Mira mengamati Nenek yang semakin jauh dari pandangannya, sambil terus memegangi perutnya. Ketika hampir mendekati apotek, Mira langsung berkata kepada Leo kalau perutnya tidak sakit lagi.
Leo kemudian berkata kepada Mira. “Lebih baik kita pulang saja, kamu istirahatlah di rumah. Aku takut kalau nekat pergi ke kota, perutmu sakit lagi.”Mira mengganggukkan kepala pertanda setuju dengan yang dikatakan Leo.Mira terus memutar otak selama perjalanan menuju ke rumahnya, tentang bagaimana cara mengenalkan Leo kepada neneknya? Dia berpikir, tidak mungkin menyembunyikan Leo terus menerus. Gadis manis itu menarik nafas panjang berkali-kali.Leo melihat kegelisahan di wajah Mira. “Ada apa, Mir? Apa ada masalah?” tanya Leo sambil memegang salah satu tangan Mira.Mira memandang Leo penuh rasa iba. “Bagaimana mungkin aku tega menceritakan ini kepadamu Leo? Aku takut nanti kamu sakit hati,” batinnya.Leo melihat Mira semakin bertanya-tanya. “Apa kamu tidak mempercayaiku? Hingga tidak berani menceritakan masalahmu kepadaku.”Mira menarik nafas panjang. “Bukan begitu Leo. Aku hanya tidak ingin menambah beban pikiranmu saja.”“Kalau begitu, buat apa kita menjalin hubungan? Bukankah tujuannya agar kita bisa saling dekat dan mengetahui satu sama lain,” kata Leo sambil mengarahkan pandangannya ke jalan.Mira menarik nafas panjang lagi. “Baiklah Leo. Dengarkan aku! Nenekku baru datang dari kota. Dia sangat cerewet tentang semua hal. Tadi setelah melihat foto wisudaku, dia memintaku untuk mencari pacar yang kaya, baik, pengertian dan-““Iya ... dan apa, Mira?”Mira menelan ludah kemudian melanjutkan bicaranya. “dan tampan.”Leo segera mengerem mobilnya secara mendadak. Dia terperanjat mendengar perkataan Mira. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.Mira tersentak kaget karena rem mendadak itu, dia ingin marah kepada Leo karena yang dilakukannya sangat berbahaya, apalagi ketika berada di tengah jalan. Namun, itu tidak dilakukannya, karena melihat perubahan wajah kekasihnya itu.Mira menggenggam tangan Leo, memintanya untuk menepi agar lebih aman untuk berbicara. Kekasihnya itu menuruti ucapannya.“Aku mencintaimu tanpa melihat kekuranganmu. Aku telah menerimamu apa adanya. Namun, tidak semua orang dapat melihat, seperti yang aku lihat. Itulah tantangan cinta kita. Ini adalah rintangan yang harus kita hadapi bersama,” kata Mira berusaha menghibur hati Leo yang sedang gundah.Leo menganggukkan kepalanya, berusaha berpikir dan menenangkan hatinya dalam diam, kemudian melajukan mobilnya kembali.***Nenek duduk di ruang tamu dengan perasaan khawatir dan kecewa. “Semoga kamu tidak apa-apa Mira, tapi mengapa kamu meninggalkan Nenek begitu saja, itu sangat tidak sopan,” gumam Nenek merasa kesal.Nenek berjalan ke luar rumah, kepalanya tidak henti-hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap Mira segera datang.Nenek kemudian masuk ke rumah, mencari Bapak dan Ibu Mira. Dia ingin bertanya sesuatu kepada mereka. “Apa kalian tahu tadi itu mobil siapa?” tanya Nenek.“O ... Itu mobil Leo, pacarnya Mira, Bu. Kenapa Ibu bertanya?” jawab Bapak santai.“Kalau itu memang mobil pacarnya Mira, mengapa mereka langsung pergi begitu saja, tanpa berpamitan terlebih dahulu?” tanya Nenek dengan kesal, ujung bibirnya maju.Bapak tahu betul tabiat ibunya, dan tahu persis yang dipikirkan oleh anak gadisnya itu. Bapak kemudian berpikir akan lebih baik kalau diam saja, membiarkan Mira yang menjelaskan sendiri kepada Nenek nanti.