Sebuah mobil warna silver terparkir di basement sebuah gedung pencakar langit bertuliskan Queen Hotel. Seorang pria dengan kacamata hitam keluar dari kendaraan roda empat itu. Dia melangkah cepat ke dalam lift yang membawanya ke lantai 7.
Ting
Denting nyaring terdengar sesaat sebelum pria ini berlari. Langkah kakinya dengan cepat sampai di depan sebuah ruangan bertuliskan angka 756. Kacamata hitam yang sedari tadi bertengger di atas hidungnya kini berpindah ke saku kemeja warna navy yang dipakai pria ini.
Tok tok tok
Tak menunggu waktu lama, ketukan itu segera bersambut. Seorang wanita berambut pirang membuka pintu di hadapannya, membuat sosok pria tampan itu terlihat.
"Hello, Bi," sapa wanita itu dengan nada manja. Dia bahkan tak segan mengedip-ngedipkan sebelah matanya, menggoda makhluk di hadapannya.
"Ada apa? Kenapa kamu panggil saya kesini?" Pria ini menggunakan bahasa formal, menunjukkan bahwa dia menjaga jarak sebisa mungkin dari sosok cantik di hadapannya. Ya, dia memang memiliki paras yang mumpuni dan tergolong cantik.
Wanita tak tahu malu itu membuka pintu kamar hotel tempatnya berada lebar-lebar. "Masuk dulu, yuk. Kita ngobrol di dalem," ajak wanita ganjen ini.
Pria dengan kemeja biru dongker tadi mengeratkan rahangnya. Dia tidak ingin bermain-main dengan wanita yang sudah pernah membuat dia dan keluarganya malu.
"Teresa, berhenti bermain-main!" Pria bernama lengkap Ryan Wibisono ini tak tertarik sama sekali dengan godaan yang wanita itu sengaja lakukan.
"Bi ...." Panggilan itu terdengar lirih namun penuh nada menggoda.
"Cukup, Sa! Saya pikir kamu sakit atau apa. Nyatanya kamu bukan sakit, tapi gila!" Wibi tak bisa bermulut manis lagi di depan rubah wanita ini. Dia sudah tahu, bahkan sangat tahu seperti apa tabiatnya. Dia gadis, ah ralat, wanita mata duitan yang mau saja mendapat bookingan dari para pria hidung belang. Hal itu tidak asing untuk para pekerja dunia gemerlap seperti Teresa ini.
Teresa bukan lagi gadisnya yang polos dan penurut seperti pertama mereka bertemu. Wanita ini bahkan rela menjual harga diri dan keperawanannya demi uang. Menjijikkan!
"Bi, kita nikah, yuk." Teresa masih belum menyerah. Dia bahkan mendekati Wibi, memeluk lengannya erat-erat, seolah tidak memiliki rasa malu sama sekali. Wanita ini tetap menggoda mantan kekasihnya.
"Kamu gila!" Wibi menggertakkan giginya sambil melepas tautan jemari Teresa di lengannya. "Saya kecewa sama kamu. Kalau kamu mau nikah sama saya, itu setahun yang lalu. Bukan sekarang!"
Teresa bungkam. Seketika dia memasang wajah penuh penyesalan untuk mendukung aktingnya.
Tik
Sebulir air mata membasahi pipi wanita 170 cm ini. "Aku nyesel, Bi," bohongnya.
Cih!
Wibi berdecih. "Air mata kamu nggak mempan lagi buat saya. Salah kamu sendiri yang kabur di hari pernikahan kita. Kenapa sekarang mau nikah sama saya? Kamu hamil?!" tebak Wibi. Sontak genggaman tangan Teresa terlepas dari lengannya.
Teresa mendongak, dia tidak menyangka rencananya akan bisa ditebak oleh Wibi dengan mudah. Susah payah dia menyembunyikan fakta itu, bahkan rela mengurangi porsi makannya agar tidak terlihat gemuk. Tapi, Wibi dengan terang-terangan mengatakan hal itu.
"Bi.... Wibi, tolongin aku." Teresa kembali menggapai lengan pengusaha muda ini. Suaranya berubah gemetar, tebakan Wibi tepat sasaran. Teresa hamil tanpa ikatan pernikahan. "Aku ngga tau harus gimana lagi. Cuma kamu yang bisa tolong aku."
