Leo bercerita kepada papanya. Ketika di rumah kakeknya, dia dititipi dua anak tetangga Kakek. Awalnya mereka kewalahan. Apalagi Leo yang sama sekali belum pernah berurusan dengan anak kecil. Tapi, lambat laun mereka belajar memahami kedua anak itu, dan akhirnya mereka dapat bersenang-senang.
Nah, setelah kejadian itu Mira dan Leo saling berkata, ternyata seru juga. Tiba-tiba muncul inisiatif dari otak encer Leo, “Gimana kalau kita nikah secepatnya?” Usulnya langsung disetujui Mira dengan lantang. Mira seperti memahami maksud terselubung dibalik pertanyaan Leo, karena dia memiliki pemikiran yang sama. Jadi tidak perlu menjabarkan jawabannya dengan panjang lebar.“Aku bayangin, Pa. Pasti sangat lucu kalau kami bisa bermain dengan anak yang datang dari perut Mira. Buah hasil pembauran kami berdua,” jelas Leo sambil mengangkat alisnya dan tersenyum ringan. Dia memandang Mira dengan tatapan ingin mencengkeram nakal.Mira membalas tatapannya dengan menu“Apa mungkin dia ... ? Sial. Bisa jadi. Huff, bikin kesel.” Tepat saat itu, Leo bersalaman dengan tamu terakhirnya. Setelah itu, dia segera melangkahkan kakinya, turun ke panggung dan menuju kepada seseorang. Leo berhenti persis di sisi wanita itu. “Bisa, kita bicara sebentar!” pinta Leo dengan nada datar yang dingin. Membuat yang dipanggilnya menoleh membeku menatapnya. “Oke, bleh sja,” jawabnya dengan cepat tanpa ekspresi. “Ren, aku minta tolong bentar dong. Ini ada yang bikin gatel punggungku,” pinta Mira sambil mencoba meraih punggungnya, namun sulit karena gaun yang dia gunakan. Otomatis Reni lebih memilih menolong sahabatnya dari pada meladeni Leo yang sedang tidak jelas maunya. Reni menatap Leo sebentar, tanpa bicara. Kemudian meninggalkannya, pergi bersama Mira untuk menemaninya di kamar mandi. Hendak menolong menggarukkan punggungnya. Leo menghela napas dengan halus. Dia mengamati sekitar sebentar dan melangkahkan kakinya dengan ringan kembali ke
Mira dan Leo akhirnya keluar dari mobilnya. Mira tidak melepas pegangan tangannya sama sekali. Tangannya masuk ke dalam ruas jari-jari Leo. Dia memainkan jari jemarinya di sana. Sebenarnya Mira sedang berhasrat tinggi dan mengajak suaminya untuk bisa merasakan serta. Walaupun sebenarnya yang dirasakan Leo hanya kehampaan, tapi dia berusaha bertahan dengan segala tingkah istrinya. Kaki mereka dilangkahkan dengan semangat. Sebenarnya yang memotori semangat itu adalah Mira. Sedangkan Leo bergerak karena tarikan tangan Mira dan dorongan keterpaksaan untuk mengiringi langkah kaki istrinya agar bisa berbarengan. Itu semua karena mereka jadi pusat sentra lensa Mama dan Papa Leo yang telah lebih dulu berada di sana. Kamar pengantin yang telah disiapkan untuk mereka berada di kamar Leo. Kamar itu dihiasi dengan berbagai rangkaian bunga mawar dengan dominan warna merah dan juga bunga sedap malam yang berbau wangi menambah kesan gairah. Beberapa kelopak mawar dibiarkan
Mira berusaha menelepon Leo berkali-kali. Dia ingin tahu alasan dia ditinggal begitu saja di malam pertama. Namun teleponnya tidak diangkat. Mira melempar tubuhnya di tepi ranjang. Matanya terus saja berputar seiring dengan otaknya. Yang saat ini, berusaha mencari kemungkinan alasannya. Agar hatinya sedikit lebih tenang. Mira sempat berpikir. Mungkin tadi Leo kaget karena dia yang lebih agresif. Menciumi Leo terlebih dahulu. Biasanya memang Leo yang memulai lebih dahulu. Tapi kemudian, dia menggelengkan kepalanya. “Tidak, tidak. Masak seperti itu menjadi masalah besar. Bukankah dia mestinya merasa lebih bahagia” batin Mira. Leo pergi meninggalkan Mira begitu saja bersama dengan mobil kesayangannya. Telepon selulernya berkali-kali berbunyi. Dia meletakkannya di kursi penumpang di sebelahnya. Saat berdering, dia hanya meliriknya sebentar dan membaca nama peneleponnya. Ketika dia tahu itu dari Mira. Dia melanjutkan pandangannya ke d
