Share

Part 8

"Assalamu'alaikum, Bel. Di rumah nggak?" tanyaku pada Bella yang terdengar masih ngobrol dengan seseorang. Sepertinya suara Sarena, anak semata wayang Bella. 

"Wa'alaikumsalam, Mel. Jadi main ke sini kan hari ini?" tanyanya kemudian. 

Kemarin aku memang sudah bilang soal rencana ini. Hanya saja sengaja meneleponnya kembali, barang kali dia mau pergi.

"Jadi dong, Bel. Sebentar lagi kami berangkat. Tunggu, ya," jawabku santai. 

Bella pun mengiyakan. Kututup telepon saat Mas Bima mulai memanggil dari teras rumah. 

"Dek, ayo berangkat," panggilnya kedua kali. Kujinjing camilan untuk anak-anak sedangkan mereka membawa tas kecil berisi satu stel baju ganti. 

"Banyak banget camilannya. Di rumah nggak disisain, Dek? Ada Dinda juga tuh," ucap Mas Bima pelan. 

Dinda lagi. Cuma dia sepertinya yang ada di pikiran Mas Bima saat ini. 

"Sudah ada kok, Mas. Di kulkas aku sisain banyak," jawabku sedikit kesal. 

Mas Bima hanya tersenyum tipis menatapku memanyunkan bibir. 

Perjalanan ke rumah Bella memakan waktu hampir 30 menit. Anak-anak bergegas turun dan berhamburan ke dalam rumah. Terdengar suara Sarena menuju teras. Ketiga anak itu saling berpelukan melepas rindu lalu melangkah masuk ke kamar bermain mereka. 

Bella keluar rumah dengan senyum manis menyambutku dan Mas Bima. Dia mempersilakan kami masuk ke ruang keluarga, membuatkan minuman dan mengeluarkan camilan dari toples.

"Bel, aku bawa camilan tadi buat Rena sama si kembar. Kalau ini bisa buat mamanya Rena sama oma," ucapku lagi sembari meletakkan dua kotak bika ke atas meja. 

"Kok repot-repot sih, Mel?" Lirik Bella padaku. 

"Istrimu ini loh Mas bawa beginian segala. Malah ngerepotin," ucap Bella lagi. Mas Bima hanya tersenyum kecil sembari menyeruput minuman dingin yang terhidang di meja. 

"Dek, aku pulang dulu, ya? Nanti kalau sudah mau pulang telepon aja biar kujemput," ucap Mas Bima kemudian.

Aku dan Bella saling lirik. Semalam sudah kuobrolkan rencana penyelidikan itu dengannya. Aku dan Bella akan diam-diam mengikuti Mas Bima. Dia pasti punya rencana lain dengan Dinda. Aku yakin itu. 

"Iya, Mas. Nanti aku telepon. Mungkin lumayan lama soalnya aku masih mau ngobrol banyak hal sama Bella. Iya kan, Bel?" Aku menoleh ke arah Bella yang tersenyum tipis. 

"Iya nih, Mas. Mumpung libur dan mumpung ketemu," jawab Bella cepat.

Dia memang teman yang bisa diajak kompromi. Mas Bima pun menganggukan kepalanya lagi. Aku yakin dalam hatinya bersorak gembira karena akan memiliki banyak waktu bersama Dinda tanpa gangguan dari siapapun. Dasar lelaki tak tahu diri.

"Oke lah kalau begitu. Aku pamit. Have fun ya, Sayang," ucap Mas Bima santai dengan senyum tipis. Kucium punggung tangannya saat dia akan beranjak dari tempat duduk. Walau bagaimanapun dia masih sah menjadi suamiku dan aku wajib menghormatinya.

Mas Bima pun pamitan dengan anak-anak di kamar Rena. Sedangkan Oma masih sibuk di dapur mengoven kue. Mas Bima melangkah ke garasi lalu menyalakan mobilnya. 

"Mas langsung pulang ke rumah, kan? Atau mampir dulu ke tempat lain?" tanyaku memastikan. 

"Ke rumah lah, Dek. Mau mampir ke mana lagi coba," ucapnya sambil membuka kaca mobil. Aku tersenyum tipis. Mobil Mas Bima mulai mundur dan melaju pelan ke jalan. Kulihat Bella sudah pamit ke Oma dan menitipkan anak-anak padanya. 

Setelah sedikit menghilang dari pandangan, segera kuganti jilbab dan sweater baru beberapa hari yang lalu. Mas Bima tak tahu menahu soal ini. Sengaja kubeli untuk menyamar agar tak ketahuan Mas Bima dan Dinda. Wajahku pun tertutup masker. 

"Ayo, Mel. Kamu di belakang aja," ucap Bella cepat. Aku pun membonceng di belakangnya. 

