Nala dan Amel terkejut sampai menghentikan perkejaannya.
"Ada apa? Butuh bantuan?" Tanya Nala. "Nyonya pasti lelah ya, wajar sih kan pengantin baru."
"Barusan ada dia, pelayan yang rambutnya dikuncir kayak ekor kuda itu, dia di sini," ucap Intan. "Kok, kaki aku lemes gemetar begini, ya? Apa saking paniknya ketemu dia?"
"Itu hantu," tukas Amel.
"Di sini gak ada hantu!" Tegas Nala. "Sssstttt! Jangan nakutin! Dan ART yang dikuncir itu sebenarnya gak ada. Itu cuma halusinasi Nyonya Intan saja."
Kemudian, Edwin muncul. Matanya terbelalak mendapati masakan yang tengah diproses di atas wajan. Meskipun masih proses dimasak namun aroma dan tampilannya sungguh menggoda.
"Istriku pandai masak juga," ucap Edwin.
Tak berselang lama, muncul Erwin dan Elsa. Mereka menyambangi dapur dalam kondisi masih mengenakan pakaian tidur.
"Pagi, tumben pengantin baru udah eksis di dapur?" Tanya Erwin. Lalu, matanya melirik Intan. "Eh, kok rambutnya gak basah? Harusnya basah tuh!"
"Apaan sih! Jail banget lo jadi adik," sahut Edwin.
"Zaman sekarang pengantin baru itu kalau rambutnya basah ya pake pengering rambut dong," sambung Elsa. "Awas lo ya, Er! Kalau jadi pengantin baru pasti aku sindir kamu kalau pagi-pagi."
"Oh, kalian pandai bercanda juga ya," ucap Intan.
Edwin tidak ragu lagi menunjukkan kemesraannya, dia memeluk Intan di depan kedua adiknya.
"Cieeee, kalau gini terus bisa cepet punya keponakan," ucap Erwin.
"Sabar," ucap Intan. "Oh iya, kalian suka lihat ART rumah ini yang dikuncir kayak ekor kuda itu? Barusan dia ada di sini, malem tadi juga malah lebih mengerikan, untung aku cepet lupa. Aku dikejar setan tadi malam."
Erwin dan Elsa terdiam. Lantas, mereka hanya merespon dengan senyuman tipis sambil garuk-garuk kepala.
"Itu halusinasi, aku di sini bertahun-tahun malah gak pernah lihat begituan," ucap Elsa. "Ya kan, Er? Jawab lo!"
"Kayaknya istriku ini perlu ke orang pinter biar gak ketemu sama yang begituan lagi," ucap Edwin. "Hari ini gak usah ngajar dulu ya, saya mau ajak kamu ke suatu tempat."
Intan mengangguk pelan dan Elsa bermurah hati membantu pekerjaannya. Sementara itu, Erwin sengaja mengajak Edwin kembali ke lantai dua lagi dan menaiki tangga dengan tergopoh-gopoh.
"Mas, sini, aku gak enak hati," ucap Erwin. Mereka berhenti di ruang tamu.
"Mas juga cemas, baru saja beberapa hari nikah, Intan udah ketemu dia," ucap Edwin. "ART yang rambutnya dikuncir sama setan putih itu. Jujur, kakak kamu ini gak tahu caranya ngusir dia."
"Mas, mungkin cuma Papa yang selesaikan semuanya. Kuncinya ada di dia, cuma Papa yang bisa jawab. Masa istrimu mau jadi tumbal lagi? Gak mungkin," ucap Erwin.
Edwin menghela nafas, menatap fokus pada adiknya.
"Rumi ditemukan mati di halaman rumah, siapa pelakunya? Papa dan Mama kita, gitu? Atau setan peliharaan keluarga ini yang bikin dia mati?"
"Gak boleh tinggal diam, semua harus kita usut. Jangan sampai kita jadi penerus keburukan keluarga. Sumpah! Aku gak mau lihat Mas Edwin menderita. Kita cari orang pinter buat menerawang misteri keluarga ini," pinta Erwin.
Edwin mengangguk pelan disertai raut wajah yang tidak menyunggingkan senyum sama sekali.
"Kita sarapan dulu saja, nanti kita bahas ya," ucap Edwin.
Selesai sarapan, bel rumah berbunyi nyaring. Edwin membuka pintunya. Dan tampaklah seorang wanita tua yang berambut putih dan berkebaya warna pastel. Seraya tersenyum dan berkata," Edwin, cucu nenek. Gimana kabar kamu?"
