Kepedihan hati Anisa
Sakit hati ini mendengar ucapan Mas Bagas. Aku akui hari ini sangat payah, seharian sungguh panas apalagi mengerjakan pekerjaan rumah yang cukup banyak dan menguras energi. Badanku gemuk jadi lebih cepat mengeluarkan keringat jika beraktivitas.Selesai berkutat di dapur dan menghidangkan makan malam kesukaan Mas Bagas, rencananya aku hendak mandi. Telinga ini mendengar suara deru sepeda motornya memasuki halaman rumah, hati sangat ini bahagia. Sebagi seorang istri aku tentu harus menyambut suami saat pulang bekerja. Segera aku melangkah keluar dan membukakan pintu untuk Mas Bagas. Senyum ini mengembang mengetahui suami pulang dengan selamat.Tangan ini ku ulurkan untuk mencium tangannya, namun tanganku ini langsung ditepisnya demgan kasar oleh Mas Bagas. Mas Bagas memang tak pernah mau menerima uliran tanganku yang hendak mencium punggung tangannya seperti istri-istri lainnya, namun ia tak pernah menepisnya seperti ini.Ucapannya sungguh menusuk hatiku. Apakah dia tak sadar akan ucapan yang ia lontarkan barusan. Didalam dada ini ada yang berdenyut perih mendengar hinaan terlontar dari mulut seorang yang berstatus sebagi suamiku.Sore ini aku memnag belum mandi dan masih berkeringat, penampilanku juga acak-acakan saat menyambut Mas Bagas. Biasanya ketika Mas Bagas pulang aku sudah rapi, bersih dan wangi. Walaupun wangi sabun mandi saja, itupun sudah cukup bagiku."Mas, maaf aku memnag belum mandi, tadi pekerjaan rumah banyak. Ini lagi mau mandi tapi...." ."Cukup, Nis. Jangan buat aku tambah mual. Sudah keluar dari kamar ini." usir Bagas dan langsung demgan cepat mendorong Anisa keluar kamar."Mas.... Mas aku mau ambil baju.""Agrrh cepat ambil bajumu lalu keluar dari kamar. Aku mau istirahat.""Anisa. Bisa gak sih gak buat keributan didalam rumah. Bagas baru pulang bekerja, jangan ganggu dia." seru Bu Mutia yang keluar dari kamarnya."Ma.. maaf, Bu. Aku hanya menyambut suamiku pulang kerja.""Menyambut? Apa dengan pakaian seperti ini? Penampilan seperti ini? Disana ada kaca dan mengacalah. Lihatlah pantulan dirimu ini disana." tunjuk Bu Mutia pada sebuah lemari yang kacanya memanjang hingga bawa sehingga bisa untuk bercermin setiap orang.Seketika aku menoleh kearah lemari yang ditunjuk sang mertua. Betapa terkejutnya melihat penampilannya sendiri saat ini.Penampilanku menag kacau balau, aku tersenyum getir melihat penampilanku saat ini. Bahkan Mas Bagas juga ikut tertawa mengejek akan penampilan buruk ku. Aku seperti ini juga karena mengerjakan pekerjaan rumah. Mengapa mereka menertawakan aku?Dada ini semakin sesak dan perih, mengapa mereka tak menghargai ku sedikitpun. Apa karena aku wanita dari kampung tak pantas di cintai dan diharga?Pernikahanku dan Mas Bagas sudah hampir 2 tahun, namum sikapnya masih sama saja sejak awal menikah. Kurang apa aku ini? Jujur melihat wanita kemarin di pesta pernikahan anak Bude Sari membuatku semakin iri. Selama ini aku sudah berusaha untuk diet, namun gagal dan gagal selalu ku dapatkan. Bahkan pekerjaan rumah yang menguras tenaga juga tak mampu untuk menurunkan bobot tubuh ini."Bu.. penampilanku memnag buruk saat ini, tapi Ibu tahu kalau seharian ini aku mengerjakan tugas semaunya. Bahkan aku belum beristirahat sedikitpun. Mengapa Ibu dan Mas Bagas tak menghargai aku. Aku istrimu, Mas. Aku juga menantu dirumah ini." ucapku secara sadar dengan air mata yang terus mengalir."Ya, kamu memang menantu perempuan dirumah ini. Namun kamu bukan menantu idamanku. Aku terpaksa karena Almarhum ayahnya Bagas. Bukankah tugas menantu dirumah mertua adalah membantu meringankan beban mertuanya? Lagian