Tap tap
Wibi mundur dua langkah ke belakang. Dia tidak ingin berurusan dengan wanita ini lagi atau itu akan membuat ayah dan ibunya benar-benar murka.
Tadinya ia khawatir karena Teresa menghubunginya sambil menangis, memintanya datang ke hotel ini. Nyatanya, wanita ular ini justru berniat tidak baik padanya. Teresa yang licik berusaha menjebaknya agar bertanggungjawab pada sesuatu yang tidak pernah dia lakukan sama sekali.
"KAMU GILA, SA!!"
Wibi berbalik badan detik itu juga. Dia harus mengabaikan rubah wanita ini sebelum terjadi masalah lain yang lebih serius. Anak yang ada di dalam perut mantan calon istrinya, sama sekali tidak ada hubungan dengannya.
"WIBIII!!!" Teriakan Teresa menggema di koridor panjang yang lengang. Dengan pakaian seadanya, dia berlari menyusul Wibi. Sayangnya, pintu lift sudah tertutup sebelum dia sampai.
"SHIT!" umpatnya kesal. Wibi berhasil kabur dari perangkapnya.
Teresa berpikir cepat. Dia masuk ke dalam kamar hotel dan kembali keluar setelahnya. Dia harus bisa membuat Wibi bertanggung jawab, bagaimanapun caranya.
Detik berikutnya, Teresa segera masuk ke lift lainnya untuk turun dan menyusul Wibi. Rencananya untuk menjerat pria tampan itu gagal, maka dia harus mencari alternatif lain.
Ting
Tak butuh waktu lama, lift yang membawa pria 32 tahun ini sudah sampai di lantai dasar. Dia melangkah denga tenang, melewati meja resepsionis hotel dimana ada beberapa orang di sana. Dia tidak ingin memancing kecurigaan orang-orang di sini bahwa dia sedang lari dari seorang wanita gila.
Lima detik setelahnya, lift yang lain terbuka, menampilkan sosok Teresa yang hanya mengenakan hotpants dan tanktop di tubuhnya. Dia sengaja memakai pakaian itu untuk menggoda Wibi, tapi ternyata pria itu kuat juga imannya.
"WIBI, STOP! BERHENTI DI SANA!" teriak Teresa lantang.
Wibi terkejut mendengar suara Teresa tapi dia tetap melajukan kakinya ke depan. Orang-orang mulai menoleh ke arah Teresa di belakang sana.
"BERHENTI ATAU AKU AKAN BUNUH DIRI!!"
Deg!
Suara teriakan Teresa berhasil membuat langkah kaki Wibi terhenti. Selain itu, pandangan orang-orang juga mulai beralih padanya.
Sial!
Wibi tidak menyangka Teresa akan senekat ini. Benar-benar rubah wanita sialan! Dia terpaksa harus ikut berperan dalam skenario tak terduga ini.
"TANGGUNG JAWAB BAYI INI ATAU AKU MATI!" Lagi-lagi teriakan Teresa membuat seisi lobi hotel bintang lima ini tercengang.
Habislah sudah. Wibi tidak bisa melakukan apapun. Kakinya masih menapak di tempat yang sama sejak beberapa detik yang lalu. Wanita ini benar-benar menyebalkan. Bayi itu bukan anaknya, jadi bukan tanggung jawabnya sama sekali.
Jangankan berhubungan badan dengannya, mencium Teresa saja tidak pernah. Lalu apa yang harus dia pertanggungjawabkan? Gila!
Wibi memejamkan matanya. Dia harus tetap tenang agar masalah ini tidak semakin rumit. Tapi, jika dia meladeni drama yang Teresa mainkan, bisa-bisa dia akan benar-benar menikah dengan Teresa. Wibi tidak menginginkannya sama sekali. Teresa sama sekali bukan wanita baik.
"Bi, aku udah kasih segalanya buat kamu, kenapa kamu pergi?" Suara Teresa terdengar lirih tapi masih bisa terdengar oleh Wibi yang kini berjarak lima langkah darinya.
