Share

Bab 5. Kedatangan Dua Nenek

Nala dan Amel terkejut sampai menghentikan perkejaannya. 

"Ada apa? Butuh bantuan?" Tanya Nala. "Nyonya pasti lelah ya, wajar sih kan pengantin baru."

"Barusan ada dia, pelayan yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu, dia di sini," ucap Intan. "Kok, kaki aku lemes gemetar begini, ya? Apa saking paniknya ketemu dia?"

"Itu hantu," tukas Amel.

"Di sini gak ada hantu!" Tegas Nala. "Sssstttt! Jangan nakutin! Dan ART yang dikuncir itu sebenarnya gak ada. Itu cuma halusinasi Nyonya Intan saja."

Kemudian, Edwin muncul. Matanya terbelalak mendapati masakan yang tengah diproses di atas wajan. Meskipun masih proses dimasak namun aroma dan tampilannya sungguh menggoda. 

"Istriku pandai masak juga," ucap Edwin.

Tak berselang lama, muncul Erwin dan Elsa. Mereka menyambangi dapur dalam kondisi masih mengenakan pakaian tidur. 

"Pagi, tumben pengantin baru udah eksis di dapur?" Tanya Erwin. Lalu, matanya melirik Intan. "Eh, kok rambutnya gak basah? Harusnya basah tuh!"

"Apaan sih! Jail banget lo jadi adik," sahut Edwin. 

"Zaman sekarang pengantin baru itu kalau rambutnya basah ya pake pengering rambut dong," sambung Elsa. "Awas lo ya, Er! Kalau jadi pengantin baru pasti aku sindir kamu kalau pagi-pagi."

"Oh, kalian pandai bercanda juga ya," ucap Intan. 

Edwin tidak ragu lagi menunjukkan kemesraannya, dia memeluk Intan di depan kedua adiknya.

"Cieeee, kalau gini terus bisa cepet punya keponakan," ucap Erwin. 

"Sabar," ucap Intan. "Oh iya, kalian suka lihat ART rumah ini yang dikuncir kayak ekor kuda itu? Barusan dia ada di sini, malem tadi juga malah lebih mengerikan, untung aku cepet lupa. Aku dikejar setan tadi malam."

Erwin dan Elsa terdiam. Lantas, mereka hanya merespon dengan senyuman tipis sambil garuk-garuk kepala.

"Itu halusinasi, aku di sini bertahun-tahun malah gak pernah lihat begituan," ucap Elsa. "Ya kan, Er? Jawab lo!"

"Kayaknya istriku ini perlu ke orang pinter biar gak ketemu sama yang begituan lagi," ucap Edwin. "Hari ini gak usah ngajar dulu ya, saya mau ajak kamu ke suatu tempat."

Intan mengangguk pelan dan Elsa bermurah hati membantu pekerjaannya. Sementara itu, Erwin sengaja mengajak Edwin kembali ke lantai dua lagi dan menaiki tangga dengan tergopoh-gopoh.

"Mas, sini, aku gak enak hati," ucap Erwin. Mereka berhenti di ruang tamu.

"Mas juga cemas, baru saja beberapa hari nikah, Intan udah ketemu dia," ucap Edwin. "ART yang rambutnya dikuncir sama setan putih itu. Jujur, kakak kamu ini gak tahu caranya ngusir dia."

"Mas, mungkin cuma Papa yang  selesaikan semuanya. Kuncinya ada di dia, cuma Papa yang bisa jawab. Masa istrimu mau jadi tumbal lagi? Gak mungkin," ucap Erwin.

Edwin menghela nafas, menatap fokus pada adiknya.

"Rumi ditemukan mati di halaman rumah, siapa pelakunya? Papa dan Mama kita, gitu? Atau setan peliharaan keluarga ini yang bikin dia mati?"

"Gak boleh tinggal diam, semua harus kita usut. Jangan sampai kita jadi penerus keburukan keluarga. Sumpah! Aku gak mau lihat Mas Edwin menderita. Kita cari orang pinter buat menerawang misteri keluarga ini," pinta Erwin.

Edwin mengangguk pelan disertai raut wajah yang tidak menyunggingkan senyum sama sekali. 

"Kita sarapan dulu saja, nanti kita bahas ya," ucap Edwin. 

Selesai sarapan, bel rumah berbunyi nyaring. Edwin membuka pintunya. Dan tampaklah seorang wanita tua yang berambut putih dan berkebaya warna pastel. Seraya tersenyum dan berkata," Edwin, cucu nenek. Gimana kabar kamu?"

"Nenek Diah," sapa Edwin, seraya memeluk neneknya dengan erat. "Ayo, masuk, kita udah lama pengen ketemu nenek."

Langkah Nenek Diah dan Edwin terhenti ketika berpapasan dengan Intan.

"Siapa kamu? Orang asing?" Tanya Nenek Diah.

"Dia istri baru saya, namanya Intan," jawab Edwin.

