Share

Bab 6. Pesan Dari Nenek Diah

"Makhluk apa? Jadi penasaran," sahut Elsa. 

Nenek Diah duduk terlebih dahulu di kursi dekat pintu. Tatapan matanya memandang fokus ke arah Edwin. 

"Sebenarnya makhluk itu harus diusir, jangan sampai ada di rumah ini. Kalian mesti nyari orang pintar buat bantuin, nenek gak mau kalian jadi korban. Sudah lama nenek menyimpan rahasia ini dari kalian," terangnya.

"Rahasia?" Edwin mengerutkan keningnya lalu mendekati Nenek Diah. 

Tiba-tiba saja wanita tua itu membuang wajah dari tatapan Edwin. 

"Rahasia apa? Soal tumbal pengantin itu, ya?" Tanya Edwin.

"Bukan! Bukan! Enggak ada tumbal pengantin di keluarga ini! Kusumadinata itu nama kakek kalian, kami terhormat dan sama sekali gak pernah main licik!" Gerutunya. 

Edwin, Elsa, dan Erwin saling bertatapan. Kemudian, mereka memeluk neneknya sambil menyeka air mata di pipi yang sudah bergelambir itu. 

"Saya mau Intan selamat. Tapi, bilang sama saya, apa dulu Papa sempat menikah dengan wanita pertama? Maksud saya apa Papa punya istri pertama yang mati juga?" Tanya Edwin.

Nenek Diah terbelalak, matanya berkaca-kaca. 

"Itu sih mau nenek--"

"Kalian, gak kangen sama Oma Layla yang cantik ini? Sini dong cucu-cucuku, Oma pengen meluk." Oma Layla tiba-tiba memotong pembicaraan. 

Percakapan itu terhenti gara-gara Oma Layla menyapa dengan nada yang keras. 

"Oma," sahut Elsa. Seraya memeluk dengan erat. "Mas Edwin, Erwin, gak kangen sama Oma?"

"Gak apa-apa, Oma mau pulang lagi, ada oleh-oleh tuh di ruang tamu, suruh Nala buat beresin ya, bawa ke dapur, simpen di kulkas biar aman," pinta Oma Layla. 

"Makasih ya, Oma. Senang kenalan sama Oma Layla. Bagi-bagi resep cantik dan awet mudanya dong," canda Intan. 

"Oh, istri Edwin yang baru ya, senang kenalan sama kamu, nak. Lain kali main ya ke rumah, tapi sekarang saya harus pulang, biasa ada urusan penting. Gak apa-apa kan sayang-sayangku? Oma pergi dulu," pamitnya.

Tanpa bersalaman dahulu dengan cucunya, dia pergi begitu saja. Edwin dan Intan mengantarkan beliau sampai ke depan rumah. Namun, Intan merasa canggung karena ada ibu mertuanya yang sudah lebih dulu menunggu.

"Padahal kita masih kangen sama Oma Layla, lain kali nginep ya, Edwin pengen cerita banyak, apalagi soal program anak," ucapnya.

Oma Layla terdiam sejenak. Seraya membuka topinya dahulu lalu menyentuh kening Edwin.

"Gak salah mau program anak? Kalau begitu, ya kalian berdua mesti tenang, sabar, banyak ikhtiar juga ke dokter," pintanya.

"Udahlah, kan mau berangkat ke Aussie, jangan kelamaan di sini," protes Rani. Dia memeluk ibunya terlebih dahulu sebelum pergi.

"Mudah-mudahan bulan depan kita ketemu dan panjang umur ya. Dadah cucuku," pamit Oma Layla sambil melambaikan tangan.

Intan tertawa terbahak-bahak setelah Oma Layla pergi. 

"Aneh banget, panjang umur katanya."

Mereka kembali masuk rumah, menyambangi dapur dan menemukan banyak makanan oleh-oleh dari Oma Layla. Sampai kedua ART kewalahan sibuk membereskan makanan kemasan berisi dodol dan kerupuk.

"Nala, Amel, kalian masukan saja makanan itu ke wadah, kalau di kulkas gak bakalan masuk," suruh Edwin.

"Baik, Pak," sahut Nala.

Kemudian, terdengar suara batuk-batuk dari Nenek Diah sampai berdahak hingga muntah-muntah.

"Nala, tolong bikin air hangat, makanan sama obat batuk buat nenek, bawa ke kamar ya," suruh Edwin. 

Mereka lantas ke lantai dua untuk melihat kondisi neneknya. Namun, Intan dan Edwin dikejutkan oleh pemandangan langka. Ayahnya, Erik Kusumadinata rupanya sedang berhadapan dengan ibunya sendiri yaitu Nenek Diah. 

Tampak pemandangan yang mengharukan, Nenek Diah mengusap kepala Erik dengan lembut. "Kamu yang sabar, kuat dan harus tangguh. Ada yang mesti kamu katakan sama mereka."

"Nenek, bukannya barusan batuk, ya? Minum obat ya," pinta Edwin.