"Langsung meluncur ke rumah, Bel," ucapku lagi. Bella pun melajukan maticnya ke arah rumahku. Aku yakin sampai ke rumah lebih dulu daripada Mas Bima. Apalagi cukup macet begini. 

Benar saja, aku dan Bella sudah berhenti tak terlalu jauh dari rumah, baru kulihat mobil Mas Bima memasuki garasi. Dinda sudah terlihat rapi di teras, menyambut Mas Bima dengan senyum manisnya. Kulihat dia mencium punggung tangan Mas Bima, saling berpelukan lalu masuk ke dalam rumah. 

Selang lima menit kemudian, dua makhluk nggak punya akhlak itu kembali ke teras. Dinda membawa tas slempang hitamnya. Dia tampak mengunci pintu lalu menggamit mesra lengan Mas Bima menuju mobil.

"Gila mereka, Mel. Terang-terangan bermesraan di rumahmu," ucap Bella geram. Dia menepuk pundakku pelan. 

Air mataku menetes seketika. Ingin rasanya tegar, namun tak sanggup. Gemuruh kesal, benci dan muak mulai menjalar ke dada. Sesak sekali rasanya melihat kemesraan mereka.

Pengorbananku selama ini ternyata hanya dimanfaatkan dan dipandang sebelah mata oleh mereka. Orang-orang yang selalu kucinta bahkan selalu kudoakan agar bahagia. Betapa tak adilnya mereka padaku. Tega. Kejam. Tak beradab! 

Rasanya ingin mengumpat dan memaki. Semua bayangan masa lalu bersama almarhum ibu dan Dinda kembali memenuhi otakku. Cinta dan kasih sayang yang kami berikan begitu tulus untuknya ternyata tak bisa membuatnya lebih peka dan tahu diri. Entah kenapa dia begitu tega merebut kebahagiaan yang kupunya. 

"Labrak aja yuk, Mel. Gemes aku loh. Tendang mereka berdua. Udah nggak wajar ini mah. Jelas-jelas mereka berdua punya hubungan spesial," Bella terlihat begitu geregetan. 

"Kalau kamu nggak tega, biar aku aja yang cakar muka adik angkatmu itu. Dasar tak tahu diri. Sudah bagus kamu rawat dan sekolahkan dia, bukannya terima kasih malah nikungbdari belakang. Mungkin otaknya memang sudah konslet, Mel. Sekalian aku mau tendang kelamin suamimu biar tahu rasa! Sudah punya dua anak dan istri yang cantik plus setia masih saja celamitan!" Ucap Bella lagi. Kedua tangannya mengepal geram. 

Kuhembuskan napas sesak membayangkan keintiman mereka di dalam mobil. Cukup lama Mas Bima tak menyalakan mesin mobilnya. Entah sedang apa mereka di sana. 

"Ayo lah, Mel. Gemas aku. Kamu kok sabar banget ngadepin suami sama adik nggak ada akhlak seperti mereka, ih!"

Bella melirikku lagi. Dia tak tahu kenapa aku berusaha setenang ini meski dalam hati sana rasanya api sudah berkobar-kobar hebat seolah ingin membumi hanguskan segala tempat. 

"Aku juga muak, Bel. Ingin rasanya kusiram air keras saja mereka berdua biar tahu rasa. Tapi tetap saja aku nggak bisa senekat itu. Untuk sementara aku musti panjangin sabar. Sekarang kita ikuti saja mereka. Cari bukti lebih banyak untuk mengalahkan Mas Bima di pengadilan. Besok aku mau cari notaris untuk mengurus sertifikat rumah itu dengan status hibah. Dengan begitu Mas Bima tak bisa ikut campur lagi soal rumah itu nantinya. Untuk minta tanda tangan Mas Bima, mungkin aku masih minta bantuanmu lagi, Bel. Nggak apa-apa, kan?" tanyaku pada Bella dengan suara makin parau. Bella hanya menghembuskan napas panjang lalu memelukku erat. 

"Yasudah kalau memang begitu rencanamu, Mel. Aku akan selalu mendukung dan membantumu sebisaku. Kamu harus lebih sabar dan kuat demi si kembar, ya?" ucapnya lagi membuatku kembali menitikkan air mata. 

Jika tak ada Bella di sini, mungkin aku sudah pingsan melihat dengan mata kepala sendiri keintiman adik angkat dan suamiku detik ini. Tapi demi memperjuangkan hak kedua anakku, aku harus lebih kuat. Tak akan pernah kubiarkan Mas Bima dan Dinda menikmati rumah itu begitu saja. Sekecil apa pun, ada keringat dan air mata perjuanganku di sana. 

***

 

 

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo semangat Mel buka kedoknya suami dan adik angkatmu
goodnovel comment avatar
leonard ST
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mega Natasya
bagus sekali
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status