"Gimana?" Panggilan ibunya lantas menarik Karin dari lamunan. Masih berdiri di tempat yang sama ia memikirkan segala kemungkinan yang ada kenapa sang suami masih belum juga tiba. Malam semakin larut, dan perasaannya juga kian terasa kalut. Semenjak usia kandungannya menginjak sembilan bulan, ia merasa instingnya lebih kuat dan peka. Perasaannya juga menjadi lebih sensitif daripada sebelumnya, padahal Karin tahu betul suaminya itu setia. Namun, entah kenapa hari ini ada yang berbeda. "Katanya syuting udah selesai dari dua hari lalu, Bu. Jadi, Mas Danu juga nggak tahu Mas Adam ada di mana sekarang." Suara Karin terdengar bergetar. Perempuan berusia dua puluh enam tahun itu tak lagi terlihat tenang. Beberapa kali dia mengelus perut buncitnya yang kembali terasa mulas. "Mungkin Adam pulang ke rumah orangtuanya kali, Rin. Coba ibu telepon Bu Nisa."Karin langsung menggeleng. "Nggak, Bu. Kalau Mas Adam pulang ke rumah mama sama papa dia pasti hubungin Karin, atau--arrghhh." Tubuh Kar
Monika berdiri di depan pintu apartemen Pondok Indah Residenses bernomor 210 yang terletak tak jauh dari kompleks perumahan Adam di Menteng. Meskipun sempat ragu, akhirnya dia mengulurkan tangan dan menekan bel. Tak lama sosok Adam muncul dari baliknya. Lelaki itu sempat kaget saat melihat siapa yang tengah berdiri di hadapannya saat ini. "Monika! Ngapain lu di sini?" cetusnya. "Pevita udah pulang?" Pertanyaan Adam itu kembali dijawab oleh pertanyaan lagi."Bentar lagi kayaknya. Ada apa, Mon?""Kenapa hape lo nggak aktif, Dam? Udah berapa hari nggak pulang. Istri lo mau ngelahirin, Dodol!"Sontak mata Adam melebar. Lelaki berdarah Timur Tengah itu langsung menyisir kasar rambutnya ke belakang dan merutuk sendiri. "Astagfirullah. Gue lupa charger hape, Mon. Gue panik banget waktu Monika bilang mantan suaminya dateng buat bawa Gerald. Udah dua hari ini Pevita ngurusin kasus ini. Dia minta tolong gue karena Gerald nggak mau dititip sama yang lain. Baby sitter yang biasa rawat dia lag
Dua bulan kemudian ....Lantunan ayat suci Al-Quran, terdengar samar-samar, ketika kesadaran Karin kembali dari alam mimpi. Menoleh ke bawah, Karin melihat Adam tengah bersila dengan kitab itu di pangkuan.Sadar tengah diperhatikan, Adam menoleh dan tersenyum."Kebangun, ya?"Membalas senyumnya, Karin mengangguk kecil. "Ada yang kamu mau? Biar aku ambilin?" tanya Adam kemudian. Karin menggeleng dan hanya termangu memperhatikan suaminya. Sadar dirinya diperhatikan dengan lekat, Adam langsung menarik pergelangan tangan Karin pelan hingga keduanya duduk berhadapan di atas sajadah yang digelar. "Masa nifas kamu udah selesai, kan?" Karin yang langsung paham dengan maksud Adam pun tersenyum dan mengangguk pelan. "Udah dari dua minggu lalu, Mas!" ucapnya."Umm ... bolehkah?" Adam terlihat ragu melanjutkan. Lelaki itu mengusap tengkuk salah tingkah. Karin yang melihatnya pun lantas terkekeh. "Itu sudah kewajibanku, Mas. Memangnya boleh menolak apa yang sudah menjadi hakmu?!"Kini Adam
Empat tahun kemudian ....Pria itu tampak berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan bocah lelaki yang berdiri di hadapannya, kemudian merapikan rambut bocah dengan mata bulat dan pipi gembil tersebut."Ayah ... kenapa cuma cowok yang harus disunat? Kak Ara sama Ais enggak?" Pertanyaan yang terlontar dari bibir putranya membuat senyum pria itu mengembang. Ia mengusap kepala bocah bernama lengkap Muhammad Rasyid Prasetyo yang lebih sering dipanggil Rasyid itu setelah."Kak Ara sama Ais, kan perempuan, Sayang. Sedang anak ayah yang ganteng ini, jagoan sholeh. Rasyid selalu bilang sama ayah kalau mau jadi kayak Ayah, 'kan?"Bocah menggemaskan itu tampak mengangguk antusias."Iya, Ayah. Rasyid mau jadi kayak Ayah. Ayah yang ganteng, sayang sama Bunda juga Rasyid.""Nah, itu kamu tahu. Dalam Islam, hukum khitan bagi anak laki-laki itu wajib. Tujuannya bukan cuma sekadar mematuhi perintah agama, tapi juga untuk menjaga agar terhindar dari najis yang kadang nggak keliatan. Kalau udah gede R