kamu juga tak kekurangan apapun dirumah ini? Ini juga tugas kamu sebagi seorang istri. Mau kamu bagaimana? Uangkang- ungkang kaki?"Perkataan Bu Mutia ada benarnya juga, aku adalah seorang istri dan paham akan tugas istri selama dirumah. Aku juga bukan wanita karir yang harus menyewa pembantu untuk mengerjakan tugas rumah. Bahakan Ibuku saja selalu melayani ayah dengan baik. Walau sedang sakit Ibu akan tetap memberi melayani yang terbaik untuk ayah, tetap membereskan rumah dan lainnya."Maaf, Bu." lorihku dan berpaling dari hadapan Ibu.Dengan membawa kepedihan di hati, aku memilih berlalu dari hadapan Ibu dan juga Mas Bagas. Tangisan ini pecah kala sudah masuk kedalam kamar mandi. Ya, tempat inilah yang selalu menjadi saksi tumpahnya air mata kepedihan di hati.Mengapa nasibku seperti ini? Mengapa aku harus mengalami hal semenyakitkan ini? Mengapa dan mengapa selalu ada di benakku? Bukan inginku untuk memiliki tubuh gemuk dan tak terawat. Ingin menghilangkan jerawat dimuka ini saja susah dan bingung. Dari mana aku dapat uang untu perawatan kalau semua uang diatur Ibu. Mas Bagas juga tak memberikan aku uang sebagai pegangan sama sekali.****************************Pagi ini seperti biasa aku memulai aktivitas kerja dirumah. Mukai dari menyapu halaman hingga nanti beberes didalam rumah. Rumah mertuaku cukup luas, jadi hanya pagi hari saja aku menyapu halaman. Hati dan pikiran ini mukai kembali tenang pasca perdebatan kemarin sore.Usai menyapu aku akan lanjut memasak sarapan untuk keluarga ini. Mbak Wulan kemarin pesan untuk membaut soto daging untuk sarapan. Tentu semaunya sudah aku siapkan sejak tadi."Nis, nanti buatkan makanan enak dalam porsi banyak. Akan ada tamu kerumah malam ini." ucap Bagas dengan ekspresi datarnya."Baik, Mas. Nanti akan aku buatkan." jawab Anisa sambil tersenyum.Walau lagi dan lagi tia diacuhkan Bagas, tapi sebisa mungkin dirinya tetap berbakti pada Bagas. Dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya, Anisa menatap kepergian Bagas untuk bekerja."Aduh.""Makanya jangan ditengah jalan! Dasar gendut, ot@k itu dipake." omel Nana yang mana ia juga akan pergi ke kampusnya.Tanpa memperdulikan Nana Anisa memilih untuk masuk dan melanjutkan aktifitas kerjanya. Perut yang perih membuat Anisa memutuskan untuk sarapan, ia baru ingat sebenarnya sejak kemarin belum makan sama sekali, hanya sesekali minum⁷ selama mengerjakan tugas yang diberikan oleh sang Ibu mertua.Bruk..."Aduh."Ya, Bu mutia melemparkan sprei bahkan gorden- gorden kotor ke arah Anisa yang sedang menikmati sarapannya."Cuci semaunya ganto yang baru. Aku mau semaunya rapi, wangi dan bersih. Hari ini ada tamu penting. Jangan buat ulah atau kamu akan mendapatkan hukuman lebih berat."Anisa segera memunguti kain-kain itu dan segera merendamnya untuk dicuci. Hari ini pekerjaannya lebih banyak dari bIsanya. Ia juga tak mau mengecewakan sang suami jika nanti tamunya datang kerumah ini."Semangat Anisa, kamu pasti bisa. Jangan mengecewakan suami kamu, buat dia bangga memiliki kamu. Apalagi ini adalah tamu penting, siapa tahu suami kamu akan luluh juga nantinya." Lirih Anisa yang menyemangati dirinya sendiri.Menolak DimaduMalam ini Anisa berdandan memilih pakaian yang menurutnya paling bagus. Wajahnya ia poles dengan bedak dan tak lupa sebagai warna di bibir ia memoles lipstik berwarna merah. Ya, hanya ini make up kepunyaan Anisa. Make up ini saja pemberian dari tetangga sebelah lantaran mendapatkan giveaway berlebih. "Kamu mau apa dandan seperti itu? Aneh!" "Kan kata Mas Bagas ada tamu penting yang akan datang ke rumah, makanya aku dandan biar gak bikin malu Mas Bagas, Mbak." "Hahahaha kehadiran kamu saja sudah buat malu Bagas dan keluarga ini, lah ini sok gaya mau nemuin tamu Bagas, sudah masuk ke kamar atau siap-siapin makan malam dibelakang." "Sudah aku siapkan semaunya, Mbak. Tinggal menunggu Mas Bagas pulang." Suara deru mobil memasuki halaman rumah Bu Mutia. Anisa segera keluar membuka pintu, ia yakin itu adalah sang suami. Kebetulan hari ini suaminya menggunakan mobil milik Wulan untuk kekantor lagipula ia akan mengajak seseorang untuk datang kerumahnya bertemu dengan sang I
