Share

HARUS BANGKIT

Penulis: Aisy David
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-24 09:13:29

Aira meninggalkan mertuanya begitu saja. Dia tak peduli dengan teriakan wanita paruh baya itu. Aira pergi ke kamarnya.

Saat ia membuka pintu kamar. Di dalamnya, ada El yang berusia empat tahun. Bocah itu sedang asyik bermain mobil-mobilan.

Untunglah, El bukan anak yang rewel. Biasanya, pagi begini ... dia menunggu Aira kembali dari toko sambil bermain di dalam kamar. Siangnya, biasanya Aira akan membawa anaknya ke toko roti. Meskipun usianya sudah 4 tahun, tapi El belum sekolah. Aira tak ada uang untuk memasukkan anaknya ke PAUD.

"El, sayang. Mama bawakan nasi bungkus untukmu, Nak," kata Aira dengan lembut, lalu ia menyodorkan nasi bungkus hangat itu kepada putranya.

Ia duduk di tepi ranjang yang berderit, sementara Bu Lastri masih mengomel dari luar kamar. Sang mertua terus memaki-maki kemalasan dan ketidakpekaan Aira.

Namun, Aira tidak peduli. Ia membiarkan omelan itu menguap begitu saja.

Dia memeluk El dengan erat.

"Makan yang kenyang ya, Sayang. Mama minta maaf, Mama belum sempat masak," bisik Aira, ia menahan air mata agar tidak jatuh di depan putranya.

Setelah El selesai makan, Aira berbaring di samping anaknya. Kelelahan yang akut membuatnya ambruk dalam hitungan detik. Ia tidak peduli dengan teriakan Bu Lastri di luar.

Ia tertidur.

Aira tertidur dengan pakaian kerjanya. Dia memeluk guling Arman yang damai. Di jari manisnya, cincin perak itu berkilauan samar, dan di dalam tas kecilnya, ada uang hasil perjuangan senyap di terminal angkot.

Ia tahu, pengorbanan ini tidak akan pernah diakui, dan itulah mengapa ia akan menjadikannya rahasia. Kebohongan ini adalah benteng pertahanan terakhir Aira.

Tulang Rusuk yang Patah telah bangkit, dan ia tidak lagi mau menerima takdirnya sebagai kuli yang tidak dihargai.

*

*****

*

Aira terbangun pukul 11 siang dengan sensasi sakit kepala yang berdenyut-denyut. Ia menyadari keheningan yang janggal. Biasanya, teriakan Bu Lastri, suara sinetron, atau bunyi motor Arman yang baru pulang sudah memenuhi rumah.

Ia bangkit, dan wanita itu melihat El yang masih tidur pulas di sampingnya setelah sarapan nasi bungkus yang hangat. Aira mencium kening putranya. Rasa bersalah karena absen di pagi hari langsung terobati saat melihat El yang ternyenyak.

Aira lantas keluar dari kamarnya. Ruangan terasa sunyi, tetapi ketegangan terasa lebih pekat dari kabut dini hari.

“Pulang-pulang langsung tidur. Kau pikir rumah ini hotel, haaah?”

Suara Bu Lastri terdengar menusuk dari ruang tengah. Wanita paruh baya itu duduk di sofa, dia memelototi Aira. Di meja, piring-piring bekas makan siangnya dan piring bekas camilan yang dia makan semalam, masih teronggok dan berserakan. Aromanya menyengat.

Aira menghela napas, ia mencoba mempertahankan ketenangan yang ia pelajari dari me time sambil mencuci piring.

“Maaf, Bu. Saya benar-benar tidak enak badan,” jawab Aira, suaranya sedikit serak. Ia tidak mau mengungkap tentang rasa lelahnya karena berjualan di terminal.

“Tidak enak badan? Coba lihat, semua pekerjaan di sini terbengkalai! Kau ini jadi menantu, kok tidak berguna!? Arman tadi siang telepon Ibu, katanya ... dia sampai harus makan nasi bungkus di kantor karena kau tidak sempat membuatkan sarapan! Kau ini gila! Tega sekali kai mempermalukan suamimu!”

