda tanganan. Semakin cepat akan semakin baik, katanya dan aku pun mengiyakan saja. [Bel, nanti kalau aku miscall, kamu langsung telepon Mas Bima, ya? Deg-deg an aku nih]Kukirimkan pesan pada Bella sembari menyiapkan sarapan pagi untuk semuanya. Sedangkan Bik Marni sedang menjemur pakaian di belakang. [Oke. Aku tunggu miscall dari kamu sambil nonton tivi] Kumasukkan kembali ponsel ke saku gamis. Yuka dan Yuki juga sudah siap berangkat sekolah. Formulir dan surat penguasaan sudah ada di atas kulkas. "Sarapan nasi goreng spesial dulu ya, sayang," ucapku pada si kembar yang sudah duduk di kursi makan. Mereka tampak begitu antusias melihatku menyiapkan nasi goreng sosis dengan telur ceplok di
Pov BimaAmelia. Aku mengenalnya saat duduk di bangku perkuliahan. Dia gadis yang baik, sopan, pekerja keras dan keibuan. Semangat dan sikap pantang menyerahnya membuatku semakin kagum. Selain pintar, dia juga murah senyum meski kutahu kehidupan sehari-harinya begitu pas-pasan atau mungkin kekurangan. Aku sering membuntutinya saat pulang kuliah. Dia bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan perawatan ibunya. Apalagi kulihat dia masih memiliki seorang adik perempuan yang masih sekolah juga.Masih ingat bagaimana aku dulu berkenalan dengannya di perpustakaan. Dia terlihat sangat ramah hingga tak butuh waktu lama aku bisa akrab dengannya. Banyak sainganku saat itu. Wajar saja karena Amel memang sosok gadis yang pantas untuk dicintai siapa pun. Namun entah mengapa dia justru menerima cintaku saat itu. Dia bilang merasa nyaman saat ngobrol denganku. Tak butuh waktu lama aku langsung melamar dan menikah secara sederhana dengannya. Apalagi saat itu ayah masih ada, dia juga memintaku unt
Pov : Bima Dinda terlihat sangat cantik dengan kebaya putih dengan hijab senada. Kuucap ijab dengan lancar tanpa hambatan sedikit pun. Beberapa temennya datang untuk menyaksikan pernikahannya. Meski hanya menikah siri tapi aku berusaha membuat pernikahan keduaku ini spesial. Kuberikan perhiasan dengan harga lumayan untuk Dinda. Mama yang awalnya tak setuju dengan pernikahan ini akhirnya mau menerima Dinda menjadi menantu keduanya. Alasanku sudah jelas. Aku ingin anak laki-laki yang tak mungkin bisa diberikan Amel untukku. Aku pun tahu mama juga menginginkan cucu laki-laki dari anak semata wayangnya ini. "Kamu harus bisa adil, Bim. Jangan buat Amel tambah kecewa dengan pilih kasihmu. Mama nggak bisa bantu apa-apa seandainya Amel tahu jika kamu sudah menikah dengan adik angkatnya sendiri," ucap mama lirih setelah aku selesai mengucapkan ijab itu. Aku berusaha meyakinkan mama dengan caraku sendiri. Soal cinta da waktu aku akan berusaha seadil mungkin. Bahkan soal materi InsyaAllah ak
Pov : AmeliaSebelum menjemput si kembar dari sekolah, aku janjian dengan Zahra untuk bertemu. Dia akan membantuku mengurus sertifikat rumah itu. Dia pun memperkenalkanku pada pengacara untuk menggugat Mas Bima. Biar saja dia shock nanti tiba-tiba mendapat surat panggilan sidang. "Ini Ibu Fatimah, Mbak. InsyaAllah bisa membantu mbak Amel mengurus perceraian," ucap Zahra saat memperkenalkanku dengan ibu Fatimah di rumahnya. Aku memang minta dia untuk mencarikan pengacara untuk memudahkan urusanku dengan Mas Bima. Kalau kuurus sendiri dia pasti curiga. Aku sengaja membuatnya shock. "Saya, Amelia, Bu," ucapku lirih sembari menjabat tangan Bu Fatimah. "Jadi Ibu Amelia ingin mantap untuk bercerai, ya, Bu? Apa sudah nggak bisa diperbaiki lagi hubungan dengan suami?" tanya Bu Fatimah mengawali obrolan. Aku menggeleng pelan. Mataku kembali berkaca-kaca tiap kali mengingat pengkhianatan mereka. Dua orang yang kucinta dan sangat kupercaya ternyata tak sebaik yang kukira."Nggak bisa, Bu. Hat
