Share

Bab 4. ART Yang Misterius

Intan melarikan diri keluar rumah dan Edwin menyusulnya. 

"Intan, tunggu!" Teriak Edwin. Sekuat tenaga dia meraih tangan istrinya. 

"Jelaskan semuanya, Mas! Kalian punya tujuan apa? Aku mau terlibat apa!" Gerutu Intan. 

Edwin memeluk Intan dan berusaha membuatnya tenang. 

"Saya bisa jelaskan semuanya sama kamu. Tapi, saya benar-benar minta maaf, saya sayang sama kamu dan saya gak mau kamu jadi korban berikutnya. Ini soal tradisi keluarga, tapi saya sudah muak, benar-benar muak!"

"Tradisi apa? Jujur saja, kita sudah syah jadi suami istri, gak perlu ada yang ditutupi lagi," protes Intan. 

Karena Edwin tak mau banyak menjelaskan, Intan pun melengos tanpa mempedulikan apa-apa lagi. Begitu masuk rumah, dia berpapasan dengan Rani, mertuanya.

"Nitip Papa Erik, ya? Mama mau pesta dulu sama teman arisan," pinta Rani. 

Intan tak sudi menyahut. Dia lantas ke kamarnya dan langsung membuka lemari. Mengobrak-abrik semua pakaian hingga berjatuhan.

"Pelayan udah kerja keras buat beresin lemari kamu, sekarang mau apa?" Tanya Edwin.

"Mau ambil baju punyaku, aku mau pergi saja. Di sini gak aman," sahut Intan.

Bruk!

Sebuah foto berfigura kecil tanpa sengaja terjatuh. Posisi awalnya terselip di antara lipatan pakaian wanita. 

Intan memungutnya. Tampak foto pernikahan Edwin dengan wanita lain, mengenakan pakaian pengantin ala barat dan posisinya sedang bergandengan tangan.

"Ini istri kamu, Mas? Siapa dia?" Tanya Intan.

Edwin malah merebutnya, ia berkata," Jangan dulu tanya ini itu. Bukan waktunya! Kamu tetap di sini, ya. Saya mohon."

Malam hari tiba, hujan turun deras, kilatan cahaya petir menambah suasana mencekam setelah lampu kristal padam.

Jam dua belas malam, hujan mulai reda. Intan terbangun dan mendapati suaminya tengah tidur lelap. 

"Kebiasaan malam begini suka haus," keluhnya.

Lalu, dia memberanikan diri ke dapur sendirian. Padahal seisi ruangan sudah gelap. Terlihat, ada seorang pelayan yang melintas, berjalan menuju dapur.

"Aneh, dia belum tidur," gumam Intan. Ia lanjut ke dapur tapi tidak menemukan siapapun.

Kemudian, terdengar suara tangis yang lirih di belakang. Perlahan-lahan Intan menoleh. 

"Siapa yang nangis?" Tanya Intan. 

Terlihat, ada siluet badan wanita di dinding, bayangan hitam itu seperti sedang mengawasi pergerakan Intan. Dan terdengarlah suara parau yang menggema.

"Kau, ikuti aku."

Kemudian, sosok itu menampakkan diri di hadapannya. Makhluk berupa asap putih melayang di langit-langit. Intan pun terbelalak dan langsung berlari terbirit-birit menuju kamar.

Ketika hendak membuka pintu, ternyata sudah terkunci rapat. 

"Mas, buka pintunya!"

Setelah beberapa kali berteriak, akhirnya pintu terbuka. Intan memeluk Edwin dengan erat sambil meringis. 

Wanita itu duduk di atas ranjang sambil menghirup nafas. Penampakan makhluk aneh itu masih terngiang-ngiang di pikirannya. Sebentar-sebentar Intan melirik ke pintu, sebentar-sebentar melirik ke cermin.

"Kenapa pintu kamar bisa terkunci?" Gumam Edwin. 

"Mungkin ada setan yang masuk," sahut Intan. "Ada hantu yang hampir bunuh aku. Kita perlu manggil orang pinter buat ngusir dia."

Edwin tertawa geli. Ia lantas mengambil sebuah foto pernikahannya dengan wanita lain. 

"Mumpung tengah malam, saya mau cerita singkat saja. Di foto ini adalah mendiang istri pertama saya, nama dia Rumi. Dia mati mengenaskan di depan rumah setahun lalu, bukan dia saja tapi juga ada beberapa pelayan yang ikut mati. Tradisi keluarga ini memang aneh dan menyesatkan," terang Edwin. 

Edwin memeluk Intan dahulu sebelum melanjutkan percakapan. 

