Share

7A

Matahari yang terbit pagi ini menemani perempuan berseragam kotak-kotak merah dengan bawahan rok warna putih susu. Dengan degupan jantung yang ada di atas normal, Diana berjalan di lantai dasar bangunan yang cukup besar untuk menampung ratusan murid itu. Tujuan pertama Diana hari ini sudah bukan lagi aula SMP Ibu Pertiwi, melainkan ruang kelas utama, 7A. Siapa tahu namanya akan tercantum di jendela kelas.

Sepasang netranya menajam, meneliti setiap nama murid di kertas yang sekarang ada depannya, menempel pada kaca bening persegi itu. Hingga saat pandangannya mengarah ke nama yang berawalan dengan huruf 'D', binar bahagia terpancar dari sorot mata Diana.

Gadis itu bahkan memekik tertahan, "Yeees...!" itu tandanya, sepasang kaki berbalut kaos kaki putih yang hampir mencapai dengkul itu takkan melanjutkan pencarian kelas.

Namanya terpampang jelas di kertas yang melekat pada jendela. Diana juga tak perlu berlelah-lelah membaca 'daftar penghuni' di setiap kelas VII lainnya. Bisa-bisa otaknya takkan berfungsi secara maksimal di dalam ruang VII A. Bahkan tak menutup kemungkinan, sebelum kegiatannya hari ini berlangsung.

Di dalam ruangan bernuansa putih itu, sudah terdapat kira-kira sepuluh orang yang tertangkap mata Diana. Ada laki-laki, juga perempuan. Diana lantas memilih baris ke-empat dari pintu dan dari lima barisan yang ada. Kemudian memilih duduk di bangku ketiga dari depan kelas maupun belakang.

Diana mencari tempat aman. Ya, karena posisi duduknya ada di tengah-tengah, dari tempat duduk orang di depan-belakangnya. Karena masing-masing kelas isinya dua puluh lima anak, jadi total barisan ada lima dari depan ke belakang dan lima deret kursi plus meja dari pintu ke meja guru.

Berhubunng waktu bel masuk masih panjang dan kelas juga sudah lumayan ramai, gadis berikat rambut dengan bentuk ekor kuda memilih untuk menggambar. Diambilnya buku gambar ---mini, yang ukurannya persis seperti buku tulis ---SI IBU, pensil, serta penghapus. Jari-jarinya melanjutkan lagi gambar perempuan bertopi pantai dengan rambut panjang sepinggang yang tengah menatap sunset.

Tapi, sesuai dengan alat yang dipakai gadis itu ---seperti biasa--- gambarnya hanya hitam putih. Karyanya bukanlah gambar yang nampak nyata seperti lukisan-lukisan di atas kanvas atau pun buku gambar yang dihias dengan pensil warna. Hanya karya seni sederhana buatan tangan Diana, gadis remaja yang masih beberapa bulan lalu lulus SD. Namun ingat selalu, apapun dan bagaimanapun bentuk dari objek yang ia rancang, Diana tak pernah membuatnya terlihat biasa-biasa saja. Meskipun hanya sebatas dua warna, hitam dan putih.

Di saat asik-asiknya mempergelap warna yang dirasanya memang harus tebal, Diana dikejutkan oleh satu suara. "weeeh...! Pinter ngegambar! Pasti milih ekskul menggambar kan ntar?" ucap siswa sok tahu bermata setengah sipit tapi setengah belok, ditemani dengan bulu mata yang lentik.

Diana yang masih serius cuma bisa menggumamkan kata 'ya'. Bukan karena sombong, tapi dia harus berusaha menormalkan kerja jantungnya. Dadanya bisa naik-turun lantaran dirinya terkejut, juga tiba-tiba bertemu sama makhluk bernama cowok. Bukan sekadar bertemu, melainkan adegan perbincanganlah yang memicu sisi grogi Diana.

Camkan, teramat sulit baginya untuk mudah bergaul dengan siapa saja. Namun, perlahan-lahan gadis itu melirik ke samping kiri di mana sang laki-laki itu duduk dengan menopang kaki kanan dengan paha kirinya dan menatap ke arah Diana.

"MATI AKU!" teriaknya keras di dalam hati dengan menahan napas.

