“Di sini?” Rama mengecup singat tulang panggul Jenna, sedangkan perempuan itu hanya menggeleng pelan. Rama benar-benar membuatnya kelelahan hari ini.
“Ah, kalau begitu di sini?” Kali ini Rama mengecup bagian di bawah panggul, sembari sesekali memberikan gigitan pelan.
“Ram, udah ya. aku cape.”
“Sttt, masih banyak tempat yang belum gue tandain Jenna.”
“Ram..” Jenna melengkungkan tubuh, sama sekali tidak siap dengan serangan yang di berikan Rama dengan tiba-tiba. Tanggan Jenna terulur ke atas, mencari pegangan saat Rama lagi-lagi membuat tubuhnya tersentak kuat.
“Sttt, Ram. Emh..”
“Kalian juga melakukan ini?” Jenna menggeleng, mulutnya tidak lagi bisa di gunakan selain untuk mendesah dan merengek agar lama memperhalus gerakannya.
“Jangan coba-coba Jenna, atau lo bakal tau gimana rasanya neraka di dunia.”
“Eng! Ramh.. Rama!” Rama mebiarkan Jenna menggigit pundaknya ketika pelepasan itu datang, setelahnya laki-laki itu juga membiarkan Jenna tertidur. Perempuannya itu pasti lelah karena harus mengikuti kemauannya sepanjang siang hingga malam ini.
Rama masih berusaha mengeringakan sisa-sisa air di rambutnya ketika Jenna menggumamkan berbagai jenis makanan dalam tidurnya, hal itu membuat Rama tidak bisa menahan senyum. Laki-laki itu langsung memerintahkan kepala pelayan menyediakan makanan-makanan yang sudah ia catat, sama sekali tidak peduli kalau pelayannya itu harus berkeliling dari ujung ke ujung karena beberapa tempat makanan tersebut tidak menyediakan layanan pesan antar.
***
“Jadi?” Rama mengabaikan Bima yang menaikan alis, saudaranya itu jelas menunggu penjelasan darinya.
“Jenna enggak kenapa-napakan?”
“Menurut lo?” Bima berdecak, bukan tanpa alasan ia menghawatirkan Jenna yang malang karena menjadi obsesi saudaranya sejak bertahun-tahun lalu. Bima mengenal Rama dengan baik, termasuk kelemahan laki-laki itu dalam mengendalikan emosi.
“Biar gue cek sendiri aja kalau gitu.”
“Jangan coba-coba!” Bima langsung mengangkat tangan, tidak berani menyulut emosi saudaranya yang baru saja terbakar api cemburu.
“Enggak usah macem-macem lo, diem aja di sini atau balik ke kamar lo sana. Gue temuin Mike dulu sebentar.” Rama menghampiri Mike yang langsung memberikan salam hormat begitu melihat kedatangannya, asisten pribadinya itu membawakan beberapa berkas penting yang harus ia laporkan kepada Pandu besok pagi.
“Laporin ayah aja Mike, bilang wakil presiden direkturnya mabal gara-gara cemburu ‘temennya’ jalan sama orang lain.” Bima langsung berlari ke kamarnya setelah melemparkan kalimat olok-olokan itu kepada Rama.
“Ekhm, silahkan pak. ini laporannya.”Mike mencoba tetap professional, sudah menjadi rahasia umum betapa atasannya itu sangat terobsesi dengan perempuan bernama Jenna.
“Kerjaan kamu enggak banyak kan Mike?”
“Ya?” Mike bisa merasakan tubuhnya berkeringat dingin, Rama pasti hanya berbasa basi ketika menanyakan banyak atau tidaknya pekerjaan mereka di kantor. karena kenyataannya atasannya itu sendiri yang membuat jadwal kerja mereka menjadi super padat sepanjang tahun ini.
“Saya mau kamu kumpulin informasi soal orang ini.” Mike mengambil lima lembar foto yang di ukurkan oleh Rama.
“Laporin ke saya, gimana lingkungan tempat tinggalnya, temen-temennya, pekerjaannya, sehari-hari dia ngapain aja, ketemu siapa pokoknya laporin. Ngerti?”
“Siap pak.” Mike tidak punya pilihan, tidak peduli besok gunung meletus atau loading pekerjaan yang padat dan menggila ia tetap harus membawakan informasi yang di butuhkan oleh Rama jika tidak ingin kehilangan pekerjaannya. Karena berbeda dengan Pandu yang lebih tenang atau Bima yang usil, Rama sangat dingin dan tidak pernah mengenal ampun.
