Share

Part 8

Author: NawankWulan
last update Last Updated: 2022-12-07 15:50:47

"Assalamu'alaikum, Bel. Di rumah nggak?" tanyaku pada Bella yang terdengar masih ngobrol dengan seseorang. Sepertinya suara Sarena, anak semata wayang Bella. 

"Wa'alaikumsalam, Mel. Jadi main ke sini kan hari ini?" tanyanya kemudian. 

Kemarin aku memang sudah bilang soal rencana ini. Hanya saja sengaja meneleponnya kembali, barang kali dia mau pergi.

"Jadi dong, Bel. Sebentar lagi kami berangkat. Tunggu, ya," jawabku santai. 

Bella pun mengiyakan. Kututup telepon saat Mas Bima mulai memanggil dari teras rumah. 

"Dek, ayo berangkat," panggilnya kedua kali. Kujinjing camilan untuk anak-anak sedangkan mereka membawa tas kecil berisi satu stel baju ganti. 

"Banyak banget camilannya. Di rumah nggak disisain, Dek? Ada Dinda juga tuh," ucap Mas Bima pelan. 

Dinda lagi. Cuma dia sepertinya yang ada di pikiran Mas Bima saat ini. 

"Sudah ada kok, Mas. Di kulkas aku sisain banyak," jawabku sedikit kesal. 

Mas Bima hanya tersenyum tipis menatapku memanyunkan bibir. 

Perjalanan ke rumah Bella memakan waktu hampir 30 menit. Anak-anak bergegas turun dan berhamburan ke dalam rumah. Terdengar suara Sarena menuju teras. Ketiga anak itu saling berpelukan melepas rindu lalu melangkah masuk ke kamar bermain mereka. 

Bella keluar rumah dengan senyum manis menyambutku dan Mas Bima. Dia mempersilakan kami masuk ke ruang keluarga, membuatkan minuman dan mengeluarkan camilan dari toples.

"Bel, aku bawa camilan tadi buat Rena sama si kembar. Kalau ini bisa buat mamanya Rena sama oma," ucapku lagi sembari meletakkan dua kotak bika ke atas meja. 

"Kok repot-repot sih, Mel?" Lirik Bella padaku. 

"Istrimu ini loh Mas bawa beginian segala. Malah ngerepotin," ucap Bella lagi. Mas Bima hanya tersenyum kecil sembari menyeruput minuman dingin yang terhidang di meja. 

"Dek, aku pulang dulu, ya? Nanti kalau sudah mau pulang telepon aja biar kujemput," ucap Mas Bima kemudian.

Aku dan Bella saling lirik. Semalam sudah kuobrolkan rencana penyelidikan itu dengannya. Aku dan Bella akan diam-diam mengikuti Mas Bima. Dia pasti punya rencana lain dengan Dinda. Aku yakin itu. 

"Iya, Mas. Nanti aku telepon. Mungkin lumayan lama soalnya aku masih mau ngobrol banyak hal sama Bella. Iya kan, Bel?" Aku menoleh ke arah Bella yang tersenyum tipis. 

"Iya nih, Mas. Mumpung libur dan mumpung ketemu," jawab Bella cepat.

Dia memang teman yang bisa diajak kompromi. Mas Bima pun menganggukan kepalanya lagi. Aku yakin dalam hatinya bersorak gembira karena akan memiliki banyak waktu bersama Dinda tanpa gangguan dari siapapun. Dasar lelaki tak tahu diri.

"Oke lah kalau begitu. Aku pamit. Have fun ya, Sayang," ucap Mas Bima santai dengan senyum tipis. Kucium punggung tangannya saat dia akan beranjak dari tempat duduk. Walau bagaimanapun dia masih sah menjadi suamiku dan aku wajib menghormatinya.

Mas Bima pun pamitan dengan anak-anak di kamar Rena. Sedangkan Oma masih sibuk di dapur mengoven kue. Mas Bima melangkah ke garasi lalu menyalakan mobilnya. 

"Mas langsung pulang ke rumah, kan? Atau mampir dulu ke tempat lain?" tanyaku memastikan. 

