MasukRuang tengah terasa mencekik. Tuduhan Arman—bahwa uang pembayaran Daycare berasal dari hasil perselingkuhan—menggantung di udara seperti racun. Bu Lastri tampak menikmati drama itu, matanya memancarkan kepuasan, senyuman di bibirnya nampak kian lebar dan sinis.Aira menatap Arman dengan tajam, bahkan tanpa berkedip. Ia tidak marah, tetapi matanya memancarkan rasa lelah dan kecewa yang sangat dingin."Apa katamu? Aku berselingkuh? Kau bilang uangku banyak karena aku mendua? Dari mana kamu memiliki pemikiran seperti itu, Mas?" Aira bertanya, suaranya tenang, tetapi tajam."Uang Daycare ini tidak lebih dari uang yang kau biarkan aku cari sendiri! Aku lembur sampai tidak tidur! Aku bekerja seperti orang gila! Dan sekarang, kau menuduhku berselingkuh karena aku akhirnya bisa membiayai anakku sendiri?!" pekiknya.Wanita itu melangkah maju, tangannya menunjuk Arman. "Coba, jelaskan padaku! Kalau aku berselingkuh, kenapa aku masih sudi mencuci piring kotor di rumah ini? Kenapa aku masih harus
"Apakah kamu sedang berencana untuk selingkuh?" Bu Lastri tiba-tiba muncul di belakang Aira dan membombardir menantunya dengan sederetan pertanyaan yang sangat menyudutkan. Wanita paruh baya itu datang ketika menantunya sedang memikirkan bagaimana cara melancarkan aksinya untuk mengerjakan orderan dari Bima."Aira sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang lebih untuk memberi makan suami dan mertua, Bu." Aira tersenyum simpul. "Halah! Jangan banyak bacot! Kau ini benar-benar menantu kurang ajar." Bu Lastri berkacak pinggang."Apa yang Ibu inginkan? Kenapa Ibu tiba-tiba datang ke toko? Apakah Ibu lapar lagi? Ah, Ibu pasti ingin meminta beberapa roti untuk cemilan kan?""Tidak! Aku datang ke sini untuk meminta uang! Ada iuran RT yang harus dibayarkan sore ini. Cepat! Minta duit!" Bu Lastri mendelik.Tanpa menunggu persetujuan menantunya, sang mertua langsung menghampiri meja kasir dan membuka laci. Dia mengambil beberapa lembar uang dan langsung berlalu pergi begitu saja tanpa
Aira meninggalkan mertuanya begitu saja. Dia tak peduli dengan teriakan wanita paruh baya itu. Aira pergi ke kamarnya.Saat ia membuka pintu kamar. Di dalamnya, ada El yang berusia empat tahun. Bocah itu sedang asyik bermain mobil-mobilan.Untunglah, El bukan anak yang rewel. Biasanya, pagi begini ... dia menunggu Aira kembali dari toko sambil bermain di dalam kamar. Siangnya, biasanya Aira akan membawa anaknya ke toko roti. Meskipun usianya sudah 4 tahun, tapi El belum sekolah. Aira tak ada uang untuk memasukkan anaknya ke PAUD."El, sayang. Mama bawakan nasi bungkus untukmu, Nak," kata Aira dengan lembut, lalu ia menyodorkan nasi bungkus hangat itu kepada putranya.Ia duduk di tepi ranjang yang berderit, sementara Bu Lastri masih mengomel dari luar kamar. Sang mertua terus memaki-maki kemalasan dan ketidakpekaan Aira. Namun, Aira tidak peduli. Ia membiarkan omelan itu menguap begitu saja.Dia memeluk El dengan erat."Makan yang kenyang ya, Sayang. Mama minta maaf, Mama belum sempat
Aira merasakan hiruk-pikuk udara dini hari di Terminal Angkot Jatinegara. Ini adalah pusat keramaian yang tidak pernah tidur, tempat para pencari nafkah memulai hari jauh sebelum matahari terbit.Dia berdiri di sudut yang strategis, di dekat pangkalan ojek, tempat para buruh pabrik yang turun dari angkutan malam transit menuju kendaraan terakhir mereka. Ia menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena rasa cemas bercampur malu.Ia seorang pemilik toko roti yang kini berdiri di pinggir jalan.Aira menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar."Lima ratus ribu, Ra. Lima puluh bungkus. Demi besok," bisiknya pada dirinya sendiri.Wanita itu menatap dagangannya. Dia membungkus lebih dari 50 bungkus. "Kalau laku semua, aku pasti bisa mendapatkan uang lebih dari 500 ribu," tandasnya.Pelangg
Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung
Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung







