Share

Rintangan Kedua

Mira mengamati Nenek yang semakin jauh dari pandangannya, sambil terus memegangi perutnya. Ketika hampir mendekati apotek, Mira langsung berkata kepada Leo kalau perutnya tidak sakit lagi. 

Leo kemudian berkata kepada Mira. “Lebih baik kita pulang saja, kamu istirahatlah di rumah. Aku takut kalau nekat pergi ke kota, perutmu sakit lagi.”

Mira mengganggukkan kepala pertanda setuju dengan yang dikatakan Leo.

Mira terus memutar otak selama perjalanan menuju ke rumahnya, tentang bagaimana cara mengenalkan Leo kepada neneknya? Dia berpikir, tidak mungkin menyembunyikan Leo terus menerus. Gadis manis itu menarik nafas panjang berkali-kali.

Leo melihat kegelisahan di wajah Mira. “Ada apa, Mir? Apa ada masalah?” tanya Leo sambil memegang salah satu tangan Mira.

Mira memandang Leo penuh rasa iba. “Bagaimana mungkin aku tega menceritakan ini kepadamu Leo? Aku takut nanti kamu sakit hati,” batinnya.

Leo melihat Mira semakin bertanya-tanya. “Apa kamu tidak mempercayaiku? Hingga tidak berani menceritakan masalahmu kepadaku.”

Mira menarik nafas panjang. “Bukan begitu Leo. Aku hanya tidak ingin menambah beban pikiranmu saja.”

“Kalau begitu, buat apa kita menjalin hubungan? Bukankah tujuannya agar kita bisa saling dekat dan mengetahui satu sama lain,” kata Leo sambil mengarahkan pandangannya ke jalan.

Mira menarik nafas panjang lagi. “Baiklah Leo. Dengarkan aku! Nenekku baru datang dari kota. Dia sangat cerewet tentang semua hal. Tadi setelah melihat foto wisudaku, dia memintaku untuk mencari pacar yang kaya, baik, pengertian dan-“

“Iya ... dan apa, Mira?”

Mira menelan ludah kemudian melanjutkan bicaranya. “dan tampan.”

Leo segera mengerem mobilnya secara mendadak. Dia terperanjat mendengar perkataan Mira. Sesuatu yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Mira tersentak kaget karena rem mendadak itu, dia ingin marah kepada Leo karena yang dilakukannya sangat berbahaya, apalagi ketika berada di tengah jalan. Namun, itu tidak dilakukannya, karena melihat perubahan wajah kekasihnya itu.

Mira menggenggam tangan Leo, memintanya untuk menepi agar lebih aman untuk berbicara. Kekasihnya itu menuruti ucapannya.

“Aku mencintaimu tanpa melihat kekuranganmu. Aku telah menerimamu apa adanya. Namun, tidak semua orang dapat melihat, seperti yang aku lihat. Itulah tantangan cinta kita. Ini adalah rintangan yang harus kita hadapi bersama,” kata Mira berusaha menghibur hati Leo yang sedang gundah.

Leo menganggukkan kepalanya, berusaha berpikir dan menenangkan hatinya dalam diam, kemudian melajukan mobilnya kembali.

***

Nenek duduk di ruang tamu dengan perasaan khawatir dan kecewa. “Semoga kamu tidak apa-apa Mira, tapi mengapa kamu meninggalkan Nenek begitu saja, itu sangat tidak sopan,” gumam Nenek merasa kesal.

Nenek berjalan ke luar rumah, kepalanya tidak henti-hentinya menoleh ke kanan dan ke kiri, berharap Mira segera datang.

Nenek kemudian masuk ke rumah, mencari Bapak dan Ibu Mira. Dia ingin bertanya sesuatu kepada mereka. “Apa kalian tahu tadi itu mobil siapa?” tanya Nenek.

“O ... Itu mobil Leo, pacarnya Mira, Bu. Kenapa Ibu bertanya?” jawab Bapak santai.

“Kalau itu memang mobil pacarnya Mira, mengapa mereka langsung pergi begitu saja, tanpa berpamitan terlebih dahulu?” tanya Nenek dengan kesal, ujung bibirnya maju.

Bapak tahu betul tabiat ibunya, dan tahu persis yang dipikirkan oleh anak gadisnya itu. Bapak kemudian berpikir akan lebih baik kalau diam saja, membiarkan Mira yang menjelaskan sendiri kepada Nenek nanti.

“Mungkin malu, Bu,” kata Ibu Mira.

“Kenapa harus malu?” tanya Nenek penasaran.

Bapak memberi kode ke Ibu, matanya dikedipkan cepat sebanyak tiga kali agar Ibu tidak melanjutkan pembicaraannya.

Ibu terpaku sebentar, kemudian segera memberi alasan yang masuk akal kepada Nenek. “Mira malu mengenalkan pacarnya, Bu. Maklum, baru berpacaran, mungkin takut membuat Ibu kecewa.”

“Pokoknya harus sesuai dengan kriteria yang sudah Ibu katakan, yaitu tampan, kaya, baik dan pengertian. Apa susahnya?”

“Itu sulit Bu,” jawab Bapak santai sambil berjalan melewati Nenek.

Nenek semakin penasaran. Dia mengikuti Bapak dari belakang. “Sulit ... bagaimana?” tanya Nenek sambil mengejar Bapak, berharap mendapatkan jawaban.