"Kalau kamu memang nggak mau tanggung jawab, baiknya aku sama anak kita pergi." Teresa semakin mantap berakting.
Sett
Tanpa Wibi ketahui, Teresa sudah menyayat pergelangan tangannya dengan pisau. Bukan di urat nadinya, dia sengaja menyayat di sebelahnya. Ini hanya akting, tidak ingin benar-benar mati karena kehilangan darah.
"Aaarrrgghh!" Beberapa wanita berteriak histeris saat menyaksikan adegan itu. Darah segar mengalir deras, membasahi pergelangan tangan wanita yang hanya memakai tanktop dan hotpants warna hitam ini.
Brukk
Tubuh ramping Teresa kini tergeletak di lantai. Darah segar segera menodai lantai marmer di bawahnya. Pisau cutter yang wanita ini gunakan, kini teronggok di lantai.
Deg!
Jantung Wibi seolah berhenti berdetak. Tanpa melihatnya sekalipun, dia tahu apa yang Teresa lakukan. Suara gaduh segera terdengar, bahkan sampai membuat seorang security mendekat ke arah Wibi dan langsung meringkusnya.
"Apa ini? Pak, lepaskan saya!" Wibi coba meronta, tapi pria berpakaian serba hitam itu justru semakin erat menahan lengannya di punggung.
Dua orang lain mendekat, sepertinya mereka pegawai hotel ini, terlihat dari seragam yang mereka kenakan.
"Pak, tolong diamankan!" pinta wanita yang kini berdiri di depan Wibi.
"Iya, Bu. Ini sudah saya tahan supaya bapak ini tidak kabur."
"Pak, sebaiknya Bapak tanggung jawab. Itu darah daging Bapak. Jangan maunya cuma enaknya saja." Wanita tadi kembali bersuara, menatap Wibi dengan pandangan tidak suka.
Rahang Wibi mengerat. Ingin sekali meninju wanita ini agar dia diam. Jika tidak, menghantam kepalanya dengan sebongkah kayu atau beradu kening juga boleh. Apapun itu, pengusaha muda ini tidak takut. Tuduhan orang-orang ini padanya benar-benar keliru.
"Bukan saya. Saya nggak tahu apa-apa!" Wibi coba membela diri.
Namun, jauh panggang dari api. Semua yang ada dalam kepala Wibi sia-sia saja. Seorang petugas yang lain ikut menahan lengannya, membuatnya tak bisa berkutik.
"Sudah. Ayo bapak ikut saja!"
Detik berikutnya, Wibi digelandang ke dalam mobil yang membawa Teresa ke rumah sakit. Beberapa staf hotel sigap menolong wanita itu tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Teresa masih sadar, hanya pura-pura pingsan.
"Bapak ini tega sekali. Kalau nggak mau tanggung jawab, harusnya jangan lakuin itu, Pak. Berat!" ketus wanita tadi. "Bukan hanya tanggung jawab di dunia, tapi juga di akhirat!"
Petugas resepsionis itu menceramahi Wibi yang kini dipaksa naik ke dalam mobil.
Wibi bungkam. Dia tidak ingin melakukan pembelaan apapun. Percuma saja.
Di sisi yang lain, tampak Teresa memejamkan mata. Entah dia benaran pingsan atau hanya sekadar bermain peran. Wibi tidak ingin memedulikannya. Dia harus segera mencari bukti yang bisa meyakinkan bahwa dia tidak bersalah. Dia bukan ayah dari bayi yang Teresa kandung. Itu saja.
***
Mulai masuk konflik yaa. Ada yang penasaran gimana kelanjutannya? See you next episode. Jangan lupa masukkan ke rak bacaan kalian yaa.