Kampung HalamanPerjalanan malam kian sunyi dan sepi. Anisa duduk di bangku belakang bersama sang Ibu, dirinya masih termenung dengan segala kesedihannya. Air mata terus meluncur tak dapat ia hentikan. Sedih, sakit dan perih kini ia rasakan, setelah sekian lama tinggal dirumah bersama Bagas baru kali ini ia pergi tanpa seijin Bagas. Bu Utari merasa sedih melihat sang putri terus menangis sepanjang perjalanan ke kampung halamannya. Bu Utari selalu menggenggam erat tangan Anisa, memberikan kekuatan pada sang putri tercinta. "Kita makan malam dahulu, dan beristirahat sejenak." Ucap Pak Andi yang memecah keheningan didalam mobil yang ia sewa, sedangkan untuk supir ia meminta tolong Abi keponakannya. Perjalanan dari rumah Bagas menuju kampung halaman Anisa membutuhkan waktu kurang lebih 5 jam. Maka dari itu Pak Andi memilih untuk istirahat Sejenak dan menikmati makan malam disalah satu rumah makan yang ditemuinya. Anisa hanya bisa pasrah dan mengikuti apa kata kedua orangtuanya. Tak ad
Warisan keluarga Bagas"Loh Anisa... Kamu Anisa Kamila, kan?" Betapa kagetnya aku kala mengetahui siapa yang memanggil didepan Masjid. Dia adalah seorang pria yang selalu dekat denganku dahulu. Salah satu teman sekaligus sahabatku. Sebagai tempat aku berkeluh kesah. Namun setelah memutuskan untuk menerima perjodohan ini, aku kehilangan sabahat yang selalu ada disamping_ku. "Mas Satria." "Ya.... Kamu masih mengingatku, Nisa. Aku pikir kamu bakalan lupa sama aku." ucap Satria sambil terkekeh pelan. "Gak mungkin lah, Sat. Kamu teman sekaligus sahabat aku selama ini. Maaf, Sat, aku masuk dahulu." "Baiklah. Mungkin bisa dilanjut nanti lagi." Aku hanya mengangguk dan tersenyum, entah apa yang harus aku lakukan. Satria sangat paham akan diriku ini, ia mudah menebak apa isi hati dan pikiranku. Usai sholat berjamaah, aku memilih segera pulang, sesuai dugaanku, Bapak dan Ibu jiga sudah dirumah. Bisanya Bapak akan ke Masjid untuk sholat, namun kali ini tidak, entah mungkin lelah bekerja j
Kerepotan BagasBagaimana bisa, Mas Bagas saja hingga saat ini tetap bersikap dingin kepadaku. Aku dan Mas Bagas menang berstatus suami istri, namun aku merasa bukan sebagai istrinya. "Pak, bukankah jika..." "Tidak, Nisa. Bapak tak merestui lagi pernikahan kalian. Lebih baik berpisah, itu akan membuat bapak leboh tenang. Didunia ini masih banyak pria yang benar-benar tulus menyayangi kamu, Nisa." Ucapan Bapak benar-benar menohok hati ini, namun apakah aku bisa? Cintaku hingga saat ini masih bertepuk sebelah tangan. Rasa sayangku pada Mas Bagas begitu besar dan tulus. "Nak, benar kata Bapakmu ini. Berpisah dengan Bagas, itu jalan yang terbaik. Hati ibu mana yang tak sakit hati dan kecewa kala putri yang telah dikandung selama 9 bulan diperlakukan semena-mena seperti itu. Ibu yang melahirkan kamu, yang mengasihi, yang menimang setiap hari, memberikan kasih sayangnya dengan penuh cinta. Gak akan ada yang sanggup, Nak. Kebahagiaan kamu bukan bersama Bagas." ucap Ibu dengan derai air