Aira menatap tumpukan piring kotor itu. Ia melihat kelelahan Bu Lastri yang hanya dikarenakan menonton TV seharian.

Kini, kemarahan Aira pun merayap perlahan.

“Saya di toko sampai jam sembilan pagi, Bu. Saya mengurus bahan baku supaya besok kita bisa makan. Ibu ada di rumah seharian. Kenapa tidak mencuci piring sendiri?” tanya Aira, nadanya datar, tetapi tegas.

Bu Lastri terdiam sejenak. Biasanya, Aira akan langsung meminta maaf dan menuju dapur. Keberanian Aira untuk bertanya balik adalah perlawanan senyap yang mengejutkan sang mertua.

“Kurang ajar! Kau berani melawan mertuamu, hah?!” Bu Lastri bangkit. “Tentu saja itu tugasmu! Kau itu perempuan, Ra! Tugas perempuan itu mengurus rumah! Mengurus suami dan mertua! Mencari uang itu juga wajib! Tapi, utamakan rumah dan urusan keluarga! Cepat ke dapur!”

Aira tidak bergerak. Ia membalas tatapan Bu Lastri, tetapi tanpa amarah yang meledak.

“Maaf, saya tidak bisa mencuci piring. Saya sedang tidak enak badan, Bu. Dan lagi, saya juga harus ke toko." Aira menolak perintah mertuanya dengan tegas, tapi tetap menggunakan perkataan yang sopan.

"Dasar menantu kurang ajar! Menyesal sekali aku menampungmu di rumahku ini! Cuih ...!'

Bu Lastri berteriak-teriak di belakang menantunya, tetapi Aira memilih untuk mengabaikan dan melangkah pergi. Ia tahu, perlawanan terbesarnya adalah dengan tidak bereaksi.

*

*

*

Sesampainya di toko, Aira segera mengambil alih pekerjaan utama: mencampur dan memanggang pesanan kue besar untuk pelanggan korporat sore ini. Keberhasilan di Terminal Angkot semalam memberinya modal yang cukup untuk membeli bahan-bahan premium yang dibutuhkan.

Saat dia sedang mengoleskan butter cream pada kuenya, ia mendengar suara langkah kaki memasuki tokonya.

Ya! Itu adalah Arman. Pria itu datang ke toko saat jam makan siang. Bukan untuk meminta maaf atas ulahnya pagi tadi, melainkan untuk mengganti rugi sarapannya yang hilang.

“Ra, tolong siapkan satu slice Opera Cake dan dua cupcake cokelat. Aku harus cepat kembali ke kantor,” kata Arman, ia langsung menuju sudut minum.

Aira menyajikan pesanannya tanpa kata.

"Enak sekali kue bikinan istriku ini. Pantas saja, tokomu selalu ramai!"

"Lima puluh ribu!" Aira menarik kertas nota di printer kecil yang ada di meja kasir, lalu menyodorkan pada suaminya.

"Halah, kau ini! Masa sama suami sendiri itung-itungan? Gratis lah! Roti aja lho. Paling ini modalnya cuma lima rebu." Arman terkekeh.

Lalu, pria itu segera bergegas pergi setelah perutnya kenyang.

"Mas!" Aira mengeraskan suaranya.

"Kalau kamu tidak mau membayar pesananmu ini, aku akan mencatatnya sebagai hutangmu!" Wanita itu menegaskan.

"Halah! Jangan perhitungan sama suami! Kamu itu jangan lupa, kita ini suami istri dan harus saling melengkapi. Kamu harus bersyukur karena ibuku mau menampung kita. Lihatlah di luar sana, ada berapa juta orang yang tidak memiliki tempat tinggal. Jadi, banyak-banyaklah bersyukur dengan cara berbakti kepadaku. Hehehehe." Arman tertawa cekikikan sembari meninggalkan istrinya.

Aira mendengkus. Hatinya terasa kesal bukan kepalang.

*

******

*

Sore harinya, saat Aira sedang menata kue pesanan, tiba-tiba handphone toko berdering. Nomor tidak dikenal.

