Share

Tante Ria

Babak pengenalan seluruh anggota OSIS berlangsung tanpa gangguan, dan waktu istirahat selama setengah jam juga sudah mereka lalui. Kini saatnya mereka memasuki acara pentas seni. Di mana seluruh siswa dapat membaur, mengenal lebih dekat lagi, dan unjuk kebolehan dalam diri.

Di depan sana, Jesi selaku pemimpin acara tengah berdiri dan mulai bersuara, "oke, jadi sesuai jadwal kemarin yang sempet kutulis di papan tulis... Acara pagi menjelang siang ini adalah pensi." beberapa adik kelasnya mengangguk. Namun banyak yang diam memperhatikan. Ada juga yang fokus dengan kecantikan sang wakil ketua OSIS itu. "Karena kita enggak boleh membuang-buang waktu yang ada, aku akan bagi kalian menjadi dua puluh lima kelompok. Jadi masing-masing kelompok isinya ada lima orang, dan lima kelompok akan didampingi sama dua anggota OSIS. Nah, berarti dua puluh lima anak itu harus nurut sama arahan kedua pendamping. Sampai di sini paham?" rata-rata mengangguk dan mengiyakan. "Oke, jadi nanti masing-masing ketua kelompok harus memberikan nama seunik mungkin buat timnya... Dan, performa dari lima kelompok itu nantinya akan dinilai oleh para pendampingnya. Paham?" teriakkan kata 'PAHAM' terdengar lantang. "Lanjut... Jadi, satu kelompok yang paling terbaik menurut kedua pendamping itu, selanjutnya akan diadu kebagusannya dengan kelompok dari pendamping lain. Sampai di sini ngerti nggak?" kebanyakan dari mereka malah diam. Hanya satu dua orang yang mengangguk. "Jadi intinya, nanti akan tersisa lima dari dua puluh lima kelompok. Paham?"

"PAHAAAAAM...!"

"Oke. Mulai pilih kelompok kalian sekarang! Inget, satu kelompok lima orang! Jangan ada yang kurang atau lebih!" perintah Jesi yang mulai dilaksanakan oleh seluruh adik kelas barunya.

Beberapa dari bocah remaja itu ada yang heboh lari ke sana-sini. Teriak-teriak sambil melambaikan tangannya dengan semangat juga banyak jumlahnya, bukan hanya satu atau dua orang. Sungguh, berisiknya ruangan itu malah bisa-bisa melebihi kembang api yang memeriahkan acara tahun barunan. Cuma satu yang terlihat paling hening dalam keramaian, Diana Wulan. Tapi beda dengan perasaannya yang malah lebih dari kata tenang. Dirinya memang duduk diam, tapi jantungnya sudah berjoget di dalam sana. Dalam hal pentas seni seperti inilah Diana yang seorang pendiam, pemalu, dan pribadi tertutup akan lebih enggan untuk bersuara. Tapi jangan salah, sekalinya ia harus menunjukkan kekreatifan, sosok introvert sepertinya sangat jago.

Sepuluh menit kemudian, para siswa-siswi didik baru yang heboh itu dapat ditangani oleh dua belas kakak kelas mereka. Kelompok gadis yang rambutnya diikat satu dan temannya yang berkepang satu itu mendapatkan anggota cewek. Diana cukup senang karena tak ada sosok lelaki di dalam grupnya, setidaknya ia bisa bernapas lega. Meskipun barang sedetik. Karena pendampingnya adalah Vian sama satu laki-laki yang namanya tak diingat Diana. Tak apa, biarkan dadanya naik-turun mengikuti irama organ pengolah darah dalam tubuhnya itu. Dalam hati, ia memohon penuh pada Sang Kuasa, "apapun yang terjadi padaku nanti kumohon, tolong lancarkan penampilan kelompok kita. Amin..." bersamaan dengan itu, Diana yang ditunjuk sebagai ketua kelompok. "...takdir oh takdir." batinnya lagi dengan helaan napas yang teramat panjang

πŸ’”

