Share

Jangan Pacaran

Setelah lima menit berdiri sendirian menunggu angkot di depan pom bensin seberang sekolahnya, Diana akhirnya menaiki angkot yang tak terlalu ramai karena di dalamnya hanya ada dua orang dewasa dan satu anak bayi. Beruntungnya, gadis itu bisa duduk dan mengistirahatkan sepasang lututnya yang memang lemas. Untuk pertama kalinya, ia menaiki mobil pengangkut orang-orang berbagai umur dan pekerjaan itu. Diana duduk persis di belakang sopir angkot, pojokan.

Sedangkan di samping kirinya seorang wanita penjual jamu gendong tengah memangku bakul berisi botol-botolnnya dan barang-barang lain. Kulitnya banyak yang telah keriput itu menandakan bahwa umurnya tak muda lagi. Beliau memakai kostum layaknya pakaian zaman dulu, bawahan jarik cokelat tua dengan atasan seperti kebaya putih kusam nan polosan, tanpa adanya manik-manik seperti kebaya modern. Persis pakaian jawa tempo dulu.

Seorang wanita berhijab hitam berumur dua puluhan duduk di tengah-tengah bangku seberang sang wanita tua samping Diana. Ibu-ibu itu tengah menggendong bayi kisaran delapan bulan. Terlihat dari tempat Diana duduk, sesekali sang Ibu memejamkan mata, mungkin karena rasa kantuk yang sulit ia cegah lambat-laun menguasai. Bayinya bahkan sudah terlelap, terlihat tak ada pergerakan yang aktif dari tangan ataupun kaki si kecil.

Tiba-tiba sang sopir angkot menepikan mobilnya ke bagian kiri. Masuklah seorang laki-laki memakai seragam yang sama dengan apa yang Diana pakai, putih-biru-tua. Anak laki-laki itu memilih duduk di sebelah Ibu-ibu berhijab hitam, dekat tempat keluar-masuknya orang ke angkot. Tak sengaja, posisnya itu membuat Diana menarik napas, bagaimanapun juga badan bocah laki-laki itu mengarah ke Diana, gadis yang berusaha mengalihkan pandangannya keluar.

Ada satu hal yang membuat perasaan Diana tenang, yaitu Tuhan. Ia tak sendirian di dalam angkot itu, bahkan melalui seluruh penumpang itu Diana paham, bukan dirinya yang mengalami keterbatasan ekonomi, kerasnya hidup, dan tuntutan takdir. Di dalam hati ia berucap dengan tulus, "terimakasih Tuhan, untuk hari ini. Mereka adalah bukti bahwa aku enggak sendirian di sini. Aku juga tau bahwa bukan cuma aku yang merasakan tuntutan orang tua untuk mandiri."

Lima belas menit yang dimanfaatkan Diana untuk memandangi jalanan dengan melipat bibir dalam-dalam akhirnya usai di saat ia tersadar bahwa rumahnya sebentar lagi akan nampak. "Kiri ya, Pak..." ucapnya tak terlalu kencang lantaran sang Bapak ada di dekatnya. Saat mobil mulai berhenti, lantas kedua kakinya bergerak untuk keluar. Tak ada halangan karena sisa SMP itu langsung menyingkirkan kaki panjangnya begitu Diana berdiri. "...berapa ongkosnya, Pak?"

Si Pak sopir mengulas senyum dan berujar, "dua ribu, Dek..." Diana lantas merogoh saku seragam putihnya. "...dibiasain ya... Kalau besok-besok ada yang minta lebih dari segitu jangan dikasih, Dek. Apalagi kamu tanya gitu, kelihatan kalau belum pernah naik angkot," lanjutnya yang membuat Diana mengangguk pelan.

Tangan kanan perempuan berambut ikat satu itu terulur ke arah sang sopir lewat jendela yang terbuka lebar di kursi samping kemudi. "Terimakasih, Pak..." tutur Diana sopan dengan senyum kecilnya.

Bapak itu lantas mengangguk dan menerima uang dua ribu, dua koin seribuan dari Diana, lalu menjalankan mobilnya lagi menjauhi rumah orangtua Diana dengan laju pelan.

Pukul sebelas lebih empat puluh lima menit tertera di jam dinding ruang tamu rumah Tania dan Hendra. Tanpa pikir panjang, Diana melepas sepatu hitam bertalinya beserta sepasang kaos kaki putih yang membungkus di sana. Ia letakkan di atas rak sepatu dekat pintu. Masih memakai tas merah, ia masuk ke kamar. Letaknya di samping kanan ruang tamu, kamarnya bahkan bersebelahan dengan ruangan pribadi orangtuanya.

Satu kotak itu berisi ruang tamu dan dua kamar tidur. Sedangkan ruang TV, dapur, dan kamar mandi ada di belakang, masuk rongga pintu yang ditutupi kain bercorak dedaunan warna hijau muda.