"Ke rumah lah, Dek. Mau mampir ke mana lagi coba," ucapnya sambil membuka kaca mobil. Aku tersenyum tipis. Mobil Mas Bima mulai mundur dan melaju pelan ke jalan. Kulihat Bella sudah pamit ke Oma dan menitipkan anak-anak padanya. 

Setelah sedikit menghilang dari pandangan, segera kuganti jilbab dan sweater baru beberapa hari yang lalu. Mas Bima tak tahu menahu soal ini. Sengaja kubeli untuk menyamar agar tak ketahuan Mas Bima dan Dinda. Wajahku pun tertutup masker. 

"Ayo, Mel. Kamu di belakang aja," ucap Bella cepat. Aku pun membonceng di belakangnya. 

"Langsung meluncur ke rumah, Bel," ucapku lagi. Bella pun melajukan maticnya ke arah rumahku. Aku yakin sampai ke rumah lebih dulu daripada Mas Bima. Apalagi cukup macet begini. 

Benar saja, aku dan Bella sudah berhenti tak terlalu jauh dari rumah, baru kulihat mobil Mas Bima memasuki garasi. Dinda sudah terlihat rapi di teras, menyambut Mas Bima dengan senyum manisnya. Kulihat dia mencium punggung tangan Mas Bima, saling berpelukan lalu masuk ke dalam rumah. 

Selang lima menit kemudian, dua makhluk nggak punya akhlak itu kembali ke teras. Dinda membawa tas slempang hitamnya. Dia tampak mengunci pintu lalu menggamit mesra lengan Mas Bima menuju mobil.

"Gila mereka, Mel. Terang-terangan bermesraan di rumahmu," ucap Bella geram. Dia menepuk pundakku pelan. 

Air mataku menetes seketika. Ingin rasanya tegar, namun tak sanggup. Gemuruh kesal, benci dan muak mulai menjalar ke dada. Sesak sekali rasanya melihat kemesraan mereka.

Pengorbananku selama ini ternyata hanya dimanfaatkan dan dipandang sebelah mata oleh mereka. Orang-orang yang selalu kucinta bahkan selalu kudoakan agar bahagia. Betapa tak adilnya mereka padaku. Tega. Kejam. Tak beradab! 

Rasanya ingin mengumpat dan memaki. Semua bayangan masa lalu bersama almarhum ibu dan Dinda kembali memenuhi otakku. Cinta dan kasih sayang yang kami berikan begitu tulus untuknya ternyata tak bisa membuatnya lebih peka dan tahu diri. Entah kenapa dia begitu tega merebut kebahagiaan yang kupunya. 

"Labrak aja yuk, Mel. Gemes aku loh. Tendang mereka berdua. Udah nggak wajar ini mah. Jelas-jelas mereka berdua punya hubungan spesial," Bella terlihat begitu geregetan. 

"Kalau kamu nggak tega, biar aku aja yang cakar muka adik angkatmu itu. Dasar tak tahu diri. Sudah bagus kamu rawat dan sekolahkan dia, bukannya terima kasih malah nikungbdari belakang. Mungkin otaknya memang sudah konslet, Mel. Sekalian aku mau tendang kelamin suamimu biar tahu rasa! Sudah punya dua anak dan istri yang cantik plus setia masih saja celamitan!" Ucap Bella lagi. Kedua tangannya mengepal geram. 

Kuhembuskan napas sesak membayangkan keintiman mereka di dalam mobil. Cukup lama Mas Bima tak menyalakan mesin mobilnya. Entah sedang apa mereka di sana. 

"Ayo lah, Mel. Gemas aku. Kamu kok sabar banget ngadepin suami sama adik nggak ada akhlak seperti mereka, ih!"

Bella melirikku lagi. Dia tak tahu kenapa aku berusaha setenang ini meski dalam hati sana rasanya api sudah berkobar-kobar hebat seolah ingin membumi hanguskan segala tempat. 

"Aku juga muak, Bel. Ingin rasanya kusiram air keras saja mereka berdua biar tahu rasa. Tapi tetap saja aku nggak bisa senekat itu. Untuk sementara aku musti panjangin sabar. Sekarang kita ikuti saja mereka. Cari bukti lebih banyak untuk mengalahkan Mas Bima di pengadilan. Besok aku mau cari notaris untuk mengurus sertifikat rumah itu dengan status hibah. Dengan begitu Mas Bima tak bisa ikut campur lagi soal rumah itu nantinya. Untuk minta tanda tangan Mas Bima, mungkin aku masih minta bantuanmu lagi, Bel. Nggak apa-apa, kan?" tanyaku pada Bella dengan suara makin parau. Bella hanya menghembuskan napas panjang lalu memelukku erat. 

