Share

TUDUHAN BERSELINGKUH

Penulis: Aisy David
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-24 09:15:05

"Apakah kamu sedang berencana untuk selingkuh?" Bu Lastri tiba-tiba muncul di belakang Aira dan membombardir menantunya dengan sederetan pertanyaan yang sangat menyudutkan.

Wanita paruh baya itu datang ketika menantunya sedang memikirkan bagaimana cara melancarkan aksinya untuk mengerjakan orderan dari Bima.

"Aira sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang lebih untuk memberi makan suami dan mertua, Bu." Aira tersenyum simpul.

"Halah! Jangan banyak bacot! Kau ini benar-benar menantu kurang ajar." Bu Lastri berkacak pinggang.

"Apa yang Ibu inginkan? Kenapa Ibu tiba-tiba datang ke toko? Apakah Ibu lapar lagi? Ah, Ibu pasti ingin meminta beberapa roti untuk cemilan kan?"

"Tidak! Aku datang ke sini untuk meminta uang! Ada iuran RT yang harus dibayarkan sore ini. Cepat! Minta duit!" Bu Lastri mendelik.

Tanpa menunggu persetujuan menantunya, sang mertua langsung menghampiri meja kasir dan membuka laci. Dia mengambil beberapa lembar uang dan langsung berlalu pergi begitu saja tanpa berpamitan.

Aira sempat mengejar sang mertua. Tapi, langkah kaki Bu Lastri sangat gesit. Dan lagi, ada beberapa pelanggan yang mulai berdatangan. Akan nampak tidak etis jika Aira beradu mulut dengan sang mertua di depan para pembeli.

Aira pun mencoba menekan emosinya sembari mengelus dadanya berulang kali.

"Astaghfirullahal adziim."

*

******

*

Pukul 00.30 dini hari telah tiba. Suara dengkuran Arman menjadi timer pertempuran Aira.

Aira berdiri di dapur. Ruangan ini tidak didesain untuk produksi massal. Ia harus membuat adonan dua kali lipat—tepat seribu potong Roti Panggang Krispi Gula Mentega—tanpa menghasilkan suara. Ia tidak bisa menggunakan mixer listrik.

Aira bekerja seperti hantu. Ia menggunakan spatula kayu untuk mengaduk mentega dan gula. Tangannya perih, lengannya kebas, tetapi ia tak berhenti. Ketika adonan masuk ke oven gas besar, yang lokasinya ada di garasi luar dan butuh waktu lama untuk memanas, ia memutar tubuhnya seperti penari balet, memastikan semua pintu dan jendela tertutup agar aroma manis mentega tidak menyebar ke dalam rumah.

"Aman!" Wanita itu mengangguk sigap.

Tepat pukul 02.00, saat Aira mengeluarkan loyang pertama, pintu kamar Bu Lastri di ruang tengah berderit.

Jantung Aira langsung mencelos. Ia membeku di tempat, tangannya gemetar saat memegang loyang panas. Ia menahan napasnya, seolah keberadaan fisiknya bisa lenyap seketika.

Bu Lastri berjalan ke kamar mandi, tepat di sebelah dapur. Aira mendengar suara air mengalir dan batuk parau. Syukurlah, Bu Lastri tidak menoleh sedikit pun ke dapur remang-remang tempat Aira berdiri kaku.

"Hampir saya!" bisik batin Aira, peluh dingin membasahi punggungnya.

Setelah memastikan mertuanya kembali ke kamar, Aira mempercepat pace-nya. Pukul 02.45, seribu potong roti krispi itu sudah terbungkus rapi, lalu dimasukkan ke dalam bungkus berisikan 10 potong dan menjadi 100 bungkus.

Aira kemudian membersihkan sisa-sisa remah dan buttercream dengan sangat teliti. Ia juga menyeka setiap sudut meja kerja agar tidak meninggalkan jejak.

Tepat pukul 03.00, Bima, reseller setianya, datang dengan gerobak kecil. Transaksi berlangsung cepat di gang belakang toko, jauh dari rumah. 