Baju Baru AnisaSudah satu minggu Anisa berada di kampung halamannya. Satu minggu juga Bagas tak berusaha menghubungi Anisa atau menyusulnya ke kampung. Rasa sakit, kecewa memenuhi hatinya. "Masih mikirin suami kamu itu? Buat apa mikirin dia? Bapak sudah menghubungi pengacara buat urus perpisahan kamu." "M....maksud Bapak apa?" Tentu Anisa terkejut akan pernyataan Pak Andi. Ia yang sedang membantu sang Ibu, sontak saja berhenti. "Ya, kamu akan berpisah dengan Bagas." "Pak... Anisa." ."Sudah Anisa, jangan berharap demgan lelaki seperti Bagas. Kalau hanya kebutuhan kamu, bapak masih bisa. Apa kamu tahu Bagas di kota sedang apa? Dia sedang menyiapkan pesta pernikahannya." Ya, Anisa tak begitu terkejut akan hal itu. Kemarin ia sempat menstalking media sosial milik Linda. Linda mengunggah foto gedung pernikahannya dan rancangan gaun yang akan digunakan. Apalagi sepasang cincin berlian yang sanga
Mendapatkan pekerjaanBerkali-kali dering ponsel milik Bapak berdering, namun Bapak mengabaikannya dan malah mematikan ponsel miliknya. Ada rasa lega, tapi penasaran juga ada apa Bu Mutia menghubungi Bapak berkali-kali. Tentu Ibu mertuaku ini tak dapat menghubungiku, lantaran nomor ponselku sudah mati, jadinya aku harus mengganti nomor baru dan itu belum aku lakukan hingga sekarang. Entah Bapak dan Ibu menyadarinya atau tidak, tapi aku tak mengharapkan lebih. Mungkin besok baru aku akan kepasar lagi menjual anting milikku ini. Sekaligus mencari pekerjaan. Malam ini terasa lebih lama, hati ini terus memikirkan Mas Bagas. Hati ini selalu bertanya-tanya mengapa ia tak mencariku kemari? Apakah sesibuk itu ia mempersiapkan pernikahannya hingga tak mengingatku? Mata ini sulit terpejam, mengingat setiap momen dirumah Mas Bagas, mengingat momen saat ia mengucap ikrar nikah yang mana hati ini mulai terpesona akan dirinya. Sepasang Gaun pengant
Keputusan AnisaDengan perlahan aku masuk kedalam rumah. Tangan ini menggenggam erat tas yang ku_kenakan. "Assalamu'alaikum." ucapku kala langkah ini memasuki rumah. Sejenak semua yang ada didalam rumah menolah kearah pintu masuk. Aku mencoba untuk tersenyum. Walau jantung ini begitu berdebar. "Wa'alaikumsalam." jawab Bapak dan Ibu. Ya hanya Bapak dan Ibuku saja yang menjawab salam dariku. Sedangkan Mas Bagas, Bu Mutia, Nana tak menjawab salamku. "Aduh kenapa kamar mandinya kaya gitu sih, Pak. Gak ada toilet duduk begitu," Seketika pandangan ini menoleh ke arah asal suara yang mana ada Linda. Ada apa lagi mereka kemari, hati ini sudah sedikit tenang mengapa mereka mengusik lagi. "Di desa tak ada yang punya toilet duduk, berbeda dengan di kota. Orang desa gak akan bisa yang menggunakannya. Bahkan mereka biasanya memilih di empang bawah sungai sana untuk keperluannya," Jawab Bapak Linda tak menang
Hari pertama bekerja"Jangan bilang kamu menyesal berbicara seperti tadi dihadapan, Bagas!" "Aku, masih menyimpan rasa pada, Mas Bagas, Pak. Apa aku salah menyimpan rasa itu. Kami menikah hampir 2 tahun lamanya, tentu rasa itu sulit untuk dilupakan begitu saja." keluhku pada Bapak dan Ibu. "Ibu tahu, Nak. Tapi.... Tapi buat apa menyimpan rasa begitu besarnya pada, Bagas? Lihatlah dia yang dengan santai membawa calon madu untuk mu kemari, bahkan dia juga mengatakan akan menikah sebentar lagi. Mereka sedang mempersiapkan pernikahan, Nisa." "Apa aku gak berhak bahagia, Bu?" "Kamu berhak bahagia, namun bukan bersama, Bagas. Tunjukan jika kamu bisa, Nisa. Tunjukan seperti apa yang kamu bilang tadi dihadapan, Bagas." Ya, aku harus bisa. Bukankah aku bertekad untuk berubah dan kuat menghadapi mereka lagi. Aku akan belajar pelan- pelan dan Mas Bagas akan menyesal meninggalkan aku."Oh iya, Bu, Pak, aku sudah mendapatka