"Nenek Diah," sapa Edwin, seraya memeluk neneknya dengan erat. "Ayo, masuk, kita udah lama pengen ketemu nenek."
Langkah Nenek Diah dan Edwin terhenti ketika berpapasan dengan Intan.
"Siapa kamu? Orang asing?" Tanya Nenek Diah.
"Dia istri baru saya, namanya Intan," jawab Edwin.
Nenek Diah tampak terkejut. Matanya mendelik pada Edwin dan berbisik," Kamu nikah lagi? Kenapa gak bilang dulu sama nenek?"
"Selamat pagi, nenek? Kenalkan, saya Intan," ucapnya sambil menyodorkan tangan kanan untuk berjabat.
Nenek Diah terdiam sejenak, belum mampu berkata-kata.
"Dia istri saya, Intan. Maaf, saya gak bilang sama nenek. Kami saling mencintai," ucap Edwin.
"Oh, iya. Berarti kamu cucuku juga, tapi mana Erwin sama Elsa? Nenek cuma kangen kalian sama bapak kamu saja," tukasnya.
Nenek Diah menyimpan tas bawaannya di kursi. Dia lantas ke ruang lain sambil memanggil Erwin dan Elsa. Sementara itu, Intan dan Edwin masih berdiri termenung dan saling bertatapan.
"Dia ibunya Papa, namanya Raden Rara Diah Kusumadinata. Sebenarnya dia baik, tiap tiga bulan sekali ke rumah ini," ungkap Edwin.
"Oh, tapi masa cuma kangen cucu sama anaknya, mantunya gak disebut, kasihan juga Mama Rani," ucap Intan. "Kita sambangin dulu yuk!"
Intan dan Edwin bertandang ke ruang keluarga. Kebetulan Nenek Diah tengah sibuk melepas rindu sambil memeluk Erwin dan Elsa.
"Boleh kan nenek nginep di sini?" Tanya beliau.
"Nenek boleh nginep di sini sampai kapanpun," sahut Edwin.
"Tumben? Apa karena Mas Edwin baru punya istri lagi terus nenek pengen kenalan sama Kak Intan?" Tanya Elsa.
"Bukan, ada yang harus nenek bilang sama kalian, ini sudah waktunya. Kalian wajib tahu mumpung nenek masih hidup," ucap beliau.
Semuanya terdiam menyaksikan sosok tua yang tampak serius.
"Apa sih? Jangan main rahasia dong! Nenek kan baik, bilang sama aku saja," pinta Erwin.
"Kalian harus siap menerima kenyataan, mau manis atau pahit ya itu resiko, pastinya kalian harus legowo, semua demi Papa kalian juga," ucap Nenek Diah.
Edwin, Erwin dan Elsa menunggu-nunggu apa yang hendak dikatakan neneknya. Sayangnya, percakapan itu terganggu karena suara bell rumah berbunyi nyaring.
Terdengar suara pintu terbuka diiringi hentakan sepatu yang kencang dan terburu-buru. Beberapa saat kemudian, muncul sosok tua yang berpakaian ala barat. Mengenakan topi berjaring yang menyamarkan wajah, jas putih dan rok hitam selutut.
"Hai cucuku," sapa dia.
"Oma Layla?" Elsa terkejut. Gadis itu langsung menyambut dan memeluk.
"Kabarnya Edwin sudah menikah lagi? Gak bilang-bilang sama Oma," keluh dia.
Edwin mengandeng tangan Intan lalu menghampiri sosok tua yang modis itu.
"Sayang, kenalin, ini Oma Layla. Ibunya Mama Rani," ucap Edwin. "Istri saya ini bernama Intan, dia cerdas, cantik dan baik hati."
Intan menyodorkan tangan kanannya untuk berjabat tangan. Namun, Oma Layla seperti keberatan untuk bersalaman.
"Layla, itu kan cucu kita juga," ucap Nenek Diah.
"Oh iya, Oma masih belum menyangka kamu nikah tapi gak bilang-bilang. Makanya kaget," sahut Oma Layla. "Di mobil ada makanan, oleh-oleh buat kalian. Sekarang Oma pengen ketemu Rani, di mana dia?"
"Oma Layla mau nginep juga?" Tanya Elsa.
"Enggak, sore juga pulang," tukasnya.
