"Gendut, kamu setrika bajuku ini. Ingat ya yang licin jangan ada kusut sedikitpun." ucap Wulan yang mana ia langsung melemparkan baju tepat dimuka Anisa. "Eh punya ibu juga, ambil di gantungan pintu kamar. Ambil baju jangan ambil barang lainnya." Ya, aku selalu dipanggil gendut dirumah ini, memang fisikku gendut bobot tubuhku mencapai 80 kilo. Walau tubuh ini gendut namun aku lincah melakukan aktifitas pekerjaan rumah, mulai dari memasak, menyapu halaman rumah, membereskan rumah selalu kulakukan dengan gesit. Semua pekerjaan rumah terlihat mudah bagiku"Jangan bengong aja, buruan sana. Keburu siang ke kondangan." Dengan tersenyum kecut, Anisa segera masuk ke kamar mertuanya dan langsung mengambil baju untuk di setrika. Dengan telaten Anisa menyetrika baju-baju hingga serapi mungkin. "Alhamdulillah selesai juga, semuanya sudah rapi. Tinggal bersiap-siap." gumam Anisa seraya mengusap keringat yang meleleh di dahinya. Hari ini keluarga Mas Bagas ada acara pernikahan dirumah saudara
Hinaan Bagas"Mas... Mas tunggu!" teriak Anisa yang berlari keluar rumah ketika mobil milik Wulan telah melaju."Massss. Mas Bagas."Lagi dan lagi Anisa berteriak namun mobil telah berlalu menuju jalanan dan menghilang. Anisa terengah-engah nafasnya tak beraturan."Nisa! Masuk kamu! Kamu belum menyelesaikan pekerjaan kamu. Biarkan Bagas pulang, kaya gak bisa pulang saja kamu.""Bude, aku kan berangkat bareng suamiku.""Apa salahnya bantu yang ada disini, Nis. Nanti aku kasih ongkos untuk pulang. Sudah sana buruan selesaikan pekerjaan kamu."Mau tak mau, Anisa kembali masuk kedalam rumah dan menyelesaikan semua tugas yang dipikulnya. Lelah? Tentu dirinya lelah dan letih, sejak tadi hati dan pikirannya kacau, apalagi sejak tadi dia juga tak berhenti untuk istirahat sedikitpun.Waktu sudah menunjukan pukul 10 malam ketika semua pekerjaan dirumah Bude Sari selesai. Rasanya Anisa sudah tak sanggup untuk pulang namun ia juga tak mau tinggal di rumah Bude Sari."Nih upah kamu bekerja disini.
Kepedihan hati AnisaSakit hati ini mendengar ucapan Mas Bagas. Aku akui hari ini sangat payah, seharian sungguh panas apalagi mengerjakan pekerjaan rumah yang cukup banyak dan menguras energi. Badanku gemuk jadi lebih cepat mengeluarkan keringat jika beraktivitas. Selesai berkutat di dapur dan menghidangkan makan malam kesukaan Mas Bagas, rencananya aku hendak mandi. Telinga ini mendengar suara deru sepeda motornya memasuki halaman rumah, hati sangat ini bahagia. Sebagi seorang istri aku tentu harus menyambut suami saat pulang bekerja. Segera aku melangkah keluar dan membukakan pintu untuk Mas Bagas. Senyum ini mengembang mengetahui suami pulang dengan selamat. Tangan ini ku ulurkan untuk mencium tangannya, namun tanganku ini langsung ditepisnya demgan kasar oleh Mas Bagas. Mas Bagas memang tak pernah mau menerima uliran tanganku yang hendak mencium punggung tangannya seperti istri-istri lainnya, namun ia tak pernah menepisnya seperti ini. Ucapannya sungguh menusuk hatiku. Apakah
Menolak DimaduMalam ini Anisa berdandan memilih pakaian yang menurutnya paling bagus. Wajahnya ia poles dengan bedak dan tak lupa sebagai warna di bibir ia memoles lipstik berwarna merah. Ya, hanya ini make up kepunyaan Anisa. Make up ini saja pemberian dari tetangga sebelah lantaran mendapatkan giveaway berlebih. "Kamu mau apa dandan seperti itu? Aneh!" "Kan kata Mas Bagas ada tamu penting yang akan datang ke rumah, makanya aku dandan biar gak bikin malu Mas Bagas, Mbak." "Hahahaha kehadiran kamu saja sudah buat malu Bagas dan keluarga ini, lah ini sok gaya mau nemuin tamu Bagas, sudah masuk ke kamar atau siap-siapin makan malam dibelakang." "Sudah aku siapkan semaunya, Mbak. Tinggal menunggu Mas Bagas pulang." Suara deru mobil memasuki halaman rumah Bu Mutia. Anisa segera keluar membuka pintu, ia yakin itu adalah sang suami. Kebetulan hari ini suaminya menggunakan mobil milik Wulan untuk kekantor lagipula ia akan mengajak seseorang untuk datang kerumahnya bertemu dengan sang I