Acara pensi berlangsung riuh dan meriah. Kalau yang menebak kelompok Dianalah pemenangnya, ya! Betul, mereka menang karena bakat yang ditampilkan sangat berbeda dari kelompok lain yaitu, musikalisasi puisi. Diana menulis puisi, Lia dan seorang gadis bernyanyi, satu perempuan memainkan okulele, dan gadis kurus bernama Putri bertugas membacakan puisi buatan Diana berjudul 'Mimpi dan Ibu', yang isinya sederhana. Begini :

Waktuku kecil... besar anganku

Waktuku kecil... girang selalu

Waktuku kecil... main teramat penting

Waktuku besar... berat jalanku

Kan kulakukan yang terbaik... untukmu ibu

Kini aku berusaha... menggali ilmu

Kini aku berjuang... meraih mimpi

Kini sekuat tenaga aku mewejudkannya

Kulakukan untuk mimpiku dan dirimu, ibu

Sekarang ini, posisinya sudah duduk anteng di dalam angkot warna hijau. Tujuannya hari ini setelah sampai di rumah ialah kediaman sang kakek, beliau bernama Yanto. Orang tua dari Tania, yang selalu menyayangi Diana sejak kecil. Entah kenapa setelah ia menulis puisi, rasa kangen pada si kakek membuncah. Jadilah ia berinisiatif menjenguk pria tua berkulit keriput dan rambut yang terlalu banyak memutih.

"Kiri, Pak!" pekiknya saat mobil itu sampai di depan rumah. "Terimakasih." lanjutnya saat tangannya menyodorkan uang dua ribu ke pak sopir.

Tania yang tengah duduk sambil minum teh di teras lantas menengok ke angkot yang sudah melaju. "Pulangnya lebih siang dari kemaren..." suara ibu dua anak itu diangguki perempuan berjaket biru muda yang saat ini berjalan ke arahnya. "Makan sana, udah hampir jam dua...."

"Iya, aku masuk dulu." jawabnya sambil melepas sepatu dan temannya. "Eh, Mah... Nanti aku ke rumah eyang ya. Pengen ke sana."

Tania mengangguk setelah mencecap teh yang tak lagi hangat di dalam gelas hitam tanggung di depannya. "Iya, tapi kamu makan dulu."

"Oke!" serunya semangat lalu masuk ke kamar untuk menyimpan jaket, tas, dan mengganti seragam putih birunya jadi legging hitam polos dipadukan dengan kaos putih tulisan hitamnya : 'Punya Akhlak' melengkung panjang seperti mangkuk, pas di potongan leher.

Kurang lebih sepuluh menitan waktu yang diperlukan gadis berambut sebahu itu untuk menghabiskan sayur bayam dan tempe goreng. "Aku berangkat sekarang, Mah..." ucapnya saat berdiri di samping perempuan berdaster merah yang masih duduk di kursi kayu.

"Udah makan?" Diana mengangguk sambil mencium punggung tangan kanan sang ibu. "Hati-hati... Pulangnya jangan malem-malem!" ingatnya karena seperti biasa, Hendra atau dirinya akan menanyai Diana seputar kegiatan hari ini di sekolah dan memberikan beberapa wejangan. Diiyakan saja oleh sang anak karena Diana tahu kapan waktu pergi dan kapan waktu untuk pulang. Dirinya bisa sebijak itu juga karena ajaran kedua orangtuanya.

Sandal jepit hitam polos merek 'New Era' yang menjadi alas kakinya kini menginjak kerikil-kerikil dan lautan pasir. Tempat sang kakek tak terlalu jauh, Diana cukup masuk ke suatu gang sedikit lebar di samping kiri rumahnya dan berjalan kurang lebih 1,5km. Bukan hal baru baginya, karena sedari TK dirinya sudah diajak sang papa untuk mengunjungi eyangnya tanpa kendaraan apapun. Samping kanan-kirinya hanya rumah-rumah penduduk sekitar yang terlihat seperti bangunan zaman dulu. Tak sedikit yang masih terbuat dari kayu-kayu dan papan-papan. Halaman mereka juga ditumbuhi beragam bunga dan pohon mangga. Suasana pedesaan cukup melekat di gang itu. Membuat orang-orang pecinta gaya klasik pastinya berbinar kegirangan, Diana pun merasakan demikian. Kadang seulas senyum terbit di wajahnya ketika beberapa ibu menoleh dan menatap ke arahnya tanpa sengaja. Pohon-pohon yang rindang dan tingginya kisaran 4-5 meter menambah hawa sejuk di sekitar Diana sekarang. Hijaunya dedaunan pun dapat menyegarkan mata setiap orang yang memandang. Benar menguntungkan gadis dengan rambut digerai itu, dia jadi tak merasa kepanasan berkat daun-daun yang memayungi, padahal cuaca hari ini begitu terik dan menusuk kulit.

