Perceraian adalah hal yang lumrah terjadi dalam ikatan pernikahan. Jangankan pasangan yang tak saling mencintai, mereka yang menikah dengan cinta pun bisa berpisah karena ego yang sama-sama dibumbung tinggi. Tak tahu kondisi, tak peduli orang yang dikasihi, hingga akhirnya anak menjadi korban situasi. Ada dua alasan kenapa suami istri yang tak saling mencintai memilih bertahan dengan pasangannya. Pertama, karena anak. Dan yang kedua, karena mereka terikat dengantujuan lain, meskipun berakhir merugikan salah satu di antara keduanya. Dalam kasus ini, para pasangan melupakan hal kecil yang justru akan berakibat besar di kemudian hari. Hukum tabur-tuai pun berlaku menjadi karma yang kelak bisa menimpa anak turunannya. ***20 Maret 2001Prang!Gelas kaca itu tampak berserak di lantai, meninggalkan bunyi yang memekakkan telinga. Di ruang utama kediaman keluarga terpandang itu, terlihat Hamdan Adiguna—lelaki berusia tiga puluh tahun. Pemimpin PT. KNUSA, perusahaan yang bergerak di bidang
2 Februari 2002Hari ini Karina masuk SD, dia begitu antusias saat memakai baju merah putih pertamanya. “Mbok, Ibu antar Karin sekarang, ‘kan?” celoteh bocah itu pada Mbok Nah, tetangga yang biasa Risma pakai jasanya untuk menjaga Karin setahun belakangan setelah dia memutuskan untuk bekerja sebagai penjaga kantin sebuah perusahaan besar di pusat kota. Bocah itu tampak kesepian, dia kehilangan kasih sayang. Tak jarang dia melamun di depan jendela sembari berharap pada Tuhan agar ayahnya pulang dan mereka bisa berkumpul bersama lagi. Namun, harapnya hanya tinggal angan. Sang ayah tak pernah kembali. “Hari ini Ibu ada janji, Nduk. Kamu sama Simbok aja berangkatnya.” Nanar mata Mbok Nah saat menatap bocah malang itu. Wanita paruh baya kelahiran Jawa Timur itu hanya bisa mengusap kepala Karin, meyakinkannya agar mengerti.“Oh.” Kecewa. Jelas, itu yang tergambar di mata bening Karin. Manik cokelat muda sama seperti yang dimiliki Haris. Gadis kecil malang korban perceraian dan keegoi
Seminggu tinggal di rumah besar ini, membuat Karin tak cukup terbiasa. Bocah itu bahkan seringkali kebingungan dengan sikap Nana yang makin hari makin aneh. Kadang Karin mendapati bocah itu mengurung diri sendirian di kamar dan tak mau bermain dengannya. Tak cukup sampai di situ, Hamdan yang dia panggil ‘ayah’ itu mulai berubah. Sikapnya terlihat agak ketus, tak sebaik saat ibunya ada di rumah.“Mbak Kalin ....” Nana membuka pintu kamarnya, memanggil Karin yang tengah menonton TV di luar.Karin menoleh. Bocah itu terdiam sejenak sampai akhirnya memutuskan masuk ke dalam tanpa bertanya apa pun, mengekori Nana berjalan menuju dekat jendela yang terbuka di sudut tengah kamar. “Didi ....” Nana menunjuk ke luar jendela dengan wajah datar. Rina tampak terkejut. Dia berlari menghampiri Nana saat sadar Didi yang dimaksud adalah boneka kesayangannya. Ternyata Nana menjatuhkan boneka beruang yang Karin pinjamkan padanya.“Nana, Mbak kan bilang jaga Didi baik-baik!” ucap Karin setengah be
“Izinkan aku untuk bertemu dengan Karin, Risma. Kumohon! Aku yakin selama ini dia menungguku pulang.” Haris berlutut di hadapan Risma, memohon agar dipertemukan dengan putrinya. Sepuluh tahun sudah berlalu sejak dia dan Atikah memutuskan untuk pergi ke luar negeri dan melangsungkan pernikahan di sana sampai kondisi membaik. Keluarga besar Adiguna sudah memutuskan, “toh pada akhirnya mereka berpisah baik-baik dan menjalani hidup masing- masing”. Maka dari itu, tetua keluarga Adiguna—yang tak lain adalah neneknya, membolehkan dia pulang setelah operasi plastik Atikah selesai dilakukan. Menutupi kenyataan bahwa dulu wanita berdarah Pakistan itu adalah mantan istri Hamdan, saudaranya. “Sudah terlambat, Haris. Dia melupakan semuanya, bahkan dirimu. Kalau kita bekerja sama dan tak membuatnya mengingat betapa buruk ayahnya dulu, maka hidup Karina akan baik-baik saja. Lakukanlah peranmu sebagai paman dengan baik!” papar Risma sembari menatap lurus mantan suaminya. Haris tertegun. Dia han
