Menolak Dimadu
Malam ini Anisa berdandan memilih pakaian yang menurutnya paling bagus. Wajahnya ia poles dengan bedak dan tak lupa sebagai warna di bibir ia memoles lipstik berwarna merah. Ya, hanya ini make up kepunyaan Anisa. Make up ini saja pemberian dari tetangga sebelah lantaran mendapatkan giveaway berlebih."Kamu mau apa dandan seperti itu? Aneh!""Kan kata Mas Bagas ada tamu penting yang akan datang ke rumah, makanya aku dandan biar gak bikin malu Mas Bagas, Mbak.""Hahahaha kehadiran kamu saja sudah buat malu Bagas dan keluarga ini, lah ini sok gaya mau nemuin tamu Bagas, sudah masuk ke kamar atau siap-siapin makan malam dibelakang.""Sudah aku siapkan semaunya, Mbak. Tinggal menunggu Mas Bagas pulang."Suara deru mobil memasuki halaman rumah Bu Mutia. Anisa segera keluar membuka pintu, ia yakin itu adalah sang suami. Kebetulan hari ini suaminya menggunakan mobil milik Wulan untuk kekantor lagipula ia akan mengajak seseorang untuk datang kerumahnya bertemu dengan sang Ibu dan saudaranya.Deg...Anisa terkejut akan siapa tamu yang datang kerumah suaminya. Matanya mulai berembun melihat perhatian sang suami yang mana dirinya selama ini tak pernah diperlakukan baik olehnya."Wah... Yang ditunggu- tunggu sudah datang. Selamat datang Linda, Ibu sudah tunggu dari tadi. Ayo masuk." Bu Mutia datang menyambut Linda. Ia begitu bahagia melihat kedatangan Linda kerumahnya."Maaf, Bu. Tadi beli martabak dahulu.""Ya ampun repot -repot sih. Ibu sudah siapkan makanan enak dirumah ini, kemari saja tak usah bawa- bawa segala.""Ya gak enak, Bu."Anisa menatap nanar ke arah mertuanya yang akrab sekali dengan wanita yang dibawa pulang oleh Bagas. Ia masih diam menyaksikan interaksi sang mertua dan Bagas.Anisa memberanikan dirinya mendekati Bagas, segera tangannya terulur namun dengan cepat Bu Mutia memberikan kantong plastik yang berisi martabak ke tangan Anisa."Bawa masuk dan siapkan minuman untuk tamu spesial, Ibu." titah Bu Mutia yang menatap tajam Anisa.*Baik, Bu." lirih Anisa dan segera berlaku. Hatinya sakit, akan tak pedulinya Bagas."Apa sesakit ini rasanya sebagai seorang istri yang tak di pedulikan dan tak dianggap." gumam Anisa yang mana dirinya sudah ada di dapur untuk membuat minuman.Pyar.... Gelas yang berisi teh hangat diatas nampan seketika terkatuh dari genggaman tangan Anisa. Gelas- gelas itu oecah berhamburan dimana-mana. Tangannya kini bergetar, air matanya tumpah tak dapat ditahan kembali."Anisa." lirih Bagas yang jiga kaget akan oerbuatan Anisa."Astaga si gendut ini ya. Bisa gak sih gak biat onar. Sudah dibilang jangan biat onar. Dasar kampungan!" ucap Wukan yang mentao sengit ke arah Anisa."Anisa kamu apa-apaan, Hah! Mau...""Mas Bagas mau menikah lagi? Mas aku gak mau dimadu. Aku gak mau, Mas." Ucap Anisa yang kini sudah ada dihadapan Bagas"Heh wanita kampung, sudah cukup dramanya. Bereskan pecahan gelas itu dan buatkan minum lagi." titah Mutia yang kini berdiri dari duduknya."Mas jawab pertaanyaan aku. Kenaoa mas lakuin ini ke aku? Apa salahku, Mas?" Anisa yang tak memperdulikan perkataan sang mertua terus mencecar Bagas. Derai