Senyum kecil gadis itu terbit, kemudian memfokuskan pandangannya lagi pada buku gambar warna oranye di atas meja cokelatnya namun gagal karena memori Diana terputar di hari pertama MOS. "Aku inget, dia cowok yang terang-terangan tanya ke Kak Jesi, punya pacar apa enggak... Haaah!" Batinnya lagi.

"Tapi bener, kan? Bakal milih ekskul menggambar?" tanya anak laki-laki perpaduan Jawa dan Chinese yang berjarak 0,5M dari Diana.

Gadis berkucir satu itu mengangguk kaku. Tapi, ia ingat sesuatu, Diana lantas menggeleng pelan, "kalo dibolehin."

"Nggak dibolehin? Sama?" tanya lelaki itu dengan rasa bingung.

Sebelum menjawab, suara bel dan suara perempuan telah berhasil membuat keduanya tak lagi melanjutkan obrolan.

Teeeeet...!

"Diana, huuuh... Akhirnya sampek juga. Aku bangun kesianganhhh..." serunya dengan napas ngos-ngosan dan duduk di kursi nomor dua dari depan, masih di barisan yang sama dengan Diana.

"Makanya, jangan tidur malem-malem!" bibir Lia hanya mengukir senyum lebar.

"Woooi! Jawab! Nggak dibolehin siapa? Ortu?" lagi, gadis itu mengangguk kaku.

Lia yang penasaran pun ikut nimbrung. "Ngomongin apa sih?"

"Ekskul" sahut Diana dan siswa itu bersamaan.

Baru saja membuka mulut lantaran ingin membalas, guru yang bertugas di kelas 7A datang dengan senyum lebar dan binar bahagianya tak pernah luntur sejak para peserta didik barunya mengikuti upacara. Dia adalah Sukma Sabrina.

"Selamat pagi semua. Sebelum memulai kegiatan kita hari ini, alangkah baiknya kita berdoa karena Indonesia adalah umat beragam. Doa dimulai." tuturnya yang tak bisa diganggu gugat.

Serempak anak-anak itu menundukkan kepala. Tak ada satu menit doa selesai.

"Saya rasa kalian enggak butuh perkenalan lagi sama saya. Jadi untuk tambahan saja, saya menjabat juga jadi wali kelas kalian." senyum kecilnya hadir. "Mungkin ada yang keberatan?" ucapnya sedikit bergurau.

"Saya, Bu Suk." diiringi kekehan gelinya dan ditambahi dari beberapa anak. Tapi gadis di samping laki-laki itu hanya menghela napas singkat.

"Panggilnya yang bener... Ibu masih seger kalau pagi-pagi gini." balasnya tanpa terselip nada marah.

"Kamu berdiri dulu, deh. Kenalin diri kamu duluan. Daripada Ibu lihat absen, jadi kamu dulu aja yang mengawali." Perintahnya.

"Mau macem-macem sama Bu Sukama?" tuturnya lagi, masih dengan senyum tetapi kepalanya sudah gerak kanan-kiri.

"Enggak Bu Suk, bercanda..." senyum lebarnya mengecil lalu badannya membungkuk sopan. "...nama saya Andra Johan." lalu nyengir lebar bak orang tak tahu malu.

"Oke, kita mulai dengan absen dulu ya. Saya bacakan nama kalian satu-satu, kalian tinggal angkat gigi." suara tawa beberapa murid langsung memenuhi ruangan itu.

"Mangap dong Buk?!" seru Andra si cowok manis nan tampan. Terutama kulit sawo matang dan bulu mata lentik yang menjadi sorotan siapapun yang menatapnya.

Kini gadis sederhana itu tak bisa bohong, ia terkekeh geli mendengar gurauan sang guru dan si cowok tengil di sampingnya.

"Jangan... Ntar suaminya marah! Emang berani ngangkat gigi di depan publik?!" teriak salah satu siswa yang lain, di barisannya Andra dan duduk paling belakang.

Gelak tawa lagi-lagi mengisi ruangan beraneka ragam murid itu.

Benar-benar suasana kelas yang langka pagi ini, Diana bahkan bisa melupakan sebentar ketakutannya.

"Laaah... Malah sampek sana-sana! Mending Ibu bacain nama kalian..." suara protes dari Bu wali kelas langsung menyela tawa-tawa kecil yang mereka keluarkan.

"Oke-oke, Bu! Silakan!"

"Perhatikan betul-betul Andra!"

"Iya, Bu Suk."

💔💔💔

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status