Kampung HalamanPerjalanan malam kian sunyi dan sepi. Anisa duduk di bangku belakang bersama sang Ibu, dirinya masih termenung dengan segala kesedihannya. Air mata terus meluncur tak dapat ia hentikan. Sedih, sakit dan perih kini ia rasakan, setelah sekian lama tinggal dirumah bersama Bagas baru kali ini ia pergi tanpa seijin Bagas. Bu Utari merasa sedih melihat sang putri terus menangis sepanjang perjalanan ke kampung halamannya. Bu Utari selalu menggenggam erat tangan Anisa, memberikan kekuatan pada sang putri tercinta. "Kita makan malam dahulu, dan beristirahat sejenak." Ucap Pak Andi yang memecah keheningan didalam mobil yang ia sewa, sedangkan untuk supir ia meminta tolong Abi keponakannya. Perjalanan dari rumah Bagas menuju kampung halaman Anisa membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Maka dari itu Pak Andi memilih untuk istirahat Sejenak dan menikmati makan malam disalah satu rumah makan yang ditemuinya. Anisa hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata kedua orangtuanya. Tak ad
Warisan keluarga Bagas"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?" Betapa kagetnya aku kala mengetahui siapa yang memanggil didepan Masjid. Dia adalah seorang pria yang selalu dekat denganku dahulu. Salah satu teman sekaligus sahabatku. Sebagai tempat aku berkeluh kesah. Namun setelah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku kehilangan sabahat yang selalu ada disamping_ku. "Mas Satria." "Ya.... Kamu masih mengingatku, Nisa. Aku pikir kamu bakalan lupa sama aku." ucap Satria sambil terkekeh pelan. "Gak mungkin lah, Sat. Kamu teman sekaligus sahabat aku selama ini. Maaf, Sat, aku masuk dahulu." "Baiklah. Mungkin bisa dilanjut nanti lagi." Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah apa yang harus aku lakukan. Satria sangat paham akan diriku ini, ia mudah menebak apa isi hati dan pikiranku. Usai sholat berjamaah, aku memilih segera pulang, sesuai dugaanku, Bapak dan Ibu jiga sudah dirumah. Bisanya Bapak akan ke Masjid untuk sholat, namun kali ini tidak, entah mungkin lelah bekerja j
Kerepotan BagasBagaimana bisa, Mas Bagas saja hingga saat ini tetap bersikap dingin kepadaku. Aku dan Mas Bagas menang berstatus suami istri, namun aku merasa bukan sebagai istrinya. "Pak, bukankah jika..." "Tidak, Nisa. Bapak tak merestui lagi pernikahan kalian. Lebih baik berpisah, itu akan membuat bapak leboh tenang. Didunia ini masih banyak pria yang benar-benar tulus menyayangi kamu, Nisa." Ucapan Bapak benar-benar menohok hati ini, namun apakah aku bisa? Cintaku hingga saat ini masih bertepuk sebelah tangan. Rasa sayangku pada Mas Bagas begitu besar dan tulus. "Nak, benar kata Bapakmu ini. Berpisah dengan Bagas, itu jalan yang terbaik. Hati ibu mana yang tak sakit hati dan kecewa kala putri yang telah dikandung selama 9 bulan diperlakukan semena-mena seperti itu. Ibu yang melahirkan kamu, yang mengasihi, yang menimang setiap hari, memberikan kasih sayangnya dengan penuh cinta. Gak akan ada yang sanggup, Nak. Kebahagiaan kamu bukan bersama Bagas." ucap Ibu dengan derai air
Baju Baru AnisaSudah satu minggu Anisa berada di kampung halamannya. Satu minggu juga Bagas tak berusaha menghubungi Anisa atau menyusulnya ke kampung. Rasa sakit, kecewa memenuhi hatinya. "Masih mikirin suami kamu itu? Buat apa mikirin dia? Bapak sudah menghubungi pengacara buat urus perpisahan kamu." "M....maksud Bapak apa?" Tentu Anisa terkejut akan pernyataan Pak Andi. Ia yang sedang membantu sang Ibu, sontak saja berhenti. "Ya, kamu akan berpisah dengan Bagas." "Pak... Anisa." ."Sudah Anisa, jangan berharap demgan lelaki seperti Bagas. Kalau hanya kebutuhan kamu, bapak masih bisa. Apa kamu tahu Bagas di kota sedang apa? Dia sedang menyiapkan pesta pernikahannya." Ya, Anisa tak begitu terkejut akan hal itu. Kemarin ia sempat menstalking media sosial milik Linda. Linda mengunggah foto gedung pernikahannya dan rancangan gaun yang akan digunakan. Apalagi sepasang cincin berlian yang sanga