“Mungkin malu, Bu,” kata Ibu Mira.“Kenapa harus malu?” tanya Nenek penasaran.Bapak memberi kode ke Ibu, matanya dikedipkan cepat sebanyak tiga kali agar Ibu tidak melanjutkan pembicaraannya.Ibu terpaku sebentar, kemudian segera memberi alasan yang masuk akal kepada Nenek. “Mira malu mengenalkan pacarnya, Bu. Maklum, baru berpacaran, mungkin takut membuat Ibu kecewa.”“Pokoknya harus sesuai dengan kriteria yang sudah Ibu katakan, yaitu tampan, kaya, baik dan pengertian. Apa susahnya?”“Itu sulit Bu,” jawab Bapak santai sambil berjalan melewati Nenek.Nenek semakin penasaran. Dia mengikuti Bapak dari belakang. “Sulit ... bagaimana?” tanya Nenek sambil mengejar Bapak, berharap mendapatkan jawaban.Bapak pura-pura tidak mendengar pertanyaan Nenek, dia berjalan ke tempat motornya diparkir, kemudian menaiki motor itu sambil berpamitan dengan nenek. “Aku pergi ke toko dulu ya, Bu.” Bapak mencium punggung tangan nenek dan bergegas melajukan motornya.Nenek melongo melihat Bapak pergi, belum sempat menutup mulutnya, tiba-tiba mobil Leo sudah berada di hadapannya. Nenek kemudian menunggu mira keluar dari mobil dengan muka masam.Mira akhirnya keluar dari mobil. “Maaf, Nek. Tadi Mira sakit perut. Leo khawatir, langsung membawa Mira ke apotek terdekat. Jadi tidak sempat berpamitan.”Wajah nenek langsung berubah, bibirnya melebar membentuk senyuman. “O ... karena itu. Iya, tidak apa-apa, Mir.”“Leo itu siapa, Mir?” tanya Nenek tiba-tiba, membuat Mira tersentak kaget.“I-itu ... pacar Mira,” jawab Mira dengan tawa datarnya.“Ayo, kenalkan kepada Nenek,” pinta Nenek sambil melihat ke jendela mobil yang berwarna hitam itu.Leo akhirnya keluar dari mobil. Mulanya, wajah Nenek tersenyum lebar, karena melihat sosok Leo saat baru keluar dari mobil, terlihat tinggi dan gagah. Setelah wajah Leo tampak dari depan, wajah Nenek berubah masam. Mulutnya ditutup dengan kedua tangannya, kemudian pelan-pelan salah satu tangannya bergerak menunjuk wajah Leo. “To .. tompelnya besar sekali,” kata Nenek, suaranya bergetar. Emosi Leo langsung memuncak, wajahnya memerah menahan amarah, kedua tangannya dikepalkan. Mira menyadari reaksi kemarahan kekasihnya itu. Dia langsung berjalan mendekati Leo, kemudian menggenggam tangannya. Bibirnya didekatkan ke telinga kekasihnya itu. “Yang sabar, ya,” bisiknya, berusaha menurunkan emosi Leo.Dahi Nenek mengernyit ketika melihat Mira mendekati Leo, ditariknya tangan cucu satu-satunya itu. “Menjauhlah dari cucuku! Kamu tidak pantas dengannya!” teriak Nenek.Nenek kemudian menarik tangan Mira dan memaksanya masuk ke rumah. Gadis manis itu menuruti kemauan neneknya sambil melihat Leo. Dia kemudian meminta kekasihnya itu untuk segera pulang. Leo yang masih emosi akhirnya masuk ke mobil dan segera melajukan mobilnya.Nenek mendudukkan Mira di ruang tamu. Dia menarik nafas panjang dan penuh emosi saat mengeluarkan kata-kata untuk Mira. “Dengar, Mira! Nenek sudah berkata, carilah pacar yang tampan, kaya, baik dan pengertian. Apakah itu terlalu sulit bagimu?!”Kemudian dipegangnya wajah Mira dengan kedua tangannya. “Wajahmu sangat manis, tubuhmu juga bagus dan pendidikan terakhirmu S1. Lelaki mana yang menolakmu? Tidak ada cucuku sayang.”Nenek melepaskan tangannya dari wajah Mira, kemudian memandang mata cucu kesayangannya itu lekat-lekat. “Tapi mengapa yang kamu pilih, lelaki dengan tompel besar di wajahnya. Padahal ada banyak lelaki tampan, kaya, yang baik dan pengertian di luar sana.”