Oma Layla lantas menaiki tangga sambil memanggil Rani dengan suara keras. Getaran nadanya mampu membuat alat pendengaran pecah seketika.
"Dia muncul lagi, syukurlah kalau gak mau nginep," ucap Nenek Diah.
Matahari tepat di tengah-tengah langit, Edwin dan kedua adiknya sengaja mengajak neneknya untuk menikmati terik sinarnya di pinggir kolam renang.
Intan baru saja muncul membawakan makanan ringan. Ia berkata," Ini aku bawain snack sama bikin steak. Maaf ya, masak terus selama di sini."
"Di sini ada juru masak, istri idaman," ucap Edwin. "Lihat Mama sama Oma, gak?"
"Barusan aku lihat mereka lagi ngobrol di balkon lantai dua, mungkin lagi ada kepentingan lain," jawab Intan.
"Kalian udah ketemu makhluk itu, belum?" Tanya Nenek Diah. "Setan yang kayak kuntilanak?"
Pertanyaan Nenek Diah membuat mereka terhenyak.
Saking kagetnya, Edwin sampai menampar wajah Nala karena yang dia lihat adalah sosok hitam berwajah datar."Pak, hentikan! Jangan pukul saya!" Teriak Nala."Kamu setan di rumah ini, pergi kamu!" Teriak Edwin.Suara teriakan Edwin dan Nala sampai menggema di seluruh ruangan, terdengar hingga ke lantai utama. Tak lama kemudian, datang Erwin dan Amel sampai berlari menyambangi lantai dua dan mereka menemukan Edwin sedang menjambak Nala. Erwin bergegas memisahkan mereka berdua. Sampai Erwin terkena hantaman tangan Edwin."Mas, jangan, Mas! Kasihan dia, Mas!" Pinta Erwin."Diam, dia setan. Ngapain juga ada di kamar Mama!" Teriak Edwin."Mas, dia Nala. Hentikan!" Teriak Erwin. Saking emosinya, dia sampai menghantam tangan Edwin yang menjambak rambut Nala.Sejenak, suasana kembali tenang. Namun, rambut Nala sudah gimbal dan wajahnya agak lebam. Amel memeluknya dengan erat dan menahan tubuhnya agar tidak terjatuh.Edwin pun baru sadar bahwa yang baru saja dia jambak adalah Nala. Dia langsung
Kemudian, beberapa warga berkerumun di depan rumah. Mereka hendak menghentikan Rudi yang akan melesatkan peluru. Nahas, Rudi memberontak dan memaki-maki orang sekitarnya."Pergi kalian semua! Jangan diem di depan rumah gue, sialan!"Salah satu warga menghampiri Edwin. Seorang pria berambut putih berkata," Pak, dia memang agak stress, sebaiknya bapak pulang saja."Semua warga yang berkerumun menyuruh Edwin untuk pulang demi keamanan. Namun, langkahnya terhenti oleh wanita gemuk yang bernama Mpok Mia yang baru saja datang."Rud, lo kenapa marah-marah gitu?""Mpok, itu anak-anak Kusumadinata yang dulu jadi majikan anak lo yang mati, itu dia!"Mpok Mia menoleh, tapi seperti ragu mendekat."Bu, boleh kita bicara sebentar saja," pinta Edwin. "Iya, iya, boleh. Tapi jangan di sini, ini rumah adik saya," jawab Mpok Mia. Tiba-tiba Rudi mengerang kesakitan di bagian dada kirinya. Dia melunglai lemas dan memuntahkan darah.Mpok Mia bergegas menolong adiknya yang berteriak-teriak kesakitan. Semu
Intan bersikeras mendekati Nala. ART itu belum juga menyahut meski majikan sudah meninggikan suara untuk memanggil. Intan pun hendak mencolek punggung Nala. Namun dia ragu. Lantas, Nala tertawa cekikikan dan mulai menengadahkan kepalanya ke atas. "Nala, kamu baik-baik saja, kan?" "Babu kayak saya ini nggak ada artinya buat kalian," sahut Nala lantang. "Apalagi di depan nenek tua yang haus kekayaan." "Maksud kamu apa, Nala?" Tanya Intan. "Dasar majikan bodoh!" Hardik Nala. Amel baru saja masuk kamar, dia tersentak kaget menyaksikan Nala yang bergelagat aneh sampai membuatnya bernafas tersengal-sengal. "Bu, kayaknya Nala kerasukan deh," ucapnya. Kemudian, Nala menoleh, menunjukkan wajah yang pucat dan mata yang putih. Dia menyeringai dan tertawa cekikikan. Tiba-tiba saja, Nala muntah, lehernya seperti tercekik, dia berteriak kesakitan sampai terjatuh dan menggulingkan badannya di lantai. "Astaghfirullah, Nala!" Teriak Intan. Akhirnya, Nala batuk-batuk, memuntahkan cairan hi