Bapak pura-pura tidak mendengar pertanyaan Nenek, dia berjalan ke tempat motornya diparkir, kemudian menaiki motor itu sambil berpamitan dengan nenek. “Aku pergi ke toko dulu ya, Bu.” Bapak mencium punggung tangan nenek dan bergegas melajukan motornya.

Nenek melongo melihat Bapak pergi, belum sempat menutup mulutnya, tiba-tiba mobil Leo sudah berada di hadapannya. Nenek kemudian menunggu mira keluar dari mobil dengan muka masam.

Mira akhirnya keluar dari mobil. “Maaf, Nek. Tadi Mira sakit perut. Leo khawatir, langsung membawa Mira ke apotek terdekat. Jadi tidak sempat berpamitan.”

Wajah nenek langsung berubah, bibirnya melebar membentuk senyuman. “O ... karena itu. Iya, tidak apa-apa, Mir.”

“Leo itu siapa, Mir?” tanya Nenek tiba-tiba, membuat Mira tersentak kaget.

“I-itu ... pacar Mira,” jawab Mira dengan tawa datarnya.

“Ayo, kenalkan kepada Nenek,” pinta Nenek sambil melihat ke jendela mobil yang berwarna hitam itu.

Leo akhirnya keluar dari mobil. Mulanya, wajah Nenek tersenyum lebar, karena melihat sosok Leo saat baru keluar dari mobil, terlihat tinggi dan gagah. Setelah wajah Leo tampak dari depan, wajah Nenek berubah masam. Mulutnya ditutup dengan kedua tangannya, kemudian pelan-pelan salah satu tangannya bergerak menunjuk wajah Leo. “To .. tompelnya besar sekali,” kata Nenek, suaranya bergetar. 

Emosi Leo langsung memuncak, wajahnya memerah menahan amarah, kedua tangannya dikepalkan. 

Mira menyadari reaksi kemarahan kekasihnya itu. Dia langsung berjalan mendekati Leo, kemudian menggenggam tangannya. Bibirnya didekatkan ke telinga kekasihnya itu. “Yang sabar, ya,” bisiknya, berusaha menurunkan emosi Leo.

Dahi Nenek mengernyit ketika melihat Mira mendekati Leo, ditariknya tangan cucu satu-satunya itu. “Menjauhlah dari cucuku! Kamu tidak pantas dengannya!” teriak Nenek.

Nenek kemudian menarik tangan Mira dan memaksanya masuk ke rumah. Gadis manis itu menuruti kemauan neneknya sambil melihat Leo. Dia kemudian meminta kekasihnya itu untuk segera pulang. Leo yang masih emosi akhirnya masuk ke mobil dan segera melajukan mobilnya.

Nenek mendudukkan Mira di ruang tamu. Dia menarik nafas panjang dan penuh emosi saat mengeluarkan kata-kata untuk Mira. “Dengar, Mira! Nenek sudah berkata, carilah pacar yang tampan, kaya, baik dan pengertian. Apakah itu terlalu sulit bagimu?!”

Kemudian dipegangnya wajah Mira dengan kedua tangannya. “Wajahmu sangat manis, tubuhmu juga bagus dan pendidikan terakhirmu S1. Lelaki mana yang menolakmu? Tidak ada cucuku sayang.”

Nenek melepaskan tangannya dari wajah Mira, kemudian memandang mata cucu kesayangannya itu lekat-lekat. “Tapi mengapa yang kamu pilih, lelaki dengan tompel besar di wajahnya. Padahal ada banyak lelaki tampan, kaya, yang baik dan pengertian di luar sana.”

“Itu karena aku mencintainya, kuterima dia apapun kekurangannya,” jawab Mira penuh perasaan, berharap Nenek memahaminya.

“Omong kosong ... kamu pikir, cinta bisa bertahan sampai seumur hidup. Bagaimana kalau nanti setelah menikah, kamu bertemu dengan orang yang lebih tampan. Apa cintamu masih bertahan? Nenek ini sudah berpengalaman,” jawab Nenek kesal sambil berdiri menyilangkan kedua tangannya.  

Nenek kemudian berjalan pelan dan berhenti di depan pintu ruang tamu. Matanya menerawang, memandang ke luar rumah. “Dengar Mira, Nenek ke sini sebenarnya mempunyai tujuan. Dua minggu lagi akan ada pesta reuni keluarga besar nenek dan akan diadakan di rumahmu ini.”

“Nenek akan menunjukkan kepada saudara, kalau memiliki cucu secantik kamu. Nenek akan berkata kalau kamu masih belum punya pacar.”

“Apa? Tapi Mira sudah punya Leo, Nek. Lagipula, mengapa nenek baru menceritakannya sekarang?” tanya Mira gugup.

Nenek tidak mendengarkan perkataan Mira, dia tetap dalam pendiriannya. “Saudara-saudara Nenek mempunyai cucu yang tampan dan kaya, nanti akan nenek kenalkan kepadamu. Mungkin, ada yang cocok denganmu.”

“Tidak, Nenek. Aku mencintai Leo. Dia pilihanku.”

“Nenek hanya menerima cucu menantu yang tampan, kalau Leo bisa menjadi seperti itu, maka akan Nenek terima!” teriak Nenek.

“Leo ... menjadi tampan tanpa tompel. Itu tidak mungkin, Nek,” kata Mira.

“Itu bisa terjadi, kalau kamu mau.”

“Tapi ... bagaimana caranya, Nek?” tanya Mira penasaran.

“Caranya dengan operasi plastik,” jawab Nenek penuh percaya diri.

“Apa ... ?” gumam Mira, tubuhnya tiba-tiba terasa lemas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status