“Itu karena aku mencintainya, kuterima dia apapun kekurangannya,” jawab Mira penuh perasaan, berharap Nenek memahaminya.“Omong kosong ... kamu pikir, cinta bisa bertahan sampai seumur hidup. Bagaimana kalau nanti setelah menikah, kamu bertemu dengan orang yang lebih tampan. Apa cintamu masih bertahan? Nenek ini sudah berpengalaman,” jawab Nenek kesal sambil berdiri menyilangkan kedua tangannya. Nenek kemudian berjalan pelan dan berhenti di depan pintu ruang tamu. Matanya menerawang, memandang ke luar rumah. “Dengar Mira, Nenek ke sini sebenarnya mempunyai tujuan. Dua minggu lagi akan ada pesta reuni keluarga besar nenek dan akan diadakan di rumahmu ini.”“Nenek akan menunjukkan kepada saudara, kalau memiliki cucu secantik kamu. Nenek akan berkata kalau kamu masih belum punya pacar.”“Apa? Tapi Mira sudah punya Leo, Nek. Lagipula, mengapa nenek baru menceritakannya sekarang?” tanya Mira gugup.Nenek tidak mendengarkan perkataan Mira, dia tetap dalam pendiriannya. “Saudara-saudara Nenek mempunyai cucu yang tampan dan kaya, nanti akan nenek kenalkan kepadamu. Mungkin, ada yang cocok denganmu.”“Tidak, Nenek. Aku mencintai Leo. Dia pilihanku.”“Nenek hanya menerima cucu menantu yang tampan, kalau Leo bisa menjadi seperti itu, maka akan Nenek terima!” teriak Nenek.“Leo ... menjadi tampan tanpa tompel. Itu tidak mungkin, Nek,” kata Mira.“Itu bisa terjadi, kalau kamu mau.”“Tapi ... bagaimana caranya, Nek?” tanya Mira penasaran.“Caranya dengan operasi plastik,” jawab Nenek penuh percaya diri.“Apa ... ?” gumam Mira, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas.Wajah Mira menegang, terpaku dengan bercak merah itu. Namun, dia segera menyelesaikan memandikan bayinya. Takut kalau terlalu lama kena air, sang bayi bisa sakit karena masuk angin.Setelah selesai memakaikan baju, dia menggendong anaknya dengan wajah panik dan turun ke lantai dua menuju ke kamar Papa Leo. Kebetulan saat itu Mama Leo sedang ada arisan. “Pa, Mira minta tolong anterin ke dokter anak, ya?”“Lo, ada apa Mira? Apa cucu Papa sakit demam?”“Nanti aja jelasinnya ya, Pa,” jawab Mira dengan wajah panik dan cemas.Papa langsung menjawab, “Oke, oke. Ayo, Mir.”Mereka berdua kemudian berjalan cepat menuju ke mobil. Seorang sopir pribadi Papa Leo yang selalu siaga, telah berada di depan mobil dan ikut bergerak cepat mengantarkan majikannya. “Ke Dokter Anak terdekat, ya!” perintah Papa Leo.“Siap, Pak.”Akhirnya me
Papa dan Mama Leo tercengang menyaksikan kepergian anak semata wayangnya. Papa Leo sampai ikut melongo, bingung harus berbuat apa. “Kita harus ngomong apa ke Mira, Ma?” Mama menghela napas dengan kasar. “Mama sendiri pusing rasanya, Pa. Terus setelah ini gimana?” “Lebih baik kita bicara jujur saja, Ma. Anak itu, masih saja emosional apalagi menyangkut Mira,” jelas Papa Leo sambil menggandeng pundak Mama Leo menuju ke kamar Mira. Di salah satu kamar terbaik Rumah Sakit Bersalin itu, Mira mulai pulih keadaannya. Mungkin karena bantuan selang infus dan segala yang dimasukkan ke dalam selang itu, oleh Dokter Spesialis Kandungan dan juga bidannya. Sedangkan, sang bayi memang belum berada di sisinya karena masih dalam pengawasan. Mama dan Papa akhirnya masuk juga ke dalam ruangan itu. Mereka kemudian berdiri berbarengan di sebelah Mira. “Selamat, ya. Bayimu tampan sekali,” ucap Mama dengan senyuman bangga. “Makasih, Ma,” jawab Mi
