Share

Eyang

Selamat membaca ❀

πŸ’”

Sekarang ini tinggal mereka berdua yang mengisi rumah tua itu. Diana yang pamit ke dapur untuk membuatkan teh si kakek dan dirinya, kini malah kebingungan mencari gula. Kedua tangannya sibuk mengangkat beberapa wadah kotak plastik di atas meja kayu, pindah ke meja sebelahnya namun tak kunjung menemukan. Karena lama mencari, kepala Diana jadi pusing. Dari tempatnya berdiri ia sedikit teriak dengan tangan yang menggaruk kepalanya kasar, "Eyaaang... Gulanya di mana ya? Di dapur enggak ada..."

Tak ada sahutan dari orang yang ditanyai. Sambil melemaskan bahu, Diana berbalik. Namun sebelum gadis itu jalan, si kakek sudah ada di hadapannya. "Di atas meja ndak ada?" pria tua itu malah ikut bingung.

"Enggak, Diana udah nyari-nyari tapi nggak ketemu," ungkapnya sambil mengangguk-angguk. "Eyang lupa naruh mungkin..."

Yanto mencoba duduk di kursi coklat kayu panjang pelan-pelan dengan dibantu sang cucu. "Tadi pagi Eyang belum buat teh, Na..."

"Berarti kemaren." ditemaninya Yanto dengan ia duduk di samping kanan kakek berbaju hitam lawas nan kusut itu. "Coba inget-inget, Eyang kemaren sore dibuatin apa buat sendiri." seperti biasa, Yanto memang sering nge-teh di pagi dan sore hari dengan kadar gula yang rendah. Kalau sang ibu 2:1, kakeknya 3:1 antara teh sama gula.

Yanto diam, pandangannya menatap lurus ke depan, menusuk tajam mata Diana untuk menggali ingatannya yang mungkin kalau ibarat memory card, kapasitasnya tinggal 200MB. Hingga tiga menit berlalu, Yanto masih saja diam. Tapi kepalanya mulai bergerak dan seulas senyum mulai mengembang. Bibirnya lantas berucap, "di kamar Eyang, Na. Coba cari di sana."

Diana yang melihat ekspresi Yanto dan mendengar jawaban itu, cepat-cepat menggeleng dan terkekeh geli. "Ya udah, Eyang mau nunggu di sini apa di ruang tamu lagi?" tawarnya seraya menarik diri dari kursi bersejarah yang ditempatinya tadi.

"Di sini. Eyang mau lihat cucu Eyang buat teh, pinter apa ndak," tutur Yanto seraya kedua telapak tangan menggenggam masing-masing lutut nya.

"Bisa dong...! Diana kan udah biasa! Eyang ngeremehin Diana ya?" godanya yang mendapat tawa kecil dari pria tua itu.

Lalu masuk ke kamar Yanto yang jaraknya sekitar lima meter dari dapur. Letaknya di samping kiri dapur, persisnya jauh di depan kursi yang sekarang hanya diduduki oleh Yanto.

Stoples plastik tutup merah berisi kerikil-kerikil gula putih itu ada digenggaman Diana. Sambil mengambil gelas, ia dengan santai berbicara, "Eyang... aku mau tanyak."

Dengan tangan yang memijit pelan betis kanan yang terbungkus celana panjang Yanto menyilahkan sang cucu untuk menanyakan hal yang mengganggu dalam benaknya. Air panas di panci kecil yang sudah ia rebus, perlahan dituangkannya ke dalam dua gelas kaca berisi daun teh.

Sambil menuang gula Diana melanjutkan, "yang diomongin tante Ria tadi itu bener, Eyang? Soalnya tente sering bilang gitu sama Diana, Diana cucu kesayangan Eyanglah, keajaiban dari Tuhan buat Eyang, terus andalannya Eyanglah... bener, Eyang?"

Sebenarnya dia merasa jika pertanyaan itu memang iya jawabannya. Karena Diana sadar kalau perlakuan sang eyang padanya berkali-kali lipat berbeda dari sang kakak dan saudaranya yang lain di Bandung. Hanya saja, ia ingin tahu alasan yang lebih jelas dari bibir sang kakek mengapa memperlakukannya sangat sepesial. Di saat semua orang meremehkannya bahkan Tania terus menerus menggempurnya dengan nasehat belajar yang keras.

Yanto tersenyum mendengarnya. Ia kemudian menepuk kursi yang didudukinya itu, mengode sang cucu untuk lekas bersamanya. Dengan pelan-pelan Diana memegang gagang gelas di kanan-kirinya seraya mengangguk.