"Mbak, sebenernya aku suka sama Mas Adam. Gimana kalau kita tuker suami? Kayaknya Mbak Karin juga masih punya perasaan sama Mas Baim!"Seketika Karina mengalihkan pandangannya dari layar ponsel. Dia menatap lekat wajah perempuan berusia dua puluh satu tahun ini lekat, lalu menggelengkan kepala."Nggak usah aneh-aneh, deh, Na. Mending bantu ibu sama Mbok Nah siapin makan di dapur sana. Mbak lanjut lipet baju dulu," sahut Karin berusaha mengabaikan permintaan ngawur Nana."Mbak Karina! Ayolah ... semua orang tahu Mbak nggak pernah diperlakuin baik sama Mas Adam. Tapi sama aku? Mbak tahu sendiri gimana perhatiannya. Dia bahkan tawarin aku buat jadi salah satu bintang iklannya!"Perempuan berjilbab itu tampak memejamkan mata sesaat. Sebongkah batu serasa baru saja menghunjam jantung. Harus diakui, penampilan adiknya yang lebih sering disapa Nana ini bisa membuat lelaki manapun gelap mata. Rambut pirang kemerahannya yang terurai panjang, tubuh indah menjulang seratus tujuh puluh sentimeter
"Karina! Kamu dengerin saya, nggak, sih?" panggilan itu menarik Karin dari lamunan. Mobil bahkan sudah melaju meninggalkan pelataran kediaman Adiguna menuju jalan pulang.Menatap Adam yang duduk di balik kemudi, Karin menundukan kepala tanda menyesal."Maaf, Mas.""Maaf aja teros. Saya bosan dengarnya. Kalau kamu udah nggak mau dengar, potong aja kuping sekalian."Karin hanya bisa terdiam menanggapinya. Lagi pula kata-kata tajam yang terlontar dari mulut Adam sudah biasa dia dengar."Ayah, Ayah! Ara mau boneka Teddy itu. Boleh, ya!" Di tengah perjalanan Tiara tiba-tiba rewel meminta boneka. Bocah itu tampak loncat-loncat di kursi sembari menunjuk-nunjuk ke luar jendela."Nggak. Boneka kamu udah banyak, main aja sama boneka santet di rumah eyang sana!""Mas.""Kenapa? Bocah itu jangan terlalu dimanja. Nanti ngelunjak kayak kamu."Karina tampak menghela napas panjang."Turunin kita di sini kalau gitu," pinta Karin akhirnya."Nggak.""Ya udah kita loncat.""Eee ... jangan! Arrghh ... ya
Nadila Arsinta atau biasa dipanggil Nana perempuan yang terlahir dengan memeluk bulan. Artinya dia tumbuh dengan selalu mendapatkan apa yang diinginkan. Mudah jatuh cinta juga mudah bosan.Hampir tiga perempat umur Karin habiskan dalam bayang-bayangnya. Selama itu dia selalu ada di sampingnya, jadi pendengar tapi tak pernah didengar. Permintaannya terakhir kali telah mengubah hidupnya. Apakah kali ini juga sama?Tukar suami? Meskipun disahkan secara hukum dan agama, tapi apakah itu masuk akal?Karin menekan pelipisnya yang tiba-tiba terasa pening. Tidak. Kali ini dia bukan anak kecil lagi. Karin tak perlu mengikuti permintaan konyol Nana untuk yang ke sekian kali.Ya, sudah saatnya dia bebas dari kendalinya. Menciptakan kebahagiaan yang selama ini dia dambakan."Karina, oi! Ngapain kamu bengong di sana? Ngintipin cicak kawin?"Setengah terlonjak dia beralih pada Adam yang sudah duduk bersandar di kepala ranjang.Sejak kapan dia bangun?"Mas, tumben udah bangun? Biasanya kalau libur
Tiara Ananda Prasetyo, bocah dengan mata bulat yang lahir dan tumbuh setelah berhasil melawan maut sejak dalam kandungan. Anak yang tak tahu apa-apa, tapi selalu jadi tameng akan kesalahan orang tuanya. Meskipun kenyataan Tiara tak terlahir dari rahimnya, Karin tetap memutuskan untuk mencintai bocah itu. Dan mengubur fakta serta masa lalu menyedihkan tentangnya. Sebagaimana janji yang sudah dia ikat dengan orang tuanya.Selama itu Karin hanya simpan faktanya seorang diri. Pura-pura tak tahu bahwa bocah itu adalah benih dari lelaki yang berjanji akan menempatkannya di posisi tertinggi hatinya, tapi kenyataan dia kalah berperang dengan hawa nafsunya.Namun, pada akhirnya hari ini sebuah rahasia yang telah dia simpan rapat selama empat tahun lamanya diketahui Adam ... lelaki yang dia pikir tak pernah peduli. Selalu bersikap masa bodo dan tak ingin tahu tentang apa pun kehidupannya dulu."Kok, kaget? Kayak yang habis kedapatan selingkuh aja kamu," cibirnya saat melihat mata Karin melebar