“Sebentar-sebentar.” Mira mendekati suaminya dan merangkulnya dari belakang. “Kalau mau pingsan sekarang. Aku sudah siap.” “Beneran sudah siap? Oke, aku pingsan sekarang, ya?” Leo menjatuhkan tubuhnya di dekapan Mira sambil menutup mata. Itu pun dengan kekuatan separuh. Mira berusaha menahannya dengan sekuat tenaga. “Argh ... aku gak kuat!” teriaknya dengan manja. Leo terkekeh melihat ulah istrinya sambil mengembalikan posisinya untuk duduk kembali. “haha ... enggak pingsan lah. Ini ‘kan kabar bahagia, sayang.” Leo menarik tangan istrinya yang sedang melingkar di perutnya agar berada di dekapannya. “Selamat ya, sayang. Semoga sehat terus sampai waktu melahirkan nanti,” doa Leo sambil mengelus perut Mira. Istrinya mengamini sambil mengangguk dengan wajah tersenyum bahagia. Senyuman itu sama sekali tidak memudar sejak tadi. Sebulan yang lalu, Leo membimbing Mira untuk mau berhubungan badan lagi. Awalnya Mira sanga
“Siapa, Pak?” tanya bagian keamanan itu penasaran. “Benar ... saya yakin dari postur tubuhnya. Dia Noval. Mantan pacar istri saya.” “Apa Bapak punya fotonya. Agar kami bisa berjaga-jaga kalau dia datang lagi ke sini.” “Tidak. Saya tidak memilikinya. Baiklah, Pak. Terima kasih kerja samanya.” “Tentu, apa pun itu. Kalau bisa membantu.” Dahi Leo mulai berkerut samar. “Si sialan itu tidak kapok juga. Awas, kamu.” Sambil berlalu tangannya semakin mengepal karena menahan marah. Selama di Rumah Sakit Jiwa, Mira mengalami perkembangan yang baik. Dia sudah tidak depresi lagi. Sudah bisa menerima kenyataan kalau apa yang telah terjadi dengannya adalah sebuah takdir yang harus di sikapi dengan bijaksana. Sikap sabar dan kasih sayang suaminya juga yang telah membuatnya bisa menerima kenyataan dengan baik. Setelah tambahan di sana selama satu minggu. Akhirnya, “Mira, ada kabar bagus hari ini.” “Apa itu, Leo?”
Teriakan Leo membuat Noval terpaksa keluar dengan dahi mengernyit. “Tutup mulutmu. Kau bisa membuat semua orang berkumpul di sini.” “Benar dugaanku. Apa kamu yang telah menabrak istriku, hah?!” teriak Leo penuh luapan amarah sambil menggerak-gerakkan pagar rumah itu. Ibnu langsung membuka pagarnya. Dia dengan wajah dibuat seolah-olah tidak mengetahui apa-apa dan berusaha ramah. Mendekati Leo. “Ada apa denganmu, Pak. Kalau mau bertanya langsung ke dalam saja. Jangan di luar seperti ini.” Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Leo. Dia langsung masuk ke dalam pagar rumah itu dan berjalan menuju ke Noval. Menarik kerah bajunya. Matanya membulat garang dan giginya gemeretak. Tangannya yang dari tadi mengepal menahan amarah akhirnya mengayun keras tepat di pipi kiri Noval. Dia meringis kesakitan dan duduk terjatuh ke lantai. Wanita cantik seksi dan Ibnu teman Noval, hanya bisa berdiri diam di sisinya. Leo memiliki postur tubuh lebih t