Maira dan pandu nyaris menjatuhkan cangkir tehnya begitu menerima laporan dari pos penjaga yang memang ditugaskan untuk menjaga gerbang utama, di dalam laporannya petugas tersebut melaporkan bahwa beberapa saat lalu ada seorang perempuan bersama dua orang anaknya sedang berdiri memandangi pos penjaga. Sebenarnya itu adalah laporan biasa, jika saja mereka tidak menambahkan nama Jenna di dalam laporannya. Mereka bilang, perempuan yang membawa anaknya itu sangat mirip dengan Jenna. “Aku akan periksa cctv.” Pandu bergegas memastikan. Wulan menggenggam tangan Maira, mencoba menguatkan ibu mertuanya sebisanya. Kabar ini jelas kabar yang membahagiakan jika perempuan yang terekam di dalam kamera keamanan itu benar-benar Jenna. “Ma.” Wulan meremas tangan Maira yang dingin. “Enggak apa-apa, semua pasti baik-baik saja.” Maira mengangguk. “Iya, kita tunggu papa sama-sama ya.” Pandu kembali ke meja makan, wajahnya memerah. Melihat itu Maira spontan ikut menangis, sudah jelas bahwa perempuan
Beti gelisah, ia tahu ada yang salah. Ponsel Rama sama sekali tidak bisa di hubungi, sedangkan Bima tidak mau menganggat panggilannya, sejak tadi Beti terus saja berhadapan dengan mesin operator. Wulan juga sama, perempuan itu justru sibuk menonton tayangan komedi di kamarnya.“Oh mas kamu udah pulang?”Beti terkejut mendengar suara Maira, rupanya ia melamun sampai tidak menyadari Maira menuruni tangga.“Aku mau makan siang di rumah.”Kening Beti berkerut karena Pandu tiba-tiba saja meliriknya, kecurigaannya semakin besar.“Ah, ayo. Aku temani.”“Wulan sudah pulang dari belanja?”Maira menggeleng, “Belum, perutnya tiba-tiba saja kram katanya. Jadi dia mau istirahat dulu sebentar.”“Astaga, bilang Wulan, Mai. Jangan terlalu memaksakan diri, kalau memang enggak sempat sekarang ya di undur besok saja belanjanya.”“Iya, nanti aku bilang Wulan.&rdqu
Jenna merasakan seluruh tubuhnya gemetar, Kara masih sesegukan dalam pelukannya. Tapi alih-alih menenangkan putri semata wayangnya, Jenna memilih memasuki kamarnya dan meninggalkan Kara di ruang tengah bersama Sam.“Enggak, ini enggak mungkin.” Bisik Jenna dengan kalut, “Takdir enggak mungkin sebercanda ini.”Tok..tok..“Ibuk..”Jenna mendengar suara Samudra, perempuan itu merapikan diri sebelum mempersilahkan bocah laki-laki itu memasuki kamarnya. Samudra mengulurkan tangan, menyerahkan selembar foto yang di dapatnya dari kamar Jenna beberapa waktu lalu.“Maaf ibuk..”Jenna merampas foto di tangan Samudra dengan cepat, “Dari mana kamu dapet ini?!”“Da.. dari kamar ibuk.” Bocah laki-laki itu berbisik, “Maaf buk, Sam cuma..”Jenna memotong penjelasan samudra dengan tidak sabaran, “Kara enggak tau kan Sam, Kara belum tau kan kalau om beruang
“Bukan papa yang nemenin Yumi periksa?” bocah perempuan itu cemberut.“Yumi sama om Bima dulu ya, papa ada kerjaan mendadak siang ini. Nanti papa nyusul ke rumah sakit kalau kerjaan papa selesai.”Yumi menggelengkan kepala, “Yumi mau sama papa!”“Yumi..”“Enggak! Yumi mau sama papa, Yumi enggak mau periksa kalau enggak sama papa!”Rama menghela napas, kepalanya benar-benar di buat pusing dengan kekeras kepalaan Yumi. Laki-laki itu sudah tidak lagi memiliki kesabaran untuk menghadapi bocah penipu di hadapannya itu, beruntungnya Bima bersedia membantu membujuk Yumi.“Yumi sama om Bima dulu, nanti setelah selesai kerja papanya Yumi pasti yusul.”Yumi mengekerut, bocah perempuan itu bersembunyi di balik tubuh tambun Beti yang sejak tadi hanya diam melihat kekeras kepalaan keponakannya.“Ncang Beti juga boleh ikut tapi.”Beti sudah akan mengiy
Rama langsung di jegat oleh Bima begitu keluar dari kamar Beti, meski lelah laki-laki itu tetap bertanya urusan apa yang membuat saudara kembarnya itu menemuinya.“Kamu perlu melihat sesuatu Ram.” Bima mengangguk, meminta Rama mengikutinya ke ruang kerja Pandu. di sana ternyata sudah ada Maira, Pandu dan bahkan Wulan. Keluarganya itu sedang serius memperhatikan layar monitor.“Sini Ram, kamu harus lihat ini.” Maira bergegar memanggil.“Lihat apa bund?”Rama langsung terksiap begitu ikut memperhatika layar, Pandu memang memutar ulang kembali rekaman cctv di dekat tangga. Di sana Rama dan seluruh keluarganya melihat bagaimana Yumi menjatuhkan dirinya sendiri di anak tangga, tidak hanya itu Rama juga melihat bagaimana Beti seperti berdebat dengan Kara sebelum akhirnya Samudra datang melindungi anak perempuan malang itu di balik punggungnya.“Benar-benar perempuan kurang ajar.” Desis Rama emosi begitu lay
Yumi yang sedang berbicara dengan bonekanya terkejut karena Beti memasuki kamarnya dengan langkah menghentak-hentak, bibi yang sudah mengasuhnya sejak kecil itu menarik tubuh kecilnya dengan kasar.“Lu harus cegah pak Rama ngusir gue Yum, kalau sampe gue di usir, gue pastiin lu juga akan angkat kaki dari rumah ini.” Bisik Beti sembari mencengkram bahu keponakannya dengan kencang.Beti langsung menangis histeris begitu pintu kamar kembali terbuka, perempuan tambun itu menangis di bahu Yumi dengan suara keras.“Papa lu mau ngusir gue Yum, lu mau gue pergi?”Rama mendengus, laki-laki itu tidak akan tertipu. Karena itu Rama terus berjalan, menyeret Beti menjauh dari Yumi yang kebingungan.“Kamu enggak lagi membutuhkan Beti, Yumi. Perempuan kurang ajar dan enggak tau diri ini enggak lagi bisa tinggal di rumah kita, kamu ngerti kan?”Beti langsung memberontak, “Bapak enggak bisa ngusir saya!”