air mata membasahi kedua pipinya."Ya. Aku akan menikahi Linda. Bukankan kota hanya menikah diatas kertas? Aku sudah peringatkan kepada kami, bahwa aku tak menyukai kamu, aku hanya terpaksa. Dengan aku menikahi Londa, berarti peluang untuk memiliki anak semakin besar, dan warisan itu juga akan semakin cepat jatuh ke tanganku." tegas Bagas dihadapan Anisa."Bagaimana bisa...""Cukup Anisa! Ini keputusanku, lagian aku juga sudah menjalin hubungan dengan Linda sejak lama sebelum kita menikah. Jadi wajar kalau aku ingin menikahinya." potong cepat Bagas yang tak memberikan kesempatan Anisa berbicara."Cukup Bagas! Lebih baik ceraikan putriku saja daripada kau menduakannya. Kembalikan kepadaku. Aku masih sanggup jika membiayai kehidupan Anisa." ucap Pak Andi yang sudah berdiri tegak didepan pintu rumah Bagas.Seketika semaunya memandang kearah dimana seseorang berdiri kini. Bagas tak menyangka bahwa mertuanya kini sudah ada dihadapannya."Pak Andi tak sopan masuk tanpa salam." ucap Bu Mutia yang menatap tak suka pada besannya."Assalamu'alaikum." akhirnya Oak Andi dan Bu Utari mengucap salam secara bersamaan."Huh telat. Seperti itukan etika orang kampung." Bukannya menjawab salam Bu Mutia malah mencibir salam yang di ucapkan oleh besannya."Ayo kita pulang Anisa. Sudah tak ada gunanya kamu disini." ucap Bu Utari."Anisa, aku tak mengijinkan kamu untuk pulang kampung. Tetap disini, kamu sudah aku nikahi. Kami tahu bukan kalau melanggar ucapan suami?"Anisa bimbang, ia terdiam melihat kearah bapak dan ibunya. Ingin dirinya pulang saja, namun benar kata suaminya. Bagas tersenyum senang ia yakin Anisa tak akan berani pulang kampung bersama orangtuanya."Suami? Suami model apa yang dengan tega menyakiti hati istri. Bahkan saat istri memohon tak dihiraukan. Bapak sudah mendengar semuanya, Bagas. Lebih baik kamu ceraikan Anisa dan menikah lah dengan wanita pilihan kamu. Kalian memang di jodohkan, jika tahu begini sejak awal Bapak memilih menolak lamaran Almarhum.""Hahaha menolak? Gak usah memutar belikan fakta Pak Andi. Bahkan kalian dengan bahagia menawarkan anak anda ini kepada suamiku sebagai tebusan bukan? ""Astagfirullah... Sekarang kemasi barang-barang kamu, Nisa. Terus kita pulang. Bapak sanggup jika membiayai hidup kamu, bahkan kamu akan lebih terurus bersama orangtua kamu daripada disini." tegas Pak Andi yang tak menginginkan putranya tinggal dirumah Bagas lebih lama."Anisa." Lagi dan lagi Bagas menggelengkan kepala dengan sorot matanya tajam. Anisa tahu bahwa sang suami tak mengijinkannya."Jangan pedulikan suami kamu, Nisa. Kita pulang sekarang, Bapak tunggu diluar.""Gak ada etika sama sekali." ujar Bu Mutia yang melipat tangannya didepan dada.Anisa masih terdiam dan terisak, dirinya bimbang harus bagaimana lagi. Air mata juga terus mengalir membasahi pipinya. Jika memilih sang suami maka ia harus menerima melihat suaminya menikah lagi dan kemungkinan besar akan tinggal disini, sedangkan dirinya akan semakin tersisih."Maaf, Mas. Aku mau pulang kampung sama Bapak dan Ibu. Maafkan aku, Mas." lirih Anisa pada akhirnya."Pilihan yang tepat, Anisa. Kamu