Uang 500 ribu, tunai, sisa dari deposit, resmi berpindah tangan. Ya! 1000 potong kue yang dikemas menjadi 100 kantong, laku dengan harga 1 juta. Kemarin siang, Bima sudah mentransfer DP-nya separuh.

"Ini 1 juta lagi, untuk pesanan kue besok," kata Bima dengan tatapan ramah.

CLEGUK.

Aira menelan ludah. Wanita itu tertegun ketika mendapatkan uang pembayaran untuk transaksi esok hari. 

"Alhamdulillah, terima kasih, Mas Bima." Dia melebarkan senyuman merekah di bibirnya. 

"Iya, Mbak. Sama-sama. Semoga kita menjadi rekan bisnis yang terus berkesinambungan dan berjangka panjangnya," sahut Bima, sebelum akhirnya berpamitan dan berlalu pergi.

Aira pun kembali ke rumah tepat pukul 04.00. Dan tentu saja, dia tidak akan sempat tidur lagi.

Urusan sarapan dan pekerjaan dapur di rumah mertuanya tak akan ada usainya.

*

*

Pukul 10.00 pagi. Aira sudah berada di toko, wajahnya pucat pasi.

Sementara Aira berjuang melawan kantuk di tempat usahanya, di teras rumah Bu Lastri ..., sesi gosip pagi sedang panas. Bu Lastri kedatangan dua orang teman dekatnya, Bu Retno dan Bu Mira.

“...Iya, Bu. Bagaimana tidak stres! Anaknya si Arman itu sudah empat tahun, tapi menantuku ini malah makin bebal,” keluh Bu Lastri, suaranya dramatis.

"Dia tidak mau mengurus anaknya sendiri. Sibuk di toko terus. Saya yang harus kerepotan momong cucu," pungkasnya.

"Memang susah ya, Bu, kalau perempuan sudah pegang uang, pasti tidak mau menuruti perkataan suami dan mertuanya," timpal Bu Retno.

"Bukan masalah pegang uang, Bu! Dia ini pelitnya minta ampun!" Bu Lastri mendekat, ia berbisik kencang. "Uang di tokonya banyak, tapi di rumah? Tahu sama tempe terus, tahu sama tempe lagi! Kayak gak ada lauk lain saja! Padahal kalau di toko, dia masak cake mewah-mewah! Sampai kapan kami harus makan ala kadarnya di sini?”

“Lho, Arman tidak protes?” tanya Bu Mira.

“Arman itu anak baik, Bu. Dia selalu bilang, 'Sudahlah, Bu. Biar Aira berhemat. Biar kamu cepat punya rumah sendiri,'” jawab Bu Lastri, ia menirukan suara Arman dengan nada kesal.

"Padahal, Ibu tahu, itu cuma alibi dia saja karena dia sudah tidak mampu menahan aib istrinya yang pelit itu. Aku kasihan sama Arman. Hidupnya serba dituntut," tandasnya dengan bibir meleot-leot.

Gosip itu berputar-putar: Aira adalah menantu durhaka, keras kepala, dan wanita pelit yang lebih mementingkan keuntungan toko daripada martabat suaminya.

"Kenapa tidak diusir saja dari rumah ini? Jangan tinggal dengan menantu benalu seperti itu!" Bu Retno mendengkus.

"Walah, Bu. Saya ini kasihan sama Arman dan El. Karena bagaimanapun juga, mereka berdua itu kan masih darah daging saya. Kalau sama Aira, saya itu enek dan jijik." Bu Lastri menarik nafas panjang sebelum melanjutkan ucapannya. 

"Saya ini momong anaknya seperti pembantu. Kurang baik apa Saya ini pada menantu. Eh, tapi menantu saya benar-benar kurang ajar. Masa ..., dia selalu terlambat pulang dan jarang masak. Saya sering kelaparan," pungkasnya.

"Astaga, menantu seperti itu, jangan dibiarkan ngelunjak! Kasih dia pelajaran!" Bu Mira mendelik.

"Saya sudah sering memberinya pelajaran. Saya sudah sering menasehatinya baik-baik. Tapi, Aira itu benar-benar berhati batu." Bu Lastri memasang tampang melas di depan kawan-kawannya. 

