Share

Bab 2

Sebuah teka- teki kehidupan kerap muncul secara bertahap dan secara tiba-tiba, sehingga kita tidak tahu bagaimana cara untuk menemukan benang merahnya.

“Jangan main- main, dengan siapa ini?” tanyaku ketus.

Terdengar kekehan di ujung sana, tapi begitu singkat aku tidak yakin itu suara kekehannya.

“Baiklah… saya Reiki Altezza.” Sebelum Aku bertanya, dia kembali melanjutkan ucapannya. “PEMILIK kamera tadi pagi.” Dia menekan ucapan pada pemilik. Aku meringis saat ia mengingatkanku pada kecerobohan tadi pagi.

“Aku pasti menganti kameramu itu. Jadi tenang aja Pak Reiki Altezza,” ucapku datar. Segera menutup sambungan telepon itu. Aku merutuk diri sendiri yang entah mengapa, bisa dengan lantang akan mengatakan padanya, jika aku akan mengganti semuanya. Dari mana aku akan mendapatkan uang untuk mengganti kamera itu? Aku menghempaskan tubuh pada ranjang.

Reiki Altezza nama yang bagus. Tapi, bagaimana cara menganti kameranya?

 Ponselku berdering kembali.

Nomor itu lagi. Dari pada aku bingung mencari jawaban untuk laki - laki itu, lebih baik aku tidur. Kuletakan ponsel yang terus berdering ke atas nakas. Menutup telingaku dengan bantal, kemudian memejamkan mata. Namun, laki-laki itu tidak menyerah masih meneleponku. Dengan kesal aku beranjak dari tidur. Menekan huruf demi huruf, lalu mengirimkan pesan pada pemilik kamera bahwa aku akan bertangggung jawab dan bicarakan soal itu besok. Menyimpan ponsel di atas nangkas. Kembali membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Soal menganti kamera itu urusan besok, setidaknya aku punya kekuatan untuk berfikir. Dan untuk malam ini, yang aku inginkan hanya tidur. Tidak lupa aku mematikan ponsel, tanpa mematikan lampu. Aku mulai memejamkan mata.

******

Tubuh bergetar hebat saat menyadari bahwa diriku tengah berada di sebuah ruangan asing yang tampak sangat gelap. Hanya ada sebuah obor yang menerangi ruangan ini. Aku melangkah mundur, agar lebih dekat dengan obor itu. Sekedar untuk berjaga-jaga bila ada orang yang ingin berbuat jahat kepadaku, aku dapat mengarahkan obor itu kepada orang tersebut. Sesosok bayangan terlihat dipenjuru ruangan yang hanya diterangi cahaya remang- remang, membuatku tambah ketakutan.

Seseorang yang mengenakan pakaian serba hitam dan topi yang menghalangi wajahnya mendekatiku. 

“Nggak..nggak.. aku mohon mundur.” 

Aku kembali melangkah mundur saat sosok itu terus mendekat dan semakin mendekatiku. Mataku membulat saat merasakan punggung menyentuh tembok di belakang. Jantung ini semakin berdetak cepat, nafas semakin memburu. Dengan tangan kanan yang bergetar, aku mencoba meraba tembok yang berada di belakang punggungku. Siapa tau, aku menemukan sebuah pintu untuk menjauh dari sosok di hadapanku.

Sosok itu terus mendekatiku hingga obor yang berada di sampingku padam, membuat seluruh ruangan gelap gulita. Mataku menyapu seluruh ruangan yang tampak gelap. Aku berusaha meningkatkan kewaspadaan, takut-takut jika sosok itu akan melukaiku. Aku terus waspada dan akhirnya aku merasakan telapak tangan yang dingin mengengam tangan kananku dan.... 

AAAAAAAAAAAAA

Aku terbangun dari mimpi buruk dengan nafas yang terengah- engah. Aku meraih segelas air putih yang terletak di atas nakas. Meminum air itu hingga tandas. Mengapa mimpi ini selalu datang? bayangan hitam itu lagi?

Pikiranku dipenuhi banyak pertanyaan yang belum terjawab sama sekali. Aku menarik nafas, lalu menghembuskannya dengan perlahan. Aku terus mengulangi kegiatan itu, sampai merasa lebih tenang. Aku melirik jam dinding yang tergantung tepat di hadapanku. Berdecak sebal karena jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi untung hari ini libur kuliah kalau tidak, aku tidak bisa membayangkannya berlarian menuju kampus. 

Setelah siap aku menuruni anak tangga. Sesampainya di tangga terakhir aku membuka kedua mataku dengan lebar, merasa terkejut dengan pemandangan di hadapanku. Aku berjalan dengan langkah tergesa.

“Papa, Mama!” Panggilku kepada kedua orang tuaku yang tampak tengah menyantap sarapan dihadapan mereka. Aku menghambur ke dalam pelukan keduanya secara bergantian.

Aku melepaskan pelukan dan menatap keduanya dengan mata yang berbinar. 

“Kapan kalian pulang? Aku sangat merindukan kalian!” 

Aku duduk pada sebuah kursi kosong yang berada di sebelah Papaku, Andi wijaya. Prawakan Papa memperlihatkannya sebagai orang Sunda asli dengan kulit tubuh yang putih, tinggi, berbadan yang cukup tegap diusianya yang tidak muda lagi. Yang aku suka darinya adalah senyum hangat yang selalu tergambar di wajahnya, tetapi jika tengah marah Papa bisa tampak begitu menyeramkan.

“Tadi malam kami sudah pulang, sayang,” jawab papah sembari mengusap kepalaku dengan penuh kasih sayang. 