“Manisnya Aira, dengan Aira sendiri.”

“Halo, Mbak Aira. Saya Bima. Reseller dari Terminal Angkot kemarin subuh.”

Aira terkejut. "Bima?"

“Oh, iya, Mas Bima. Ada yang bisa saya bantu?” pungkasnya.

“Roti Panggang Krispi Gula Mentega-nya laris manis, Mbak. Sampai rebutan. Saya mau pesan dua kali lipat untuk dini hari besok. Kalau bisa, Mbak, saya mau ambil lebih awal, jam satu pagi, supaya saya bisa distribusikan ke kantin buruh.”

"Waduh, kalau jam 1 dini hari ..., sepertinya ndak bisa, Mas. Karena saya mulai mengerjakan kue itu sekitar jam 12 malam."

"Ehhmmm? Ya sudah. Bagaimana kalau jam 3 pagi?"

"Nah, kalau jam 3 pagi, bisa, Mas."

"Oke, deal. Saya pesan rutin setiap hari ya. Untuk besok, saya pesan 1000 bungkus. Lusa, mungkin bisa jadi 2x lipat." Bima menegaskan.

DEGH.

Aira merasakan jantungnya berdebar kencang. Ini adalah peluang besar yang tidak terduga.

“Dua kali lipat? Baik, Mas Bima. Tapi bagaimana dengan pembayarannya?” tanya Aira, ia mencoba terdengar profesional.

“Santai, Mbak. Saya bayar di muka, hari ini. 500 ribu sebagai deposit. Saya akan transfer ke rekening atas nama toko. Dan tolong, Mbak. Jangan jual ke siapa-siapa lagi di Terminal Jatinegara. Biarkan saya saja yang ambil, ya?”

Aira menahan senyum puasnya. Pemasok tunggal. Deposit tunai. Omzet yang berlipat ganda.

“Tentu, Mas Bima. Akan saya siapkan. Ini rahasia kita,” jawab Aira.

Setelah menutup telepon, Aira menatap etalase rotinya. Toko ini adalah sumber penghasilan utama, tetapi bisnis rahasia ini adalah kunci kebebasannya.

"Alhamdulillah, ini rejeki nomplok." Mata Aira berbinar-binar.

Namun, kini Aira sadar, dia harus mencari cara untuk menjalankan kesibukan barunya ini. Arman selalu pulang malam. Bu Lastri pun sering tidur cepat setelah perutnya kenyang selepas makan malam. Tapi bagaimana ia akan membuat dua kali lipat adonan dalam diam?

Aira menatap cincin perak di jari manisnya. Ia akan bangun jam 12 malam, setelah Arman tidur. Ia akan menjadi pencuri waktu dan ruangnya sendiri, demi membebaskan tulang rusuknya yang remuk.

"Aku harus bisa menghasilkan banyak uang jika aku ingin membebaskan diriku dari belenggu ini! Aku tak bisa terus-menerus tinggal di rumah ibu mertuaku! Aku harus memiliki banyak tabungan supaya bisa keluar dari tempat itu!" Aira seakan berjanji pada dirinya sendiri.

"Apa yang sedang kamu rencanakan? Kenapa kamu manggut-manggut sendirian begitu?"

Suara itu benar-benar mengagetkan Aira.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   MENGHAPUS CINTA

    Ruang tengah terasa mencekik. Tuduhan Arman—bahwa uang pembayaran Daycare berasal dari hasil perselingkuhan—menggantung di udara seperti racun. Bu Lastri tampak menikmati drama itu, matanya memancarkan kepuasan, senyuman di bibirnya nampak kian lebar dan sinis.Aira menatap Arman dengan tajam, bahkan tanpa berkedip. Ia tidak marah, tetapi matanya memancarkan rasa lelah dan kecewa yang sangat dingin."Apa katamu? Aku berselingkuh? Kau bilang uangku banyak karena aku mendua? Dari mana kamu memiliki pemikiran seperti itu, Mas?" Aira bertanya, suaranya tenang, tetapi tajam."Uang Daycare ini tidak lebih dari uang yang kau biarkan aku cari sendiri! Aku lembur sampai tidak tidur! Aku bekerja seperti orang gila! Dan sekarang, kau menuduhku berselingkuh karena aku akhirnya bisa membiayai anakku sendiri?!" pekiknya.Wanita itu melangkah maju, tangannya menunjuk Arman. "Coba, jelaskan padaku! Kalau aku berselingkuh, kenapa aku masih sudi mencuci piring kotor di rumah ini? Kenapa aku masih harus