Tepat di samping kirinya sekarang adalah rumah sang kakek. Rumah yang terbuat dari kayu itu masih terlihat kokoh. Pagar kayu yang seakan menjagai bunga melati dan tumbuhan lidah buaya di sana, juga masih terlihat apik. Bahkan pagar kayu itu dicat putih, sesuai dengan lantai rumah. Sedangkan keseluruhan rumah itu ialah kayu yang disemprot pewarna cokelat. Meskipun begitu, suasana pedesaan masih terasa jelas dalam benak Diana. Atau mngkin karena faktor lain yaitu, karena di dalam rumah itu, terdapat orang yang ia sayang sejak dulu dan beliau menyayangi Diana sedari gadis remaja itu lahir.

Dari ruang tamu, Diana bisa melihat kalau ada seorang wanita yang menoleh ke arahnya. Dengan pandangan meremehkan, wanita rambut bergelombang sepunggung itu berkata, "eyang... Cucu kesayangan akhirnya dateng."

Diana yang disindir hanya bisa menarik napas dan menghembuskannya pelan. Dia tahu persis, Tante Ria tak suka dengan dirinya lantaran kakeknya selalu memuji dan membangga-banggakan Diana pada tiap anggota keluarga.

"Permisi, tante..." meskipun Diana selalu diperlakukan buruk, gadis itu selalu berusaha untuk memaafkan. Saat ini ia telah menyalimi tangan kanan Ria tanpa rasa keterpaksaan. Sedang wanita itu hanya berdeham dan membolehkan Diana mencium tangannya. Kini perempuan berkaos putih itu beralih pada Yanto, sang kakek yang sudah berumur 70 tahun. "...eyang." diciumnya kedua pipi pria tua itu bergantian sebagai bentuk sayang dan kangen yang mendalam. Barulah setelahnya punggung tangan si kakek yang Diana kecup.

"Sudah makan siang?" tanya orang tua beruban rata di depannya. "Sini." sambil menepuk sofa di sisinya.

Diana menurut, sambil duduk ia menjawab, "udah eyang. Eyang udah makan?"

Sebelum kakek Yanto menyahut Ria lebih dulu menyela, "udahlah, untung ada tante." Diana mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya.

"Sekolahnya gimana?" tanya Yanto ingin tahu pengalaman baru yang saat ini dialami oleh cucu tersayangnya. Memang, Diana adalah cucu tersayang dari cucu-cucunya yang lain termasuk Arina. Bukan tanpa alasan Yanto memperlakukan Diana spesial, itu karena Diana adalah salah satu keajaiban Tuhan untuk Yanto.

"Pasti berjuang teruslah eyang, Diana kan kalah jauh sama kakaknya. Tapi ini masih MOS kan, Na? Soalnya anaknya temen tante juga masih MOS." sela Ria yang beberapa kata di awal kalimat lagi-lagi terselip sindiran.

Diana mengiyakan, "iya Tante, masih MOS. Besok hari terakhir."

Ria yang posisinya masih berdiri itu lantas mendekati ambang pintu cokelat di sampingnya dan pamit pergi, "Ayah, aku lanjut kerja dulu. Jam istirahatnya mau habis." tanpa mencium tangan pria tua itu. Yanto mengangguk.

Diana mengehela napas panjang, ia merasa lega karena tante yang yang selalu tak suka padanya itu akhirnya angkat kaki.

πŸ’”

Terimakasih untuk para pembaca + vote + comment πŸ˜‰

GodBlessπŸ˜‡

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status