harus tegas dalam pilihan ini." ucap Bu Utari . Segera ceraikan Anisa, Bagas. Biar Anisa bisa bebas dari kalian." Sekali lagi Bu Utari mengingatkan Bagas untuk terakhir kalinya."Mana bakti kamu pada suami, Nisa?" taya Bagas saat melihat Anisa sudah membawa baju-bajunya."Maaf, Mas. Aku gak mau di madu, jadi lebih baik aku pulang bersama Bapak dan Ibu.""Kamu tetap tak akan aku ceraikan Anisa." tegas Bagas sekali lagi."Disini sudah hidup enak eh malah mau hidup lagi di kampung. Dasar orang kampungan."SEASON 2 Season 2 "Ayah, ayah kenapa kemari? Bukankah kalau butuh sesuatu ayah bisa telfon aku?" "Ck, kamu pikir ayah sudah setua itu. Ayah cuma masuk angin saja. Kebetulan ayah kangen makan lotek di pasar." "Ayah semalam demam tinggi, ya wajar aku khawatir dengan keadaan ayah. Apalagi ayah tiba- tiba kemari." "Ayah sudah baik- baik saja. Gimana hari ini ramai?" "Enggak begitu yah. Apalagi saat ini 'kan sudah modern, sudah banyak yang punya kendaraan pribadi juga jadi ya begitulah," jawab Rendra. Satria tersenyum dan duduk di warkop kecil yang tak jauh dari parkiran angkutan. Segelas susu hangat menemaninya duduk. "Kenapa kamu masih kukuh untuk meneruskan usaha angkutan ini, Nak. Usaha mendiang ibumu jelas lebih menjanjikan. Apa kamu tak lelah harus bolak balik mengurus semuanya? Masa muda mu masih panjang, Nak, jangan terlalu terforsir dengan bekerja. Nikmatilah masa muda mu ini," ujar Satria. "Yah, aku tahu usaha angkutan ini dirinya oleh almarhum kakek. Ayah juga merintisn
Dibawah teduhnya pohon kamboja sesosok pria berpakain hitam terduduk lesu. Meratapi takdir yang begitu pedih. Kebahagiaan dan kesedihan datang secara bersamaan, entah bagaimana jalan dan takdir yang ia lalui. *"Mas, ingat gak dahulu kita pernah jalan-jalan ke sungai. Kita menulis nama di pohon, lucu sekali ya, Mas."**"Mas ingat gak kalau dahulu di pohon itu setiap berbuah kita akan mengumpulkan buat yang telah terjatuh, jika buat masih bagus maka kita akan makan bersama. Hanya kamu yang selalu dekat denganku dan berteman baik denganku."**"Pohon ini sudah begitu tua, Mas. Bahkan buah pun sudah tak lagi berbuah seperti dahulu. Ternyata perjalanan hidup kita makin berputar, aku beruntung memiliki kamu. Menjadi istrimu adalah hal yang terindah dalam hidupku, terima kasih telah menerima semua kekuranganku dan terima kasih sudah selalu ada untukku disaat terpurukku terdahulu. Aku harap anak dalam kandunganku akan selalu bahagia, ini adalah penantian yang aku
Perjalanan yang cukup panjang dilalui oleh Anisa dan Satria, kini keduanya telah tiba di lokasi pertemuannya dengan Ibu Mutia. Anisa maupun Satria juga sempat bingung mengapa pertemuannya ditempat seperti ini. "Itu bukannya Bu Mutia," tunjuk Satria pada sosok wanita paruh paya yang tengah duduk di samping toko bunga. Pandangan Anisa beralih mengikuti arah telunjuk Satria. "Eh iya, Mas. Kita turun sekarang," ajak Anisa pada suaminya. Ia ingin lekas selesai dan lekas kembali ke desa. Dengan perlahan Satria mengandeng tangan Anisa. Bu Mutia yang melihat kedatangan Anisa segera berdiri dan tersenyum hangat menyambut orang yang ditunggunya. Ada kelegaan tersendiri saat melihat Anisa menempati janjinya. "Syukurlah kamu akhirnya datang. Terimakasih sudah mau menemui ibu, Nis," ucap Bu Mutia. "Sama-sama, Bu," jawab Anisa seraya tersenyum. "Hmm maaf kenapa Ibu meminta kita bertemu disini?" tanya Anisa kembali. "Ini yang ma