Dia memang manusia yang mirip seperti bunglon.

"Ya ampun, Bu. Biar kami yang mencecarnya jika kami bertemu dengan menantumu itu!" Bu  Retno nampak emosi.

*

*

*

Sementara itu, di toko, Aira merasakan kelelahan menghantamnya. Ia tahu dia tidak bisa terus begini. Ia membutuhkan karyawan yang sangat ia percaya untuk mengurus bagian penjualan dan manajemen stock toko, sementara ia fokus pada produksi, baik baik di toko maupun produksi rahasia.

Ia memanggil sepupunya, Wulan, yang dulu kuliah bersamanya di jurusan Tata Boga. Aira menawari saudaranya itu posisi Kepala Toko. Wulan adalah wanita cerdas dan teliti yang memiliki prinsip kerja keras yang sama dengan Aira.

"Aku butuh orang yang benar-benar bisa kutinggali, Lan," kata Aira. "Kau urus semua penjualan, rekap, dan stock. Aku akan tetap di dapur."

Wulan setuju, ia melihat potensi besar pada "Manisnya Aira".

Namun, bahkan kehadiran Wulan tidak bisa mencegah kekacauan hari ini. Saat Wulan sedang ijin sholat di belakang, Aira melayani pelanggan.

Seorang bapak membeli kue senilai 125 ribu dan membayar dengan uang 200 ribu.

Mata Aira terlalu buram karena mengantuk. Ia memberikan kembalian sebesar 100 ribu rupiah pada pelanggannya itu.

“Mbak, kembaliannya kebanyakan. Seharusnya kembali 75 ribu,” kata bapak itu dengan sopan.

Aira tersentak. “Astagfirullah, maafkan saya, Pak. Saya salah hitung.”

Bapak itu hanya tersenyum maklum, tetapi Arman, yang kebetulan baru masuk toko sepulang dari kantor, ia mendengar dan melihat kejadian itu.

"Tuh, kan, Ra? Matamu sudah kabur karena kurang tidur. Pulang saja! Biar toko tutup hari ini! Uang hasil kerja kerasmu itu jadi sia-sia kalau kau salah hitung terus!" tegur Arman dengan suara keras di depan pelanggan.

Lantas, Arman segera menarik Aira ke ruang belakang.

"Kamu kenapa, Ra? Sudah dua hari kamu itu seperti zombie! Di rumah tidak masak, di toko pun banyak kekacauan! Apakah kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Arman menuntut, matanya menyipit penuh curiga.

"Aku hanya kelelahan, Mas! Aku harus lembur demi mengurus pesanan korporat! Kalau aku tidak lembur, kita tidak punya uang untuk membayar cicilan motormu!" jawab Aira, kebohongan ini keluar dengan lancar karena didukung oleh kelelahan yang nyata.

Arman tampak tidak sepenuhnya yakin, tetapi ia tidak banyak mengomel lagi.

"Ya sudah, ayo pulang bareng.  Aku akan memboncengmu!" Arman menjeda.

*

*

*

Aira tahu, ia tidak bisa membagi energinya antara mengurus toko, produksi rahasia, dan menjaga El dari pagi hingga sore. Ia harus segera memutus satu rantai.

Sore itu, Aira melakukan tindakan yang dianggap berani dan mencurigakan oleh Bu Lastri dan Arman: ia mendaftarkan El ke Daycare kecil dekat tokonya.

Bu Lastri, yang biasanya dengan bangga mengatakan, "Aku masih mau menjaga cucu lho!", ia merasa terhina.

Malam harinya, setelah Bu Lastri mengetahui keputusan itu dari Arman, perang dingin pun pecah.

“Kau ini gila, Ra! Uang sebanyak itu kau buang hanya untuk membayar Daycare?! Apa kau menganggapku tidak becus mengurus cucuku, hah!?” serang Bu Lastri.