"Yasudah kalau memang begitu rencanamu, Mel. Aku akan selalu mendukung dan membantumu sebisaku. Kamu harus lebih sabar dan kuat demi si kembar, ya?" ucapnya lagi membuatku kembali menitikkan air mata. 

Jika tak ada Bella di sini, mungkin aku sudah pingsan melihat dengan mata kepala sendiri keintiman adik angkat dan suamiku detik ini. Tapi demi memperjuangkan hak kedua anakku, aku harus lebih kuat. Tak akan pernah kubiarkan Mas Bima dan Dinda menikmati rumah itu begitu saja. Sekecil apa pun, ada keringat dan air mata perjuanganku di sana. 

***

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (8)
goodnovel comment avatar
Sarti Patimuan
Ayo semangat Mel buka kedoknya suami dan adik angkatmu
goodnovel comment avatar
leonard ST
bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Mega Natasya
bagus sekali
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   75 Bahagia (Tamat)

    Kehidupan baru yang membahagiakan itu benar-benar ada dan kini aku mulai merasakannya. Mas Denis selalu berusaha membuatku tersenyum dan tertawa. Cinta dengan segala keromantisan dan kekonyolannya membuatku merasa istimewa. Tak hanya aku, tapi juga dua gadis kembarku. Mereka tak hanya mencintaiku, tapi juga mencintai ayah sambungnya. Ketulusan Mas Denis menjadikan Yuki dan Yuka tumbuh menjadi gadis kecil yang ceria, cantik dan pintar. Mereka tak pernah kekurangan kasih sayang seorang ayah. Keduanya memiliki ayah kandung dan ayah sambung yang saling support. Tak ada lagi persaingan untuk saling menjatuhkan di antara mereka. Namun, kini dua laki-laki itu saling mendukung satu sama lain untuk kebaikan bersama. Tak hanya itu saja. Mas Bima juga berusaha menepati janjinya untuk berubah lebih baik. Dia ingin menjadi ayah yang baik untuk kedua anak kembarnya. Kini, dia sering datang ke rumah untuk bermain dan belajar bersama buah hatinya. Mas Bima bilang ingin mengganti waktu yang pernah

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   74 Saling Memaafkan

    Suasana rumah duka sudah cukup ramai saat keluarga kecilku datang. Mama yang memang sangat pengertian gegas mengajak dua gadis kembarku duduk tak jauh dari teras bersama pelayat lain. Wanita yang kini menjadi mama mertuaku itu memintaku dan Mas Denis untuk masuk ke rumah, melihat kondisi Mas Bima yang kupastikan shock berat. Ibu memang sering hipertensi bahkan gejala stroke, tapi aku tak menyangka jika secepat ini dia pergi. Kasih sayangnya sebagai mertuaku dulu masih terasa hingga detik ini. Ibu sangat menyayangiku. Bahkan setelah aku dan anak lelakinya sah bercerai pun kasih sayang ibu padaku dan kedua cucunya tak berubah justru semakin bertambah. Kepergian ibu selamanya tentu menyisipkan duka mendalam bagi Mas Bima. Tak ada lagi cinta dan perhatian dari sang ibu yang dulu selalu dia rasakan. Dinda sudah datang dan duduk di samping pembaringan ibu. Wajah wanita itu terlihat sangat damai mendapatkan siraman doa-doa dari pelayat. Mas Bima yang duduk bersebelahan dengan Dinda tampak

