Dalam lorong sunyi yang memisahkan dunia luar dan ruang pemulihan spiritual, Xuan Li merapatkan kedua tangannya dan membungkuk hormat kepada Tabib Hantu Wu. Gerakannya perlahan, tapi sarat makna. Ada rasa terima kasih dan hormat seorang murid.Tabib Hantu Wu menatapnya dalam diam, hanya mengangguk singkat sebelum berbalik dan berjalan perlahan ke luar lorong.Xuan Li mengikuti dari belakang, langkahnya tegap namun tak menimbulkan suara. Ia tahu, waktu tidak akan memberinya kemewahan bernapas panjang. Setelah semua yang terjadi, tak ada ruang untuk kelengahan.Tujuan pertama mereka: Paviliun Gunung Sunyi.Sekte kecil yang ia dirikan beberapa waktu lalu itu kini menjadi tumpuan harapan. Tempat itu bukan sekadar markas. Di sana, ada orang-orang yang ia lindungi. Para murid yang ia latih, para tetua yang ia percayai, dan fondasi keyakinannya dalam dunia yang kerap dipenuhi tipu daya dan darah.Setelah menempuh perjalanan dua jam melewati celah dimensi yang dibuka oleh Tabib Hantu Wu, kedu
Tubuh Yi Qing makin melemah. Nafasnya tipis, seolah kapan saja bisa menghilang bersama angin yang melintasi altar. Xuan Li duduk di sisinya, membentuk rune penyembuh, menyalurkan energi murni lewat meridian Yi Qing. Tapi tubuh gadis itu tetap menolak.Energi roh suci dalam dirinya tampak seperti guci retak. Tak peduli berapa banyak energi spiritual dimasukkan, tak ada yang menetap. Setiap aliran justru memantul liar, membuat urat nadinya menggeliat perih.Xuan Li menggertakkan gigi. Ia mengutuk ketidakmampuannya. Teknik pengobatan, ramuan langka, formasi penyatu darah, semuanya sia-sia.Yi Qing membuka matanya perlahan. Senyumnya tipis, seperti cahaya terakhir sebelum fajar menghapus malam."Tak perlu memaksakan diri, Tuan," bisiknya. "Tubuh roh suci memang tak dirancang untuk hidup lama. Sejak awal, tiga puluh tahun adalah batasnya."Xuan Li memejamkan mata. Napasnya bergetar."Tapi jika kau tidak menggunakan teknik penyatuan, kau mungkin masih bisa hidup beberapa tahun lagi..." suar
Tabib Hantu Wu tidak salah menilai. Xuan Li dan Yi Qing memang akan bersatu. Tapi, seperti semua hal dalam hidup Xuan Li, tidak ada yang berjalan cepat atau mudah.Kondisi mereka belum memungkinkan untuk melangkah sejauh itu. Luka-luka jiwa belum sepenuhnya pulih, dan tubuh mereka masih menyimpan residu kutukan serta petaka darah. Maka, atas permintaan Xuan Li, mereka memulai proses pemulihan bersama. Duduk bersila di atas altar giok, lutut bersentuhan, saling berhadapan dalam diam.Aura langit dan bumi perlahan mengalir, tertarik oleh kekuatan tubuh giok dan roh suci yang terbangun. Di antara mereka, formasi pemulihan jiwa dan tubuh tetap aktif, menghisap energi dari ruang di sekeliling.Tiga hari berlalu dalam keheningan.Cahaya merah samar di tubuh Xuan Li mulai meredup, berganti dengan semburat putih keperakan yang bersinar halus dari tulangnya. Tubuh gioknya telah pulih lebih dari setengah. Sedangkan Yi Qing, meski masih lemah, tubuhnya tak lagi bergetar menahan gejolak darah da
Apa yang dilakukan oleh Wu Yu palsu, tercermin dalam tubuh aslinya.Xuan Li perlahan membuka mata. Dadanya naik turun perlahan. Napasnya sudah stabil, tapi ada kehampaan yang terasa mengganggu di dalam dirinya.Tubuh ini telah pulih dari luka-luka luar. Namun kekuatan sejatinya, jiwa, esensi, dan aliran spiritual, masih jauh dari kata sempurna.Tabib Hantu Wu berdiri di dekat ranjang batu, memandang muridnya dengan tatapan lega yang tidak ia tunjukkan secara terang-terangan. Kedua tangannya bergetar sedikit saat memeriksa nadi spiritual Xuan Li.“Kau hampir mati dua kali,” gumam sang tabib. Suaranya serak dan pendek. “Kalau bukan karena tubuh giok… kau sudah jadi abu sejak hari itu.”Xuan Li tidak menjawab. Ia tahu itu benar. Ketika ia melawan Dewa Langit Surgawi dan tubuhnya dihantam kekuatan kutukan iblis serta mantra darah, hanya fondasi tubuh giok dan bantuan terakhir dari Wu Hei serta Wu Rong yang membuatnya bertahan. Tapi ada harga yang harus dibayar.Di dalam kedalaman laut kes
