“Kamu boleh bercita-cita menjadi pebisnis di masa depan, Dit, tapi Ayah tidak akan pernah mengizinkanmu cuti!” tegas Ayah, saat mendengar keputusan cuti kuliahku di meja makan.
“Tapi, Yah, kalau aku nggak bantu Ayah, siapa yang bakal ngebiayain kita sehari-hari? Hutang-hutang ayah juga.”
“Itu bukan urusanmu, Radit. Ayah bisa lunasin hutang-hutang Ayah sendiri sambil cari uang untuk semester kamu. Jangan khawatir soal itu.”
“Ayah!” panggilku dengan nada agak tinggi, membuat Ayah yang tadinya ingin pergi dari ruang makan berhenti.
“Tolong, Yah. Aku cuma mau bantu Ayah ngelewatin ini. Untuk Tasya juga.”
“Ayah sudah gagal mempertahankan Ibu kamu, Nak, jangan buat Ayah menghancurkan masa depanmu lagi. Ayah sudah bersyukur Tasya dapat beasiswa pendidikan gratis. Harusnya dengan itu kamu bisa terbantu untuk kuliahmu.”
Aku mengerti perasaan Ayah. Bagaimana kehati-hatian beliau timbul atas kelalaian yang beliau perbuat. Tapi aku tidak ingin men
POV: AdzkiraTa’aruf hari pertama pun selesai…“Alhamdulillah, terimakasih atas kehadirannya, ya, Nak Radit,” sahut Ibu.“Iya, Tante, terimakasih kembali. Makanannya juga enak-enak,” balasnya. Ustadzah Fisha dan Radit pun pamit.Hari ini benar-benar hari yang melelahkan. Sayangnya, aku sama sekali tidak mendapat petunjuk apapun tentang apa yang Ayah dan Radit bicarakan tadi. Aku hanya tahu bahwa Ayah mengizinkan kami untuk melanjutkan ke tahap selanjutnya. Senang, sih, tapikan penasaran!“Bu… Bu…, Ayah ada ceritakah, kemarin Radit ngomong apa aja?” tanyaku pada Ibu keesokan harinya.“Tunggu, kamu siapa?” jawab Ibu, yang tidak hanya berpura-pura lupa dengan acara kemarin, ia juga pura-pura melupakanku. Oh, Ibu, tahukah engkau betapa penasarannya anakmu ini.“Udah kamu nggak usah banyak tanya. Nanti aja nanyanya ke orangnya kalo udah sah,&r
POV: ReinaTak pernah kubayangkan sebelumnya, seseorang yang akan melukaiku seperti ini adalah sahabat baikku sendiri. Dengan teganya ia merahasiakan kedekatan dirinya dengan orang yang aku cintai.Semua bermula di waktu Adzkira mendapat pesan dari Ustadzah Fisha. Sebuah percakapan yang lambat laun mengarah ke sebuah pertanyaan tentang pernikahan. Jujur, aku ikut kaget saat Ustadzah menanyakan kesiapan Kira dalam menikah. Namun awalnya, ketika pertanyaan itu terlontar, Kira memutuskan untuk meninggalkan pembicaraan.Beberapa hari kemudian, kami pergi ke kafe Radit. Orang yang kutaruh hatiku padanya semenjak semester dua perkuliahan. Radit memberi saran pada Adzkira untuk membicarakan hal itu pada orangtuanya.Aku tak ada saat Kira berbicara dengan ibunya. Yang kutahu, beliau hanya menitip salam. Saat kutanya pada Kira apakah dia sudah cerita, ia jawab sudah.“Terus, kamu mau lanjut, kah?” tanyaku malam itu. “Kayak
POV: AdzkiraKereta tiba di stasiun Malang. Selama di perjalanan, aku merasa gelisah. Aku takut bahwa apa yang kusembunyikan kini terbongkar semua.Aku memesan ojek online menuju rumah. Aku mengirimi mama pesan bilang bahwa aku telah sampai. Beliau pun menjawab dengan alhamdulillah.Tiba di depan rumah, mama berada di teras menunggu k pulanganku. Aku mencium tangannya, lalu beliau memelukku.“Kamu masuk dulu ke dalam, taruh semua bawaanmu. Kita bicara sebentar.” Aku mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah.Aku membuka pintu kamar, lalu kulihat, ada Reina di dalam. Kami bertatap-tatapan sejenak.“Selamat dating, Kira….” Cara ia menyapaku sungguh tidak biasa. Membuat suasana canggung di kamar semakin terasa.“Rei…,”“Begini, Ra. Aku pikir ada baiknya kita pisah kamar dulu. Soalnya aku lagi ngerjain skripsi, jadi biar fokus.” Sebuah
Bab 15“Kamu berantem sama Reina, Nak?” tanya Ibu di telepon.“Iya, Bu. Kayaknya pas aku di Bekasi semuanya kebongkar.”“Waduh! Kalau gitu kamu pindah ngekos aja deh, Nak. Biar nanti Ibu minta ayah bantu carikan kosan yang murah.” Begitulah Ibu, selalu cepat dalam memberi arahan. Tidak buruk memang. Tapi kali ini, aku harus tegas pada diriku sendiri.“Bu, Kira nggak akan pindah. Kira akan jujur ke Reina tentang semuanya,” ucapku.“Kamu yakin, Nak? Kan Ibu sudah pernah minta kamu untuk nggak bilang siapapun.”“Tapi, Bu, Reina itu sahabatku!”“Nak, kejadian ini saja bisa berpotensi membatalkan ta’aruf kamu. Apalagi kalau nanti kamu ungkapin semuanya ke Reina. Kamu yakin dia bakal terima?” Suara Ibu mulai meninggi.Aku menghela nafas satu dua kali. Berusaha mengatur emosiku, agar tidak terpancing dengan amarah yang tidak perl