Suara teriakan Mira yang parau dan dalam mengagetkan seisi ruangan. Hatinya sangat perih. Tangannya yang gemetaran berada di atas perutnya. Dia menangis tersedu-sedu. “Anakku! Anakku!” teriaknya. Seolah tidak bisa menerima kenyataan kalau anak yang selama ini berada dalam perutnya sudah tidak ada lagi. Semua anggota keluarga mengerubungi Mira kembali. Mereka saling pandang dengan wajah penuh tanya tentang apa yang telah terjadi. Sejak keluar dari ruangan dokter itu, Leo tidak bercerita kepada siapa pun di sana. Kalau anak dalam kandungan Mira sudah tidak bisa tertolong. Dia takut mengagetkan mereka semua. Apalagi Ibu Mira yang syok melihat putrinya seperti itu. Bayangkan saja, apa yang akan terjadi jika mereka semua tahu yang sebenarnya. Menanggapi kecelakaan yang menimpa Mira saja, sudah membuat mereka syok, apalagi lebih dari itu. “Ada apa, Leo?” tanya Mama Leo penasaran. Namun teriakan Mira dan gerakan tangan di perutnya membuat para oran
“Sebentar, ya Ayah Leo. Mami mau nanya sama dedek dulu.” “Hah, caranya gimana sayang?” “Pakai telepati.” Mata Mira terpejam seolah sedang berkonsentrasi dengan jabang bayi di perutnya. Mulutnya komat kamit tidak jelas. Leo kembali melongo melihat kelakuan aneh istrinya. “Bisa tidak, gak aneh-aneh seperti itu.” Mira tidak menggubris suaminya. Dia tetap memejamkan mata dan menggerakkan bibirnya “Mir, Mira?” panggil Leo mulai ketakutan. Tiba-tiba, “Waa ... !” teriak Mira mengagetkan Leo. Dia tertawa terpingkal-pingkal melihat keberhasilan mengerjai suaminya. Leo memegang dadanya. Hampir saja dia melompat karena terkejut. “Gak lucu, ah,” timpal Leo dengan wajah cemberut. Setelah merasa puas, Mira mendekati suaminya. Tangannya dilingkarkan ke leher Leo “Aku semakin sayang, sama kamu,” ucapnya sambil memandang mata suaminya. Leo tersenyum menanggapi ungkapan hati istrinya. Baru saja dia mau menjawabn
Namun, Leo tetap bergeming. Barulah level kepanikan Mira naik. Dia berteriak, “Tolong! Tolong! Kumohon tolong kami.” Tangisannya langsung pecah seiring dengan suara teriakannya. Segera semua penghuni di lantai satu dan dua berlarian menuju ke lantai tiga kamarnya. “Ada apa, Nyonya?” tanya salah satu pembantu yang telah dulu naik ke lantai tiga kamar Mira. “Apa yang terjadi, Mira?” tanya Bibi Jum dengan nada khawatir. “Mira, ada apa?” tanya Mama dengan wajah sangat khawatir. Dia kemudian mengalihkan pandangannya ke tubuh Leo yang tergeletak di lantai. “Astaga, ada apa dengan anakku, Mira. Cepat katakan!” teriaknya. Sama paniknya dengan Mira. Dia juga melakukan yang tadi dilakukan Mira, yaitu menggerak-gerakkan tubuh Leo agar segera tersadar. Papa Leo datang terakhir. Dia yang paling tenang di antara lainnya. “Jangan bergerombol, ya. Coba tenangkan diri kalian. Sekarang, semuanya menjauh dari Leo. Biar Papa yang menangani.” S
“Coba Mira ke dokter, ya? Memastikan keadaan Mira,” ucap Bibi Jum tenang. “Apa ... Bibi Jum menganggap Mira ... gila?” tanya Mira kebingungan. “Bukan, bukan begitu Mira. Kamu salah paham. Sudah gini aja. Bibi nanti ngasih catatan buat dokternya. Nanti waktu Mira ke sana. Kasihkan saja, ya?” Mira masih kebingungan. Bahkan mulutnya masih termenganga saat itu. Namun, dia menganggukkan kepalanya cepat. “Yang penting lakukan saja, mengenai hasilnya dipikirkan nanti saja,” batinnya. Keesokan harinya, Mira pergi ke dokter. Dia pergi ke dokter umum karena terbiasa ke sana kalau sedang jatuh sakit. Tidak lupa dia juga membawa catatan yang diberikan oleh Bibi Jum. Dia tidak membuka dan membaca catatan itu sama sekali. Sebenarnya, dia sangat penasaran tapi karena ingat pesan Bibi Jum, maka dia tidak berani membacanya. “Tolong kasihkan langsung ke dokternya, ya! Tidak usah dibaca.” Itulah kata-kata Bibi Jum yang terngiang di kepala Mira. Saa