POV: Adzkira
Kereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.
Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.
Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.
“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.
Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.
“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.
“Rei…,”
“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
Pagi itu, aku terbangun dengan tubuhku terbaring di tempat tidur klinik kampus. Reina, sahabatku itu bilang bahwa aku terjatuh saat menuju ke kelas siang mata kuliah profesi. Tubuhku panas karena demam yang kudapat saking sibuknya mengerjakan tenggat waktu seleksi penelitianku. Namaku Adzkira Aulia, mahasiswi semester tujuh yang saat ini tengah sibuk mengikuti seleksi beasiswa penelitian. Yang membuatku bersemangat dengan beasiswa ini karena penelitian ini diselenggarakan langsung oleh salah satu universitas di Jepang. Bagi naskah yang diterima akan mendapat kesempatan untuk melakukan konfrensi di Jepang, melihat universitasnya, hingga liburan ke kota-kota besarnya seperti, Tokyo dan Shibuya. Kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan oleh orang sepertiku tentunya. "Ciye, Si Ambis udah bangun," sahut Reina padaku. Ia langsung berdiri mencari suster agar melihat keadaanku. Setelah diperiksa, suster menyatakan kalau aku sudah boleh pulang. Aku diberi beberapa re
Aku sangat menyukai Jepang. Ayahku merupakan lulusan S1 dari Jepang, dan ketika aku masih kecil, beliau sering menceritakan padaku betapa menakjubkannya negeri bunga sakura itu. Bukan berarti aku tidak suka Indonesia, ya! Suasana Bromo yang menyejukkan, ramainyaMalioboro dan indahnya pulau Pahawang pun punya tempat tersendiri di hati. Tapi jika aku menemukan lampu ajaib yang bisa membawaku ke tiga negara lain untuk berlibur, sudah pasti Jepang berada di nomor urut satu dua dan tiga. Lucunya, saat aku SMA malah tak pernah sama sekali aku menonton anime ataupun membacamanga. Walaupun sebenarnya sahabatku di sekolah adalah dua orang pendiri eskulJepang ilegal, tapi mereka tidak pernah berhasil menjadikanku bagian dari sekte mereka. Jadinya, ketika kuliah mereka tahu aku suka hal-hal berbau Jepang, mereka menyebut itu dengan "Kutukan yang tertunda". Tapi, serius! Semua yang ada di Jepang itu lucu dan unik. Aku ju
“Selamat malam, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar besok terkait konsultasi penelitian saya, Pak? Terima kasih.” Begitulah isi pesanku ke Pak Tirta, selaku dosen pembimbing penelitianku. Kalian tahu jawaban beliau apa? “G” balasnya singkat. “Mati aku,” pikirku. Meskipun tenggat waktu pengumpulan masih lama, tapi aku sangat butuh konsultasi dengan beliau. Ini semua karena pertanyaan Ustadzah Fisha waktu itu. Ya, walaupun aku juga tidak tahu arah pertanyaannya, sih. Huft, padahal belum tentu juga aku akan dijodohkan, tapi aku malah kabur dari Ustadzah Fisha dan membuat masalah ke Pak Tirta. Payahnya aku! Aku menjatuhkan badanku ke kasur, dengan kaki masih menggantung di lantai. Suara ponsel berbunyi dengan nama kontak “Ibu” di layar. “Oh, udah jam 8, ya?” Aku merapikan dudukku, lalu mengangkat video call dari seseorang malaikat cantik yang kupanggil dengan sebutan “Ibu”. “Assalam mualaikum, Ibu!” sapaku dengan senyum.
Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya. “Rei, bangun, subuh,” ucapku. “Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu. Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan! Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud. “Aamiinn,” Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang
Akhir pekan ini, gerimis mengetuk langit-langit rumah. Reina masuk ke kamar membawa semangkuk mie rebus yang masih panas. “Ohayou, Kira!” teriaknya, mengucapkan selamat pagi menggunakan satu-satunya kata dalam bahasa Jepang yang ia tahu. “Ohayou ohayou, aja, lu!” jawabku sinis, meski tetap mengambil mie kuah yang ia berikan. “Hmm, hujan-hujan ini enaknya ngapain lagi, ya?” tanya Reina menatap keluar jendela. “Kamu nanya gitu paling bentar lagi nonton India, ‘kan?” “Hehe, ngegosip aja kali, ya. Gimana Ustadzah Fisha, jadi kamu bales?” Sebuah pertanyaan yang paling ingin kuhindari keluar dari mulut Reina. Teringat kembali pesan ibu saat aku video call dengan beliau beberapa waktu lalu. “Kenapa aku harus merahasiakan ini ke Reina juga, Bu? Dia kan sahabatku, aku percaya dengannya,” tanyaku pada Ibu waktu itu. “Ibu paham bahwa Reina adalah sahabat kamu, tapi kita nggak bisa menebak apa yang akan
“Bu, aku terima ajakan ta’aruf Radit,” tulisku di dalam pesan singkat yang kukirim ke Ibu. “Bismillah, ya, Nak. Semoga diberi keberkahan. Jangan lupa kabarin kami tentang prosesnya. Kamu juga boleh meminta syarat-syarat lain jika dirasa perlu,” balas Ibu. Setelah kukirim jawabanku kepada Ustadzah Fisha, beliau mengirimkanku semacam roadmap akan seperti apa ta’aruf ini nantinya berjalan. Kami pun berdiskusi selama 3 hari. Ustadzah Fisha menjelaskan langkah-langkah yang harus dilewati semasa ta’aruf ini, juga hal-hal yang dilarang di dalamnya, termasuk berbicara secara langsung atau lewat pesan tanpa perantara. Oleh karena itu, beliau sekaligus menjadi perantara Radit untuk berkomunikasi mengenai proses yang ada. Aku sempat memberi saran bagaimana jika kita membuat grup berisi kami bertiga, tapi Radit menolak dengan alasan lebih nyaman seperti ini. Setelah berdiskusi, kami pun sepakat akan melalui proses-proses yang telah kami setujui.
Aku menarik napas dalam, mengucap basmalah dalam hati. “Bismillah….” Tombol kirim kutekan, dan tanda terkirim pun muncul di layar laptopku. Naskah penelitian beasiswa ke Jepangku telah resmi terkirim. Rasanya lebih mendebarkan daripada waktu pembuatan. Apalagi menunggu pengumumannya bulan depan membuatku tak bisa menahan rasa penasaran. Aku mengabari kedua orangtuaku. Mereka mengucapkan selamat atas selesainya penelitian yang selama sebulan lebih ini aku kerjakan. Mereka juga mendoakan agar naskahku menjadi salah satu naskah yang menang. Itu karena hasilnya akan sangat bagus jika diletakkan dalam CV dan portofolioku nanti. Meskipun aku sangat ingin pergi ke Jepang, tapi kepentingan akademik pun juga tetap aku pikirkan. Alasan lain aku mengambil beasiswa ini juga karena aku ingin mendapat beasiswa S2 dimana pun nanti aku mendaftar. Entah di dalam negeri, di Jepang, London, atau Turki sekalipun. Aku tahu selama ini mereka banting tulang untukku, jadi aku ingin