Pagi itu, aku terbangun dengan tubuhku terbaring di tempat tidur klinik kampus. Reina, sahabatku itu bilang bahwa aku terjatuh saat menuju ke kelas siang mata kuliah profesi. Tubuhku panas karena demam yang kudapat saking sibuknya mengerjakan tenggat waktu seleksi penelitianku. Namaku Adzkira Aulia, mahasiswi semester tujuh yang saat ini tengah sibuk mengikuti seleksi beasiswa penelitian. Yang membuatku bersemangat dengan beasiswa ini karena penelitian ini diselenggarakan langsung oleh salah satu universitas di Jepang. Bagi naskah yang diterima akan mendapat kesempatan untuk melakukan konfrensi di Jepang, melihat universitasnya, hingga liburan ke kota-kota besarnya seperti, Tokyo dan Shibuya. Kesempatan yang tidak mungkin dilewatkan oleh orang sepertiku tentunya. "Ciye, Si Ambis udah bangun," sahut Reina padaku. Ia langsung berdiri mencari suster agar melihat keadaanku. Setelah diperiksa, suster menyatakan kalau aku sudah boleh pulang. Aku diberi beberapa re
Aku sangat menyukai Jepang. Ayahku merupakan lulusan S1 dari Jepang, dan ketika aku masih kecil, beliau sering menceritakan padaku betapa menakjubkannya negeri bunga sakura itu. Bukan berarti aku tidak suka Indonesia, ya! Suasana Bromo yang menyejukkan, ramainyaMalioboro dan indahnya pulau Pahawang pun punya tempat tersendiri di hati. Tapi jika aku menemukan lampu ajaib yang bisa membawaku ke tiga negara lain untuk berlibur, sudah pasti Jepang berada di nomor urut satu dua dan tiga. Lucunya, saat aku SMA malah tak pernah sama sekali aku menonton anime ataupun membacamanga. Walaupun sebenarnya sahabatku di sekolah adalah dua orang pendiri eskulJepang ilegal, tapi mereka tidak pernah berhasil menjadikanku bagian dari sekte mereka. Jadinya, ketika kuliah mereka tahu aku suka hal-hal berbau Jepang, mereka menyebut itu dengan "Kutukan yang tertunda". Tapi, serius! Semua yang ada di Jepang itu lucu dan unik. Aku ju
“Selamat malam, Pak. Boleh saya minta waktu Bapak sebentar besok terkait konsultasi penelitian saya, Pak? Terima kasih.” Begitulah isi pesanku ke Pak Tirta, selaku dosen pembimbing penelitianku. Kalian tahu jawaban beliau apa? “G” balasnya singkat. “Mati aku,” pikirku. Meskipun tenggat waktu pengumpulan masih lama, tapi aku sangat butuh konsultasi dengan beliau. Ini semua karena pertanyaan Ustadzah Fisha waktu itu. Ya, walaupun aku juga tidak tahu arah pertanyaannya, sih. Huft, padahal belum tentu juga aku akan dijodohkan, tapi aku malah kabur dari Ustadzah Fisha dan membuat masalah ke Pak Tirta. Payahnya aku! Aku menjatuhkan badanku ke kasur, dengan kaki masih menggantung di lantai. Suara ponsel berbunyi dengan nama kontak “Ibu” di layar. “Oh, udah jam 8, ya?” Aku merapikan dudukku, lalu mengangkat video call dari seseorang malaikat cantik yang kupanggil dengan sebutan “Ibu”. “Assalam mualaikum, Ibu!” sapaku dengan senyum.
Alarm ponselku berdering menunjuk pukul 4 pagi. Waktu sholat subuh sebentar lagi tiba. Aku membangunkan Reina yang sudah tak karuan posisi tidurnya. “Rei, bangun, subuh,” ucapku. “Bentar lagi, Mbok. Masih ngantuk,” Apa? Mbok? Bahkan saat tidur saja dia masih sempat mengejekku. Kuambil air di dalam gayung, lalu kucipratkan ke wajahnya. Tapi apa daya, orang bilang cukup sulit membangunkan kerbau yang sudah tertidur pulas. Aku pun beranjak dari kamar dan pergi mengambil wudhu. Sambil menunggu adzan, aku membuka Al Qur’an dan mengulang hafalanku. Saat ini, aku sudah hafal lima juz. Masya Allah, ‘kan! Adzan berkumandang. Aku mengambil dua rakaat sunnah, yang diikuti dengan dua rakaat subuh. Setelah selesai, aku mengangkat kedua tanganku seraya berdoa meminta semua yang kusemogakan terwujud. “Aamiinn,” Kulepas mukenaku, lalu kuambil ponsel yang dari semalam kutinggal cas. Aku melihat satu notifikasi balasan dari Ustadzah Fisha yang