Hari demi hari, hubungan Sera dan Ardhi bukannya membaik, tetapi malah semakin renggang. Ardhi masih kukuh pada pilihannya dan masih belum memberikan keputusan.
Pernikahan yang sejak awal tidak benar-benar berjalan baik itu semakin hambar. Hari demi hari berlalu dalam hening dan mencekam.
Sekembalinya Ardhi dari Surabaya, suasana apartemen semakin suram. Sera sibuk dengan kegiatan-entah-apa-itu di kamar sebelah. Dan Ardhi pun sibuk di ruang kerja. Menenggelamkan diri pada pekerjaan hingga larut.
Hal ini berlangsung hampir dua minggu. Sera tidak mengerti apa yang sebenarnya menahan Ardhi hingga laki-laki itu tak mau memilih antara melepaskan dirinya atau mengikat dirinya dalam pernikahan yang sah secara hukum dan agama.
Hali ini membuat Sera berada di posisi yang serba salah. Sebagai seorang wanita yang sudah bersuami, tentu saja Sera menginginkan sebuah pengakuan dan kepastian hukum terkait statusnya. Namun, mengingat hubungannya dengan Ardhi belum sepenu
Bu Sera kelihatannya sangat khawatir kepada Bapak," kata Adi setelah sambungan yang terhubung dengan Sera terputus. Ardhi yang saat ini setengah berbaring di atas brangkar di sebuah kamar VVIP di rumah sakit itu menatap Adi dengan tatapan lurus. Wajah pucatnya tidak menampilkan ekspresi apa pun. "Kantor bagaimana?" tanya Ardhi. Mengabaikan perkataan Adi tentang Sera. Tadi siang, mereka terpaksa meninggalkan meeting karena kondisi Ardhi yang memburuk. Pagi harinya, Ardhi sudah mulai merasa kalau tubuhnya agak kurang baik. Ia pikir akan hilang begitu saja saat ia pakai untuk bekerja, tetapi ternyata ia salah kira. Tubuhnya protes dan minta diistirahatkan dengan segera. Walau sesungguhnya, Ardhi tahu betul apa yang menyebabkan dirinya ambruk dan bisa berada di sini sekarang. "Meeting berjalan lancar, Pak. Lalu ada berkas yang perlu Bapak tanda tangani dan sekarang Hasan sedang menuju ke sini." Ardhi mengangguk. Tidak lagi menyahuti atau melempark
"Sebelum pulang ke apartemen, saya mau pergi ke suatu tempat," kata Ardhi sembari mengenakan jas dibantu oleh Adi."Saya antar atau pergi sendiri, Pak?""Saya berniat pergi sendiri, tapi pasti kamu akan melarang saya, kan?" dengkus Ardhi. Belakangan ini, Adi memang terkesan lebih protektif dan disiplin terhadap Ardhi. Apalagi ia baru mau keluar dari rumah sakit setelah kolaps. Adi tentu tidak akan mengizinkannya pergi sendiri tanpa pengawasan."Ada sesuatu yang perlu saya persiapkan?" tanya Adi lagi.Ardhi tampak berpikir selama beberapa saat. Kemudian ia menggeleng. "Ada yang perlu saya beli. Tapi nanti saja sekalian di jalan."Adi mengangguk patuh, kemudian membereskan barang-barang milik Ardhi dan memasukkannya ke dalam tas."Kabari orang kantor kalau saya akan sampai kantor setelah makan siang. Minta mereka untuk menyiapkan materi untuk meeting.""Bapak akan ke kantor hari ini? Untuk apa?" Adi mengernyit heran."Hari ini ha
Ardhi kembali ke apartemen dan disambut oleh Sera yang tengah sibuk berkutat dengan eksprerimennya di dapur. Ada binar kelegaan di mata saat Sera melihat Ardhi pulang dalam keadaan yang baik-baik saja. Setidaknya itu yang terlihat di mata Sera ketika Ardhi menghampiri wanita itu di dapur. "Saya pulang," ucap Ardhi dengan amat sangat kaku. Hubungan keduanya yang sedang tidak baik-baik saja itu menambah kecanggungan yang mengudara. Keduanya hanya saling pandang, bingung mau berkata apa. "Saya masak sup ayam. Kamu mau?" tawar Sera memecah kecanggungan. "Ya." Ardhi mengangguk singkat. "Saya mandi dulu," kata Ardhi. "Oke." Hanya sebatas itu saja interaksi mereka sebelum kemudian Ardhi berlalu meninggalkan dapur menuju kamar. Sera menatap kepergian Ardhi sembari bertanya-tanya dalam hati. Seperti ada yang salah dengan ekspresi dan tingkah laku Ardhi hari ini. Laki-laki itu sekilas tampak sama, tetapi ada yang terasa berbeda. Namun, S
Ada setidaknya sepuluh detik bagi Sera untuk mencerna ucapan Ardhi yang terdengar tidak nyata. Ardhi baru saja mengatakan kalau laki-laki itu akan mendaftarkan pernikahan mereka. Sera tidak salah dengar, kan? "Kamu serius?" Sera memutar badan hingga berhadapan dengan Ardhi yang juga tengah memandang dirinya dengan begitu serius. "Maaf, seharusnya saya melakukannya sejak dulu." "No, wait. Ardhi, apa kamu benar-benar yakin mau pernikahan ini permanen? Kalau kamu melakukan ini cuma karena saya minta, tolong jangan lakukan itu. Saya nggak masalah kalau nanti kita pisah. Lebih baik berpisah daripada menjalani ini seumur hidup dengan terpaksa, iya, kan?" Ardhi menatap Sera dengan serius. "Saya nggak pernah terpikir untuk berpisah. Saya minta maaf kalau . Saya mau melakukan ini dengan benar. Apa kamu mau kasih saya kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan cara yang benar? Kita mulai lagi semuanya dari awal. Saya mau mengusahakan pernikahan ini dan saya j