Semenjak kakak laki- laki lulus kuliah dan bekerja di luar negeri, aku kesepian. Ditambah papa dan mama selalu pergi mengurusi bisnis donat yang mereka kelola di tiga cabang kota besar. Diantaranya Bandung sebagai kota kelahiran dari donat itu, kemudian Jakarta dan Bali. Yang menemaniku disini hanya Mbok Surti, berhubung beliau sedang pulang kampung maka aku hanya sendiri di rumah sebesar ini.

“Kenapa nggak bangunin aku?” tanyaku sembari mengunyah nasi goreng buatan Mama. Aku begitu merindukan masakan Mama yang sangat enak.

“Kamu keliatan kecapekan jadi mama sama papa, hanya menyelimutimu.” Kali ini Mama yang menjawab, “Apa kamu nggak kesepian selama kami pergi?” lanjut Mamaku. 

Rani widuri. Tidak jauh berbeda dari Papa, Mama juga termasuk orang Sunda. Menurut Papa wajah Mama yang manis membuat Papa jatuh cinta pada pandangan pertama. Begitu lah keromantisan mereka yang kerap membuat anaknya iri.

Aku mengeleng, “Teman-temanku sering main kemari, Ma. Jadi aku nggak terlalu ketakutan… eh… maksudku kesepian.” ucapku sembari tersenyum meyakinkan. 

Aduh salah ngomong ! Aku melahap nasi goreng dengan hati yang cemas.

“Fidela, kamu kenapa? ada yang terjadi selama kami pergi?” Papa menatapku dengan tatapan menyelidik.

“Eemmm, nggak ada apa-apa, Pa.” Aku tersenyum meyakinkan kedua orangtuaku. 

Hal ini jangan sampai mereka tahu. Iya, jangan sampai!

“Ayo makan lagi, Pa! Aku kangen masakan Mama.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Ah kamu bisa aja, baru ditinggal dua hari udah kangen.” jawab Mama yang duduk didepanku yang terhalang meja makan. 

Dua hari banyak perubahan yang kurasakan, Ma. Sosok itu yang merubah semuanya.

“Aku serius, Ma. Aku kangen kalian,” 

Mendapatkan belaian sayang dari Papa pada puncak kepalaku. Aku tersenyum kepadanya. Aku benar-benar merindukan mereka.

******

Setelah sarapan, aku memutuskan untuk ke toko buku langanan berhubung libur kuliah. Saat tengah asyik membaca novel, ujung mataku menangkap seseorang yang tengah menatapku. Pada awalnya, aku tidak menghiraukannya, tetapi pandangan itu semakin intens. Pada akhirnya aku memberanikan diri menoleh ke arah seseorang itu. Namun, yang aku lihat hanya seorang wanita seumuran denganku yang tengah memilih buku. Membuatku merasa aneh dia tidak sedikit pun memandang kearahku.

Aku kembali membaca novel yang masih berada di tanganku. Mungkin, itu hanya perasaanku saja. Semenjak bayangan hitam itu ada, aku kerap merasa takut dan mudah terkejut. Aku merasa ada yang memandangku lagi dan kali ini bulu kudukku berdiri. Kutarik nafas panjang, lalu menoleh ke arah sosok itu. Tidak ada siapa pun di sana, membuatku bisa menghela nafas lega.

“Kenapa aku jadi parnoan gini ya?” Aku mengusap dada menenangkan jantung yang siap akan melompat keluar. Aku mengalihkan pandangan, akan tetapi mataku kembali menangkap bayangan hitam di bawah kaki. Aku kembali menoleh dan tidak ada seorang pun dibelakangku.

Mencoba fokus pada bacaan dengan jantung yang berdetak cepat. Aku menelan ludah dengan susah payah lalu membalikkan badan. Lagi-lagi aku tidak menemukan siapapun di sana. Dengan gerak cepat aku membawa novel yang ingin kubeli. Berjalan cepat menuju kasir.

“Ini aja teh?” Tanya kasir wanita ramah. Setelah aku sampai di kasir meletakkan novelnya.

“Iya itu aja, berapa?” Aku dengan suara ramah pula, sesekali menoleh ke belakang memastikan sosok itu tidak mengikutiku. Toko ini sepi sekali tidak biasanya dan itu membuatku semakin cemas. Melirik arlogi pukul 12 siang.

“Mau coba beli novel ini, kebetulan lagi diskon.” Kasir wanita itu menyodorkan novel ke arahku.

“Nggak teh,” aku menggeleng. Sesekali melirik ke belakang dengan mata waspada, degup jantung semakin tidak karuan. Kasir wanita itu masih menjelaskan kelebihan dari novelnya semakin membuat aku ketakutan dan kesal.

“Novelnya bagus teh banyak ilmu bermanfaat dan…”

‘Deg’ ujung mataku sekilas melihat sosok itu telah berada di dekatku. Sebisa mungkin membuat diriku sendiri tenang dengan degup jantung berirama cepat dan ketakutan semakin merasukiku lebih dalam. Namun, wanita kasir ini masih terus mengoceh.

‘Brak’ aku melempar tas pada meja, seketika wanita itu terdiam.

Aku menghela nafas, “Berapa semuanya teh? Novelnya tiga ya tanpa tambahan lagi.” 

Suaraku berubah ketus menahan rasa takut yang semakin menyelimutiku. Aku merongoh dompet di dalam tas, tapi ada rasa geli melihat dia diam seperti robot memasukan novel kedalam keresek putih. Setelah membayarnya aku mengucapkan terima kasih menyisipkan senyum padanya kemudian berlalu keluar.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status