Share

Kak Vian

Selamat membaca ❀

πŸ’”

Selesai makan malam berdua bersama sang Mama, anak remaja yang mempunyai tubuh berisi itu masuk ke kamar milik Arin dan dirinya. Diana berniat untuk memutar lagu dan menggambar lagi sebelum jam menunjukkan pukul sembilan. Tandanya, ia masih punya waktu untuk menyenangkan diri dan menuang imajinasi ke dalam hobi.

Diraihnya benda yang ia letakkan di atas meja sebelum mandi dan mulai mengotak-atik musik di HP. Sambil menduduki kasur kecil dan punggung yang tersandar di tembok putih kamarnya, jari-jari itu kembali menari di kertas. Menyempurnakan gambar yang sudah berbentuk 3D itu agar kian cantik lagi. Meskipun, hanya berwarna hitam putih khas serbuk pensil miliknya.

πŸ’”

Matahari yang teramat cerah menyinari langit pagi ini. Berbanding terbalik dengan semangat seorang anak remaja yang baru turun dari atas motor sang papa. Tak ada yang cerah dari wajah Diana, malah aura kegugupan menguar dalam diri gadis sederhana itu.

Kini seragam atas putihnya itu berbalut jaket biru muda, tas ransel merah juga melekat di belakang tubuh. Kedua tangannya kali ini tak lagi mencengkeram erat sisi-sisi tas, melainkan masuk ke kedua kantong jaket yang menutupi seragamnya. Banyak tatapan mengejek dari berbagai anak SMP dan SMA yang terlempar ke arahnya karena turun dari motor butut Hendra. Diana yang tak peduli dengan tatapan tak suka itu hanya bisa pura-pura tak tahu.

Indormasi sedikit, kegugupan Diana itu bukan timbul lantaran ia malu. Karena menjadi pusat tontonanlah yang membuat gadis itu menjadi risih. Bahkan debaran di dadanya bertambah menjadi-jadi saat pandangannya menabrak sepasang mata laki-laki.

Vian. Ya, laki-laki itu baru saja turun dari motor besar milik sang Ayah. Lelaki berjaket abu-abu itu menatap Diana sejak gadis itu mengantongi telapak tangannya. Susah payah gadis yang memakai ikat rambut warna hitam itu untuk menormalkan laju jantungnya. Hawa dingin di tangan makin menjadi saat Vian berjalan dengan tak henti menatap ke padanya.

Ditundukkannyalah kepala itu dalam-dalam lalu mempercepat langkahnya saat Vian dirasa semakin dekat. "Kak Vian kenapa ya? Dari kemarin aneh terus perasaan..." batinnya heran sekaligus ingin tahu.

Tapi lagi-lagi, dada yang naik-turun tak beraturan itu lebih kuat dari perasaan keponya. Bahkan napasnya bak murid nakal yang mengelilingi lapangan ribuan kali lantaran kena hukuman. Ya, dipelipis Diana, keringat itu mengucur deras padahal cuaca masih sejuk. Salahkan jantungnya yang bekerja sepuluh kali lipat lebih cepat.

"Viaaan...!"

Tanpa berbalik, Diana sudah tahu pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan kaka kelasnya, Jesi. Entah apa yang mereka obrolkan di belakang tubuh Diana, gadis introvert itu memilih cepat-cepat ke aula lantaran tak nyaman dengan keramaian yang ada. Ingat kan kalau SMP dan SMA Ibu Pertiwi digabung jadi satu gedung? Apalagi Diana tidak didampingi. Pastinya rasa grogi lebih terasa di dalam diri kalau suasana ramai dihadapi sendiri.

Sampai di ambang pintu aula dadanya lagi-lagi berdebar. Lia yang ia harapkan sudah datang dan menyambutnya, ternyata belum hadir. Dengan tarikan napas dalam-dalam dan menghembuskannya kasar, Diana masuk dengan tatapan datarnya lalu memilih tempat duduk paling pojok. Ya meskipun masih di deretan paling depan, setidaknya dia tak berhadapan langsung dengan orang yang akan berdiri di depan kelas.

Tanpa Diana sadari, orang yang dicari sudah memasuki aula. Gadis yang tenang melepas tas dan jaketnya itu, membelakangi Lia. Dengan begitu, akal jahil Lia akan terlaksana, mulus. Mulut Lia terbuka lebar dan mampu membuat Diana mendelik, "BUAAAAA..." ditepuk kencang kedua bahu Diana. "...AHAHAHA!" diakhiri dengan tawa menggelegarnya, tanpa menghiraukan beberapa banyak pasang mata yang mengarah ke kedua perempuan itu.

Diana yang memang terkejut lantas menghembuskan napas panjang dengan perasaan kesal yang sudah di ujung ubun-ubun. "Kasihan yang lain tauk!" protes Diana kemudian.