Tania yang tengah mendengar suara pintu ditutup lantas menghentikan tangannya yang tengah menyusun piring di atas tikar untuk anggota keluarga makan.

"Diana..." terkanya lalu menyibakkan kain hijau muda itu. "...Na! Udah pulang?"

"Iya, Mah... Lagi ganti baju!" sahutnya dari dalam tanpa membuka pintu.

"Ya... Habis itu makan, Mamah masak sayur asem, tempe, sama sambel tuh... Masih anget!"

"Iya, Mah..."

"Mamah tungguin di sana ya..."

Sudut-sudut bibir Diana terangkat, membentuk lengkungan manis di wajahnya. "Iya-iya, Mah..." kepalanya kini menggelang. "...Mamah-Mamah..." lirinya lalu menurunkan gagang pintu kamar untuk keluar.

💔

Sore ini di kala senja berangsur menghilang dan seseorang masih dengan setelan yang sama yaitu kaos polos merah muda dan celana pendek hitam bertabur lautan lambang cinta warna pink, Diana duduk di atas kasur beralas perlak kembang-kembang biru. Sedangkan kasurnya berbalut sprei putih polos. Rambut lurusnya dibiarkan tergerai hingga ujung rambutnya menyentuh pundak.

Digenggaman tangan kirinya ada buku gambar A3, sedangkan tangan kanan memegang pensil 2B warna hijau tua. Sudah berjam-jam tangannya menghias kertas yang semula putih bersih itu. Hanya gambar sederhana yang ia buat, yakni bunga sekelopak bunga mawar. Serapi dan seindah mungkin tangannya membentuk lengkungan demi lengkungan sampai satu bunga itu terlihat sempurna di matanya. Diana tak sendirian, ia ditemani lagu-lagu pop tanah air yang muncul dari speaker HPnya. Diana memang dari kalangan sederhana. Tapi berkat sang Kakak perempuannya yakni Arina Lintang yang kuliah sekaligus bekerja di Solo, mampu membantu kebutuhan orangtua, khususnya untuk sang adik. Ponsel itu didapatnya dari Arin setelah ia mendaftar di SMP Ibu Pertiwi. Terlebih lagi Arin tahu bahwa kesukaan Diana ialah menggambar sambil mendengar lagu, jadi ia ingin memberikan benda yang pantas untuk adiknya itu.

Berjam-jam berpacaran dengan buku gambar tak membuat Diana dihantui rasa bosan, malahan ia berkali-kali lipat menikmati hobinya itu. Sampai suara Tania berhasil membuat bibirnya berdecak. "Mandi, Na! Papah juga udah pulang."

"Iya..." secepatnya Diana bangkit dan meletakkan buku gambar itu di atas meja kayu coklat yang ada di samping kanannya tanpa menutup buku besar itu. Tak lupa ia mematikan lagu yang terputar milik Glen, 'Kasih Putih'. Ditaruhnya benda pipih casing putih tepat di gambar bunga cantik karyanya yang belum selesai total. Diambilnya daster biru corak banana dari lemari pakaian dan disambarnya handuk cream dari balik pintu kamar untuk ia bawa ke kamar mandi.

"Habis itu ke ruang tamu dulu, Na. Papah minta kita kumpul di sana." pinta sang Mama di tikar depan TV begitu Diana ingin masuk kamar mandi. Gadis itu mengangguk patuh lalu memulai aktivitasnya di dalam sana.

Lima belas menit berlalu. Diana keluar dengan rambut yang masih setengah basah. Tangan-tangan itu sibuk menggosok pelan rambut dengan handuk creamnya. Sampai di ruang tamu Tania dan Hendra duduk bersebelahan di kursi kayu panjang.

Sambil menyender di dada kursi, Hendra menunjuk kursi yang kosong di sampingnya. "Duduk sana..." Diana mengiyakan. "...gimana sekolahnya?" tanyanya to the point seraya menatap lembut sang putri.

"Nggak gimana-gimana. Masih pengenalan sekolah, Pah." jawab Diana lalu menyender dikursi yang ia pakai.

"Udah tau kelasnya?" kini pertanyaan dari mulut Tania.

Diana menggeleng. "Lusa baru masuk ke kelas masing-masing. Tadi masih di aula..." bibirnya menunjukkan senyum. "...aku udah dapet satu temen. Besok kalo MOSnya selesai dia juga pulang naik angkot bareng aku." sambungnya semakin melebarkan senyum.

"Cewek apa cowok?" sahut Tania was-was yang diangguki Hendra.

"Cewek... Namanya Lia. Tadi pas nulis, aku pinjem bolpen sama dia karna tinta bolpenku udah abis." singkatnya.

"Oh iya, Papah belum kasih uang kamu bulan ini. Bentar." sela sang papa saat mengingat tugasnya memberi uang saku. Hendra lantas bangkit melewati meja kayu di depannya lalu masuk.