Karin memegangi kepala yang tiba-tiba terasa pening. Kilas-kilas bayangan tiba-tiba berputar di kepala bagai kaset rusak. Kalimat demi kalimat yang tertangkap oleh indra pendengar seperti besi berkarat yang tumbuh di daging, lalu dicabut paksa.“Karin ... maaf.” Tiba-tiba Haris menyela. Dia beralih dari kursi, lalu bersimpuh di hadapan Karin.Perempuan itu hanya bisa membekap mulut. Dia tatap Haris dengan nanar, berusaha menerima semua kenyataan yang ada.Seorang ayah adalah cinta pertama putrinya, lelaki pertama yang mengajarkan bagaimana menyayangi ... tapi pada Karin, lelaki berkaca mata ini justru tanamkan rasa membenci.Haris berusaha meraih tangan perempuan itu yang terkepal di kedua paha, tapi buru-buru ditepisnya.Sejak Risma membawanya ke rumah ini, nasib seolah sudah menempatkan dia pada posisi tertindas, tak dihargai, tameng, juga pelampiasan amarah. Tak diberi kesempatan untuk melawan, membela diri, bahkan hanya untuk sekadar menyampaikan pendapat akan perilaku menyimpa
Adam menatap istrinya yang duduk di sofa, mata perempuan berkhimar itu tampak sayu dan sembap. Sejak memutuskan untuk membawa Karin pulang dari rumah orang tuanya yang terletak di Jakarta Utara, Karin hanya diam di sana. Bibir tipis itu bungkam, tak ada yang dia ucapkan lagi bahkan saat Adam memeluknya di pelataran rumah. Kalimat terakhir yang dia ucapkan hanya, “Bawa Tiara!” Sampai hampir tengah malam ini, perempuan bermanik bening itu masih terjaga. Menatap ke luar jendela yang gordennya dibiarkan terbuka sembari mengusap boneka usang yang sekeliling lehernya dipenuhi dengan bekas jahitan.Adam tahu perempuan itu sangat terguncang. Begitu yang terlihat di luar, lalu bagaimana dengan dalamnya?Sepanjang empat tahun pernikahannya, lelaki berdarah Timur Tengah itu mengenal Karin sebagai sosok pendiam, jarang bicara, juga keras kepala. Lain dengan gadis yang membentaknya di depan kamar kosan di Surabaya, beberapa tahun lalu. Sekarang dia tahu alasannya, perempuan ini ... seolah te
Karin menatap pantulan dirinya di cermin. Jujur meskipun terlahir dari keluarga berada dia tak pernah sekalipun berpakaian berlebihan atau biasa orang katakan mewah. Namun, lihat apa yang Adam belikan untuknya. Sebuah setelah dress syar'i berwarna pink soft dengan perpaduan sutra dan tile, khimarnya dihiasi permata berwana putih, pink, dan merah. Serupa dengan aksen yang terdapat di lingkaran pinggang."Udah si--" Adam tertegun di ambang pintu. Matanya tampak mengerjap beberapa kali. Dia menatap Karin dari atas ke bawah, kulitnya yang putih pucat terlihat begitu selaras dengan dress yang dia belikan. Apalagi ditambah riasan tipis yang perempuan itu bubuhkan di wajahnya yang memang sudah cantik."Udah, Mas!" jawab Karin sembari mengulum senyum. Diraihnya tas branded berwarna senada dengan merek 'Gemes' yang terkenal harganya selangit. Tas tersebut juga Adam belikan bersama dengan dress-nya."Cakep. Ayo, berangkat!" Lama memperhatikan Karin, akhirnya lelaki itu membalikan tubuh."Hah?"
Menjelang dini hari acara selesai, mereka pulang dengan satu penghargaan yang berhasil diraih Adam dalam film garapannya berjudul 'Roman Buncisan'"Tunggu!" Karin menghentikan pergerakan tangannya yang baru saja hendak membuka seatbelt."Sebenarnya dari awal saya nggak pernah membencimu, Karin. Saya hanya nggak suka caramu menjebak dengan cara licik seperti yang kamu lakukan saat itu," ucap Adam sembari menatap lurus ke depan.Perempuan itu terdiam, dia menundukkan wajah karenanya. karin sadar apa yang dilakukan untuk membuat Adam menikahinya saat itu memanglah salah. "Maaf, Mas. Saat itu aku nggak ada pilihan dan sudah kehilangan rasa simpati." Lirih Karin ucapkan kalimat itu penuh sesal. "Ya, kamu memang patut bersyukur karena saya bersedia menikahimu. Kalau nggak, boro-boro ucapkan akad di hadapan Paman, eh ayahmu atau ... ah, bodo amat apa itu sebutannya. Sehari sebelumnya saya mungkin sudah lari, mabuk-mabukan dan berakhir dengan membiarkan kamu duduk sendirian di atas pelamin