Aura Wu Yu meledak tanpa peringatan.Tanpa perlu menggerakkan tangan atau mengucap mantra, tekanan energi spiritual yang mengandung jejak darah iblis mengalir deras bagai tsunami gelap. Yan Hui, sang komandan Divisi Bayangan Perak, langsung berlutut. Tubuhnya membeku, ototnya tak bisa digerakkan.Prajurit-prajurit di belakangnya pun ikut tumbang. Beberapa dari mereka menggigit bibir hingga berdarah, mencoba melawan tekanan itu. Tapi sia-sia. Tulang mereka bergetar, napas tercekat, dan seolah dunia di sekeliling mereka menyusut menjadi sempit. Kegelapan Wu Yu menelan langit yang semula terang."Jangan membandingkanku dengan Xuan Li," ucap Wu Yu, nadanya datar. "Aku bukan hantu masa lalu... Aku adalah awal dari kehancuran yang baru."Wajah Yan Hui pucat pasi. Bayangan Xuan Li yang dulu dikenalnya terasa seperti dongeng kanak-kanak dibandingkan dengan makhluk di hadapannya kini."Sial! Aku pikir dia sama bodohnya dengan Xuan Li. Ternyata hanya wajahnya saja yang mirip," gumam Yan Hui d
Wu Yu melayang ke atas dahan pohon raksasa yang menjulang setinggi lima zhang. Batang pohonnya begitu besar hingga butuh sepuluh orang dewasa untuk memeluknya. Ia bersandar pada kulit kayu yang kasar, memandangi jalan tanah di bawah sambil memikirkan tujuan selanjutnya.Kabut tipis masih menyelubungi tubuhnya. Jejak spiritual iblis yang mengalir dalam darahnya kini semakin pekat.Dari kejauhan, derap kaki kuda menggema. Wu Yu menyipitkan mata. Sebuah rombongan berkuda melintas dari arah timur. Mereka bergerak dalam formasi rapi, tombak berkilat di bawah sinar matahari sore.Dua puluh prajurit berkuda, masing-masing mengenakan baju zirah hitam dengan lambang bulan sabit perak di dada. Kekaisaran Bulan Perak. Wu Yu mengenali seragam itu dengan mudah.Tapi ada yang aneh. Udara di sekeliling rombongan itu terasa dingin, berbeda dari energi spiritual biasa. Wu Yu mencium bau yang familiar. Energi iblis.Senyum tipis muncul di wajahnya. "Menarik," gumamnya pelan.Ia tidak menyangka jika pen
Mencari Wu Yu seperti memburu bayangan di tengah kabut. Lin Gong dan Jian Cheng telah menelusuri lembah, hutan, dan dusun terpencil selama lebih dari lima hari. Namun, dunia tetap diam, seolah enggan menunjukkan arah.Wu Yu tak pernah muncul di tempat kacau. Ia memilih dengan teliti, desa damai, penuh senyum, tempat anak-anak bernyanyi dan petani menabur benih. Di sanalah kehancuran dimulai. Ia menghindari wilayah yang dikuasai iblis, seakan tak tertarik pada kekuasaan atau perebutan wilayah. Yang ia incar hanyalah... harapan.Jian Cheng mengamati peta spiritual yang ia bentuk dengan teknik bayangan langit. “Dia meninggalkan celah energi iblis yang sangat tipis, hampir seperti kabut malam.”Lin Gong berdiri tak jauh darinya, jubah putihnya sudah ternoda debu perjalanan. “Dia bukan sembarangan bergerak. Ini bukan kehendaknya sendiri. Ada pola... seolah seseorang menggiringnya.”Jian Cheng mengangguk. “Raja Iblis.”Langit malam itu diliputi awan kelabu, tanpa bintang. Di kejauhan, sua
Wu Yu mengangkat tangannya. Asap hitam menyelubungi jari-jarinya, menari seperti nyala lilin terbalik. Dari tubuh mayat-mayat hangus di sekitarnya, garis tipis energi mengalir menuju dirinya. Suara lirih jeritan, seperti gema dari dunia bawah, mengisi udara.“Sedikit lagi,” gumamnya. “Sedikit lagi, dan dunia ini akan runtuh.”Setiap kali ia membunuh, bukan hanya jiwa korban yang hancur, tetapi juga ruang itu sendiri yang retak. Aura iblisnya tumbuh, semakin padat, semakin kuat. Bersama setiap tetes penderitaan, kekuatan spiritual yang mengalir dalam dirinya meningkat. Dan jauh di tempat lain, di ruang meditasi yang terjaga kabut ungu di alam luar, Liang Zheng tersenyum tipis.Ia duduk bersila di tengah formasi sihir. Ratusan lilin hitam mengelilinginya, menyala tanpa bahan bakar. Jiwa Wu Yu, yang telah ia ikat dan bimbing, menjadi perpanjangan tangan dari ambisinya.“Teruslah menyebar ketakutan, Wu Yu,” bisiknya. “Jadikan setiap ratapan mereka sebagai fondasi kekekalan kita.”***Ti
Kilatan cahaya ungu gelap muncul di langit biru yang cerah. Dari retakan kecil yang terbuka di udara, sesosok tubuh muncul, melayang turun tanpa suara. Itu adalah boneka Wu Yu, manifestasi jiwa iblis yang dikendalikan dari kejauhan oleh Liang Zheng.Tanah di bawahnya adalah dunia manusia. Cahaya mentari menyilaukan, berbeda jauh dari kelam dan suramnya Dunia Iblis. Wu Yu menyipitkan mata, pupilnya sempat berkedut sebelum menyesuaikan dengan lingkungan yang asing ini.“Hm... cahaya matahari,” gumamnya datar. “Menjijikkan, tapi... menyenangkan.”Kakinya menyentuh tanah. Di hadapannya terbentang sebuah perkampungan kecil yang tenang. Aroma sup daging, kayu yang terbakar, dan suara anak-anak tertawa terdengar dari kejauhan. Kedamaian seperti itu membuat sisi iblis dalam dirinya bergejolak."Damai?" gumamnya lirih. "Hanya ilusi."Langkahnya pelan namun mantap. Ia menyusuri jalan tanah yang membelah desa. Penduduk yang ia lewati menatapnya heran, pakaiannya asing, wajahnya pucat, dan aura y