"Mau pergi ke mana?" tanya Sera. Ia yang sudah tertidur beberapa saat itu terbangun karena terganggu oleh sesuatu.
Ternyata Ardhi sedang mengepak pakaian ke dalam koper mini yang biasa dipakai oleh laki-laki itu saat bepergian ke luar kota.
Ardhi mendongak. Menghentikan gerakan tangannya dan menatap Sera yang terduduk di atas ranjang dengan wajah mengantuk. "Sudah saya bilang, saya yang akan keluar dari apartemen sampai situasi tenang," ujar Ardhi dengan tenang.
Sera memproses ucapan Ardhi cukup lama. Otaknya belum mampu bekerja dengan baik karena masih dalam mode 'tidur'.
"Kamu mau pergi? Ke mana?"
"Ke apartemen saya yang lain," jawab Ardhi.
"Kenapa?"
"Kenapa?" Ardhi membeo. Laki-laki itu menatap Sera dengan serius. "Kamu bisa memutuskan sendiri mau percaya perkataan saya atau tidak. Ada dua orang wartawan yang menguntit saya selama beberapa hari terakhir sejak saya kembali dari Italia. Mereka ini orang-orang yang cukup nekat
Hari tenang dan damai tampaknya tak mau berlama-lama bernaung dalam kehidupan Sera dan Ardhi. Masih belum genap satu minggu sejak Sera terkurung di apartemen dan menjalani hari-hari membosankan dari pagi hingga sore sendirian. Hari ini, di sore hari yang begitu cerah, Ardhi pulang membawa amarah. Ardhi yang akhir-akhir ini bersikap cukup baik kepada Sera itu sudah tidak ada lagi. Sosok itu hilang tertelan oleh amarah yang merajai. Sera baru keluar dari kamar mandi saat laki-laki itu mendekat dengan mata berkobar penuh emosi dan dengan gerakan yang begitu cepat, Ardhi melemparkan foto-foto yang berada di genggamannya hingga jatuh bertebaran di sekitar kaki Sera berpijak. "Kamu marah-marah karena informasi palsu tentang saya dan Thalia, tapi kamu diam-diam melakukan ini di belakang saya?!" teriak Ardhi. Aura dingin dan menyeramkan menguar di sekeliling laki-laki itu. Sera menggigil. Dengan gemetar ia berjongkok untuk memunguti foto-foto yang berserakan di lanta
Ardhi tak seharusnya membuat Sera kembali dilanda ketidakpastian. Padahal, Ardhi bisa langsung mengiakan kemauan Sera. Dengan begitu, ia tidak akan dibuat pusing oleh diamnya Sera selama dua hari belakangan. Hubungan keduanya kembali dingin. Namun, kali ini bukan karena sikap Ardhi, melainkan Sera-lah yang membentengi diri. Sera tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa di pagi hari. Menyiapkan sarapan dan kopi, memasangkan dasi, mengantar Ardhi berangkat kerja hingga depan pintu, menjawab pertanyaan yang dilontarkan laki-laki itu. Namun, tetap ada perbedaan yang nyata. Sera hanya menjawab seadanya dan selalu singkat. Seperti tidak mau memberi celah kepada Ardhi agar bisa mengajak Sera untuk mengobrol lebih jauh. Wanita itu juga lebih banyak menghabiskan waktu di kamar sebelah. Entah melakukan apa, yang jelas setiap Ardhi pulang dari kantor, Sera akan mengurung diri di kamar sebelah sampai larut malam. Atau ia berada di mana saja, selama tidak ada Ardhi di s
Hari demi hari, hubungan Sera dan Ardhi bukannya membaik, tetapi malah semakin renggang. Ardhi masih kukuh pada pilihannya dan masih belum memberikan keputusan.Pernikahan yang sejak awal tidak benar-benar berjalan baik itu semakin hambar. Hari demi hari berlalu dalam hening dan mencekam.Sekembalinya Ardhi dari Surabaya, suasana apartemen semakin suram. Sera sibuk dengan kegiatan-entah-apa-itu di kamar sebelah. Dan Ardhi pun sibuk di ruang kerja. Menenggelamkan diri pada pekerjaan hingga larut.Hal ini berlangsung hampir dua minggu. Sera tidak mengerti apa yang sebenarnya menahan Ardhi hingga laki-laki itu tak mau memilih antara melepaskan dirinya atau mengikat dirinya dalam pernikahan yang sah secara hukum dan agama.Hali ini membuat Sera berada di posisi yang serba salah. Sebagai seorang wanita yang sudah bersuami, tentu saja Sera menginginkan sebuah pengakuan dan kepastian hukum terkait statusnya. Namun, mengingat hubungannya dengan Ardhi belum sepenu