Hanazawa Easzy
Kejadian tak terduga menimpa seorang pria bernama Ryan Wibisono atau yang akrab dipanggil Wibi. Dia hampir saja dijebak oleh mantan kekasihnya, Teresa, yang tengah hamil. Dan ternyata Teresa nekat mengakhiri hidupnya di lobi hotel, dimana ada begitu banyak orang di sana. Para staf dan karyawan hotel segera menolong wanita itu, membawanya ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan pertama. Dan Wibi juga ikut digiring ke sana. Bahkan seorang petugas keamanan menahan lengannya dengan erat, takut pria ini akan kabur. "Saya akan ikut ke rumah sakit. Tapi lepaskan dulu tangan saya, Pak!" geram Wibi menahan gondok. Sejak meninggalkan hotel lima menit yang lalu, lengannya tetap ada dalam cengkeraman pria berkumis ini. Seolah Wibi akan melompat keluar jika tidak ditahan. Padahal jelas-jelas tidak ada celah sama sekali untuknya bisa kabur. "Pak Security, lepas aja nggak apa-apa, Pak." Wanita resepsionis itu menengahi keadaan. "Tapi Bapak harus tanggung jawab. Ini mbakny
Pertolongan pertama pada Teresa segera dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Wibi. Para perawat dan dokter jaga di Instalasi Gawat Darurat (IGD) berusaha melakukan yang terbaik untuk pasien itu. Terlebih lagi, dia sedang mengandung sekarang. Resiko kehilangan nyawa lebih besar, dibandingkan wanita lain yang tidak berbadan dua.Bunuh diri merupakan salah satu dari 15 besar penyebab kematian di dunia. Setidaknya lebih dari 800.000 orang meninggal akibat bunuh diri. Dan untuk pelaku dengan rentang usia 15-29 tahun, bunuh diri merupakan penyebab kematian utama.Di antara para tenaga medis itu, terdapat Winda Amelia atau yang akrab dipanggil Amel. Dia bertugas mengurus administrasi pasien. Yah, sebenarnya ini bukan tugas utama Amel. Tapi, di situasi darurat seperti sekarang, apa saja harus dilakukan dengan cepat."Dok, kondisi pasien semakin melemah. Dia butuh transfusi darah secepatnya!" ucap seorang pria dengan masker
Langit telah gelap seluruhnya saat Amel keluar dari ruang perawatan Teresa. Langkah kakinya tertuju pada ruang istirahat khusus perawat di ujung koridor. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari pengeras suara masjid. Sudah waktunya salat maghrib.Segera saja, Amel mengambil air wudhu dan melaksanakan ibadah rutin tiga rakaat kewajibannya. Sudah menjadi keharusan sebagai seorang muslim untuk bersegera melaksanakan salat begitu masuk waktunya.Krekk krekkTerdengar bunyi gemeletuk di leher gadis 25 tahun ini. Dia menggerakkan lehernya, berharap rasa pegal yang ia rasakan akan sedikit berkurang. Tangannya sibuk, melipat mukena yang telah ia pakai dan menyimpannya lagi di dalam loker.Sejak datang siang tadi, hanya satu pasien yang ia urus, yakni pasien bunuh diri yang bernama Teresa itu. Kondisinya sudah sedikit membaik, namun masih lemah. Tubuhnya harus menyesuikan diri setelah kehilangan darah cukup banyak.
Sebuah mobil warna hitam meninggalkan pelataran rumah sakit. Di dalamnya berisi dua orang wanita dan seorang pria yang duduk di balik kemudi."Udahan dong, Mel. Jangan cemberut gitu. Jelek tahu!" Suara Delia segera memecah keheningan malam ini."Bodo amat!"BrukkAmel menjatuhkan badannya di kursi belakang dan memilih memejamkan matanya. Sebuah bantal hello kitty segera menutupi wajahnya, menyembunyikan rasa kesal luar biasa yang ia tampilkan.Delia melirik suaminya, meminta pertimbangan. Gadis di kursi belakang itu kini benar-benar marah. Delia merasa bersalah karena memaksa Amel pulang lebih awal.Pria bertubuh sedikit berisi itu menggelengkan kepala, meminta istrinya untuk tak memaksa adik sepupunya ini. Tidak ada yang salah. Mereka hanya menjalankan amanah papa dan mama. Lagipula ini juga demi kebaikan Amel.Mobil melaju membelah jala