Tak berselang lama, muncul Nala membawakan air hangat, makanan dan obat di atas baki emas. Seraya menyimpannya di meja, tepat di hadapan Nenek Diah.

"Silahkan dimakan, dodolnya enak," ucap Nala. Dia kembali lagi ke lantai utama.

Intan menghampiri Nenek Diah, memijat tangannya yang sudah bergelambir, ia berkata," Suatu saat aku pasti begini."

Lantas, Nenek Diah meneguk segelas air hangat itu lalu menyantap dodol manis separuhnya saja. Sisanya dia celupkan ke dalam cangkir.

"Obatnya, nek. Biar sembuh," pinta Edwin. 

Cucu yang paling besar itu sudi menaruh satu sendok obat batuk lalu dia suapkan ke mulut neneknya. 

"Kangen begini lagi, kayak dulu waktu kecil," ucap Edwin. "Oh, iya. Nenek mau bilang apa sama kita? Mumpung ada saya sama Intan di sini."

Nenek Diah berurai air mata, terisak-isak dan menyeka bulir bening yang menetes. 

"Kenapa?"

"Edwin, nenek cuma bisa ngasih alamat orang ini dulu," ucap beliau. Nenek Diah menuliskan sesuatu di atas secarik kertas, dia berikan pada cucunya. Lalu, dia berkata dengan berbisik. "Cari alamat Ibu Idah ya, dan ada lubang rahasia di kamar Papa kamu. Cari saja, ada isinya."

Nenek Diah malah batuk-batuk dan hampir muntah sampai memegang perutnya.

"Aduh, boleh nenek istirahat dulu? Nanti saja ceritanya ya," pintanya.

Intan bergegas mengantarkan beliau ke kamar khusus. Sementara itu, Edwin masih melirik alamat yang tertulis di secarik kertas sambil menghadap ayahnya, Papa Erik.

"Ibu Idah itu siapa ya? Papa kenal dia?"

Papa Erik malah menitikkan air mata. 

"Kita ke dokter lagi besok, Papa harus sembuh ya, Edwin pasti kasih cucu buat Papa dan Mama," ucapnya sambil memeluk ayahnya.

Sore hari tiba, Edwin mengajak ayahnya ke lantai utama. Dengan murah hati dia mendorong kursi roda untuk menyambangi dapur.

"Mas, mau makan snack dari Oma Layla, gak?" Tanya Intan. 

"Mana dong, mau sini!" Teriak Erwin.

"Aku juga, jangan dihabisin lo!" Protes Elsa.

"Makanan dari Ibu Layla sudah saya simpan di wadah," ucap Nala sambil membawa wadah besar berisi makanan itu.

Nahas, Edwin tak sengaja menyenggol panci berisi air lalu menumpahi semua makanan itu. 

"Yah, Mas Edwin, gimana ini!" Keluh Elsa.

"Maaf, gak sengaja. Aduh, kalau kalian mau, Mas bisa order, ini udah gak bisa dimakan lagi. Buang saja ke tong sampah," pinta Edwin.

Akhirnya, ART membuang makanan itu ke tong sampah yang ada di depan rumah. 

"Kasihan Oma Layla, udah capek-capek bawain makanan buat kita malah kebuang percuma," keluh Elsa. 

Malam harinya, Edwin dan Intan menengok Nenek Diah ke kamarnya. Sesepuh yang mereka hormati masih terdengar batuk-batuk dan hampir mau muntah. 

"Nenek tidur di kamar saya ya, mau?" Tanya Edwin.

"Kita ke rumah sakit sekarang, nenek udah pucat," pinta Intan. Seraya menyentuh kening wanita tua itu untuk memeriksa suhu badan.

"Enggak usah, nenek mau di sini saja. Minum obat saja sudah bikin nenek tidur, mana obatnya?" Tanya beliau. 

Seraya meneguk obatnya langsung dari botol, ditutup dengan seteguk air hangat. 

"Nenek mau tidur," pintanya. "Ingat pesan nenek ya, nak."

Edwin tersenyum sambil mengangguk, menyelimuti neneknya sebelum keluar kamar. Beberapa saat kemudian, dia langsung tertidur pulas. 

***

Jam dua belas malam, Nenek Diah dibangunkan oleh ketukan pintu yang nyaring disertai dengan suara wanita yang memanggil namanya.

"Nenek, nenek."

Sambil batuk-batuk, Nenek Diah beranjak dan hendak membuka pintu. Sayangnya, kaki terpeleset sampai tersungkur. 

Dia batuk-batuk lagi lalu memuntahkan cairan hitam. 

"Kenapa aneh ya? Jangan-jangan ini perbuatan si--"

Duk!

Suara hentakan di depan pintu terdengar kencang. Kemudian, terlihat ada bayangan hitam menelusup masuk ke kamar lewat celah-celah lubang udara. Dia merayap seperti ular dan berhenti tepat di hadapan Nenek Diah.

"Apakah ini pertanda bahwa saya akan--"

Wush...

Makhluk itu menerkam.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status