Bu Sera kelihatannya sangat khawatir kepada Bapak," kata Adi setelah sambungan yang terhubung dengan Sera terputus. Ardhi yang saat ini setengah berbaring di atas brangkar di sebuah kamar VVIP di rumah sakit itu menatap Adi dengan tatapan lurus. Wajah pucatnya tidak menampilkan ekspresi apa pun. "Kantor bagaimana?" tanya Ardhi. Mengabaikan perkataan Adi tentang Sera. Tadi siang, mereka terpaksa meninggalkan meeting karena kondisi Ardhi yang memburuk. Pagi harinya, Ardhi sudah mulai merasa kalau tubuhnya agak kurang baik. Ia pikir akan hilang begitu saja saat ia pakai untuk bekerja, tetapi ternyata ia salah kira. Tubuhnya protes dan minta diistirahatkan dengan segera. Walau sesungguhnya, Ardhi tahu betul apa yang menyebabkan dirinya ambruk dan bisa berada di sini sekarang. "Meeting berjalan lancar, Pak. Lalu ada berkas yang perlu Bapak tanda tangani dan sekarang Hasan sedang menuju ke sini." Ardhi mengangguk. Tidak lagi menyahuti atau melempark
"Sebelum pulang ke apartemen, saya mau pergi ke suatu tempat," kata Ardhi sembari mengenakan jas dibantu oleh Adi."Saya antar atau pergi sendiri, Pak?""Saya berniat pergi sendiri, tapi pasti kamu akan melarang saya, kan?" dengkus Ardhi. Belakangan ini, Adi memang terkesan lebih protektif dan disiplin terhadap Ardhi. Apalagi ia baru mau keluar dari rumah sakit setelah kolaps. Adi tentu tidak akan mengizinkannya pergi sendiri tanpa pengawasan."Ada sesuatu yang perlu saya persiapkan?" tanya Adi lagi.Ardhi tampak berpikir selama beberapa saat. Kemudian ia menggeleng. "Ada yang perlu saya beli. Tapi nanti saja sekalian di jalan."Adi mengangguk patuh, kemudian membereskan barang-barang milik Ardhi dan memasukkannya ke dalam tas."Kabari orang kantor kalau saya akan sampai kantor setelah makan siang. Minta mereka untuk menyiapkan materi untuk meeting.""Bapak akan ke kantor hari ini? Untuk apa?" Adi mengernyit heran."Hari ini ha
Ardhi kembali ke apartemen dan disambut oleh Sera yang tengah sibuk berkutat dengan eksprerimennya di dapur. Ada binar kelegaan di mata saat Sera melihat Ardhi pulang dalam keadaan yang baik-baik saja. Setidaknya itu yang terlihat di mata Sera ketika Ardhi menghampiri wanita itu di dapur. "Saya pulang," ucap Ardhi dengan amat sangat kaku. Hubungan keduanya yang sedang tidak baik-baik saja itu menambah kecanggungan yang mengudara. Keduanya hanya saling pandang, bingung mau berkata apa. "Saya masak sup ayam. Kamu mau?" tawar Sera memecah kecanggungan. "Ya." Ardhi mengangguk singkat. "Saya mandi dulu," kata Ardhi. "Oke." Hanya sebatas itu saja interaksi mereka sebelum kemudian Ardhi berlalu meninggalkan dapur menuju kamar. Sera menatap kepergian Ardhi sembari bertanya-tanya dalam hati. Seperti ada yang salah dengan ekspresi dan tingkah laku Ardhi hari ini. Laki-laki itu sekilas tampak sama, tetapi ada yang terasa berbeda. Namun, S
Ada setidaknya sepuluh detik bagi Sera untuk mencerna ucapan Ardhi yang terdengar tidak nyata. Ardhi baru saja mengatakan kalau laki-laki itu akan mendaftarkan pernikahan mereka. Sera tidak salah dengar, kan? "Kamu serius?" Sera memutar badan hingga berhadapan dengan Ardhi yang juga tengah memandang dirinya dengan begitu serius. "Maaf, seharusnya saya melakukannya sejak dulu." "No, wait. Ardhi, apa kamu benar-benar yakin mau pernikahan ini permanen? Kalau kamu melakukan ini cuma karena saya minta, tolong jangan lakukan itu. Saya nggak masalah kalau nanti kita pisah. Lebih baik berpisah daripada menjalani ini seumur hidup dengan terpaksa, iya, kan?" Ardhi menatap Sera dengan serius. "Saya nggak pernah terpikir untuk berpisah. Saya minta maaf kalau . Saya mau melakukan ini dengan benar. Apa kamu mau kasih saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan cara yang benar? Kita mulai lagi semuanya dari awal. Saya mau mengusahakan pernikahan ini dan saya j
Perubahan demi perubahan terjadi. Sera cukup senang karena Ardhi tampak benar-benar telah mengubah sikap. Tahapan yang Ardhi berikan pun tampak berbeda. Laki-laki itu masih cuek dan sesekali sisi dingin itu muncul, tetapi Sera bisa melihat perubahan nyata yang terjadi pada Ardhi. Sera juga cukup yakin kalau perubahan itu terjadi karena kemauan Ardhi sendiri. Bisa terlihat dari cara bersikap Ardhi yang tidak dipaksakan. Namun, Sera pun tak bisa menampik bahwa di sudut hatinya juga terselip perasaan mengganjal yang tak bisa ditepis begitu saja. Perubahan dalam diri Ardhi itu seperti menyimpan sesuatu hal yang tidak baik. Sera ingin sekali mengabaikan kemungkinan itu, tetapi ia tak mampu membuang ganjalan itu. Meskipun begitu, Sera tetap berusaha untuk fokus pada upaya keduanya memperbaiki pernikahan yang diawali dengan tidak cukup baik itu agar menjadi lebih normal seperti pasangan yang lain. Dimulai dari agenda menginap di rumah Sera yang sudah ditingg