Perubahan demi perubahan terjadi. Sera cukup senang karena Ardhi tampak benar-benar telah mengubah sikap. Tahapan yang Ardhi berikan pun tampak berbeda. Laki-laki itu masih cuek dan sesekali sisi dingin itu muncul, tetapi Sera bisa melihat perubahan nyata yang terjadi pada Ardhi. Sera juga cukup yakin kalau perubahan itu terjadi karena kemauan Ardhi sendiri. Bisa terlihat dari cara bersikap Ardhi yang tidak dipaksakan. Namun, Sera pun tak bisa menampik bahwa di sudut hatinya juga terselip perasaan mengganjal yang tak bisa ditepis begitu saja. Perubahan dalam diri Ardhi itu seperti menyimpan sesuatu hal yang tidak baik. Sera ingin sekali mengabaikan kemungkinan itu, tetapi ia tak mampu membuang ganjalan itu. Meskipun begitu, Sera tetap berusaha untuk fokus pada upaya keduanya memperbaiki pernikahan yang diawali dengan tidak cukup baik itu agar menjadi lebih normal seperti pasangan yang lain. Dimulai dari agenda menginap di rumah Sera yang sudah ditingg
Ardhi tidak menghitung sudah berapa lama Sera menangis dalam pelukannya. Ia juga tak peduli ketika merasakan kasunya melekat di dada karena basah oleh air mata Sera yang mengucur deras. Sera sudah menahan diri terlalu lama. Jadi, Ardhi memberikan cukup waktu untuk wanita itu agar melepaskan beban di dada meski mungkin hanya akan terbuang sedikit. "Ibu, kangen Ibu," rintih Sera yang membuat Ardhi tercekat. Ardhi dapat merasakan kesakitan yang Sera derita karena rindu yang meluap-luap. Yang dapat Ardhi lakukan saat ini hanyalah dengan semakin mengeratkan rengkuhan dan mengecupi puncak kepala Sera. Berharap bahwa kehadirannya cukup untuk membuat Sera sadar kalau wanita itu tidak sendirian. Ada dirinya yang mau berbagi rasa sakit dan menanggung beban bersama. Ardhi tidak mengatakan apa-apa meski ia begitu ingin menumpahkan semua kalimat menenangkan yang terangkai di hati. Ia tidak bisa. Karena ia tahu bahwa kalimat-kalimat itu tidak ada artinya. Sera seda
Hampir satu jam berlalu sejak mobil Ardhi memasuki kompleks perumahan Sera. Mobil yang dikendarai Ardhi sudah berhenti tepat di depan sebuah rumah bergaya minimalis modern yang temboknya didominasi oleh warna putih. Di bagian teras rumah yang berbatasan pagar besi setinggi pinggang orang dewasa itu terdapat taman kecil yang ditumbuhi tanaman bungaㅡyang hanya terlihat samar-samar dari sinar lampu yang menerangi jalanan kompleks Jam di pergelangan tangan Ardhi menunjukkan pukul sepuluh lewat empat menit. Laki-laki itu sejak tadi tidak membuka suara. Begitu pun dengan Sera yang saat ini membisu di kursi penumpang di samping Ardhi. Saat mereka tiba di sana, wanita itu meminta waktu kepada Ardhi untuk mempersiapkan diri. Ardhi memberikan keleluasaan itu untuk Sera. Bahkan, jika Sera meminta putar balik untuk kembali ke apartemen pun Ardhi akan langsung menyanggupi. Karena hanya itu yang bisa ia lakukan untuk tidak menambah beban di hati Sera. "Ayo, turun." Sera membuka suara. Kepalanya ya
"Kamu yakin, Dhi?" Sera sudah berkali-kali menanyakan pertanyaan tersebut sejak mereka meninggalkan rumah untuk menuju supermarket yang hanya berjarak kurang lebih sepuluh kilometer dari kawasan perumahan. "Believe me, it will be fine." Ardhi pun sudah berkali-kali menjawab dengan kalimat yang sama. "Saya bisa belanja sendiri, Ardhi. Kamu nanti tunggu di mobil aja. Atau kami bisa nunggu di coffee shop sekitaran situ." Ardhi memberikan tatapan tidak setuju. "Kan tadi kesepakatannya nggak begitu, Sera. Saya temani kamu belanja. Itu artinya saya ikut kamu masuk ke dalam. Atau kalau perlu bagi tugas aja biar cepat selesai belanjanya." "Saya kan nggak bilang setuju waktu kamu minta ikut. Saya udah berkali-kali bilang kalau lebih baik saya sendirian aja belanjanya. Kamu yang seenaknya memutuskan sendiri mau ikut." "Masalahnya apa, sih?" "Masalahnya adalah kamu dan saya ini nggak ada di kondisi yang normal buat bisa bebas berk