Rendi berdiri perlahan dari tempat tidur. Seprai putih yang tak ternoda hanya membuat dadanya makin sesak. Tubuhnya telanjang dada, dan napasnya berembus cepat, menahan gejolak emosi yang menyesak."Jangan pernah, aku ulangi, jangan pernah kau sebut-sebut nama Aluna seperti itu!" bentaknya sambil meraih kemeja putih yang tergantung di sandaran kursi. Tangannya bergetar saat mengancingkan satu per satu kancingnya.Lita, yang duduk di tepi ranjang dengan selimut membungkus tubuhnya, menoleh dengan mata memerah. "Kenapa? Karena dia terlalu suci untuk disentuh dalam obrolan? Karena dia gadis yang kamu puja diam-diam, bahkan di hari pernikahan kita?"Rendi membalikkan badan. Tatapannya tajam menusuk seperti belati. "Dia nggak seperti kamu, Lit. Dia nggak pernah menggoda sebelum halal. Aluna gadis baik - baik. Dia bahkan menundukkan pandangan waktu aku iseng mendekat! Beda sama kamu... yang bahkan dulu, sebelum aku lamar, sudah berani ngajak ciuman di parkiran. Kamu bahkan membuka kancing
"Hah? Dina keluar paksa dari rumah sakit?" Aluna menghentikan langkahnya, matanya membelalak saat mendengar kabar dari perawat."Iya, Mbak. Tadi pagi katanya mau dijemput keluarganya, tapi kami nggak lihat siapa pun yang datang. Dina sendiri yang tanda tangan surat pulang paksa," ujar perawat itu sambil merapikan catatan pasien.Aluna melirik Haris. "Rasanya aneh banget. Kok dia atau Rara nggak bilang apa-apa ke aku, ya?"Haris mengangkat bahu. "Coba kamu telepon mereka dulu."Jari Aluna sibuk menekan layar ponsel. Sekali. Dua kali. Lima kali. Nihil."Nomornya tidak aktif," gumam Aluna, panik mulai menjalari wajahnya.Ponsel Haris berdering. Nama Ragil muncul."Halo, assalamualaikum," sapa Haris sambil melirik Aluna."Waalaikumsalam, Pak Haris. Apa sekarang bapak sedang bersama anggota kos Bu Sri dan Pak Edi?" Suara Ragil terburu-buru, terdengar seperti sedang berjalan cepat."Iya, aku lagi sama Aluna. Kenapa?""Pak, Rara ada di situ nggak?""Nggak. Dari tadi juga susah dihubungi, ken
"MAAAMAAA! Haris pulang bawa calon istri dan katanya mau nikah duluan!" suara Azura melengking dari ruang tamu, begitu layar ponselnya menampilkan wajah Yulia, sang ibu.Aluna langsung merapat ke dinding, wajahnya pucat, telapak tangannya dingin. Haris meliriknya cepat lalu tersenyum, berbisik, "Tenang, Lun. Orangtuaku nggak segalak tampangnya."Dari layar ponsel, suara tawa Yulia terdengar nyaring. "Hahaha, astaga Azura! Kamu tuh kayak anak umur lima tahun rebutan permen!""Maaam, serius! Dia bahkan belum pernah ngenalin cewek satu pun ke rumah. Tiba-tiba bawa cewek secantik ini dan bilang 'calon istri', siapa yang nggak shock?" Azura mendelik, lalu sengaja mengarahkan kamera ke wajah Aluna yang masih tertunduk malu."Aduh, Aluna ya namanya? Cantik banget. Sini, nak, deketan dikit sama kamera."Dengan ragu-ragu, Aluna melangkah pelan ke arah Azura dan duduk di sampingnya. Pipinya sudah merah semerah sofa yang mereka duduki. Ia melambai pelan ke layar ponsel."Selamat malam, Tante…" s
Pintu kamar itu terbuka pelan, debu menari di udara, bercahaya temaram oleh lampu gantung tua yang menggantung lesu di langit-langit. Kasur digulung dan ditumpuk di sudut ruangan, koper-koper plastik bertumpuk sembarangan, boneka rusak tanpa kepala tergeletak di atas lemari tua. Ini bukan kamar Aluna. Ini gudang.Untuk sesaat, Aluna hanya berdiri mematung, menatap kosong. Tubuhnya kaku, seperti ada tali tak terlihat yang menahannya di ambang pintu.Lita berdiri di belakangnya, bersandar santai di dinding, tangan disilangkan di dada. Wajahnya penuh kemenangan."Dan asal kamu tahu," suaranya melengking, "kamu satu-satunya anggota keluarga yang nggak dapat seragam buat pernikahan lusa. Semua orang udah dapet kain, tinggal jahit, dan sekarang sudah baju seragaman untuk pernikahanku sudah jadi. Kamu? Nggak usah repot-repot, nggak datang juga nggak papa. Takutnya nanti nangis karena baper dan belum move on dari mas Rendi, malah bikin malu!"Aluna membalikkan badan perlahan, menatap wajah ad
Suara sirene ambulans meraung di tengah malam, menggurat langit yang gelap seperti jerit seorang ibu yang kehilangan anaknya. Di dalamnya, tubuh Dina terbaring lemas, wajahnya pucat, keringat dingin mengalir dari pelipis. Di balik selimut tipis rumah sakit, darah masih mengalir di antara pahanya.“Dina, tahan ya… bentar lagi sampai…” suara Aluna gemetar. Tangan kanannya menggenggam erat jari Dina yang dingin.Rere duduk di seberang, bibirnya terus komat-kamit membaca doa, sesekali menatap wajah Dina yang menggigit bibir menahan sakit.“Aku… takut, Na…” suara Dina lirih, nyaris tertelan suara ban ambulans yang melaju di atas aspal basah.“Kita di sini, Din. Kamu nggak sendirian,” bisik Aluna, walau hatinya tak kalah panik. Seorang polisi yang duduk di belakang mereka, menatap para gadis itu secara bergantian.Begitu pintu UGD terbuka, dua perawat dan seorang dokter laki-laki segera menyambut dengan sigap. Dina dibawa masuk ke ruang periksa, meninggalkan Aluna dan Rere yang hanya bisa b
Tangan Sri gemetar, dan ia menoleh ke belakang. Serbuk putih yang ada dalam genggaman tangannya yang hendak dimasukkan ke dalam saku daster, terjatuh di lantai dapur.Langkah Edi terdengar makin dekat, saat Sri hampir menunduk dan menggapai serbuk putih di bawah meja, mendadak ..."Kopiku mana, Sri?!" tanya Edi saat baru saja sampai di belakang punggung sang istri.Sri tercengang. Dia tidak menjawab, membuat dapur menjadi hening.Hening hanya bertahan dua detik sebelum pecah oleh suara tanya Edi kembali.“Sri! Kopiku mana, hah? Lama kali!” suara Edi menggelegar, mengiris udara dapur yang masih mengambang dengan aroma kopi segar dan ketegangan.Sri tersentak.Matanya membelalak ketika melihat Edi sudah berdiri di belakangnya, mata lelaki itu menyipit, curiga. Sekelebat, Sri menunduk. Dan di sanalah benda itu—bungkus plastik kecil berisi serbuk putih—tergeletak di lantai, terjatuh dari saku daster, beberapa sentimeter dari kakinya, seakan ingin memperkenalkan dirinya pada Edi.Tanpa pik