Aira tetap tenang. "Maaf, Bu. Saya titipkan El di Daycare karena saya harus lebih fokus pada toko agar omzet naik. Uang Daycare itu bisa saya anggap investasi waktu. Dengan begitu, saya bisa mengurus rumah dan urusan Ibu tanpa terganggu oleh El."

Arman pun masuk, wajahnya muram. "Kenapa kau tidak konsultasi denganku dulu, Ra?! Kau pakai uang darimana untuk Daycare? Mahal lho, Ra!"

Aira menatap Arman dengan tajam. "Aku pakai uangku sendiri, Mas. Aku sudah tidak mau lagi ambil risiko mengurus El sambil kelelahan. Aku tidak mau salah memberi uang kembalian lagi. Aku butuh fokus."

Arman dan Bu Lastri bertukar pandang. Mereka melihat Aira yang berbeda: lebih tenang, lebih tegas, dan yang paling penting, lebih memiliki uang rahasia untuk melakukan apa pun yang dia inginkan.

"Kau pasti menyembunyikan sesuatu, Ra," bisik Arman, ia tidak berani lagi meninggikan suaranya karena takut Aira semakin kalang kabut dan meledak-ledak kemarahannya.

"Kau mendapatkan uang tambahan dari mana?" Pria itu mendelik.

"Aku hanya mendapatkan hasil dari lemburku, Mas," jawab Aira, senyum tipis tersungging.

Ia tahu, dengan El di Daycare dan Wulan di toko, ia kini memiliki waktu yang ia butuhkan untuk Operasi Krispi GulMet.

Kini, bukan hanya Bu Lastri yang curiga. Arman pun ikut penasaran. Aira telah membeli waktu dan kebebasan dengan harga yang sangat mahal: risiko dicurigai dan dibenci oleh keluarganya sendiri.

"Cepat katakan, Ra! Dari mana kau dapatkan uang untuk membayar Daycare!? Apakah kamu berselingkuh?!" Suara Arman  terdengar berat.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   MENGHAPUS CINTA

    Ruang tengah terasa mencekik. Tuduhan Arman—bahwa uang pembayaran Daycare berasal dari hasil perselingkuhan—menggantung di udara seperti racun. Bu Lastri tampak menikmati drama itu, matanya memancarkan kepuasan, senyuman di bibirnya nampak kian lebar dan sinis.Aira menatap Arman dengan tajam, bahkan tanpa berkedip. Ia tidak marah, tetapi matanya memancarkan rasa lelah dan kecewa yang sangat dingin."Apa katamu? Aku berselingkuh? Kau bilang uangku banyak karena aku mendua? Dari mana kamu memiliki pemikiran seperti itu, Mas?" Aira bertanya, suaranya tenang, tetapi tajam."Uang Daycare ini tidak lebih dari uang yang kau biarkan aku cari sendiri! Aku lembur sampai tidak tidur! Aku bekerja seperti orang gila! Dan sekarang, kau menuduhku berselingkuh karena aku akhirnya bisa membiayai anakku sendiri?!" pekiknya.Wanita itu melangkah maju, tangannya menunjuk Arman. "Coba, jelaskan padaku! Kalau aku berselingkuh, kenapa aku masih sudi mencuci piring kotor di rumah ini? Kenapa aku masih harus

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   TUDUHAN BERSELINGKUH

    "Apakah kamu sedang berencana untuk selingkuh?" Bu Lastri tiba-tiba muncul di belakang Aira dan membombardir menantunya dengan sederetan pertanyaan yang sangat menyudutkan. Wanita paruh baya itu datang ketika menantunya sedang memikirkan bagaimana cara melancarkan aksinya untuk mengerjakan orderan dari Bima."Aira sedang berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang lebih untuk memberi makan suami dan mertua, Bu." Aira tersenyum simpul. "Halah! Jangan banyak bacot! Kau ini benar-benar menantu kurang ajar." Bu Lastri berkacak pinggang."Apa yang Ibu inginkan? Kenapa Ibu tiba-tiba datang ke toko? Apakah Ibu lapar lagi? Ah, Ibu pasti ingin meminta beberapa roti untuk cemilan kan?""Tidak! Aku datang ke sini untuk meminta uang! Ada iuran RT yang harus dibayarkan sore ini. Cepat! Minta duit!" Bu Lastri mendelik.Tanpa menunggu persetujuan menantunya, sang mertua langsung menghampiri meja kasir dan membuka laci. Dia mengambil beberapa lembar uang dan langsung berlalu pergi begitu saja tanpa