Sedang Tania langsung menatap Diana dengan tampang lebih serius. "Kamu belajar yang bener, Na. Biar besok bisa masuk di SMAN 1 kayak Kak Arin... Mamah nggak mau ya kalo kamu enggak masuk peringkat di kelas nanti!" tegasnya tak mau dibantah. Belum sempat Diana menjawab, Tania melanjutkan. "Awas aja kalo kamu kenal cowok! Jaman sekarang musimnya pacar-pacaran... Mamah nggak suka!" Diana mengiyakan dengan gumaman.

"Nih..." sodoran uang yaitu dua kertas lima puluh ribuan, dan lima lembar uang sepuluh ribuan, serta dua ribu rupiah sisanya, persis di depan Diana. "...buat sebulan ya, yang receh-receh buat bayar angkot." ucap Hendra setelahnya.

Diana menerima sambil mengangguk. "Makasih, Pah!"

"Inget pesen Mamah, belajar yang bener sama jangan pacar-pacaran!" pekiknya lalu melewati suami dan anak bungsunya itu. Tania berniat untuk menyiapkan makan malam.

"Iya, Mah." kalimat sesudah dua kata itu hanya ia ucapkan tanpa suara alias membatin, "lagian siapa yang mau deket sama cowok? Diliatin aja aku udah grogi. Apalagi pacaran, Mah? Mimpi aja aku nggak pernah. Mamah-Mamah... Mendingan pacaran sama gambar-gambarku daripada manusia!" tak bohong, wajah Vian yang manis dengan tubuh tegapnya tiba-tiba masuk ke pikiran Diana. Perlahan kepalanya bergerak ke kanan dan kiri, untuk mengusir bayangan Vian.

"Na, bikinin Papah kopi ya." Diana mematuhi dengan menggumamkan kata 'iya'. "Sama nanti anter ke depan. Papah mau minum di teras."

"Iya, Pah." balasnya penuh hormat sambil berdiri dari duduknya.

"Bilang Mamah kalo Papah makannya nanti aja." kini Hendra sudah berdiri di ambang pintu.

"Iya...!" sahut sang anak dengan suara panjang seraya berjalan cepat ke belakang.

Sampai di dalam Tania tengah mengambil teko isi air putih dingin dari kulkas. "Papah suruh ke sini." katanya saat Diana melihatnya.

Gadis remaja berumur tiga belas tahun itu menjawab cepat, "tadi Papah bilang makannya nanti. Ini aku mau buatin kopi buat Papah."

"Ya udah, kamu makan habis itu."

"Iya." Tangannya yang sudah memegang gelas dan sendok lantas meletakkan tempat minum itu di meja dapur. Sedang kopi hitam yang tersimpan di dalam wadah plastik kecil dekat kompor, diambilnya dengan sendok teh alumunium. Setelah itu, gula pasir di dalam wadah sejenis juga ia angkut sebanyak dua sendok. Perbandingan kopi dengan gula adalah 2:1 lantaran Diana takut rasanya kemanisan. Dituangnya air panas yang ada di termos abu-abu ke dalam gelas bercampur kopi dan gula. "Bentar ya, Mah." pamitnya setelah melewati Tania.

"Iya, cepet. Kalo udah makan langsung." Diana mengangguki saran wanita berdaster coklat motif batik itu.

"Nih, Pah... Spesial buatan aku." candanya saat di teras, berdiri di depan Hendra dengan senyum lebar andalan bibirnya.

"Oke, makasih. Tapi spesial buatanmu belum tentu enak to?" goda Hendra yang membuat wajah datar Diana muncul mendadak. Sang Papa langsung terkekeh dibuatnya. "Udah masuk sana, makan dulu sama Mamah."

"Heeem..." gumam Diana sedikit dongkol dengan kaki yang melangkah cepat.

Sebelum benar-benar menemani Tania makan, anak yang rambut lurusnya sudah kering itu mampir ke kursi ruang tamu lebih dulu. Diana mengambil handuk yang tadi ia gunakan untuk dikembalikan ke belakang pintu kamarnya.

"Dianaaa...! Makan!" teriak Tania, mungkin cacing-cacing di perutnya sudah mendorong hebat dinding perut wanita tegas itu.

Sepasang bola mata Diana kini memutar. "Iya, Mamah...!"  sahutnya dari dalam kamar sekenanya. "Sabar..." lanjutnya bergumam, takut didengar Tania.

Tidak seru kalau dia diceramahi panjang-panjang, sepanjang jalan kenangan Tania dengan Hendra. Buru-buru gadis itu menarik pintu supaya tertutup. Lalu berlari menyusul Tania yang memang sudah siap menyantap menu siang tadi dengan duduk rapi, seraya memangku piring kosong di tikar kain itu.

💔💔💔

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status