Nenek Diah tampak terkejut. Matanya mendelik pada Edwin dan berbisik," Kamu nikah lagi? Kenapa gak bilang dulu sama nenek?"

"Selamat pagi, nenek? Kenalkan, saya Intan," ucapnya sambil menyodorkan tangan kanan untuk berjabat.

Nenek Diah terdiam sejenak, belum mampu berkata-kata. 

"Dia istri saya, Intan. Maaf, saya gak bilang sama nenek. Kami saling mencintai," ucap Edwin.

"Oh, iya. Berarti kamu cucuku juga, tapi mana Erwin sama Elsa? Nenek cuma kangen kalian sama bapak kamu saja," tukasnya.

Nenek Diah menyimpan tas bawaannya di kursi. Dia lantas ke ruang lain sambil memanggil Erwin dan Elsa. Sementara itu, Intan dan Edwin masih berdiri termenung dan saling bertatapan.

"Dia ibunya Papa, namanya Raden Rara Diah Kusumadinata. Sebenarnya dia baik, tiap tiga bulan sekali ke rumah ini," ungkap Edwin.

"Oh, tapi masa cuma kangen cucu sama anaknya, mantunya gak disebut, kasihan juga Mama Rani," ucap Intan. "Kita sambangin dulu yuk!"

Intan dan Edwin bertandang ke ruang keluarga. Kebetulan Nenek Diah tengah sibuk melepas rindu sambil memeluk Erwin dan Elsa. 

"Boleh kan nenek nginep di sini?" Tanya beliau.

"Nenek boleh nginep di sini sampai kapanpun," sahut Edwin. 

"Tumben? Apa karena Mas Edwin baru punya istri lagi terus nenek pengen kenalan sama Kak Intan?" Tanya Elsa.

"Bukan, ada yang harus nenek bilang sama kalian, ini sudah waktunya. Kalian wajib tahu mumpung nenek masih hidup," ucap beliau.

Semuanya terdiam menyaksikan sosok tua yang tampak serius.

"Apa sih? Jangan main rahasia dong! Nenek kan baik, bilang sama aku saja," pinta Erwin.

"Kalian harus siap menerima kenyataan, mau manis atau pahit ya itu resiko, pastinya kalian harus legowo, semua demi Papa kalian juga," ucap Nenek Diah.

Edwin, Erwin dan Elsa menunggu-nunggu apa yang hendak dikatakan neneknya. Sayangnya, percakapan itu terganggu karena suara bell rumah berbunyi nyaring. 

Terdengar suara pintu terbuka diiringi hentakan sepatu yang kencang dan terburu-buru. Beberapa saat kemudian, muncul sosok tua yang berpakaian ala barat. Mengenakan topi berjaring yang menyamarkan wajah, jas putih dan rok hitam selutut.

"Hai cucuku," sapa dia.

"Oma Layla?" Elsa terkejut. Gadis itu langsung menyambut dan memeluk.

"Kabarnya Edwin sudah menikah lagi? Gak bilang-bilang sama Oma," keluh dia.

Edwin mengandeng tangan Intan lalu menghampiri sosok tua yang modis itu. 

"Sayang, kenalin, ini Oma Layla. Ibunya Mama Rani," ucap Edwin. "Istri saya ini bernama Intan, dia cerdas, cantik dan baik hati."

Intan menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan. Namun, Oma Layla seperti keberatan untuk bersalaman. 

"Layla, itu kan cucu kita juga," ucap Nenek Diah.

"Oh iya, Oma masih belum menyangka kamu nikah tapi gak bilang-bilang. Makanya kaget," sahut Oma Layla. "Di mobil ada makanan, oleh-oleh buat kalian. Sekarang Oma pengen ketemu Rani, di mana dia?"

"Oma Layla mau nginep juga?" Tanya Elsa.

"Enggak, sore juga pulang," tukasnya.

Oma Layla lantas menaiki tangga sambil memanggil Rani dengan suara keras. Getaran nadanya mampu membuat alat pendengaran pecah seketika.

"Dia muncul lagi, syukurlah kalau gak mau nginep," ucap Nenek Diah.

Matahari tepat di tengah-tengah langit, Edwin dan kedua adiknya sengaja mengajak neneknya untuk menikmati terik sinarnya di pinggir kolam renang.

Intan baru saja muncul membawakan makanan ringan. Ia berkata," Ini aku bawain snack sama bikin steak. Maaf ya, masak terus selama di sini."

"Di sini ada juru masak, istri idaman," ucap Edwin. "Lihat Mama sama Oma, gak?"

"Barusan aku lihat mereka lagi ngobrol di balkon lantai dua, mungkin lagi ada kepentingan lain," jawab Intan.

"Kalian udah ketemu makhluk itu, belum?" Tanya Nenek Diah. "Setan yang kayak kuntilanak?"

Pertanyaan Nenek Diah membuat mereka terhenyak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status