"Terus apa lagi, Mas?" 

"Kusumadinata punya tradisi aneh yaitu setiap istri pertama anak lelakinya akan mati," jawabnya.

Intan terbelalak. "Istri pertama anak lelaki akan mati? Itu artinya bisa saja Papa pernah nikah sama wanita pertama dan dia mati juga?"

"Justru itu yang mau saya usut. Kamu lihat sikap Mama Rani seperti apa? Saya dan kedua adik enggak pernah sekalipun merasa bahwa dia adalah ibu kandung kami," ungkap Edwin.

"Mama Rani bilang aku akan terlibat. Artinya aku juga calon mati? Itu tumbal namanya, aku gak rela kalau pernikahan kita berakhir mengenaskan. Kita usut sampai tuntas untuk menyelamatkan nyawa keluarga ini," tukas Intan.

Edwin memeluknya lagi. Dia tidak mau lagi menunjukkan air matanya yang mengalir deras.

"Saya sayang sama kamu. Maaf, kalau pernikahan ini jadi malapetaka," ucapnya lirih.

"Waktu menikahi Rumi, apa kamu sempat menyentuh dia?" Tanya Intan lagi. 

Edwin geleng-geleng kepala. 

"Jadi ini tujuannya kamu belum sentuh aku karena mungkin sejenis syarat, istri yang akan mati harus benar-benar perawan?" Gumam Intan. "Itu artinya kamu mau jadikan aku tumbal berikutnya, Mas! Jujur saja!"

"Tidak, jujur saja saya gak mau kamu jadi korban. Sayang, kamu mau kan kerjasama, kita usut semua misteri keluarga ini," pinta Edwin dengan wajah memelas.

Intan tersenyum tipis. Dia lanjut merebahkan badannya di atas ranjang. Edwin mengecupnya sebelum tidur dan memeluknya dengan erat.

"Mas, besok aku mau ngajar lagi ke kampus, biar gak bosen," ucap Intan. 

"Harusnya kita bulan madu. Maaf, saya belum bisa memenuhi kebahagiaan pernikahan ini. Ada masalah yang harus diselesaikan dulu. Selamat tidur ya, Sayang," ucap Edwin.

Cahaya matahari sudah merasuk ke celah-celah lubang udara dan jendela. Kebiasaan Intan jika sudah bangun dari tidurnya biasa langsung beres-beres rumah. Namun, kali ini harus terbiasa langsung membersihkan badan dan lanjut ke dapur untuk memasak.

Jam tujuh pagi, Intan menyambangi dapur sendirian. Tampak ada seorang ART berseragam warna hitam sedang mencuci piring. 

"Pagi," sapa Intan.

Dia menjawab dengan nada datar," Pagi."

"Jam segini kenapa belum pada bangun ya? Harusnya jam tujuh udah pada sarapan, keluarga ini pemalas," ucap Intan.

Tiba-tiba hening. Suara denting piring dan gelas tak terdengar lagi. 

"Bi, nyuci piringnya udah?" Tanya Intan. Ia menoleh ke belakang. Tapi, tiba-tiba saja ART itu menghilang.

Intan hanya mendapati puluhan piring dan gelas yang tampak masih kotor dan menumpuk di wastafel.

"Ke mana dia? Barusan siapa ya?" Gumamnya.

Tak berselang lama, Intan dibuat terkejut karena kemunculan dua orang ART yang sudah mengenakan seragam ala Eropa warna abu dan luaran warna putih.

"Nyonya rajin amat, maaf ya kami seharusnya ke dapur lebih awal, tapi malah keduluan sama majikan sendiri. Aduh, kami malu," ucap dia.

"Gak apa-apa, barusan ada ART yang udah duluan nyuci piring, tapi dia malah pergi entah ke mana," ucap Intan.

Dua pelayan itu saling bertatapan.

"Nama kalian siapa sih? Aku belum kenal, boleh tahu namanya?" Tanya Intan.

"Saya yang rambut pendek biasa dipanggil Nala, yang rambut kriting dipanggil Amel," ungkapnya. "Sini, biar kami saja yang nyuci piring. Dan kami berdua baru saja ke dapur."

"Barusan ada yang ART yang dikuncir kayak ekor kuda itu," tukas Intan. Ia lanjut membuka kulkas, mengambil beberapa macam sayuran dan langsung dia iris. 

Sebentar-sebentar dia melirik ke tempat cuci piring kemudian mengalihkan pandangannya ke semua makanan di depan matanya. Dia melirik lagi ke belakang, terlihat ada sosok pelayan berkuncir mirip ekor kuda seperti sedang mengawasi.

"Bi, itu dia!" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status