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   TUDUHAN BERSELINGKUH

    "Apakah kamu sedang berencana untuk selingkuh?" Bu Lastri tiba-tiba muncul di belakang Aira dan membombardir menantunya dengan sederetan pertanyaan yang sangat menyudutkan. Wanita paruh baya itu datang ketika menantunya sedang memikirkan bagaimana cara melancarkan aksinya untuk mengerjakan orderan dari Bima."Aira sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang lebih untuk memberi makan suami dan mertua, Bu." Aira tersenyum simpul. "Halah! Jangan banyak bacot! Kau ini benar-benar menantu kurang ajar." Bu Lastri berkacak pinggang."Apa yang Ibu inginkan? Kenapa Ibu tiba-tiba datang ke toko? Apakah Ibu lapar lagi? Ah, Ibu pasti ingin meminta beberapa roti untuk cemilan kan?""Tidak! Aku datang ke sini untuk meminta uang! Ada iuran RT yang harus dibayarkan sore ini. Cepat! Minta duit!" Bu Lastri mendelik.Tanpa menunggu persetujuan menantunya, sang mertua langsung menghampiri meja kasir dan membuka laci. Dia mengambil beberapa lembar uang dan langsung berlalu pergi begitu saja tanpa

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   HARUS BANGKIT

    Aira meninggalkan mertuanya begitu saja. Dia tak peduli dengan teriakan wanita paruh baya itu. Aira pergi ke kamarnya.Saat ia membuka pintu kamar. Di dalamnya, ada El yang berusia empat tahun. Bocah itu sedang asyik bermain mobil-mobilan.Untunglah, El bukan anak yang rewel. Biasanya, pagi begini ... dia menunggu Aira kembali dari toko sambil bermain di dalam kamar. Siangnya, biasanya Aira akan membawa anaknya ke toko roti. Meskipun usianya sudah 4 tahun, tapi El belum sekolah. Aira tak ada uang untuk memasukkan anaknya ke PAUD."El, sayang. Mama bawakan nasi bungkus untukmu, Nak," kata Aira dengan lembut, lalu ia menyodorkan nasi bungkus hangat itu kepada putranya.Ia duduk di tepi ranjang yang berderit, sementara Bu Lastri masih mengomel dari luar kamar. Sang mertua terus memaki-maki kemalasan dan ketidakpekaan Aira. Namun, Aira tidak peduli. Ia membiarkan omelan itu menguap begitu saja.Dia memeluk El dengan erat."Makan yang kenyang ya, Sayang. Mama minta maaf, Mama belum sempat

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   BABU DI RUMAH MERTUA

    Aira merasakan hiruk-pikuk udara dini hari di Terminal Angkot Jatinegara. Ini adalah pusat keramaian yang tidak pernah tidur, tempat para pencari nafkah memulai hari jauh sebelum matahari terbit.Dia berdiri di sudut yang strategis, di dekat pangkalan ojek, tempat para buruh pabrik yang turun dari angkutan malam transit menuju kendaraan terakhir mereka. Ia menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena rasa cemas bercampur malu.Ia seorang pemilik toko roti yang kini berdiri di pinggir jalan.Aira menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar."Lima ratus ribu, Ra. Lima puluh bungkus. Demi besok," bisiknya pada dirinya sendiri.Wanita itu menatap dagangannya. Dia membungkus lebih dari 50 bungkus. "Kalau laku semua, aku pasti bisa mendapatkan uang lebih dari 500 ribu," tandasnya.Pelangg

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   MOKONDO

    Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   TULANG PUNGGUNG

    Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status