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   73 Kabar Duka

    "Apa yang terjadi, Din? Ada masalah apa?" Aku kembali bertanya saat melihat air matanya menetes seketika setelah menerima panggilan dari Mas Bima. "Ibu, Mbak. Ibu meninggal dunia," ujarnya dengan suara serak yang membuatku ikut shock. Ibu meninggal dunia, katanya. Mantan ibu mertuaku itu adalah mertua yang baik dan perhatian. Kasih sayangnya padaku dan anak-anak seolah tak pernah berubah meski aku dan Mas Bima tak lagi bersama. Ibu tak pernah menyalahkanku atas perselingkuhan anaknya. Dia bahkan sempat mendukung perpisahan dengan anak semata wayangnya jika memang kebersamaanku dengannya hanya menimbulkan luka. Berulang kali ibu minta maaf atas kesalahan Mas Bima. Ibu sempat merasa menjadi ibu yang gagal karena tak berhasil mendidik anak lelakinya untuk menjadi pemimpin yang baik bagi keluarganya. Ibu begitu bersedih saat akhirnya kuputuskan untuk menggugat cerai. Dia tak ingin kehilangan aku sebagai menantunya. Meski sudah ada Dinda sebagai penggantiku, tapi baginya akulah menan

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   72 Pertemuan Terencana

    Perjalanan cintaku dengan Mas Denis terlalu istimewa. Kini, aku mendapatkan madu dari semua kepahitan yang pernah kurasakan sebelumnya. Duka itu berusaha dia hapus dengan beragam tawa dan bahagia. Kelembutan dan perhatiannya benar-benar membuatku merasa istimewa. Dia menjadikanku seperti ratu, membuat hari-hariku semakin berwarna. Indah dan berwarna, tak kelabu seperti dulu. "Doakan aku bisa menjalani hidup ini lebih baik ya, Mbak. Aku juga ingin sepertimu yang mendapatkan cinta sejati. Rasanya lelah terus disakiti meski kutahu itu semua bagian dari ulahku sendiri. Namun, tak salah jika aku juga mengharapkan bahagia seperti perempuan lainnya bukan?" Dinda menatapku lekat. Sudut matanya basah. Adik angkatku itu kembali menemuiku di ujung senja, sebulan setelah pernikahanku dengan Mas Denis. Dia sengaja mengajakku makan bersama dan ngobrol empat mata. Berulang kali mengucap maaf atas segala kekhilafannya selama ini dan berjanji tak akan pernah mengusik hidupku lagi. "Bukannya kam

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   71 Honeymoon

    Pagi ini, semua sibuk dengan koper masing-masing karena kami akan liburan bersama ke villa Mas Riko di puncak. Si kembar begitu antusias dan riang mendengar kabar dariku sejak subuh tadi. Bik Marni dan mama pun ikut juga. Biarlah ini menjadi liburan bersama bukan hanya honeymoon berdua. Karena kebahagiaan mereka juga menjadi bahagiaku sendiri. Sepanjang jalan si kembar tak henti-hentinya bercanda dan bernyanyi. Mama pun terkadang mengikuti nyanyian mereka. Pun Bik Marni yang sering kali tertawa melihat kekonyolan si kembar.Mobil naik perlahan menuju puncak. Aku menikmati pemandangan kanan dan kiri yang masih rindang dengan pepohonan terlebih pohon karet. Semakin naik, udara semakin dingin. Sebelah kiri jalan banyak gubuk-gubuk yang menjajakan makanan ringan dan minuman, terutama es degan atau kelapa muda. Ada juga yang menjual kelapa bakar. Mas Denis mengendarai mobil dengan hati-hati karena jalanan cukup licin bekas hujan semalaman. Jika terburu-buru, bisa saja mobil oleng dan te

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   70 Malam Pertama

    Malam ini dunia terasa berbeda. Ada dia yang kini berada di sampingku. Dia yang sedang menatapku lekat sembari membisikkan kata-kata cinta, membuatku semakin tersipu. Dia yang dulu pernah aku cinta hingga berakhir luka, kini kembali mendekapku dalam cinta seutuhnya. Cinta halal yang akan melukiskan pahala saat menikmatinya. Tak ada lagi orang-orang yang bisa memisahkan kecuali DIA."I love you," ucapnya dengan tatapan mata penuh cinta dan bahagia. "Love you too, Mas," balasku dengan wajah berbinar. Aku dan Mas Denis saling melempar senyum. Laki-laki yang kini sah menjadi suamiku itu mengecup pipi dan keningku beberapa kali. Dibelainya rambut panjangku. Rambut yang biasanya kututup rapat saat di luar kamar. Kini kubiarkan terurai. Aku menikmati malamku dengan bahagia bersamanya.Hujan rintik-rintik di luar kamar membuat malam semakin syahdu. Aku dan dia saling bercerita tentang apa saja hingga saat-saat paling buruk dalam hidupku. "Saat aku kamu tinggalkan begitu saja tanpa alasan,