Ketika itu Mira mandi, Leo terbangun dengan kepala yang berat. Perutnya ingin mengeluarkan sesuatu. Segera dia berlari mencari kamar mandi terdekat di luar kamarnya dengan sempoyongan. Tapi isi perutnya semakin mendesak ingin segera keluar. Leo sudah tidak dapat menahannya lagi. Akhirnya dia mengeluarkan semuanya pada tempat sampah yang ditemukannya di depan kamar. Setelah semuanya dikeluarkan, barulah Leo merasa lega. Dia terduduk bersandar pada tembok dengan lemas. Tanpa menunggu terlalu lama, Leo kemudian berusaha berdiri sekuat tenaga yang masih dia punya. Berjalan lunglai menuju ke dalam kamarnya kembali. Bukan ingin istirahat, tapi mengganti pakaiannya dengan kemeja dan jas. Langkah kakinya dibuat secepat mungkin untuk turun dari tangga. Padahal nyatanya masih berjalan sempoyongan dan lambat. Setelah sampai ke dalam mobilnya. Leo menyandarkan kepalanya sebentar. Kemudian dengan hitungan detik, mobilnya sudah melaju bersamanya. Di
Setelah kejadian makan malam yang kacau itu. Leo memilih tidur di ruang tamu. Mira ditinggal sendiri di lantai tiga kamarnya. Gadis manis itu termenung sendirian. “Kata orang, malam pertama itu, malam terindah. Buatku, itu malam terburukku,” ucap Mira diiringi isakan tangis yang pilu. Dia tidak mau menahan suaranya. Bahkan langit seolah ikut sedih bersamanya. Mira berteriak sekencang-kencangnya bersamaan dengan suara gemuruh guntur dan kilat yang sahut menyahut di langit. Saat itu hujan turun sangat deras. Leo mendengar suara teriakan itu samar-samar. Dia berusaha memperjelas pendengarannya, namun hasilnya nihil. Dia kemudian kembali memejamkan mata walau dengan perasaan jengkel dan emosi tinggi. Saat tidur dia bermimpi. Memimpikan istrinya berhubungan badan dengan Noval. “Tidaaak!” teriaknya saat terbangun dari tidurnya. Wajahnya penuh dengan peluh. Itu mimpi terburuk yang pernah dialami seumur hidup. Leo segera berlari ke lantai tiga kamar
Mira segera menyalakan lampu duduk yang berada di sisinya. Setelah mengetahui sosok dari seseorang itu, matanya langsung melebar tajam. “Aapa yang kamu lakukan dengan teleponku?” tanyanya sambil terbata-bata, antara kaget dan ketakutan. Lelaki itu memandang Mira datar. Tak ada ketakutan di matanya. “Aku sedang mengecek isinya? Kenapa? Apa kamu takut ketahuan?” “Ketahuan, apa?” tanya Mira kebingungan. “Apa selama ini kamu berhubungan dengan seseorang di belakangku dan menghapus setelahnya?” tanya lelaki itu mulai emosi. “Seseorang? Sapa maksudmu Leo?” Nada bicara Mira mulai naik. “Seseorang di masa lalumu,” jelas Leo sambil mengangkat dagunya. Setiap kata dari bibirnya diberi penekanan. “Masa lalu? Siapa maksudmu? Berkata yang jelas, jangan teka teki seperti itu ... oh maksudmu, Noval?” “Hebat. Tanpa aku jelaskan, kamu sudah tau. Berarti benar, selama ini kamu dengannya,” ucap Leo dengan m
"Iya, maaf aku tadi melamun,” jawab Mira “Oh, gak apa-apa, Mir. Sante saja,” Noval menelepon Mira sekedar bertanya kabar. Memulai pembicaraan memancing tertawa kecil Mira. Itu membuat mereka cukup lama di telepon. Yang membuat Mira bisa menutup sedikit luka hatinya. Malamnya, Leo berulah lagi. Datang sekitar pukul dua belas. Ketika itu, Mira turun dari tangga. Dia ingin ke dapur mengambil minuman di kulkas. Tapi saat berada di lantai dua, dia melihat Leo baru datang dan langsung ke kamar tamunya. “Leo. Kenapa gak masuk ke kamar kita?” tanya Mira ingin tahu. “Aku sedang tidak ingin memandang wajahmu,” jawab Leo dingin dengan tatapan setajam es ke Mira saat di depan pintu. “Aku salah apa lagi, sih?” tanya Mira sambil menghela napas pelan. “Kamu. Sudah tidak jujur sama aku,” jawab Leo dengan nada tinggi. “Ini soal apa lagi?” “Coba kamu tanya dirimu sendiri!” ucap Leo dengan nada tinggi
Tapi Leo tidak membalas tindakan Mira. Dia berdiri mengambil teleponnya dan mengirim pesan kepada Bibi Jum untuk dibuatkan sarapan, sesuai keinginannya. Setelah itu, menoleh sedikit ke arah Mira dan berjalan menuju ke kamar mandi dengan wajah kesal. Setengah jam kemudian, Leo keluar dari kamar mandi. Saat melihat ke arah tempat tidur. Dia tersentak kaget hingga menghentikan langkahnya. Kepalanya di gerakkan ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan sosok istrinya. Tapi tidak ketemu. “Apa kamu mencariku, Leo?” tanya Mira yang tiba-tiba bersuara di belakang Leo sambil mengunyah camilan dalam stoples yang dipegangnya. Membuat Leo hampir melompat karena kaget. “Tolong siapkan baju kerja untukku,” kata Leo dengan nada datar berusaha mengalihkan perhatian Mira. Mulut Mira sangat sibuk dengan suara kunyahan camilan yang masuk ke mulutnya. Dia hanya melihat Leo tanpa menjawab ucapannya. Lelaki gagah itu kembali tertegun. Dipandangnya istrinya, “