Teman Diana itu malah tersenyum lebar. "Halah.... Ngomong aja kamu kaget." ucap Lia sembari duduk dan melepas tas pinknya.

"Aku emang kaget..." balasnya jujur. "...tapi kasihan yang lain kalo punya penyakit jantung."

"Mana ada!" Lia terkekeh geli mendengarnya. "Bocil-bocil kalo punya penyakit jantung ya bahaya dong."

"Husssth...! Kalo ngomong dijaga, Li..." peringatnya.

"Iya-iya." putus gadis berkepang satu itu. Diturutinya saja saran Diana, daripada akhirnya dia yang kena nyinyiran seluruh siswa di dalam aula, mendingan tutup mulut tanpa omelan. Bersyukur karena MOS pagi ini yang memang belum dimulai, jadi ada alasan untuk Lia membela diri jika ada anak yang protes dengan ulah ributnya tadi. "Eh, Na... Aku ke kamar mandi dulu ya, kebelet pipis." ujarnya saat sudah berdiri dan langsung berlari kencang sesuka hati tanpa mendengar tanggapan Diana lebih dulu.

Diana lantas membelalak. "Loh-loh... Tungguin!" pekiknya heboh karena tak ingin ditinggal di ruangan itu sendirian.

Namun, saat tubuh Lia menghilang dari balik salah satu pintu aula---karena modelnya dua pintu--- sosok Vian datang, berjalan santai. Membuat Diana yang barusan bangkit lantas berjalan lebih cepat dan memutus kontak mata sesegera mungkin. Kentara sekali kalau gadis itu menahan dadanya agar tak bergetar hebat.

Kini, kala tubuh mereka berdua saling bersebelahan, Diana menatap lantai putih yang dipijak dengan gumaman, " si tenang segeralah datang, si gugup cepatlah hilang. Amin." entah mantra apa itu, intinya kalimat itu terlontar begitu saja saat matanya terpejam beberapa detik.

Begitu berhasil keluar dari aula, napas lega menghembus dengan panjangnya. "Terimakasih, Tuhan..." rasa syukur terlontar dengan ekspresi girang. Tapi ada satu gangguan lagi saat salah satu kakinya yang hendak menuruni tangga, bel masuk SMPnya berbunyi jelas di gendang telinga seluruh pendengar. Sangat nyaring nan panjang :

Teeeeet...!

Diana mendesis tidak suka. Dia merasa sedikit kecewa karena bel yang tak tepat waktu bersuara. Salahkan pelaku penekannya!

Berkata-katalah perempuan manis itu dalam hati dan hidungnya yang menarik oksigen dalam-dalam, "baru aja ngerasain lega, rasa grogi lagi-lagi ada, hih." memang, seperti itulah nasib seorang pemalu kalau belum terbiasa dengan suasana dan lingkungan baru.

Butuh waktu cukup lama untuk menyesuaikan dan lebih seleksi dalam memilih teman. Bukan bermaksud sombong, lagi-lagi dia hanya mencari zona ternyaman dalam bergaul. Bagi orang-orang yang tak tahu jenis orang yang seperti Diana, pasti mengira bahwa mereka terdaftar sebagai manusia sombong, cuek, sulit tersenyum. Tapi, kalau mau mengenal mereka lebih dalam, orang introvert cocok sekali untuk menjadi 'ladang curhat'.

Ya! Bagi mereka, menjaga rahasia adalah hal yang mudah untuk mereka lakukan. Termasuk untuk menutupi perasaan. Mereka sungguh pintar melakukannya.

Sambil memutar tubuh, kurang lebih 90°, Diana menekuk bibirnya ke dalam. Diusahakan perutnya agar tak merasa mulas lantaran rasa grogi menyerbu. Apalagi di dalam aula sudah banyak anak-anak, yakni seratus dua puluh lima murid. Belum lagi ada kakak kelas yang membuatnya merasa panas dingin tiba-tiba. Tunggu, jangan lupa! Lia masih menuntaskan hasrat pipisnya.

Sebelum kakinya benar-benar masuk, kepalanya dipaksa menunduk agar bisa menetralkan detak jantung dan tak menatap seluruh bagian tubuh Vian. Langkah demi langkah ia jalani dengan degupan kencang di dada, dan akhirnya... Pantang Diana mendarat mulus di bangku coklat itu.

"Permisi..." Vian menoleh. Sebelum lelaki itu bertanya, si Lia lebih dulu mengucapkan alasannya. "...maaf Kak, habis dari kamar mandi."

Vian mengangguk sekali. "Ya, silakan masuk dan duduk di tempat kamu." sahutnya yang tak lupa diiringi dengan senyuman cerah, membuat mata yang melihat, memuji tingkat kemanisan wajah Vian.

Cocok sekali dengan pagi ini, secerah mentari yang membuat langit tersinari. Tanpa disadari, ada hati yang menikmati, bahkan wajah gadis itu, kini berseri-seri.

πŸ’”πŸ’”πŸ’”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status