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   HARUS BANGKIT

    Aira meninggalkan mertuanya begitu saja. Dia tak peduli dengan teriakan wanita paruh baya itu. Aira pergi ke kamarnya.Saat ia membuka pintu kamar. Di dalamnya, ada El yang berusia empat tahun. Bocah itu sedang asyik bermain mobil-mobilan.Untunglah, El bukan anak yang rewel. Biasanya, pagi begini ... dia menunggu Aira kembali dari toko sambil bermain di dalam kamar. Siangnya, biasanya Aira akan membawa anaknya ke toko roti. Meskipun usianya sudah 4 tahun, tapi El belum sekolah. Aira tak ada uang untuk memasukkan anaknya ke PAUD."El, sayang. Mama bawakan nasi bungkus untukmu, Nak," kata Aira dengan lembut, lalu ia menyodorkan nasi bungkus hangat itu kepada putranya.Ia duduk di tepi ranjang yang berderit, sementara Bu Lastri masih mengomel dari luar kamar. Sang mertua terus memaki-maki kemalasan dan ketidakpekaan Aira. Namun, Aira tidak peduli. Ia membiarkan omelan itu menguap begitu saja.Dia memeluk El dengan erat."Makan yang kenyang ya, Sayang. Mama minta maaf, Mama belum sempat

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   BABU DI RUMAH MERTUA

    Aira merasakan hiruk-pikuk udara dini hari di Terminal Angkot Jatinegara. Ini adalah pusat keramaian yang tidak pernah tidur, tempat para pencari nafkah memulai hari jauh sebelum matahari terbit.Dia berdiri di sudut yang strategis, di dekat pangkalan ojek, tempat para buruh pabrik yang turun dari angkutan malam transit menuju kendaraan terakhir mereka. Ia menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena dingin, melainkan karena rasa cemas bercampur malu.Ia seorang pemilik toko roti yang kini berdiri di pinggir jalan.Aira menyusun kantong-kantong kertas berisi Roti Panggang Krispi Gula Mentega di atas sebuah kardus bekas. Tangannya sedikit gemetar."Lima ratus ribu, Ra. Lima puluh bungkus. Demi besok," bisiknya pada dirinya sendiri.Wanita itu menatap dagangannya. Dia membungkus lebih dari 50 bungkus. "Kalau laku semua, aku pasti bisa mendapatkan uang lebih dari 500 ribu," tandasnya.Pelangg

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   MOKONDO

    Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung

  • TULANG RUSUK YANG REMUK   TULANG PUNGGUNG

    Langit Jakarta masih dipenuhi sisa-sisa kemarau panjang, tapi keringat dingin sudah membasahi punggung Aira. Jari-jarinya terasa kaku saat ia menyusun kue-kue di etalase toko rotinya, "Manisnya Aira", yang terletak di sudut ruko tua. Toko ini adalah satu-satunya sumber penghidupan, penopang rumah kecil tempat ia, Arman, dan Ibu Lastri tinggal di pinggiran kota.Ini pukul delapan malam. Waktunya ia seharusnya duduk santai di rumah, menikmati me time. Tapi bagi Aira, istirahat hanyalah kemewahan yang tak mampu ia bayar.Ia menyeka noda terigu di pipinya. Sudah lima tahun pernikahannya dengan Arman, dan lima tahun pula Aira mengambil peran sebagai tulang punggung keluarga. Gaji Arman sebagai staf administrasi di sebuah perusahaan kecil hanya cukup untuk membayar cicilan motor lamanya. Sisanya? Semua ditanggung oleh untung-rugi dari toko roti mungil ini, termasuk kebutuhan hidup di rumah mertua.Di hati Aira, ia merasa seperti tulang rusuk yang dipaksa menjadi tulang punggung, menanggung

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status