Wibi dan keluarganya mendatangi rumah Amel dalam rangka prosesi ta'aruf. Meski sempat kecewa sebelumnya, namun akhirnya acara berjalan dengan lancar.Setelah makan malam bersama, Wibi meminta izin untuk berbicara empat mata dengan Amel. Mereka duduk berdua di taman yang ada di halaman depan."Kamu nikah sama saya!" titah seorang pria yang tak lain adalah Wibi."HAH? Nikah? Baru juga ta'aruf. Gila ya?" Amel tak mengerti jalan pikiran pria satu ini. Tadinya ia memasang jurus andalannya, yakni mode diam. Tapi, mendengar titah Wibi, membuat gadis ini berang juga. Dia tidak mau hidupnya diatur begitu saja oleh orang asing ini."Iya. Saya memang tergila-gila sama kamu! Kita nikah minggu depan." Wibi menatap manik mata Amel, serius dengan ucapannya."HAH?"Wajah Amel merah padam. Dia sungguh membenci pria otoriter seperti orang yang kini duduk di hadap
Matahari naik sepenggalah saat sebuah mobil warna hitam memasuki salah satu rumah sakit di ibukota. Tampaknya hari ini banyak pasien rawat jalan, terlihat dari padatnya kendaraan di tempat parkir ini.Amel segera melepas sabuk pengaman yang sejak tadi melingkupi tubuhnya. Wajahnya terlihat lelah, namun pergerakannya masih gesit. Terlihat jelas bahwa dia bukan gadis yang pemalas."Pak Ryan, dimana ibu Bapak dirawat?" tanya Amel sembari membenahi jilbabnya. Ada satu dua helai rambut halus yang menerobos keluar dari inner yang digunakannya.Wibi menoleh dengan kening berkerut. Gadis ini tidak mengatakan apapun sepanjang jalan. Dan begitu membuka suara, justru kalimat formal yang ia ucapkan."Pak?" Amel menatap lawan bicaranya.'Astaga. Gadis ini.' Wibi menoleh ke arah lain, tak habis pikir dengan sikap Amel padanya."Kamu panggil apa barusan?" Wibi mencoba menya
Amel terpaksa mengikuti Wibi untuk membantu ibunya. Mereka sampai di rumah sakit Harapan Bunda sekitar pukul delapan pagi. Keduanya langsung menuju ruang perawatan di lantai 3 nomor 7, ruang Melati.Dokter Nura yang menjadi penanggung jawab ibu Wibi, meminta Amel mengikutinya untuk mengurus dokumen. Namun, ternyata dia berniat mengenalkan seseorang untuk menjadi jodoh Amel. Tentu saja gadis ini berusaha menghindar sebisa mungkin. Dia belum ingin menikah, itu alasan utamanya.Baru saja keluar dari ruangan dokter Nura, Amel justru tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang. Atau lebih tepatnya, dia yang menabrak orang di hadapannya, membuat dokumen di tangannya berserakan di lantai."Amel?" Pria yang Amel tabrak menyapa. "Kamu bener Winda Amelia 'kan?" tanyanya mengonfirmasi. Dia yakin bahwa gadis yang kini terduduk di lantai itu Amel, temannya saat kecil."Maaf, siapa ya?" Amel berusaha mengenali pria
Wibi telah resmi menikah dengan Amel. Tidak ada perayaan sama sekali, hanya acara ijab kabul dan tasyakuran di rumah Amel. Itu saja. Hal itu terasa ganjil, namun Amel tetap berkeras tidak ingin pernikahannya dihadiri orang luar. Hanya kerabat dekat yang dia izinkan untuk datang."Aneh banget si, Bu. Nikah nggak ada acara apa-apa gitu. Kaya nggak niat mau nikah aja!" ketus Wulan, adik Wibi yang paling kecil. Mereka sedang ada dalam perjalanan pulang, dari Depok menuju Jakarta.Apa yang Wulan katakan memang benar adanya. Kakaknya yang seorang jutawan, diinginkan begitu banyak wanita di luar sana, justru menikah dengan gadis sederhana seperti Amel. Terlebih lagi, pernikahan ini diadakan tanpa resepsi mewah atau semacamnya, seperti pernikahan siri."Memang dia nggak niat nikah sama mas Wibi. Kalau aku jadi mbak Amel, malah mendingan kabur dari rumah. Ogah banget hari gini dijodohin." Komentar pedas keluar dari kembaran Wulan, yakni Nawa