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   69 Hari Bahagia

    Aku benar-benar tak menyangka jika kini bisa melihatnya kembali. Dinda yang dulu selalu ceria dan mempesona, entah mengapa kini terlihat berbeda. Dia mencoba tersenyum, tapi jelas tak menutupi wajah aslinya yang terlihat murung dan tirus seperti menahan banyak beban di hatinya.Dinda lebih kurus dibandingkan pertemuan terakhirku dengannya di kebun binatang kala itu. Entah karena apa aku pun tak tahu. Mungkin ada banyak hal yang terjadi di dalam hidupnya dan aku tak ingin ikut campur lagi soal itu sebab kuyakin dia sudah dewasa dan tahu mana yang terbaik untuk dirinya sendiri. Kupikir mereka tak akan datang ke acara bahagiaku, tapi ternyata dugaanku keliru. Mereka tetap datang meski terlambat. Tak mengapa asalkan semua hadir untuk ikut menikmati kebahagiaan yang kurasa."Wa'alaikumsalam. Masuk saja, Mas. Akadnya sudah selesai sekarang tinggal resepsinya saja." Suara seseorang entah siapa menjawab cukup panjang sedangkan yang lain hanya menjawab salamnya saja. Aku tersenyum sembari me

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   68 Tamu Spesial

    Kebaya pink pastel dengan payet di bagian dada, dilengkapi ekor berbahan lace dengan bordiran yang cantik membalut tubuhku. Sedangkan Mas Denis dan si kembar pun memakai gaun dengan warna senada denganku, pink pastel. Hari yang begitu mendebarkan dan membahagiakan itu akhirnya datang juga. Tak ada lagi tangis luka di sini, yang ada hanya senyum bahagia. Kunikmati hari ini dengan senyum dan perasaan syukur tiada kira. Banyak sekali tamu yang datang. Ibu juga sudah ada di sini dengan balutan kebaya coklat tuanya. Duduk di samping tante Rosita yang sebentar lagi akan menjadi mama mertua. Tak ada Mas Bima di sini. Kulihat ke sekeliling pun tak tampak batang hidungnya. Sepertinya dia tak datang. Atau dia memang tak ingin melihat pernikahanku dengan Mas Denis, sahabatnya sendiri? Entahlah. Namun kuharap dia bisa menerima dengan lapang dada atas semua keputusan yang sudah kuambil. Mas Denis duduk di depan penghulu sekaligus wali hakimku dengan wajah yang tenang meski kemarin dia bilang b

  • TOPENG SUAMI DAN ADIK ANGKATKU   67 Dia Yang Berbeda

    "Mas Bima?" Tak hanya aku yang shock melihatnya di sini, Dinda pun sepertinya sama. Suaranya begitu lirih seolah tak berdaya. Saat ini dia pasti sangat ketakutan. Pakaiannya cukup koyak bahkan jilbab yang dia pakai untuk menutupi auratnya pun hampir terlepas dari kepala. Dia bergegas membenarkan jilbab dan bajunya saat laki-laki itu menjatuhkannya ke tanah yang basah, membuatnya meringis kesakitan. Entah kenapa hati ini begitu tak rela melihat Dinda diperlakukan demikian. Kuambil kayu yang berada tak begitu jauh dari tempatku berdiri. Dengan sekuat tenaga kupukuli laki-laki itu. Dia teriak-teriak kesakitan, namun aku tak berhenti sampai di situ. Kubuat dia babak belur. Darah mengalir di kedua sudut bibirnya saat kuhantam dengan kepalan tangan. Pukulanku terhenti saat laki-laki itu meringis minta ampun memohon pengampunan. Meskipun aku begitu tersulut emosi namun aku tahu, jika lawan sudah minta ampun dan tak berdaya, aku tak patut terus membuatnya terluka dengan membabi buta. Kuba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status