"Kamu tau jumlah sepupu kamu di Jakarta?" Diana yang sudah duduk dan meniup air teh pada sendok kecil, segera menyudahi dan mengangguk. "Cewek atau cowok yang di sana itu?" tanya Yanto lagi yang membuat Diana menerawang.

"Lima, cowok semua," tuturnya lalu menyruput teh dalam sendok alumunium di genggaman tangannya itu. "Kenapa eyang?"

Yanto tersenyum kecil. "Nah... kamu tahu, Kak Arina cucu ke berapanya Eyang?" tanyanya.

Membuat gadis dengan warna celana yang serasi dengan si kakek segera mengernyitkan dahi. Namun tetap menjawab, "pertama."

"Terus habis kakakmu?"

Lagi-lagi Diana menerawang. "Kak kembar tiga, terus kak kembar dua." ucapnya setelah membayangkan wajah tampan dan manis lima pemuda tampan yang jelas-jelas kakak sepupunya sendiri. "Emang kenapa, sih? Eyang kok malah sampek ke sana-sana? Eyang mau ketemu mereka?"

Yanto lagi-lagi mengembangkan senyumnya, Diana dibuat bingung sekaligus memandang aneh ke sang pria tua yang kini mulai mencicipi minuman pahit-manis itu. "Cucu yang lahir setelah mereka siapa?"

"Aku," singkatnya masih dengan dahi berkerut.

"Nah itu... Kamu itu jawaban doanya Eyang."

Diana yang masih tak paham hanya bisa menyesap minumannya lagi.

"Habis Arina lahir, tiga kakak laki-laki sepupumu lahir. Di situ Eyang pengen punya cucu perempuan lagi, tapi malah dua cowok lagi yang lahir." Yanto menarik napasnya.

"Tapi, Eyang minta lagi sama Tuhan. Jawaban Tuhan selanjutnya yang buat Eyang sangaaat, senang... Cucu yang diidam-idamkan Eyang lahir. Kamu tahu dia siapa?"

"Diana?" Yanto mengiyakan. "Oooh..."

Sekarang dia tahu, dia paham betul. Alasan yang bisa saja dikatakan kecil ataupun besar itu, juga masuk akal. Gadis berkaos putih itu pun akhirnya mengerti kenapa adik terakhir dari sang ibu teramat tak suka dan selalu terlihat kesal padanya. Ternyata inilah alasan dari Eyangnya juga.

Menyendok larutan pekat namun cukup manis di atas meja lalu ditiupnya pelan-pelan, dan meminum teh hitam namun cukup manis di sendok yang ia bawa. "Habis ini Diana pulang ya Eyang..." ucapnya kemudian.

Yanto yang sedari tadi menatap Diana lantas menyahut, "kenapa? Ndak nginep di sini sama Eyang?"

Gadis sederhana itu menggeleng. "Besok, kan, Diana masih sekolah Eyang..." disendoknya lagi minuman gelap nan hangat. "Tante Ria kan juga ada, jadi Eyang masih ada temennya. Nggak sendirian lagi." Yanto terpaksa mengangguk demi Diana.

"Apa Diana pulangnya pas Tante Ria udah dateng?"

"Nah gitu... Eyang jadi ndak sendirian di rumah."

Perempuan rambut lurus itu terkekeh kecil. Kadang ia heran, apakah semua orang yang sudah tua ---maksudnya benar-benar tua--- seperti si kakek akan manja. "Mungkin aja iya... Aku kan belum pernah nyoba jadi tua." gumamnya sangat pelan lantaran takut menyinggung seorang kakek yang sangat berarti di dalam hidupnya.

Saat ini, hati Diana menghangat bahkan sangat hangat, melebihi teh yang kini ia cicipi lagi. Di saat orang tuanya, tantenya, atau mungkin siapapun yang kenal padanya meremehkan otaknya dan selalu membanding-bandingkan dirinya dengan Arina. Eyanglah yang sangat tulus peduli padanya. Sangat mencintai dirinya yang jauh dari kata sempurna.

"Mungkin Eyang adalah orang yang Tuhan gerakkan hatinya buat Diana. Buat selalu ada untuk Diana. Terimakasih untuk semuanya Eyang... Diana sayang Eyang," penuturan tulus itu terlontar saat tangannya tiba-tiba melingkar di perut Yanto.

Perlahan air matanya luruh, dan membasahi kedua pipi tembam itu. Yanto yang memahami isi hati sang cucu hanya bisa mengelus pelan dengan tangan-tangannya yang keriput di punggung Diana, gadis remaja yang dianggapnya selalu kecil. Yanto memang sudah mencintai Diana sejak cucu remajanya itu ada di dalam perut Tania.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Sehat selalu! <3

See you :)

God bless you :D

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status