Elsa meringis ketika mendapati kedua tangan kakak kandungnya yang berlumuran darah sambil melambaikan tangannya seperti meminta tolong. "Elsa!" Teriak Edwin.Elsa bergegas menolong. Kemudian, menghampiri jendela. Sayangnya, Edwin semakin menjauh sampai Elsa kesulitan meraih tangan kakaknya itu."Elsa! Sadar, Els!" Teriak Dhea.Dalam pandangannya, Elsa menyaksikan Edwin hendak melompat, seperti mau bunuh diri. Di saat itulah, Elsa nekad meraih tangan kakaknya. "Mas, jangan lompat!" "Elsa, jangan lompat!" Teriak mahasiswa yang menolongnya.Elsa terus memberontak ketika semua mahasiswa menahan badannya. "Itu kakak gue jatuh ke bawah! Mas Edwin, jangan lompat, Mas!"Bruk!Akhirnya, Elsa berhasil melompat lalu terjatuh ke atap lantai satu dan tergeletak pingsan.Satu jam kemudian, Elsa baru bisa membuka kedua matanya. Yang dia lihat hanya ruangan serba putih dan lampu neon yang menerangi ruangan."Elsa, syukurlah, kamu udah sadar," ucap Intan. "Kak, mana Mas Edwin? Dia baik-baik saja,
Kamar mendiang Nenek Diah tampak berantakan, kumuh dan bau pesing. Ada air menggenang di lantai dan dikerumuni kumbang. "Mas, ada apa?" Sahut Elsa. Baru saja membuka pintu, dia langsung muntah-muntah. "Bau banget!""Mas, pagi-pagi udah teriak," keluh Intan. "Ada apa--"Intan terbelalak dan langsung menutup hidungnya. Dia bergegas mengambil masker untuk menutupi mulut dan penciumannya."Mas, gue mau ngopi, ngapain manggil gue?""Lihat, perbuatan siapa di sini?" Spontan, Erwin menyemburkan kopi dari mulutnya. "Bau banget!"Tak lama kemudian, Intan menghampiri sambil menyodorkan masker penutup mulut dan hidung. Kendati, agar mereka leluasa memeriksa kondisi di dalam kamar yang sudah kosong itu."Ini bukan air biasa, ini air seni," gumam Edwin. "Masa di sini ada yang pipis," gerutu Elsa. "Jijik banget!"Lalu, mereka mendongak ke atas, mendapati CCTV yang sudah pecah dan serpihannya berhamburan di lantai. "Oh, dia merusak cctv dulu sebelum beraksi, itu pelaku cerdik juga ya," gumam Er
Tiba-tiba saja Elsa memuntahkan cairan berwarna cokelat. Dia batuk-batuk sampai tidak kuat menahan rasa sakitnya. "Kita ke RS sekarang, sambil nengok Papa," ajak Intan. Malam yang gelap, terpaksa mereka bertandang ke RS. Semula, Elsa tampak parah dan pucat pasi, namun ketika di perjalanan dia seperti bukan orang sakit.Setelah diobservasi dan cek laboratorium, hasilnya tidak ditemukan penyakit apapun. "Kalau begini ya enggak usah ke RS," protes Elsa. "Aku mau nengok Papa dulu."Mereka bertiga lantas mengunjungi ruang ICU. Orang tua yang mereka rindukan masih terkapar lemah di atas ranjang, berselimut kain putih dan hidung yang dipasang selang oksigen."Mau sampai kapan Papa kayak gini! Sadar dong, Pa!" Gerutu Elsa. "Papa harus pulang, harus sehat lagi, jangan pergi dulu, Pa! Elsa kangen."Elsa meringis, terisak-isak sampai suara tangisnya menggema di seluruh ruangan."Elsa, udah kita pulang sekarang. Jangan nangis di sini, Papa kan udah ada yang ngurus, kita percayakan urusan sama