Anisa cukup terkejut akan penjelasan dokter tentang kondisi Bagas. Bukan masih memiliki rasa namun lebih ke kasihan ,apalagi ia tadi menyelamatkannya dengan mendorong sehingga ia terbebas dari bahaya. Ada rasa bersalah didalam benaknya. "Dok, lakukan yang terbaik untuk kedua korban." pinta Satria. "Mas.." "Nanti kita bahas lebih lanjut." ucap Satria yang mengerti akan tatapan sang istri. Dokter segera melakukan tindakan yang tepat untuk kedua korban terutama Bagas yang lumayan parah. Sedangkan keluarga kedua belah pihak telah dihubungi dan akan segera datang kerumah sakit. "Sayang, maafkan Mas yang mengambil tindakan ini. Bukan tak mengetikan perasaan kamu, tapi secara tidak langsung Bagas telah menyelamatkan kamu juga. Mas sangat bersyukur karena kamu selamat, walau tindakan itu juga cukup membahayakan jika mas tak kuat menopang tubuh kamu, tapi kuasa Allah itu nyata, kamu dan calon bayi kita selamat. Mas juga sudah mendaftarkan kam
Kecelakaan "Kenapa? Kaget? Biasa saja lah, Nis. Justru aku yang kaget melihat kamu." ujarnya seraya tersenyum kecil. "Mau apa lagi kamu, Mas?" Anisa sudah tak sanggup untuk basa-basi dengan Bagas. Ya, Bagas datang menghampiri Anisa yang tengah duduk di taman sendirian. Ia tadi tak sengaja berkeliling dan melihat Satria berada di taman dan matanya sekita langsung tertuju pada wanita yang duduk di bawah pohon rindang dengan gaun berwarna navy, sama seperti kaos milik Satria. Segera ia menepikan mobilnya dan berjalan mendekati Anisa. "Kamu bahagia sekarang, Nis?" "Ya. Aku sangat bahagia." jawab Anisa acuh tak acuh. "Ya, jelas terlihat dari diri kamu, Nis. Kami bahagia dan keluargaku menderita." ujar Bagas. "Itu karma, Mas." jawab Anisa cepat tanpa menoleh melihat Bagas yang duduk disampingnya. Anisa berharap sang suami lekas kembali. "Karma. Mungkin bisa disebut seperti itu. Asal kamu tahu, N
Nana Meninggal "Na... Nana... Dokter anak saya kenapa? Ada apa dengan anak saya?" "Na, bangun, Na. Kamu dengar ucapku gak sih. Bangun, Na." Wulan terus menggoyangkan tubuh Nana yang sudah tak merespon sama sekali. Dokter telah berusaha semaksimal mungkin menolong Nana saat ini. "Innalillahi wa inna ilaihi raaji’un. Maaf, Bu, kami sudah berusaha, semua telah kembali pada sang Pencipta." ujar Dokter yang merawat Nana. "Nana... Kamu tega tinggalin Ibu, Na. Kamu tega biarkan Ibu sendirian. Bangun, Na." Bu Mutia memeluk tubuh Nana dengan erat. Ia menangis menumpahkan rasa sedih sekaligus kehilangan yang sangat mendalam. "Na.... Kenapa kamu jadi wanita lemah, Na. Kenapa kamu lemah begini dan menyerah begitu saja? Mana Nana yang kuat, Nana yang angkuh. Kenapa kamu menyerah, Na." ujar Wulan yang tak kalah sedihnya. "Na, bangunlah, Na. Jangan prank kami, Na." Wulan menangis tak berdaya sambil mengguncang kaki, Nana.