Perlahan, aku naik ke lantai atas menuju kamar Dinda. Adik ANGKATKU itu masih terbaring lemah di ranjang dengan selang infus di tangannya. Dia menoleh sekilas ke arahku lalu mengulum senyum seolah tak terjadi apa-apa. Benar-benar pintar bersandiwara. "Gimana keadaanmu, Din?" tanyaku singkat. Kesal tapi mencoba meredam ego dan emosi demi sebuah sandiwara. Jika mereka pintar bersandiwara, aku juga akan melakukan hal yang sama. Tetap pura-pura tak tahu apa yang terjadi seperti sebelumnya. "Alhamdulillah sudah membaik, Mbak. Untung Mas Bima segera membawaku ke rumah sakit," ucapnya memuji Mas Bima. Aku hanya tersenyum tipis lalu menganggukkan kepala. "Syukurlah kalau begitu. Semoga kamu cepat sembuh biar cepet balik ke rumah. Rumah sepi kalau nggak ada kamu. Mas Bima dan anak-anak pasti juga merasa kehilangan," ucapku lagi sembari duduk di samping ranjangnya. Dinda terlihat salah tingkah. Dia menganggukkan kepala menjawab ucapanku. Sekitar 15 menit aku menjenguk Dinda lalu pamit pula
Pemasangan cctv sudah beres. Dinda pun sudah kembali ke rumah. Aku tahu dia keguguran beberapa hari yang lalu tapi dia dan Mas Bima masih saja bersandiwara seolah tak terjadi apa-apa diantara mereka. Kesel, sih. Tapi biar saja. Jika mereka terus bersandiwara, aku pun akan terus berpura-pura tak tahu hubungan mereka. Malam semakin larut namun aku belum bisa memejamkan kedua mata. Meski begitu aku masih tetap berusaha untuk tidur. Kututup wajah dengan selimut agar bisa lekas tidur meski pikiran masih kemana-mana. Bayangan kebahagiaanku bersama Mas Bima dan pengkhianatannya masih lalu lalang di benak. Entahlah. Rasanya begitu sakit dan tak rela tapi apa boleh dikata nasi sudah menjadi bubur. Perlahan kurasakan Mas Bima beranjak dari ranjangnya. Dia berjingkat-jingkat pelan menuju pintu kamar dan membukanya perlahan. Entah mau ke mana dia. Aku masih pura-pura tak melihat pun tak mendengarnya. Beberapa menit kemudian, aku baru keluar kamar. Perlahan kudengar suara Mas Bima sudah berada
"Kamu sadar dengan apa yang kamu lakukan kan, Mel? Kamu sadar arti undangan sidang di kamar kita ini bukan?" Mas Bima masih saja panik dan terkejut bahkan tak percaya jika aku melakukan semua ini dengan kesadaran penuh.Dikucek matanya perlahan, lalu kembali membaca selembar kertas di tangannya. Laki-laki itu masih saja tak yakin jika yang dipegangnya detik ini benar-benar undangan sidang dari pengadilan untuknya. "Amel! Kamu benar-benar nggak waras," lirihnya sembari mengusap wajah kasar. Aku hanya tersenyum sinis melihatnya seperti itu. Mas Bima kembali berteriak. Mengguncang-guncang bahuku seperti orang kesurupan. Matanya menyorot tajam. Dinda pun keluar dari kamarnya karena mendengar teriakan Mas Bima. Bahkan si kembar ikut terbangun karenanya. "Bik Marni, tolong ajak si kembar jalan-jalan di taman dulu, ya? Saya mau bicara dengan papa dan tantenya," ucapku pada Bik Marni yang langsung dijawab dengan anggukan kepala."Sayang, ikut bik Marni ke taman dulu ya beli es krim atau b